Adapun beliau Arya Wayahan Dalem Manyeneng putra tertua dari Sri Jayakatha keturunan arya kediri, memiliki putra dua
orang laki-laki, yang sulung bernama
- Arya Gajah Para
- Arya Getas
Permulaan cerita disusun dalam silsilah, berkat jasa
beliau seorang brahmana pendeta sakti, beliau bergelar Wayahan Tianyar, yang
berasrama di Griya Punia, atas dorongan Kyayi I Gusti Ngurah Tianyar, pemimpin
di utara gunung, keturunan beliau Jaya Katong dari Kediri, itulah sebabnya sang
pendeta sakti, menulis tentang silsilah , telah dimuat dalam tulisan sesuai
dengan bahasa dalam babad Jawa.
Adapula diceritakan, bernama Kriyan Patih Gajah Mada,
memanggil Arya Damar, atas titah dari maha raja Pulau Jawa, melaksanakan empat
daya upaya, menyerang kerajaan Bali, setelah siap perbekalan dan kendaraan,
segeralah beliau berangkat ikut pula para Arya semua, para perwira dan menteri
berkelompok-kelompok menaiki perahu, disertai pula prajurit beliau, tepi laut
Bali dikelilingi oleh musuh, para Arya itu dibagi-bagi oleh Kriyan Patih Mada,
utara, timur, barat selatan semuanya penuh, penuh sesak di pantai laut, yang
masing-masing menempati posisinya, ditambatkan perahunya.
Adapun beliau Arya Gajah Para, beserta saudara beliau
Arya Getas, disertai oleh Arya Kutawaringin yang cekatan, diikuti oleh
Jahaweddhya, para gusti dari Majapahit, seperti tiga patih bersaudara, yang
bernama Tan Kawur, Tan Mundur, dan Tan Kober. Beliau tiga bersaudara
menambatkan perahu layarnya di pelabuhan Tejakula, yang menyerang dari barat
Toya Anyar.
Desa-desa menjadi kacau balau, semuanya yang ada di
kerajaan Bali, sangat ramai pergulatan perang itu, memarang diparang, kacau
balau, banyak rakyat yang tewas, dan menderita, karena keperkasaannya serangan
dan Pulau Jawa. Dengan sekejap kalah pasukan Maharaja Sri Bhedamuka (Bedahulu),
amat panjang tidak diceritakan dalam buku ini.
Sementara setelah gugurnya maharaja Bhedamuka, para Arya
itu semua kembali, menuju Majapahit, keadaan Pulau Bali menjadi sunyi senyap,
karena belum ada yang memimpin Bali, demikian.
Setelah sekian lama datanglah Sri Kresna Kepakisan,
dinobatkan menjadi raja di Pulau Bali. Diikuti oleh semua Arya, Arya Kepakisan,
Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Kanuruhan, lagi
beliau Arya Wang Bang, Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur, yang terakhir Arya
Kutawaringin semua mengiringi sebagai para perwira menteri, Beliau Arya
Kutawaringin, menjadi kepala penasehat pasukan tinggi tersebut.
Sesampainya Sri Maharaja Kapakisan, dinobatkan menjadi raja
Pulau Bali, orang- orang dusun ada yang tidak mau menghormati ( tunduk ), yang
di sebelah utara gunung Agung, oleh karena tidak ada pemimpin yang disegani
yang datang di sana. Demikian cerita berakhir.
Kemudian kembali diceritakan, beliau Arya Gajahpara,
bersama saudara beliau Arya Getas didesak oleh raja, sebagai mahapatih raja
yang ada di Bali. Beliau menurut ( menyerah ), karena ingat dengan kewajiban
sebagai seorang anak, tidak pantas melawan perintah orang tua, demikian motto
kepemimpinan beliau, dengan tetap pula melaksanakan keperwiraan utama dan
keadilan, kedua Arya tersebut diberikan istri, juga merupakan putra Arya.
Tetapi di sana para Arya itu segera diajar tentang kewajiban dan tingkah laku
seorang kesatria, oleh ayah beliau, untuk tetap melaksanakan cita-cita
kewajiban seorang pahlawan (pemberani).
