Pages

Kasta Vs Wangsa, Warna di Bali part 1

Kasta Vs Wangsa dan Warna di daerah Bali umumnya.

Agama diturunkan kedunia oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk menuntun manusia agar mendapatkan kebahagiaan hidup didunia maupun di alam rohani. Untuk itu setiap orang harus mempunyai empat landasan yang disebut dengan Catur Purusartha, yang artinya empat tujuan hidup.

Catur Purusartha sering disebut Catur Warga. Kata Warga dalam hal ini artinya ikatan atau jalinan yang saling melengkapi atau saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu, keempat tujuan hidup itu saling menunjang. 
  • Dharma adalah landasan untuk mendapatkan Arta dan Kama, 
  • Arta dan Kama landasan atau sarana untuk melaksanakan Dharma. 
  • Dharma, Arta dan Kama adalah landasan untuk mencapai Moksa, 
  • Moksa Juga landasan untuk mendapatkan Dharma, Arta dan Kama, akan justru mengikat mengikat manusia karena bukan tujuan akhir. 
Dalam kitab tafsiran tentang Catur Purusartha, disebutkan bahwa Dharma, Arta dan Kama merupakan tujuan pertama dan Moksa disebut tujuan akhir atau tujuan tertinggi untuk kembali kepada Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa.


Empat tujuan hidup itu adalah suatu kenyataan yang tidak mungkin dapat dihindari oleh setiap orang yang mendambakan hidup yang sejahtera lahir dan batin.

Catur Purusartha inilah yang menyebabkan adanya tahapan atau tingkatan hidup. Dalam Manawa Dharmasastra VI, 87 dijelaskan adanya empat tahapan hidup yaitu Brahmacari, Ghrahasta, Wanaprasta dan Yati (sanyasa).
  • Pada tahap ‘Brahmacari’ tujuan hidup yang diutamakan mendapatkan Dharma. 
  • Pada tahap hidup ‘Ghrahasta’ yaitu berumah tangga tujuan hidup lebih diutamakan untuk mendapatkan Artha dan Kama. 
  • Pada tahap ‘ Wanaprasta dan Sanyasa’, hidup lebih diutamakan mencari Moksa. Hidup pada tahap ini sudah lepas dari kewajiban-kewajiban hidup bermasyarakat dan urusan keduniawian.
Tujuan hidup catur Purusartha disamping itu harus dicapai secara bertahap berdasarkan asrama masing-masing juga harus dicapai dengan keahlian atau profesianalisme. Yajna Valkya mengajarkan juga ‘Guna Dharma’ yaitu kewajiban untuk melaksanakan dharma sesuai dengan sifat dan bakat yang dimiliki atau dibawa lahir. Dan ‘Warna Dharma’ yaitu kewajiban untuk mengamalkan dharma berdasarkan Warna (Varna yang artinya lapangan pekerjaan) masing-masing.

Warna Dharma akan melahirkan Catur Warna, yang membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok profesi secara pararel horizontal. Mengenai urusan warna dijelaskan pada Bhagvad gita 4.13 yang berbunyi 
“Catur Warna Kuciptakan menurut pembagian dari Guna (sifat, bakat dan pembawaan) dan Karma (pekerjaan atau perbuatan). Meski Aku sebagai penciptanya, ketahuilah Aku mengatasi gerak dan perubahan”. 

Berdasarkan kutipan tersebut, tidak ada dimuat tentang Wangsa di Bali dan Kasta di India.

Sistem warna akan memberikan setiap orang mengembangkan hakekat dirinya mencapai puncak kesempurnaan menuju profesionalisme yang berlandaskan moral religius.orang akan bahagia apabila dapat bekerja sesuai dengan sifat dan bakatnya yang dibawa lahir.

Di Bali, sistem warna sepertinya sudah tidak ada lagi, karena ada sistem feodal yang masih berkembang, walau tidak separah jaman pra kemerdekaan. Mereka yang menebutkan diri mereka “Tri wangsa” menjadikan wangsa mereka menjadi sebuah sekat pemisah, seperti kaum buruh dengan majikannya. Dari perkembangan itulah tri warna (Brahmana, Ksatria dan Waisya) menjadi tri wangsa, yang merubah sistem warna menjadi sistem wangsa, yang merupakan kasta versi Bali.

Sekarang umat Hindu yang ada di Indonesia, bukan saja bermukim di Bali, tetapi telah tersebar di beberapa kepulauan Nusantara. Lingkungan umat Hindu, lain dengan situasi lingkungan di Bali. Masyarakat umat Hindu sekarang sudah semakin kritis sikapnya, baik karena dasar pendidikan, perkembangan jaman maupun situasi lingkungan.

Oleh karena itu, kurang bijaksana untuk membiarkan keadaan umat Hindu yang semacam itu. Kita perlu memikirkan suatu sistim yang lebih berdasarkan pada pengertian logis, terutama untuk menanggulangi masalah keagamaan di Bali dan di daerah-daerah, di luar Bali.

Permasalahan tersebut diatas perlu dicarikan jalan pemecahannya, lebih-lebih mengingat masalah keagamaan yang dirasakan semakin mendesak di daerah-daerah, di luar Bali.

Pembuatan tulisan ini diharapkan mampu mengatasi sedikit permasalahan diatas dan sebagai realisasi pelaksanaan kegiatan keagamaan. Bahasanya dipergunakan bahasa Indonesia, tetapi istilah bahasa Bali tetap dipakai demi untuk menjaga kemantapan rasa, disamping istilah-istilah tersebut kadang-kadang sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia.

Dengan penerbitan tulisan ini, yang diperkirakan menjangkau sasaran pembaca di kalangan umat lebih luas, diharapkan kepercayaan dan kesetiaan yang berlandaskan “gugon tuwon” akan semakin menipis, akhirnya lenyap, diganti oleh rasa kesetiaan, kepercayaan dan keyakinan yang berlandaskan pengertian yang kritis.

Tercapainya tujuan ini, akan merupakan modal yang sangat besar untuk mempercepat proses tercapainya tujuan akhir dari agama Hindu yaitu “Moksartham Jagathita Ya Ca Iti Dharma”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar