Google+

Moralitas Hindu dalam menciptakan keharmonisan hidup

Moralitas Hindu dalam menciptakan keharmonisan hidup

Oleh Ida Bagus Wika Krisna

Om Asato mà sad gamaya
tamaso mà jyotir gamaya
Mrtyor mà amrtam gamaya
(Brhad Aranyaka Upanisad I.3.28)
Terjemahan :
Om, Tuntunlah kami dari ketidaknyataan menuju yang nyata
Tuntunlah kami dari kegelapan menuju yang terang
Tuntunlah kami dari kefanaan menuju keabadian

Siwa Ratri: Malam Peleburan Dosa atau Penyadaran Dosa?

Siwa Ratri: Malam Peleburan Dosa atau Penyadaran Dosa?

Photobucket

Om Swastyastu.
Siwaratri artinya Siwa = Tuhan/ Bhatara Siwa; ratri = malam.
Atau malamnya Bhatara Siwa/ Tuhan, saat yang tepat bagi manusia untuk merenungi kehidupan di masa lampau serta sadar/ eling pada dosa-dosa yang terlanjur, baik sengaja atau tidak sengaja telah terjadi.
Kemudian berjanji dan menguatkan tekad untuk tidak mengulangi dosa. Demikian halnya dengan kisah Lubhdaka di mana setelah siwaratri dia tidak lagi berbuat dosa.


Dapatkah Dosa Ditebus Dengan Siwaratri?

Riwayat Kasta di Bali

Riwayat Kasta di Bali
Bhagawan Dwija dari Geria Tamansari Lingga, Singaraja

Photobucket

Om Swastyastu.
Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan.

Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka menamakan tatanan itu sebagai Casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa tumbuh subur karena didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.

Para elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land lord (tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah, dan senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit.

Lama kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:
  1. Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the land lord
  2. Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris
  3. Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang diantara umat manusia
Walaupun demikian casta tidak hilang sama sekali; ia berubah wujud sebagai “Class System” yang didefinisikan sebagai: a differentiation among men according to such categories as wealth, position, and power.

Belajar dari Lakon Dewa Ruci

Belajar dari Lakon Dewa Ruci
Oleh : Miswanto

Photobucket

Lakon Dewa Ruci dalam kesusastraan Jawa ditulis dalam beberapa sumber pustaka seperti "Nawaruci", "Dewa Ruci" dan "Bimo Suci". Menurut Seno Sastroamidjojo (1967) babon cerita Dewa Ruci itu berbahasa Jawa kuno atau Kawi, tertulis pada rontal. Tan Khoen Swie (1923) menyebutan bahwa cerita Dewaruci yang asli itu digubah dalam bahasa Kawi oleh Mpu Wijayaka di Mamenang, Kediri atau lebih terkenal dengan Ajisaka yang pada waktu kecilnya bernama Jayasengkala, salah seorang putra Mpu Anggojali.

Sementara itu dalam disertasinya, Priyohutomo menyebutkan bahwa Serat Dewaruci ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang penggubah.

Dari beberapa sumber pustaka tersebut pada intinya sama, yakni mengenai perjalanan Bima mencari Tirtha Pawitra atau Tirtha Perwita Sari guna mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnaning agesang). Dari beberapa sumber sebagaimana telah disebutkan di muka, maka dapat disajikan cerita Dewaruci tersebut sebagai berikut.

Atas permintaan para Korawa, Guru Drona memasang muslihat untuk melenyapkan Bima dengan menugasinya mencari Tirtha Pawitra sebagai sarana pembuka pengetahuan sejati yang bertempat di hutan Tibrasara di Gunung Candramuka. Setelah mengirim barisan-pendem untuk mencelakakan Arya Sena, Suyudana pulang ke Astina dan menemui Permaisurinya Dewi Banowati dan putrinda Leksmanawati. Sementara Patih Sakuni dan Kurawa lengkap berangkat berkuda.

Pada saat yang bersamaan di Sapta Pratala, Bhatara Anantaboga dan Dewi Suparti menerima sasmita dewata bahwa Bima menantu mereka akan menerima cobaan. Sang Dewi Suparti segera silih warna atau berubah wujud sebagai naga berangkat untuk membantu sang menantu.