Setelah demikian, kedua Arya itu menyembah dan mohon
pamit, berdiri dan segera berangkat. Sekejap telah sampai di pantai laut,
segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar hilir mudik, setelah melewati
pertengahan laut, selanjutnya, berlabuhlah beliau di daerah Pulaki, barat daya
Pulau Bali, beliau menumpang di rumah I Gusti Bendesa Pulaki, yang merupakan
keluarga keturunan Bendesa Mas.
Sangat senang hati I Gusti Bendesa, tulus hatinya dan
sangat ramah tamah sambutannya, hormat terhadap kedua Arya itu, seperti
berbunga-bunga hati sang tuan rumah, lengkap dengan jamuan penyambutan I Gusti
Bendesa Pulaki. Di sana beliau menginap dua malam.
Pagi-pagi pergilah kedua Arya tersebut, diantar oleh I
Gusti Bendesa, tujuannya untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di
Samprangan. Tidak habis jika diceritakan perjalanan kedua Arya tersebut,
diantar oleh beliau I Gusti Bendesa.
Segera tiba di penghadapan, beliau langsung mendekat dan
menghadap pada baginda raja. Tak lama antaranya kedua Arya tersebut dipandang
oleh sang raja, dengan sopan dan tulus sembah kedua Arya tersebut, demikian
pula I Gusti Bendesa, menimbulkan kekaguman setiap yang melihat, orang yang
berada di tempat penghadapan, oleh tingkah laku yang baik kedua Arya itu.
Ada petunjuk dari sang raja, terhadap kedua Arya,
dinobatkan menjadi patih oleh beliau raja penguasa, bertempat di sana di
sebelah utara Tohlangkir, bermukim di Sukangeneb penyerangan beliau Mada untuk
membunuh raja Bedha Murdhi ( Bedahulu ), kalahnya Pulau Bali oleh Majapahit.
Menjadi patuhlah Arya itu, dengan segera ditutuplah penghadapan raja.
Setelah itu mohon pamitlah beliau pada Sri Maharaja, dan
permohonannya dikabulkan, kedua Arya itu berjalan menuju ke utara, diiringkan
oleh rakyat sebanyak lima puluh orang, menuju Sukangeneb Toya Anyar.
Setibanya di sana, segera beliau membangun rumah,
tenanglah penduduk sebelah utara gunung Agung itu, batas sebelah timurnya
adalah Basang Alas, sebelah baratnya sampai di Tejakula, sebelah utaranya
sampai di desa Got, demikian batas wilayah kerja beliau, wilayah pemerintahan
Arya Gajah Para, berdua beserta saudara beliau.
Beberapa lama kemudian beliau Arya Gajahpara berdua
bersama saudara beliau, hidup di Sukangeneb Toya Anyar, beliau berdua sama-sama
memiliki putra. Adapun putra beliau Gajah Para tiga orang laki-laki dan
perempuan
- I Gusti Ngurah Toya Anyar,
- I Gusti Ngurah Sukangeneb
- Ni Gusti Luh Raras, diambil dijadikan istri oleh beliau Sri Raja Wawu Rawuh (Sri Aji Kuddha Wandira / Sri Kresna Kepakisan), untuk sementara tidak diceritakan.
Beliau Arya Getas yang diceritakan sekarang, berputra dua
orang laki-laki, yang tertua bernama
- I Gusti Ngurah Getas
- I Gusti Kekeran Getas.
Adapun beliau Arya Getas, setelah berputra dua orang
diadu oleh Sri Maharaja, disuruh menyerang daerah Selaparang, karena beliau
menguasai empat daya upaya yang licin, diikuti oleh seribu enam ratus orang
bawahannya, setelah semua lengkap dengan perbekalan dan kendaraan, menjadi
penuhlah desa-desa pesisir di sepanjang pantai, beliau bersama semua rakyatnya
hilir mudik menaiki perahu.
