Google+

Bhisama Pande 5 - Sira Mpu Galuh

Bhisama Sira Mpu Galuh (Prasati Pande Kamasan)

Mwang panganugrahan Sira ngawe Pura Batur, panyungsungan Sira Mpu Pande, mwang pratisentanan sira Pande kabeh. Nging yan hana satereh sira Pande tan eling mwang lipya nyungsung Batur Kapandeyan, wastu ya kabeh kadi ling prasasti iki:
Lungsur kagunania, cendek tuwuh, salah krama, bingung, irsya asanak, tan surud kawigunan
Mangkane sosote sira Pande katekeng pratisentanta wekasan, aywa lupa pwa kita ajanma maring Bali pulina, anyuwita ring Sira Mpu Pande, apan sira ngardi Bhawaning Dewa, mwang manusa.

Terjemahan bebasnya:
Kemudian Beliau mengijinkan untuk mendirikan Pura Batur, sebagai tempat pemujaan Sira Mpu Pande dan seluruh keturunan warga Pande. Namun apabila ada keturunan sira Pande tidak ingat dan lalai menyungung Pura Batur Kapanddeyan ini akan menyebabkan seperti tertulis dalam prasasti ini :
Hilang semua keahlian memande, umur pendek, berubah menjadi jahat, bingung, iri hati terhadap saudara, menurun kualitas hidupnya.


Demikianlah harapan sira Mpu terhadap seluruh warga Pande beserta keturunannya kelak, janganlah lupa menjadi manusia di Bali, mengabdilah pada sira Mpu, karena Sira Mpu Pande yang menciptakan kewibawaan Dewa dan manusia.

Bhisama Pande 5

Tentang Pesemetonan Warga Pande

Bhisama kelima adalah Bhisama yang Mpu Siwa Saguna Kepada Brahmna Dwala, di Pura Bukit Indrakila, sebagai berikut;
”Mangkana kengeta, aja lali wruhakena wwang sanakta kabeh. Kita sadaya ajwa lupa ring kajaten, duk ring Yambhu dwipa turun ka Yawa dwipa, tan len Sira Mpu Brahma Wisesa kawitan sira Pande kang ana wayeng Bali-pulina. Kita mangke asanak ring Pande kabeh. Aywa ngucap ming telu, sadohe ming ro. Tan ana sor tan ana luhur, tunggal pwa witnis nguni, kadi anggan ing pang ning kayu-kayu mara jatin ira. Ana awah ana juga tan pawah. Kalingania mangkana juga kita asanak, tan dai angadol kadang. Aja amumpang laku, aywa arok ring wwang hina-laksana”.
(ingatlah selalu, jang lupa dengan seluruh keluargamu. Kita tidak boleh lupa dengan jati diri, sejak dari India, sampai ke pulau Jawa, tidak lain Mpu Brahma Wisesa leluhurmu termasuk yang ada di pulau Bali. Kalian semuanya keturunan Pande. Kalian adalah sedarah daging. Jangan merasa memindon (saudara tingkat III) sejauh-jauhnya adalah memisan (saudara tingkat II). Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Seperti pohon ada yang berbuah ada yang tidak berbuah (bernasib baik-tidak bernasib baik). Tetapi kalian semua tetap bersaudara, tidak boleh menjual saudara. Jangan berbuat tidak baik, jangan sombong pada orang yang tidak baik.

Begitu pentingnya pesemetonan ini, sehingga banyak dijumpai dalam babad-babad Pande, salah satunya Babad Pande Besi, Pratataning Kaprajuritan Wilwatikta. Terdapat Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada putranya Arya Kapandeyan yang disampaikan kembali kepada Lurah Kapandeyan.
”Kaki anak ingsun Lurah Kapandeyan rengwakena pawarah mami ring kita. Mangke katekeng wekas, wenang kita amretingkah wong, angamet penatak bahan, mwang pangapih, mwang papincatan, lawan tutuwangan, wenang ksatriyan putusing sanyahnyah ira kabeh, katekeng wekas. Aja arok kita, elingakena kadadenta ksatriyan. Aja adoha akadang-kadang, wenang kinumpulaken, apan mulaniya sthiti sawiji andaadi akweh. Sadoh-doh akadang, muliha andadi ming ro. Aja angangken ming tiga, wenang amisan aming rwa. Kunang yan ana pratisantan ta angangken aming tiga, yadyapin sadoh-dohnya, wong amurug anhagu ngaraniya. Kna sodan ingsun bwating upadrawa. Wastu, wastu,wastu pariwastu, kna sodan ira Bhatara Sinuhun”.
(anakku Lurah Kapandeyan, dengarkanlah bhisamaku. Sekarang dan seterusnya, berhak engkau mengurusi orang. Memegang tiang penyangga, mengeluarkan aturan, menghukum dan lain-lain pekerjaan seorang ksatriya, sampai kelak dikemudian hari. Janganlah sombong, ingat dirimu adalah seorang ksatriya. Janganlah sampai bercerai berai, semuanya harus bersatu, karena asalnya adalah tunggal kemudian menjadi banyak. Sejauh-jauhnya bersaudara, paling jauh adalah memisan. Jangan mengaku memindon, tetapi memisan. Kalau ada yang mengaku memindon, apalagi lebih dari itu berarti melanggar bhisamaKu. Kena kutukanku, semoga, semoga, semoga. Semoga juga kena kutukan Bhatara Sesuhunan.