Di perjalanan bersua para kurawa dan bertempur, namun para kurawa segera menyimpang jalan setelah diganggu oleh Naga jelmaan Dewi Suparti. Naga jelmaan segera melanjutkan langkah dan bertapa di gua Sigrangga di Sapta Arga. Rsi Abhyasa sedang dihadapkan pada Arjuna dan para Punakawan yang melaporkan bahwa Arya Sena hendak dicelakai Danghyang Drona. Rsi Abhyasa menyuruhnya mencegah, namun bila berkeras, doakanlah agar semua langkahnya membawa hasil sepadan.

Di tengah rimba dalam perjalanan pulang, Arjuna dan Punakawan bertemu sepasang macan, sang Kesara dan sang Kesari. Kedua harimau tersebut ditewaskan dan kemudian lenyap menjadi Bhatara Brahma dan Dewi Saraswati. Brahma memberi wangsit bahwa Bima akan memperoleh anugrah. Setelah menyampaikan wangsit itu Brahma dan Sang Dewi kembali ke Kahyangan Brahma (mur ring brahmaloka).

Sementara itu di Amarta sedang ada pertemuan antara Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa dan Kresna. Prabu Kresna yang ada di sana ikut menahan Bima agar membatalkan niatnya. Namun Bima berkeras bahwa mencari Tirtha Pawitra di Gunung Candramuka adalah bukti baktinya pada Dang Guru Drona serta demi mengejar pemahaman inti pengetahuan sejati. Di tengah Pasewakan tersebut Arjuna datang dan melaporkan semua yang diketahuinya, Arya Sena tetap tidak bisa ditahan dan pamit berangkat.

Sesampainya di Gunung Candramuka, Sang Sena bertindak membabi buta. Segala bukit batu dan pohon besar dibongkar berantakan. Namun apa yang dicari tetap tak ketemu juga. Rukmuka dan Rukmakala, sepasang raksasa di Gunung Candramuka murka melihat Arya Sena membongkar hutan semena-mena. Pertarungan pun tak terelakkan dan kedua raksasa itu musnah kembali ke wujud semula, yakni Hyang Indra dan Hyang Bayu. Keduanya kemudian memberikan Ajian Jalasengara dan Senjata Eka Druwendra.

Jalasengara adalah kemampuan memasuki air tanpa kesulitan. Kedua dewa tersebut juga memberi wisikan pula bahwa sebenarnya permintaan Drona hanyalah tipu daya. Namun semua usaha yang dilakukan secara bersungguh-sungguh senantiasa akan berbuah sepadan.

Sang Bima segera kembali ke Astina untuk menanyakan pada Sang Guru. Sekembalinya di Astina, Drona memberitahu bahwa tugas terdahulu hanyalah penguji tekad muridnya. Tempat yang sebenarnya adalah di tengah samudra. Bima segera kembali ke Amarta untuk pamit kedua kalinya. Di Amarta kembali semua sanak saudara menahan kepergian Bima. Namun sekali lagi Bima tak bisa ditahan dan berangkat dengan segera.

Di tengah perjalanan ketika di Gua Sigrangga Bima disambar oleh Naga Suparti. Mereka pun terlibat pertarungan. Naga kalah dan kembali ke wujud aslinya. Kemudian membisikkan tentang muslihat Drona. Namun jangan menurunkan semangat bukti bakti sang menantu agar tetap memperoleh anugrah. Atasnya Sang Sena diminta segera meneruskan ke samudera lalu lenyaplah Sang Dewi dan byar, Arya Sena sudah berada di tepian samudra.

Dengan benak hanya terisi satu tujuan menaati permintaan guru Drona sang Bima mencebur ke tengah samudera. Ombak menyaput sampai ke leher dan kepala. Termangu sejenak sang Bima membayangkan ancaman maut. Namun teringat pada aji Jalasengara pemberian dewata, maka Bima pun masuk ke dalam Samudra dengan mudah.

Seekor Naga Raksasa, Sang Nemburnawa, datang menghadang, maka pertarungan pun tak dapat dielakkan. Pertarungan di air ini membuat seisi samudera bergolak. Namun akhirnya sang Naga tewas oleh Kuku Pancanaka. Samudera kembali hening tenteram sunyi.