Setelah itu berhasillah beliau berlabuh di tepi pantai
Selaparang, turun dari perahu, berjalan beliau Arya Getas. Rakyat Selaparang
menjadi terdiam, oleh karena beliau ( Arya Getas ) berhasil memasang empat daya
upaya yang licin, beliau langsung menerobos memasuki semua desa, orang-orang
yang berada di Praya semua diam, semua memberi hormat kepada Arya Getas, itu
sebabnya ( beliau ) tinggal di Praya sampai sekarang dan mengembangkan
keturunan.
Diceritakan kedua putra beliau yang tinggal di Sukangeneb
Toya Anyar, sama-sama mengembangkan keturunan, telah tercatat.
Kembali diceritakan, tersebut I Gusti Ngurah Sukangeneb,
pindah ke arah barat, diikuti oleh rakyat dengan tiba-tiba, terlunta-lunta
perjalanan beliau, sampai tiba di desa Pegametan, bergegas penduduk di sana,
disambut oleh I Gusti Bendesa Pegametan, keturunan dari Bendesa Mas, senang
hati I Gusti Bendesa sama-sama memohon maaf dengan tulus dan sopan, tidak
beberapa lama masuklah di sana I Gusti Ngurah Sukangeneb, bergandeng tangan
dengan I Gusti Bendesa, yang menjadi penguasa di Pegametan, masuk ke dalam
Puri, duduk di beranda rumah, beliau sama-sama senang saling bertukar pikiran
dan berunding, tidak diceritakan jamuan beliau I Gusti Bendesa. Karena saling
mengasihi dari dulu.
Waktu telah berlalu, sekarang I Gusti Ngurah Sukangeneb,
beliau berdiam di Pegametan, menyebabkan I Gusti Bendesa menjadi akrab, dengan
I Gusti Sukangeneb. Oleh karena itu dijadikan menantu laki oleh I Gusti
Bendesa.
Permintaan I Gusti
Bendesa agar I Gusti Ngurah Sukangeneb dikawinkan dengan I Gusti Kekeran, I Gusti Getas, dinikahkan pada hari, Senin Umanis, Wuku
Tolu, tanggal empat belas hari terang bulan, sasih kelima ( sekitar Nopember )
pada tahun Saka 1560 ( 1638 M).
Tidak diceritakan perkawinan beliau, pada akhirnya beliau
mempunyai dua orang putra, laki-laki,
- I Gusti Gede Pulaki
- I Gusti Ngurah Pegametan.
Selanjutnya kembali diceritakan, tersebutlah I Gusti
Ngurah Toya Anyar, ada saudara beliau, laki-laki dua orang dan perempuan
seorang.
- I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menggantikan ayah beliau Arya Gajah Para, yang ketiga mengambil istri I Gusti Ayu Diah Wwesukia,
- I Gusti Ngurah Kaler, kawin dengan I Gusti Diah Lor.
- I Gusti Luh Tianyar, dijadikan istri oleh Pendeta Sakti Manuaba.
Adapun I Gusti Ngurah Getas, dan I Gusti Ngurah Kekeran
Getas, beliau tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, beliau sama-sama mengembangkan
keturunan.
Kemudian kembali dikisahkan, diceritakan I Gusti Ngurah
Tianyar, beliau yang dinobatkan menjadi tetua di Toya Anyar, generasi ketiga,
putra beliau yang seibu yaitu I Gusti Ayu Diah Wwesukia:
- I Gusti Gede Tianyar, yang selanjutnya berdiam dan memiliki keturunan di Kebon Culik,
- I Gusti Made Tianyar, yang kemudian tinggal dan berkembang di Sukangeneb Toya Anyar
- I Gusti Nyoman Tianyar, beliau ( yang ) lahir di Desa Pamuhugan, tidak berbeda seperti leluhur beliau dahulu, janin itu selamat dalam rahim ibunya yang sangat setia kepada suaminya, berkat anugerah beliau sang raja penguasa di Gelgel, ketiganya itu diijinkan kembali ke Toya Anyar.
Sekarang kembali diceritakan I Gusti Ngurah Kaler,
mempunyai empat orang putra dari seorang ibu lahir dari I Gusti Ayu Diah Lor:
- I Gusti Gede Kaler, pindah menuju desa Antiga, berdiam di sana dan mengembangkan keturunan,
- I Gusti Made Kekeran, pindah menuju Desa Kubu, berkembang di sana.