Demikian juga Mpu Siwa Saguna memberikan peringatan bagi yang melanggar pesemotan Pande. ”Kunang mwah sentanan ta apan pada madoh-madohan, pawarah juga ya katekeng wekas, didinya pada eling ring titi gegaduhan, amanggehaken kawangsan. Lamakania pada asih apadang, aja lipya kadang, kna upadrwa ingsun”.
(karena keturunanKu tinggal berjauhan, ingatkan kepada mereka sampai kelak, dirinya harus ingat dengan pekerjaan, memegang teguh wangsa Pande. Haruslah saling mengasihi, jangan lupa pada pesemetonan, bila tidak kena kutukanKu).

Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa
Pura Agung Besakih

Bhisama Pande 4

Larangan memakai tirtha sulinggih lainnya

Bhisama keempat, adalah bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmna Dwala mengenai larangan menggunakan tirtha dari sulinggih lainnya. Larangan ini sama sekali bukan didasari oleh niat merendahkan atau melecehkan sulinggih dari keturunan yang lain (bukan warga Pande). Tetapi menyangkut beberapa hal prinsip yang harus dipahami oleh warga Pande. Warga Pande sangat menghormati dan memuliakan setiap sulinggih dari warga/soroh apapun beliau berasal.

Bhisama itu berbunyi:
”yan kita angupakara sawa, aywa kita weh aminta tirtha ring brahmana panditha. Ngong anugraha kita riwekas, samangda kita tan kanarakan”
(kalau engkau mengupacarai mayat, jangan meminta tirtha dari brahmana Pandita, aku peringatkan engkau agar engkau tidak sengsara di kemudian hari).

Selanjutnya;
”mwah yan kita mayadnya suka mwang duka, aywa nurunakna tirtha brahmana. Nguni kawitan ta kita madiksa widhi krama minta nugraha ring paduka bhatara. Mangkana kengeta. Aja lali, weruhakna mwang sanak ira kabeh, kita kabeh aywa lupa ring aji dharma kapandeyan, aywa kita lupa ring kajaten”
(dan lagi kalau engkau menyenggarakan upcara yadnya yang bersifat suka dan duka, jangan nuhur tritha brahmana. Mengapa? Karena sajak dulu leluhurmu madiksa widhi krama, memohon panugrahan langsung kepada Ida Bhatara. Demikianlah, ingatlah selalu. Jangan lupa, beritahukanlah hal itu kepada seluruh keturunanmu kelak. Janganlah lupa pada Aji Dharma Kapandeyan. Janganlah lupa pada jati dirimu.

Meliha Bhisama diatas jelaslah bahwa penggunaan tirtha Sira Mpu Pande dikalangan warga Pande adalah untuk setiap upacara atau Panca yadnya. Beberapa alasan warga Pande menggunakan sulinggih dari keturunan Pande atau lazim dikenal dengan Sira Mpu adalah sebagai berikut :

  1. pemakaian Sira Mpu adalah penerusan tradisi leluhur yang telah berlangsung sejak jaman sebelum kedatangan DangHyang Nirartha ke Bali, jauh sebelum Beliau datang warga Pande telah memiliki sulinggih sendiri yaitu Sira Mpu. Tradisi itulah yang telah diwariskan dari genari ke genarasi, kendatipun pada saat jaya-jaya sistem kerajaan di Bali, banyak rintangan dan hambatan yang dialami oleh warga Pande, karena banyak warga desa yang melarang pemakain Sira Mpu oleh warga Pande.
  2. warga pande tidak menggunakan Sulinggih lain, karena ada mantra-mantra khusus yang tidak dipakai oleh Sulinggih lainnya, khususnya yang berkaitan dengan Bhisama Panca Bayu. Mantra-mantra yang tidak boleh dilupakan oleh warga Pande yang berhubungan erat dengan profesi Pande.
  3. warga Pande seperti warga/soroh lainnya di Bali, memiliki aturan tersendiri dalam pembuatan kajang kawitan. Kajang kawitan Pande hanya dipahami secara mendalam oleh Sira Mpu atau pemangku pura kawitan sehingga hanya merekalah yang berhak membuat kajang kawitan Pande.
  4. tata cara pediksaan di kalangan warga Pande sangat berbeda dengan tata cara pediksaan dikalangan warga lain, khususnya keturunan DangHyang Nirartha. Perbedaan ini sangat prinsip bagi warga Pande, dimana warga Pande melakukan pediksaan dengan sistem Wdhi Krama.