Tak lama kemudian tampaklah seorang anak bajang di atas air melambaikan tangannya pada Bima agar menghampiriNya. Dia adalah Dewa Ruci yang bersinar seperti Hyang Surya. Dia juga disebut Sang Marbudyengrat yang kala itu juga menyerupai wujud Bima. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah tembang Maskumambang sebagai berikut : Dewa bajang peparap sang dewa Ruci, Sang Sena angus..wa, Pawongan sakawit swawu, Sang Hyang Ruci….i..Baskara.

Terkejutlah Sang Arya Sena melihat Dewa Bajang itu. Setelah terlibat pembicaraan denganNya, Bima lebih terkejut lagi karena Dewa Bajang ini tahu semua tentang dirinya. Dia juga tahu tentang maksud dan tujuan kedatangannya ke tempat itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi dalam hati Bima, Dewa Bajang itu menyuruhnya untuk masuk ke dalam dirinya. Awalnya Bima tidak percaya bahwa dia yang sebesar itu bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang berwujud anak kecil tersebut.

Namun ketika Sang Dewa Ruci memperlihatkan wujud asliNya, maka Sang Bima bagaikan mengecil dan seketika itu Sang Bima masuk kedalam tubuh Sang Dewa Ruci melalui telinga kiri Sang Dewa Ruci yang telah terangsur ke arahnya. Dengan kekuatan Dewata maka Bima berada di dalam tubuh Sang Dewa Ruci.

Tatkala berada di dalamNya, Sang Bima bisa melihat seluruh alam semesta ada di dalamNya. Di sana Sang Bima juga melihat keajaiban-keajaiban Tuhan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Sang Bima juga dapat melihat sinar-sinar kekuatan Dewata yang belum pernah dilihatnya di dunia fana. Di sana pula Sang Bima mendapatkan wejangan-wejangan dari Sang Dewa Ruci tentang ngelmu kasunyatan di mana manusia harus bisa menjalani mati sajroning urip dan urip sajroning mati.

Setelah selesai memberikan wejangan kepada Bima, Sang Dewa Ruci merangkul Sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya. Seketika wajah Sang Sena menerima wahyu kebahagiaan bagaikan kuntum bunga yang telah mekar menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta dan blassss…! sudah keluarlah Sang Bima dari raga Dewa Ruci, Sang Marbudyengrat kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa Sang Dewa Ruci. Sang Bima melompat ke daratan dan melangkah kembali siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.

Cerita Dewa Ruci tersebut adalah gambaran bagi manusia agar mempunyai rasa bhakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang sisya yang tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bersinar di masyarakat. Gambaran tentang bhakti kepada guru tersebut juga disuratkan dalam Bhagawad Gita IV.33 : tat widdhi pranipatena pariprasnena sewaya, upadeksyanti te jnanam jnaninas tattwa darsinah (Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan; orang bijak yang telah melihat kebenaran mengajarimu dalam ilmu pengetahuan).

Namun ada juga yang menyebutkan bahwa cerita Dewa Ruci ini merupakan peringatan bahwa dalam berbakti janganlah membabi buta. Sisya harus bisa berbakti secara cerdas dengan kemauan yang keras namun tetap didasari oleh hati yang ikhlas. Lebih-lebih dalam jaman seperti ini, banyak guru yang hanya mengaku-ngaku. Hal inilah yang kemudian menjadikan sebuah plesetan untuk guru, yaitu "guru, yen digugu ngajak turu (guru kalau dituruti mengajak tidur)".

Sumber: mediahindu.net/index.php/berita-dan-artikel/artikel-umum/1-belajar-dari-lakon-dewa-ruci.html