- I Gusti Nyoman Jambeng Campara, pindah ke Desa Sukadana Tigaron, menetap dan mengembangkan keturunan di sana
- I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, beliau dijuluki Ubuh, karena ayahnya meninggal pada saat masih dalam kandungan ibunya Sang Diah yang setia terhadap suami, akhirnya tinggal dan mengembangkan keturunan di Tanggawisia.
Cerita kembali lagi, pada I Gusti Gede Pulaki, diambil
anaknya I Gusti Bendesa Pulaki, dikawinkan menjadi istri bernama I Gusti Luh
Mas. I Gusti Gede Pulaki, tinggal di desa Pulaki, putra beliau laki-laki,
terlanjur sudah, beliau meninggal. Sedih hatinya I Gusti Gede Pulaki. Selanjutnya I Gusti Ngurah Pegametan, beliau tinggal di
desa Pegametan.
Diceritakan sekarang Danghyang Nirartha, adik dari Mpu
Angsoka, putra dari Hyang Danghyang
Asmaranatha, beliau menemukan kemurahan batin, datang di Bali, menaiki buah
labu (waluh kele), dan sampan yang bocor, mendarat di tepi pantai Purancak,
mampir di pondok I Gusti Gede Pulaki, beserta putra beliau semua. Ada putra
Batara Nirartha, laki perempuan lahir dari golongan Brahmana Keturunan Daha,
yang sulung sangat cantik dan parasnya menawan, tidak ada yang menyamai di
dunia, harum semerbak baunya. Adiknya bernama Pedanda Kemenuh, lagi pula ada
saudara beliau seorang perempuan, menikah dengan Mpu Astamala beliau dari
Aliran Budha
Ada pula anak beliau yang lahir dari putri Brahmana dari
Pasuruhan, empat orang laki-laki, tertua Pedanda Kulwan, Pedanda Lor, Pedanda
Ler. Ada lagi putra dari Pedanda Batara Nirartha, laki perempuan, ibunya dari
golongan Kesatria saudara dari Dalem Keniten Blambangan, bernama Patni Keniten.
Istri Pedanda Rai, pendeta perempuan tidak bersuami, Pedanda Telaga, Pedanda
Keniten.
Kembali lagi pada cerita, Danghyang Nirartha, berada di
pondok I Gusti Gede Pulaki, disambut dan diterima oleh I Gusti Gede Pulaki,
beliau berucap "Aum-aum hamba
sangat bahagia atas kedatangan sang pendeta, apa tujuan tuan pendeta, katakan yang sebenarnya",
Danghyang Nirartha menjawab, "Aum Ngurah Gede Pulaki, tujuan saya datang padamu, maksud saya untuk menyembunyikan putraku sekarang, takut saya jika ia datang di
kerajaan menghadap pada raja, karena
harum semerbak bau tubuhnya, juga sangat cantik paras mukanya, maksud saya
sekarang untuk menyatukan kembali ke alam sepi (alam gaib), I Gusti Gede Pulaki
menyetujui dan berkenan mengantar,
seraya memohon ikut ke alam gaib ia bersedih dan berduka karena terputus
keturunannya, tidak ada lagi putranya, diam ( lah ) Batara Nirartha, memikirkan
perasaan hati I Gusti Gede Pulaki. Maka bersabdalah Batara Nirartha, sabdanya,
"Duhai Ngurah Pulaki, apa sebabnya demikian, menjadi sangat sedih perasaan hatimu, janganlah engkau
demikian". Bersikeras I Gusti Gede Pulaki, memohon restu, agar ia
mengiringkan menuju alam gaib. Dengan demikian dikabulkan semua perkataan I
Gusti Gede Pulaki, bersama putra beliau, beserta semua prajuritnya mengiringkan
putra beliau (Batara Nirartha) tidaklah nampak lagi di alam nyata oleh semua
orang.