Kalau dianalogikan, pelarangan penggunaan sulinggih lain, adalah seperti orang sakit mencari dokter. Kalau sakit gigi hendaknya dicari dokter gigi, jangan mencari dokter jantung atau lainnya.

Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa - Pura Agung Besakih

Bhisama Pande 3

Tentang Asta Candhala

Bhisama ketiga mengenai larangan atau pantangan atau perbuatan yang harus dihindari, yaitu perbuatan asta candhala, agar warga pande berhasil menjadi pemimpin manusia utama.

Pada waktu dialog imajiner yang berlangsung di Pura Indrakila, Mpu Siwa Saguna berujar kepada Brahmana Dwala:
“nghing yogya kita hangamong wwang uttama, tingalaken asta candhala, away rumaketing sariranta. Ndi ingaran asta candhala, prakyaksakna pangrengonta, nihan lwirnya
(apabila engkau ingin menjadi pemimpin yang utama, hindari asta candhala, jangan biarkan mengikat dirimu. Yang manakah disebut astha candala, camkanlah) :
  1. amahat, ngaran manginum amdya, metu mawero (minum minuman keras yang memabukan);
  2. amalanathing, ngaran maka balandhang jejuden (menjadi bandar judi);
  3. anjagal, ngaran amati mati pasa, madwal daging mentah (membunuh binatang dan menjadi penjual daging mentah);
  4. amande lemah, ngaran akarya payuk pane (membuat periuk dan barang tembikar lain dari tanah);
  5. anyuledang, ananggap upah nebuk padi (menjadi tukang tumbuk padi);
  6. anapis, ngaran amangan sesaning wwang len (makan makanan sisa orang lain); amurug papali ngaran (jangan melanggar pantangan)
  7. amangan klalatu (makan laron/dedalu)
  8. iwak pinggul ngaran dedeleg (ikan gabus atau jeleg).
tegasnya warga Pande tidak boleh makan dedalu dan dedeg

sumber :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa - Pura Agung Besakih

Bhisama Pande 2

Tentang Ajaran Panca Bayu

Bermakna agar warga pande memahami ajaran Panca Bayu yang diajarkan oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala pada pertemuan dan dialog imajiner mereka di Pura Indrakila.

Panca Bayu adalah ajaran kekuatan yang sangat penting bagi mereka yang melakoni Dharma Kapandeyan. Panca Bayu juga sangat penting bagi pengendalian diri untuk mengenal fungsi-fungsi atau kekuatan anggota badan tertentu.

Uraian beliau tentang Panca bayu kepada Brahma Dwala adalah sebagai berikut : ”Ndi hingaran Panca Bayu. Panca Bayu ngaran APANA, PRANA, SAMANA, UDHANA, BHYANA.
  • Apana ngaran bayu saking weteng, mwang kakembungan, yatika jambangan.
  • Prana ngaran bayu metu saking peparu, humili amarga lenging grana, yatika hububan, pinaka pamurungan.
  • Samana ngaran bayu metu saking hati, ghni ring sarira.
  • Udhana ngaran bayu saking siwadwara, yatika pinaka uyah.
  • Bhyana ngaran bayu humili saking sarwa sandi pupulakna ring pupu, yatika pinaka landesan.
Ndi kang pinaka palu-palu? Tapak tangan ta. Jariji kang pinaka sepit”.
mana yang dimakasud dengan Panca Bayu. Panca Bayu adalah apana, prana, samana, udhana dan bhyana.
  • Apana adalah kekuatan dari perut atau juga disebut tempat air.
  • Prana adalah kekuatan dari paru-paru berada ditengah tengah dada, yang berfungsi sebagai pengububan yang mengeluarkan udara yang berfungsi untuk menghidupkan api dalam pekerjaan memande.
  • Samana adalah kekuatan yang keluardari hati, adalah api yang bertempat dalam badan manusia.
  • Udhana adalah kekuatan dari siwadwara, itulah ibarat garam.
  • Bhyana adalah kekuatan gaib, yang memeberi kekuatan kepada paha yang berfungsi sebagai landesan atau paron.
Lantas yang manakah berfungsi sebagai palu? Adalah tanganmu. Jerijimu berfungsi sebagai sepit).

Bhisama Pande 1

Tentang Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih



Bhisama pertama, berupa bhisama agar Warga Pande tidak lupa menyungsung Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih. Bhisama ini dipesankan dengan tegas oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala di Pura Bukit Indrakila sebagai berikut : ”Mangke hiyun ira turun ing Besaki. Didine ane Penataran Pande. Kita aywa lupa bakti ring kawitan ring Besakih”. (Sekarang kupesankan kepadamu, pergilah engkau ke Besakih. Disana ada Penataran Pande. Jangan lupa sujud bakti kepada kawitanmu di Besakih).