Hindu terbukti BENAR

Hindu terbukti Benar-benar dating dari Tuhan
Oleh : Sri Jahnava Nitai Das

Photobucket

Sejauh kita perhatikan dalam sejarah, Hindu Dharma tidak memiliki satu pendiri seperti agama-agama lain. Pustaka-pustaka suci kuno India (Veda) menyatakan bahwa dharma ini sesungguhnya didirikan atau berasal langsung dari Tuhan Sendiri (dharman tu saksad bhagavad pranitam). Dari sudut pandang kitab suci, ‘agama’ atau dharma ini termanifestasi bersamaan dengan setiap kali penciptaan oleh kehendak Tuhan. Setelah penciptaan siklik dari alam semesta yang menjadi tempat kita hidup saat ini, Tuhan Tertinggi yang disebut sebagai Narayana dalam Veda, mengajarkan dharma kepada Brahma, insan pertama di alam semesta. Brahma kemudian mengajarkannya kembali kepada putra-putranya, salah satunya adalah Narada, yang kemudian menyampaikannya lagi kepada Vyasa Mahamuni. Dengan cara inilah dharma yang purba ini diturunkan melalui sebuah rangkaian garis perguruan yang bermula langsung dari Tuhan melalui jutaan tahun yang tak terhitung lamanya.

Dengan demikian agama yang bersumber dari Veda ini dikenal sebagai sanatana-dharma, atau agama yang kekal, karena ia melampaui segala konsep ruang dan waktu buatan manusia. Kita tidak boleh bingung antara sanatana dharma dengan keyakinan agama lain yang bersifat sektarian, karena sanatana dharma ini sungguh-sungguh merupakan fungsi yang asli dari sang jivatma, sebagaimana sifat cair tidaklah dapat dipisahkan dari air.

Nama atau kata modern Hinduisme atau agama Hindu, merupakan istilah yang baru saja dikembangkan pemakaiannya kira-kira 700 tahun yang lalu oleh penjajah Muslim di India. Ada sebuah sungai yang disebut Shindu, yang salah disebut oleh para penjajah ini sebagai Hindu. Semua orang yang tinggal di seberang sungai itu, tak peduli apapun keyakinannya, disebut oleh mereka orang-orang Hindu. Ajaran-ajaran suci dan nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang ‘Hindu’ ini secara mudah juga mereka sebut agama Hindu, untuk membedakannya dari keyakinan yang mereka anut. Sehingga tentu saja salah apabila kita menyimpulkan bahwa ada kemungkinan kita dapat melacak sejarah awal agama kuno India berdasarkan penggunaan kata ini dalam sejarah. Kita harus mengetahui bahwa dalam kitab-kitab suci ‘Hindu’ yang purba ini tak dapat ditemukan satu kata Hindu pun. Namun kita menemukan kata sanatana-dharma (dharma yang kekal), vaidika-dharma (dharma dari Veda), bhagavata-dharma (dharma yang berasal dari Tuhan), dan sebagainya.

Dharma ini senantiasa segar dan abadi. Artinya dia tidak pernah ketinggalan jaman dan ada untuk selamanya. Dijelaskan dalam sastra suci Veda bahwa kapanpun dharma ini melemah atau bahkan lenyap, maka Tuhan Sendiri akan turun membangunnya kembali. Salah satunya adalah ketika Beliau turun sebagai Sri Krishna 5000 tahun yang lalu. Beliau menegakkan kembali dharma dengan memusnahkan berbagai kekuatan jahat dan menyabdakan kembali Bhagavad-gita di tengah medan perang Kuruksetra. “Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata abhyutthanam adharmasya tadatmanam srijamy aham,” Kapanpun prinsip-prinsip dharma mengalami kemunduran dan adharma merajalela, pada saat itu Aku (Tuhan) sendiri turun untuk menegakkannya kembali” (Bhagavad Gita 4.7).

Dalam sejarah Veda, ada tak terhitung banyaknya orang-orang suci yang datang dan menyebarluaskan ajaran-ajaran rohani yang terkandung dalam Pustaka Suci Veda, tetapi tak satupun dapat disebut sebagai pendiri agama. Masing-masing adalah murid (sishya) dari seorang guru dan masing-masing juga menyampaikan pengetahuan yang sama sebagaimana diajarkan oleh gurunya terdahulu. Inilah sistem Veda, tidak ada pendiri, karena setiap orang pertama-tama dan utamanya adalah seorang murid. Dharma tidak bisa dibuat manusia, diawali oleh manusia, atau bahkan oleh makhluk-makhluk lain yang lebih dari manusia. Dharma dijelaskan sebagai ajaran dan petunjuk langsung dari Tuhan, “dharman tu saksad bhagavad pranitam.” Dharma ini tidak bermula dari makhluk fana apapun (apauruseya).