Diceritakan sekarang berhubung dipenuhinya permintaan I
Gusti Ngurah Pulaki, senanglah hati beliau, maka menyiapkan prajurit, kemudian
disuruh membuat upacara selamat, di Pura Dalem, lengkap dengan sanggar cucuk,
masing-masing pasukannya disuruh untuk memasang di pintu masing-masing, pada
hari Kamis Kliwon, lengkap dengan sesajennya. Dengan sekuat tenaga Batara
Nirartha, melakukan yoga smertti, terhadap Batara Berawa, beserta penghormatan
dan permohonan, kemudian dianugerahi beliau oleh Batara sarana untuk tidak
tampak di alam ini, oleh semua orang.
Segera setelah itu ada terlihat tabung bambu kuning bergelayutan, tanpa
gantungan, dari dalam sebuah tempat pemujaan di kahyangan ( pura ), tidak lama
kemudian keluar baju loreng, dari lubang
tabung bambu kuning tersebut. Segera diambil baju itu oleh semua orang. Demikian pula I Gusti
Ngurah Pulaki, sama-sama disuruh mengenakan pakaian itu, masing-masing sebuah,
di sana orang-orang itu semua dan I Gusti Ngurah Pulaki, segera berubah wujud,
menjadi harimau, desa tempat tinggal itu, hilang tidak tampak di alam ini.
Adapun putra beliau Batara Nirartha, secara gaib menyatu
di alam tidak tampak, berdiam di Mlanting, di puja oleh orang yang tidak
kelihatan (samar), sampai sekarang.
Cerita kembali lagi, waktu I Gusti Ngurah Pulaki, memohon
berubah wujud menyatu dalam alam tidak
tampak mengikuti Batara di Mlanting, I Gusti Ngurah Pegametan, sedang tidak ada
di rumah, beliau pergi mengunjungi Bendesa Kelab, yang berada di Jembrana.
Beberapa hari berada di sana, kembali pulang dia ke
Pulaki, bersama semua pengiringnya, tidak diceriterakan dalam perjalanan,
segera sampai di perbatasan desa, kaget perasaannya I Gusti Ngurah Pegametan,
karena tidak seperti sedia kala, bingung perasaan I Gusti Ngurah Pegametan
"Wahai saudaraku, apa sebabnya tidak tampak olehku
penduduk desa itu, tidak seperti sedia kala tempat tinggal desaku saat ini
".
Kemudian terdengarlah suara-suara binatang bercampur
dengan suara harimau, mengaum ribut
tiada tara. Terkejut perasaan I Gusti Ngurah Pegametan, tidak kepalang tanggung
hati I Gusti Ngurah Pegametan, ingin mengadu keberaniannya, beliau marah dan
mengumpat-umpat, ujarnya " Hai engkau harimau semua, tampakkanlah wujudmu,
hadapi keberanianku sekarang.
Segera I Gusti Ngurah Pegametan melangkah, tidak
kelihatan yang bersuara gemuruh itu, kemudian beliau berjalan hendak meninjau
Toya Anyar. Berjalan beliau bersama prajurit, sampai tiba di Rajatama,
perjalanannya diikuti oleh wujud yang maya itu, sekilas tampak berupa harimau,
semua pengikut itu perasaannya menjadi takut, semakin mendekat harimau itu,
perilakunya seperti orang menghormat, menunduk pada I Gusti Ngurah Pegametan,
kemudian mengumpat serta menghunus keris. Jadi hilang rupa bayangan itu,
segeralah beliau melanjutkan perjalanan.
Tidak diceritakan desa yang telah dilewati, orang-orang
yang mengiringinya, diceritakan sekarang telah sampai di desa Wana Wangi,
banyak pengiring itu berlarian teringat para pengiring yang hilang sebanyak
lima puluh orang, karena jurangnya menyulitkan berbahaya dan terjal diliputi
oleh gelap, tidak terlihat keberadaan di dalam hutan.
Tidak terpikir oleh I Gusti Ngurah Pegametan, tidak
menghiraukan lembah terjal perjalanan beliau, segera sampai di Samirenteng.