Apa akibatnya kalau Warga pande lupa nyungsung Ida Betara Kawitan yang berstana di Pura Ida Ratu Bagus Pande di Besakih ? marilah kita resapkan dan camkan Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala berikut : ”Warahakena katekeng mahagotranta, ri wekas inget-inget aja lali. Yan kita lipya ngaturanga panganjali ring Bhatara Kawitan, tan wun kita kabajrawisa de paduka Bhatara, sugih gawe kurang pangan”. (sebarluaskanlah kepada keluarga besarmu, sampai keturunanmu dikemudian hari kelak. Ingatlah selalu, jangan sampai lupa. Kalau engkau sampai lupa menyembah (nyungsung) Bhatara Kawitan, engkau akan disalahkan oleh Ida Bhatara. Kedati usahamu sukses engkau akan selalu kekurangan pangan).

Warga pande harus menyadari bahwa Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Besakih memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih. Gelar abhiseka Ida Bhatara di Penataran Pande di Besakih justru diketemukan dalam Raja Purana Pura Besakih dan di dalam Babad Dalem Tarukan.

Babad Pasek 5 part 2

Babad Pasek

Photobucket

Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.

Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11.

Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana.

Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang.

Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya “Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.

Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: “Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.

Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.

Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.

Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya, memberikan nasehat kepada para Mpu semuanya, katanya: “Cucuku semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan yoga disana, menyertai anakku Hyang tiga itu”.

Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di lereng Gunung Tolangkir yang berlanjut timbulnya raja yang memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam selubung buah kelapa. Setelah duduk sebagai raja, digelari Shri Aji Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada dewa – dewa dan kawitan – kawitan.

Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang Bali semua, suka ria hatinya mempersembahkan Widhi – Widhana pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini berhenti dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke Besakih. Kemudian datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong, membawa sesaji untuk persembahan.

Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan sangat lengkap?”

Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi ke Pura Besakih, ke Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada Bhatari!”

Raja bersabda pula: “O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem? Apa yang engkau minta disana?”

“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman) supaya makmur dan menjadi tanam – tanaman kami dan minta keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab orang – orang Bali.

Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik: “Jika demikian halmu, aku tidak mengijinkan, jangan engkau kesana, sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak ada dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.

Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani meneruskan perjalanannya, semua kembali dengan rasa sedih. Ketika itu terjadi pada tahun Caka 896.

Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa, yang kemudian ia mohon izin pada Bhatara Pasupati untuk menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha patihnya yang bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya mengalir darah yang tiada hentinya sehingga merupakan anak kali. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai Tukad Petanu.

Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai Cetik, dahulu ketika laskar dewa - dewa dalam keadaan tertekan dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan, karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong, ketika itu mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji – panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa yang telah meninggal.

Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.

Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara Pasupati bersabda kepada para Panca Pandita, katanya: “Cucuku sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran kemoksaan dan ajaran – ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun – turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya, supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga – moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat pemujaan kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula tentang pujawalinya sampai kemudian hari”. Demikian sabda Bhatara Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha baiknya.

Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang perahu dari daun kiambang (kapu – kapu), memakai layar daun pangi, pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla) tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).

Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan, pada suatu ketika tibalah di Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan sujud menyembah lalu berkata.

“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam Parhyangan”. Mpu Genijaya mengangguk mengiakan seraya berkata “Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu tangannya dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam parhyangan lalu masing – masing duduk di tempat yang telah tersedia. Selama dalam parhyangan pendeta berkakak adik itu tiada putus – putusnya bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan filsafat mengenai Ketuhanan.

Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya pergilah Mpu Genijaya diiringi adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar. Demi terlihat oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh – gopoh menyongsong seraya menyembah, katanya: “Silahkan paduka kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.

Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik itu masuk dalam parhyangan.

“Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana. Marilah adikku berdua, bersama – sama duduk dengan kakak”!

Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing dalam parhyangan, maka mulailah pembicaraan yang mengenai ajaran kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang demikian seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.

Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh dua orang adiknya Mpu Gana dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru, bahwa kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah gembira hatinya seakan – akan mendapat percikan tirtha amertha seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah disertai dengan ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya membalas dengan weda jaya – jaya, selamat, suara genta seakan – akan kumbang mencari madu bunga. Setelah itu maka Mpu Semeru berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik berdua”. Marilah sama- sama kita duduk adik – adik sekalian, kakak mengijinkan “Jawab Mpu Genijaya”. Setelah sama – sama duduk Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru bertanya:”Kapankah kakak pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?

“Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih dulu, kemudian ke Dasar, akhirnya datang kemari”. Selanjutnya terus mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin, filsafat ke-Tuhanan, Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci (Wijaksara).

Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu patirthan Bhatara Putrajaya, lalu pendeta empat itu menghaturkan puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu dan sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.

Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya Mpu Ketek telah beristri seorang wanita anak dari Arya Padang Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sanghyang Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu Swetawijaya, telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu Wiranjana beristri dari anak Mpu Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara, berputra bernama Mpu Wiradharma.

Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya Mpu Wirarunting. Mpu Prateka mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya. Mpu Dangka beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya bernama Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan memper pula tinggi bathinnya.

Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam kitab. Diceritakan pula anaknya Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri anaknya Mpu Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua elok rupanya, namanya masing – masing ialah: Yang laki bernama Mpu Wiranaga, yang perempuan bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.

Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda raja Jirah bernama Ni Dewi Ratnamanggali. Dari perkawinan ini berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang laki – laki. Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha, yang perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi Amrtamangguli. Itulah semua keturunan Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan kawitannya. Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat Bhatara Kawitan, maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam jalan yang benar (mungpang selaku lampah) dan lagi selalu menurun derajatnya menjadi orang hina.

Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan datang menghadap kakaknya di Cilayukti, berhasrat hendak mengetahui bukti – bukti kekuasaan bathin kakaknya. Tidak direntang panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di Cilayukti dengan berperahu kayu pelud yang hanya segenggam panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya: “Adikku selamat datang, silahkan duduk”.

“Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini adalah ingin mengetahui kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu Kuturan: “Jika demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana ada seekor ayam baru bertelur tiga butir”.

“Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan mengeluarkan kekuasaan bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir telur itu datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu Mpu Kuturan tiga butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya: “Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari masing – masing telur ini?

“Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk mempersatukan ketajaman pandangan jiwanya ke dalam telur itu. Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak Pendeta, telur yang tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya angsalah yang lahir dari padanya”.

Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama antaranya, telur yang dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa dari dalamnya.

Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah ini; apa nanti lahir dari dalamnya”?

“Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya menerka telur terbawah lebih dulu. Gagak putih akan keluar dari dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak putih dari dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.

Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka lagi!”

Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua ekor naga”.

Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua ekor naga yang buas, mulutnya menganga hebat dahsyat, taringnya tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat lalu terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.

Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu Bradah bersemadi sejenak mencipta dengan kekuatan ilmu aji Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti. Apabila tidak keberatan, coba persatukan pandangan bathin, apa gerangan lahir dari padanya nanti.

“Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan seraya mengumpulkan dan semusatkan bathinnya dengan ilmu aji Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya pancawarna”.

Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu, keluarlah dari dalamnya hujan bunga panca warna harum semerbak memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak, coba yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di tengah air tirtha Kamandalu asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra itu, karena kaluarnya air tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata pula: “Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya terbawah, apa gerangan keluar dari dalamnya, cobalah diterka baik – baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah itu Badawangnala lahir dari padanya”. Baru pecah telur itu, memang benar lahir seekor Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing wayang, berbulu piteala sutra yang sangat mentakjubkan. Ketika itu timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.

“Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari sejak ini sampai kemudian tidak boleh engkau bertelur dalam lautan moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu durhaka kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah sebabnya bangsa penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi ular, penyu, empas, dan kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka beliau itu turut melakukan hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang disebut Sugihan Manik atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.

Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari pulang Mpu Bradah itu ke Jawa, setelah mohon diri kepada kakaknya Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke Gelgel menju Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel, setelah mohon diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih, kemudian dari Besakih menuju Gunung Lempuyang. Setelah selesai mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah melanjutkan perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.

Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur kesejahteraan masyarakat. Lama kelamaan maka pulanglah Sang Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat Tuhan atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah lebih lanjut, anak cucu dan turun – turunan dari Sang Panca Tirtha itu semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama terhadap leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat akan datangnya hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di Besakih maka bermusyawarahlah Sang Sapta Pandita disertai oleh anak – anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan Mpu Dangka.

Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian, oleh karena Abra Sinuhun (Kawitan) kita telah pulang ke alam baka, serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila hari Purnama Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan tiba maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap Bhatara dan menghaturkan Pujawali dan Widhi – Widhana”. Jawa adik – adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat setuju pendapat paduka kakak, marilah berkemas berangkat”.

Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang, lalu para Mpu sekalian ke Besakih untuk melakukan Sugimanik di sana dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang, dari Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.

Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka mohon dirilah mereka pergi sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap – tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali menghaturkan pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa terhadap roh – roh suci leluhurnya).

Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek telah mempunyai seorang anak dewasa bernama Sanghyang Pamanca mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama Ni Dewi Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).

Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya beristrikan anaknya Ni Dewi Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.

Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan anaknya Mpu Bahula bernama Ni Ratna Dewi Sumanggali.

Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil seorang istri anaknya Mpu Bahula juga yang bernama Ni Dewi Girinatha.

Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri kepada anaknya Mpu Ciwagandu bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri anaknya Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.

Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka pun telah beristri anaknya Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.

Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama beristri mengambil dari sepupu dan dua pupu (misan dan mindon), semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya masing – masing.

Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya mengambil istri anaknya Sang Hyang Pamanca bernama Ni Ayu Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.

Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu Subrata dipakai istri Sang Kulpetak melahirkan seorang putra bernama Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga orang, seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita bernama Ni Ayu Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan oleh anaknya Mpu Pradaksa yang bernama Mpu Wirarunting, lalu berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama Mpu Wira Ragarunting.

Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu Dangka tiga orang, seorang laki bernama Sang Iradangka, dua orang wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.

Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha Jawa, semuanya taat melakukan dharma kepanditaan.

Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para Mpu pergi dari negara Daha, diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu Wiradharma, Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu dulu pergi dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di Tumapel.

Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang Kulpotak, anaknya Mpu Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma, anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka, anaknya Mpu Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju Negara Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji Harsawijaya, ketika itu mulai adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).

Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra dua orang laki perempuan yang bernama Arya Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya (cucunya) Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang Kulputih, dua orang laki perempuan yang laki bernama Wira Sang Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu Swani. Adapun anaknya Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes, yang laki – laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu Purwa beristri anak Aji Tatar berputra dua orang perempuan yang bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu Dwijaksana. Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang bernama Swani.

Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan bernama Ni Wirarunting diperistrikan oleh anaknya Mpu Pratekayadnya yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi perempuan bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang bernama Sang Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan dan adiknya Wira Kadangkan bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit, diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya Krian Gajah mada, demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan setelah meninggalnya Krian Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di Pulau Bali.

Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, di Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali mendapat keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem yang memerintahkan pulau Bali seluruhnya. Demikian permintaan Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali disertai oleh anak istri dan putranya semua.

Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura Besakih. Dengan segera memerintahkan orang – orang Bali yang berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya segera memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan terutama di Besakih. Orang – orang Bali semua dengan girang memperbaiki masing – masing terutama di Sad Kahyangan masing – masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik belang kalung.

Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang bungkem, itik belang kalung, angsa, kambing, kerbau hitam Sasih 9 ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh gentuh. Di Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun Bhatara Kabeh.

Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali menghaturkan wali di parhyangan, demikian juga di Besakih, di lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di Gelgel, dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu. Adapun Dwijaksara berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada, harumnya memenuhi taman itu, karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan suaranya mengisap bunga.

Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari Jawa telah tiba di Gelgel. Setibanya di Bali segera mengatur pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali serta mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai Agung di seluruh desa di Bali. Demikian pula yang dijaganya parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan pura – pura lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa, Pejeng, dan lainnya.

Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu – dahulu, sebagai halnya para leluhur yang telah ke alam baka dulu. Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara – saudaranya mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil seorang istri yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.

Babad Pasek 5 part 1


Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.

Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11.

Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana.

Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang.

Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya “Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.

Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: “Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.

Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.

Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.

Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya, memberikan nasehat kepada para Mpu semuanya, katanya: “Cucuku semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan yoga disana, menyertai anakku Hyang tiga itu”.

Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di lereng Gunung Tolangkir yang berlanjut timbulnya raja yang memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam selubung buah kelapa. Setelah duduk sebagai raja, digelari Shri Aji Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada dewa – dewa dan kawitan – kawitan.

Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang Bali semua, suka ria hatinya mempersembahkan Widhi – Widhana pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini berhenti dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke Besakih. Kemudian datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong, membawa sesaji untuk persembahan.

Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan sangat lengkap?”

Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi ke Pura Besakih, ke Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada Bhatari!”

Raja bersabda pula: “O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem? Apa yang engkau minta disana?”

“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman) supaya makmur dan menjadi tanam – tanaman kami dan minta keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab orang – orang Bali.

Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik: “Jika demikian halmu, aku tidak mengijinkan, jangan engkau kesana, sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak ada dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.

Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani meneruskan perjalanannya, semua kembali dengan rasa sedih. Ketika itu terjadi pada tahun Caka 896.

Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa, yang kemudian ia mohon izin pada Bhatara Pasupati untuk menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha patihnya yang bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya mengalir darah yang tiada hentinya sehingga merupakan anak kali. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai Tukad Petanu.

Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai Cetik, dahulu ketika laskar dewa - dewa dalam keadaan tertekan dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan, karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong, ketika itu mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji – panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa yang telah meninggal.

Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.

Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara Pasupati bersabda kepada para Panca Pandita, katanya: “Cucuku sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran kemoksaan dan ajaran – ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun – turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya, supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga – moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat pemujaan kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula tentang pujawalinya sampai kemudian hari”. Demikian sabda Bhatara Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha baiknya.

Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang perahu dari daun kiambang (kapu – kapu), memakai layar daun pangi, pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla) tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).

Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan, pada suatu ketika tibalah di Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan sujud menyembah lalu berkata.

“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam Parhyangan”. Mpu Genijaya mengangguk mengiakan seraya berkata “Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu tangannya dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam parhyangan lalu masing – masing duduk di tempat yang telah tersedia. Selama dalam parhyangan pendeta berkakak adik itu tiada putus – putusnya bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan filsafat mengenai Ketuhanan.

Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya pergilah Mpu Genijaya diiringi adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar. Demi terlihat oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh – gopoh menyongsong seraya menyembah, katanya: “Silahkan paduka kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.

Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik itu masuk dalam parhyangan.

“Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana. Marilah adikku berdua, bersama – sama duduk dengan kakak”!

Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing dalam parhyangan, maka mulailah pembicaraan yang mengenai ajaran kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang demikian seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.

Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh dua orang adiknya Mpu Gana dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru, bahwa kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah gembira hatinya seakan – akan mendapat percikan tirtha amertha seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah disertai dengan ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya membalas dengan weda jaya – jaya, selamat, suara genta seakan – akan kumbang mencari madu bunga. Setelah itu maka Mpu Semeru berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik berdua”. Marilah sama- sama kita duduk adik – adik sekalian, kakak mengijinkan “Jawab Mpu Genijaya”. Setelah sama – sama duduk Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru bertanya:”Kapankah kakak pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?

“Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih dulu, kemudian ke Dasar, akhirnya datang kemari”. Selanjutnya terus mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin, filsafat ke-Tuhanan, Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci (Wijaksara).

Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu patirthan Bhatara Putrajaya, lalu pendeta empat itu menghaturkan puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu dan sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.

Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya Mpu Ketek telah beristri seorang wanita anak dari Arya Padang Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sanghyang Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu Swetawijaya, telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu Wiranjana beristri dari anak Mpu Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara, berputra bernama Mpu Wiradharma.

Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya Mpu Wirarunting. Mpu Prateka mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya. Mpu Dangka beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya bernama Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan memper pula tinggi bathinnya.

Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam kitab. Diceritakan pula anaknya Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri anaknya Mpu Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua elok rupanya, namanya masing – masing ialah: Yang laki bernama Mpu Wiranaga, yang perempuan bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.

Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda raja Jirah bernama Ni Dewi Ratnamanggali. Dari perkawinan ini berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang laki – laki. Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha, yang perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi Amrtamangguli. Itulah semua keturunan Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan kawitannya. Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat Bhatara Kawitan, maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam jalan yang benar (mungpang selaku lampah) dan lagi selalu menurun derajatnya menjadi orang hina.

Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan datang menghadap kakaknya di Cilayukti, berhasrat hendak mengetahui bukti – bukti kekuasaan bathin kakaknya. Tidak direntang panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di Cilayukti dengan berperahu kayu pelud yang hanya segenggam panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya: “Adikku selamat datang, silahkan duduk”.

“Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini adalah ingin mengetahui kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu Kuturan: “Jika demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana ada seekor ayam baru bertelur tiga butir”.

“Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan mengeluarkan kekuasaan bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir telur itu datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu Mpu Kuturan tiga butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya: “Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari masing – masing telur ini?

“Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk mempersatukan ketajaman pandangan jiwanya ke dalam telur itu. Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak Pendeta, telur yang tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya angsalah yang lahir dari padanya”.

Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama antaranya, telur yang dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa dari dalamnya.

Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah ini; apa nanti lahir dari dalamnya”?

“Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya menerka telur terbawah lebih dulu. Gagak putih akan keluar dari dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak putih dari dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.

Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka lagi!”

Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua ekor naga”.

Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua ekor naga yang buas, mulutnya menganga hebat dahsyat, taringnya tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat lalu terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.

Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu Bradah bersemadi sejenak mencipta dengan kekuatan ilmu aji Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti. Apabila tidak keberatan, coba persatukan pandangan bathin, apa gerangan lahir dari padanya nanti.

“Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan seraya mengumpulkan dan semusatkan bathinnya dengan ilmu aji Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya pancawarna”.

Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu, keluarlah dari dalamnya hujan bunga panca warna harum semerbak memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak, coba yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di tengah air tirtha Kamandalu asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra itu, karena kaluarnya air tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata pula: “Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya terbawah, apa gerangan keluar dari dalamnya, cobalah diterka baik – baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah itu Badawangnala lahir dari padanya”. Baru pecah telur itu, memang benar lahir seekor Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing wayang, berbulu piteala sutra yang sangat mentakjubkan. Ketika itu timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.

“Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari sejak ini sampai kemudian tidak boleh engkau bertelur dalam lautan moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu durhaka kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah sebabnya bangsa penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi ular, penyu, empas, dan kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka beliau itu turut melakukan hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang disebut Sugihan Manik atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.

Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari pulang Mpu Bradah itu ke Jawa, setelah mohon diri kepada kakaknya Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke Gelgel menju Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel, setelah mohon diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih, kemudian dari Besakih menuju Gunung Lempuyang. Setelah selesai mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah melanjutkan perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.

Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur kesejahteraan masyarakat. Lama kelamaan maka pulanglah Sang Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat Tuhan atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah lebih lanjut, anak cucu dan turun – turunan dari Sang Panca Tirtha itu semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama terhadap leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat akan datangnya hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di Besakih maka bermusyawarahlah Sang Sapta Pandita disertai oleh anak – anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan Mpu Dangka.

Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian, oleh karena Abra Sinuhun (Kawitan) kita telah pulang ke alam baka, serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila hari Purnama Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan tiba maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap Bhatara dan menghaturkan Pujawali dan Widhi – Widhana”. Jawa adik – adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat setuju pendapat paduka kakak, marilah berkemas berangkat”.

Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang, lalu para Mpu sekalian ke Besakih untuk melakukan Sugimanik di sana dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang, dari Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.

Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka mohon dirilah mereka pergi sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap – tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali menghaturkan pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa terhadap roh – roh suci leluhurnya).

Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek telah mempunyai seorang anak dewasa bernama Sanghyang Pamanca mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama Ni Dewi Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).

Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya beristrikan anaknya Ni Dewi Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.

Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan anaknya Mpu Bahula bernama Ni Ratna Dewi Sumanggali.

Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil seorang istri anaknya Mpu Bahula juga yang bernama Ni Dewi Girinatha.

Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri kepada anaknya Mpu Ciwagandu bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri anaknya Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.

Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka pun telah beristri anaknya Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.

Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama beristri mengambil dari sepupu dan dua pupu (misan dan mindon), semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya masing – masing.

Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya mengambil istri anaknya Sang Hyang Pamanca bernama Ni Ayu Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.

Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu Subrata dipakai istri Sang Kulpetak melahirkan seorang putra bernama Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga orang, seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita bernama Ni Ayu Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan oleh anaknya Mpu Pradaksa yang bernama Mpu Wirarunting, lalu berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama Mpu Wira Ragarunting.

Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu Dangka tiga orang, seorang laki bernama Sang Iradangka, dua orang wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.

Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha Jawa, semuanya taat melakukan dharma kepanditaan.

Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para Mpu pergi dari negara Daha, diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu Wiradharma, Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu dulu pergi dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di Tumapel.

Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang Kulpotak, anaknya Mpu Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma, anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka, anaknya Mpu Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju Negara Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji Harsawijaya, ketika itu mulai adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).

Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra dua orang laki perempuan yang bernama Arya Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya (cucunya) Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang Kulputih, dua orang laki perempuan yang laki bernama Wira Sang Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu Swani. Adapun anaknya Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes, yang laki – laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu Purwa beristri anak Aji Tatar berputra dua orang perempuan yang bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu Dwijaksana. Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang bernama Swani.

Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan bernama Ni Wirarunting diperistrikan oleh anaknya Mpu Pratekayadnya yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi perempuan bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang bernama Sang Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan dan adiknya Wira Kadangkan bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit, diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya Krian Gajah mada, demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan setelah meninggalnya Krian Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di Pulau Bali.

Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, di Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali mendapat keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem yang memerintahkan pulau Bali seluruhnya. Demikian permintaan Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali disertai oleh anak istri dan putranya semua.

Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura Besakih. Dengan segera memerintahkan orang – orang Bali yang berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya segera memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan terutama di Besakih. Orang – orang Bali semua dengan girang memperbaiki masing – masing terutama di Sad Kahyangan masing – masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik belang kalung.

Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang bungkem, itik belang kalung, angsa, kambing, kerbau hitam Sasih 9 ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh gentuh. Di Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun Bhatara Kabeh.

Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali menghaturkan wali di parhyangan, demikian juga di Besakih, di lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di Gelgel, dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu. Adapun Dwijaksara berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada, harumnya memenuhi taman itu, karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan suaranya mengisap bunga.

Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari Jawa telah tiba di Gelgel. Setibanya di Bali segera mengatur pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali serta mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai Agung di seluruh desa di Bali. Demikian pula yang dijaganya parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan pura – pura lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa, Pejeng, dan lainnya.

Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu – dahulu, sebagai halnya para leluhur yang telah ke alam baka dulu. Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara – saudaranya mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil seorang istri yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.