Bagaimana kita bisa yakin bahwa ajaran Hindu yang bersumber pada Veda ini sungguh-sungguh berasal dari Tuhan? Mudah saja, pertama tidak ada yang bisa membuktikan kapan Veda bermula. Veda sanatana, kekal abadi, anadi dan ananta, tiada awal dan akhirnya, karena Veda merupakan sabda-brahma yang memancar (nigama) langsung dari Tuhan Yang Maha Esa, yang juga adalah sanatana, anadi, dan ananta. Kedua, Veda merupakan apauruseya, tidak berasal dari makhluk fana. Tidak satu agamapun yang bisa mengatakan ajaran atau kitab sucinya apauruseya, semua agama lain terbukti memiliki nabi yang mengawali berdirinya agama itu. Ketiga, hanya dalam Veda Tuhan Sendiri berjanji untuk menjaga dharma ini secara langsung. Beliau Sendiri bersedia menyisihkan keagungan-Nya (paratva) untuk turun ke dunia menyelamatkan Veda-dharma. Beliau sungguh-sungguh menunjukkan betapa besar kasih sayang-Nya (vatsalyatva) bagi pengikut Veda. Untuk mereka Beliau menyediakan Diri-Nya untuk mudah didekati (saulabhya) dan dapat bekerja sama dengan mereka menjaga dharma (sausilya).

Dalam agama lain, ajaran seperti ini tidak ada. Secara logika (anumana) kita bisa menyimpulkan bahwa tuhan yang dipuja di sana bukanlah Tuhan Sejati, karena tuhan itu tidak mampu turun ke dunia. Apapun alasannya, apabila ada yang tidak bisa dilakukan oleh suatu Ada/Being (vastu), maka pastilah itu bukan Tuhan. Bagaimana mungkin ada tuhan yang tidak mampu melakukan sesuatu? Kemudian andaikata yang dipuja itu adalah Tuhan Sejati yang disebutkan juga dalam Veda, maka Tuhan menganggap selain Vedadharma tidak pantas atau tidak cukup layak mendapatkan perhatian yang besar. Buktinya Beliau tidak bersedia secara langsung turun ke dunia menjaga dharma non-vedik itu.

Hanya dari tiga kenyataan ini saja kita sudah mampu melihat bahwa Vedadharma ini memang sungguh-sungguh berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Sebenarnya lebih mudah membuktikan keabsahan Veda dibandingkan ajaran-ajaran agama bernabi. Siapa bisa menjamin kalau manusia-manusia yang disebut nabi, yang lahir tidak lebih dari beberapa ribu tahun yang lalu itu, memang benar menerima wahyu dari Tuhan? Mereka hanya membawa suatu ajaran yang berasal entah dari mana dan bersifat eksternal (external unknown source). Mereka memaksa suatu masyarakat berubah di bawah ancaman dan hukuman. Berbeda dengan para Maharishi Veda. Para Maharishi menyatakan bahwa mereka hanyalah menyampaikan dharma yang kekal, dharma yang terkandung dalam diri sejati kita. Mereka hanyalah berusaha mengembalikan apa yang sesungguhnya memang milik kita, menyatu dengan jati diri kita yang asli. Para Maharishi tidak datang untuk sekedar menyuruh kita tunduk kepada Tuhan dan diri mereka sebagai utusan-Nya. Beliau-beliau ini hanya menyatakan diri sebagai orang yang lebih dahulu menginsafi Brahman Tertinggi, kemudian mengajak kita untuk turut mengalami sendiri potensi tak terbatas kita dalam berhubungan dengan Brahman. Ajarannya merupakan cara kita melatih diri menginsafi dharma sejati kita. Inilah yang menjadi dasar ajaran rohani yang kini disebut Hindu itu.

Sri Jahnava Nitai Das adalah editor Buletin Tattvaprakash dan mengelola forum diskusi sanatana-dharma di internet, dari Bhaktivedanta Ashram and Bhaktivedanta International Charities, Bhadrak, Orissa, India.

sumber: mediahindu.net/index.php/berita-dan-artikel/artikel-umum/5-hindu-terbukti-benar.html