Menuju ke timur perjalanan beliau, sampailah beliau di hutan sekitar Sukangeneb
Toya Anyar. Beristirahatlah beliau di sana, dihitung prajuritnya, dulu diiringi
oleh dua ratus prajurit, telah hilang tersesat lima puluh orang, sekarang
pengiringnya tinggal seratus lima puluh orang, itulah sebabnya ( tempat itu ),
bernama Desa Karobelahan sampai sekarang.
Adapun lima puluh orang pengikut yang tersesat,
dikumpulkan bertempat di Bengkala. Adapun beliau I Gusti Ngurah Pegametan,
beserta pengikut menuju keluarganya di Sukangeneb Toya Anyar. Tidak diceritakan
sekarang untuk sementara.
Cerita kembali lagi, sekarang diceritakan beliau Arya
Gajah Para, setelah lama beliau berada di Sukangeneb, Toya Anyar. Karena masa
tuanya, pada saatnya akan dijemput oleh Kala Mrtyu ( Kematian ), sudah tampak
tanda-tanda kematiannya. Sudah diyakini oleh beliau, tidak boleh tidak beliau
pasti akan meninggal.
Ada pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti
Ngurah Kaler, katanya " Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya
meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di puncak gunung Mangun, satu bulan
tujuh hari (42 hari), dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh dan
tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari". Demikian pesan beliau Arya Gajah
Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaler, cucu beliau mematuhi, tidak berani
menolak pesan kakeknya.
Tidak diceritakan lagi telah tiba saatnya maka wafatlah
beliau Arya Gajah Para. Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti Ngurah Tianyar,
tidak mengetahui wasiat tersebut, karena ( pada saat itu ) beliau tidak berada
di rumah, beliau pergi ke Gelgel, menghadap pada Sri Maharaja, bersama-sama
dengan I Gusti Ngurah Pegametan, sama-sama berada di Gelgel.
Tidak diceritakan lagi, setibanya kembali I Gusti Ngurah
Tianyar, beserta saudaranya, dijumpai orang-orang di pun, semua menyongsong I
Gusti Ngurah Tianyar, memberitahukan tentang wafatnya Arya Gajah Para.
Kaget dan terhenyak hati yang baru tiba, berpikir-pikir
tentang wafatnya, segera datang I Gusti Ngurah Kaler, diberitahukan ada pesan
beliau (Arya Gajah Para), bahwa disuruh untuk membuatkan panggung jasad beliau
di puncak gunung Mangun.
Demikian perkataan beliau I Gusti Ngurah Kaler terhadap
kakaknya. Diam I Gusti Ngurah Tianyar, berpikir-pikir beliau.
Tidak disetujui semua ucapan yang disampaikan I Gusti
Ngurah Kaler, bersikeras pula I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh semua rakyat,
untuk membantu bersama-sama mengerjakan bade ( tempat usungan mayat )
bertumpang sembilan, pancak sahe, taman agung cakranti tatrawangen, beserta
segala upakara ngaben seperti lazimnya orang-orang berwibawa bernama anyawa
wedhana, harapan beliau agar segera jasad leluhurnya dikremasi.
Karena hari baik sudah dekat, itu sebabnya masyarakat itu
beserta tamu semua segera membantu bekerja baik laki maupun perempuan, membuat
upakara ngaben (pitra yadnya).
Diceritakan sekarang I Gusti Ngurah Kaler, kembali ingat
dengan wasiat pesan leluhurnya dahulu,
tidak berani menolak setia pada perintah, semakin khawatir I Gusti Ngurah Kaler
terhadap kakaknya I Gusti Ngurah Tianyar.
Diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh rakyat
beliau memulai mengerjakan terhadap upacara pengabenan, setelah beliau tentukan, saat pelaksanaannya, tidak
diceritakan upacara tersebut.
Tersebutlah sekarang I Gusti Ngurah Kaler, semakin besar
dendam hatinya, banyak alasannya, marah,
terhadap I Gusti Ngurah Tianyar. Itu Sebabnya I Gusti Ngurah tidak ingat
terhadap kakaknya, terikat oleh kesetiaan beliau, yakin terhadap kebenaran
ucapan wasiat leluhur beliau, perasaan hatinya yang marah tidak dapat
dikendalikan, segera kakaknya ditantang berperang, marah I Gusti Ngurah
Tianyar, memuncak kemarahannya, sama-sama tidak mau surut kejantanannya,
sebagai seorang kesatria untuk mendapatkan kemashuran di ujung senjata utama,
lagi pula prajurit sama-sama prajurit, semua setia membela kehendak tuannya,
sama-sama beringas, saling parang memarang, terus menerjang berbenturan.
Lagi pula peperangan beliau I Gusti Ngurah Tianyar,
dengan I Gusti Ngurah Kaler, sama-sama gagah berani, sangat hebat peperangan
itu, bagaikan perang kelompok raksasa, banyak rakyat hancur menjadi korban,
darah bercucuran, dan mayat para prajurit menggunung, itu sebabnya diberi nama
Tukad Luwah sampai sekarang.
Adapun peperangan I Gusti Ngurah Kaler, dengan I Gusti
Ngurah Tianyar, sama-sama tidak berkurang keberaniannya, sama-sama saling
menikam. I Gusti Ngurah Kaler menikam dengan keris Si Tan Pasirik, tembus dada
I Gusti Ngurah Tianyar, membalaslah ia menikam dengan keris " I Baru
Pangesan ", sekejap sama-sama meninggal beliau berdua.
Kemudian datang I Gusti Abyan Tubuh, bersama I Gusti
Pagatepan, yang merupakan utusan dari Sri Raja penguasa di suruh untuk melerai
pertikaian mereka berdua. Agar tidak terjadi perkelahian, karena dia
bersaudara, sekarang keduanya ditemukan telah meninggal, terhenyak I Gusti
Abyan Tubuh, demikian pula I Gusti Pagatepan, memikirkan tentang kematiannya
berdua, juga tentang ketidakberhasilan tugasnya,
diutus oleh Sri Raja penguasa. Beliau segera kembali untuk menghadap Baginda
Raja, tidak diceritakan perjalanannya I Gusti Abyan Tubuh, beserta I Gusti
Pagatepan, tibalah mereka di Sweca
Negara (Gelgel), segera mereka menghadap sang raja memberitahukan tentang
meninggalnya mereka berdua karena berkelahi katanya. " Baiklah paduka Sri
Prameswara, tidak membuahkan hasil yang baik tugas yang hamba emban dari
paduka, hamba temukan keduanya telah meninggal. Melongo gundah hati sang raja,
berpikir-pikir beliau, bahwa sungguh merupakan takdir Yang Maha Esa.
Sekarang diceritakan, putra I Gusti Ngurah Kaler, dan I
Gusti Ngurah Tianyar, keturunannya sama-sama pria.
Adapun putra I Gusti Ngurah Tianyar, yang sulung bernama
I Gusti Gede Tianyar, adiknya bernama I Gusti Made Tianyar, yang bungsu bernama
I Gusti Nyoman Tianyar, lahir di desa Pamuhugan, semua bijaksana, paham dengan
segala ilmu pengetahuan.
Diceritakan pula putra I Gusti Ngurah Kaler, empat orang
laki-laki, yang tertua I Gusti Gede Kaler seperti nama ayahnya. Adiknya bernama
I Gusti Made Kekeran, yang muda bernama I Gusti Nyoman Jambeng Campara, yang
bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, karena di antara dua
orang yang meninggal ( ayahnya ) sama-sama meninggalkan isterinya yang sedang
hamil, itu sebabnya tidak ada yang melakukan satya, "menceburkan diri
dalam api pembakaran mayat " kemudian setelah sama-sama kandungan mencapai
usianya, pada saatnya lahirlah bayi itu sama-sama pria, ada di Desa Pamuhugan
di Tanggawisia, hentikan ceritanya
Swastyastu admin... Sy mau tanya mengapa sekarang keturunan arya gajah para Tidak memakai nama gusti lagi... Pdhl leluhurnya adalah seorang gusti.... Mohon penjelasannya.... Suksma
BalasHapusSaya tertarik sekali membacanya sampai di I Gusti.tapi blm ada tertulis I Gusti AWK. Mohon info apa Gusti gajah para atau Arya Getas? Ampure niki tyang pingin tahu.
BalasHapus