Pages

Malen atau Tualen (hyang aji semar)

Malen atau Tualen (hyang aji semar)


Dalam cerita pewayangan kita mengenal suatu tokoh penasehat dari Prabu Sri Kreshna orang menyebutnya dengan nama Sang Tualen / Malen.di benak kita bertanya ,kenapa Sang Tualen menjadi penasehat Sang Prabu Kreshna padahal Sang Prabu Kreshna adalah Awatara Wisnu ? 

Semar di Bali dikenal bernama Tualen, Petruk adalah merdah, Gareng adalah Sangut dan Bagong adalah Delem.

Malen atau Tualen (hyang aji semar)
Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Sebutan lain Semar : Saronsari, Ki lurah Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Ismaya, Malen, Tualen

Pada saat Panca Pandawa mengasingkan diri ke alas, alas yang dicapai adalah alas Jawa, karena diceritakan pada saat itu semua pulau masih bersatu. Bukti dari Panca Pandawa datang ke alas Jawa yaitu Bima kawin dengan seorang raksasa bernama Diyah Dimbi dan lahirlah Gatot Kaca. Juga Arjuna bertapa di gunung yang sekarang dikenal dengan gunung Arjuna di Jawa, serta karena pada saat itu banyak sekali raksasa-raksasa yang mengganggu Arjuna dalam tapanya, maka diturunkanlah 4 punakawan oleh Ida Bhatara Hyang Siwa Pasupati untuk menjaga Arjuna. Dalam pertapaannya Arjuna diberi sebuah panah sakti oleh Hyang Siwa Pasupati. Semar adalah juga merupakan Dewa yang mengatasi semua Dewa dan Dewa yang menjelma menjadi manusia. Semar juga kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatrya utama lainnya yang tidak terkalahkan.


Semar merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe. Sepi akan maksud, rajin dalam bekerja. Semar mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Hyang Widi demi kesejahteraan umat manusia di jagat raya ini.

Tualen adalah seorang punakawan yang disegani dan disenangi oleh banyak raja dan para Dewata. Tualen berpenampilan sederhana sebagaimana rakyat biasa, walau sebagai abdi raja karena Beliau adalah pelayan umat manusia untuk mencapai keadilan dan kebenaran di muka bumi.

Tak dapat dipungkiri bahwa dari kisah Arjuna bersemedi di tanah Jawa kemudian muncul Semar di dunia ini sebagai pamong para raja-raja atau pemimpin seluruh dunia. Semar kemudian diberi gelar Sada Siwa oleh Hyang Siwa Pasupati, atau dalam Hindu Dharma dikenal juga sebagai Sang Hyang Ismaya dan Manik Maya. Sebutan Beliau yang lain adalah Sabda Palon Semar berwatak : sabar, jujur, ramah, suka humor. Setelah turun dari kahyangan ia menjadi abdi (panakawan) yang selalu memberi bimbingan bagi para kesatria. Pada waktu di kahyangan ia seorang yang tampan tapi setelah menjadi semar, dan turun ke arcapada (dunia) badannya menjadi gendut, pendek, dan berwajah lucu karena matanya selalu berair. 

MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu;
  • Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
  • Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
  • Yang bukan dikira iya.
  • Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas. 

Sejarah Malen atau Tualen (hyang aji semar)

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439. Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal Usul Malen atau Tualen (hyang aji semar)

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
  1. Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
  2. Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia. Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti.
  3. Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
  4. Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Di Tanah Jawa Sang Tualen disebut Hyang Semar atau juga disebut Bhagawan Ismoyo, Hyang Semar ini sangat dihormati dan dijunjung tinggi karena petuah petuahnya yang agung yang juga dilakonkan lewat pementasan wayang kulit ala Jawa. Dalam kehidupan keseharian pun orang Jawa yang kejawen sangat menghormati dan mensakralkan Hyang Semar, walaupun wujud fisik beliau seperti itu.

Menurut Ida (yang ditugasi oleh juru kunci istana Jaya Katwang di Madiun) Hyang Semar itu disebut Hyang Kaki dan beliau juga menyebut Hyang Semar itu adalah Bhagawan Manu atau Awatara yang pertama yang turun ke dunia yang mengambil wujud manusia atau manusia yang pertama di muka bumi ini.

Sehingga menurut tafsir ida, Hyang Semar dalam pewayangan Bali di kenal dengan sebutan Malen, merupakan awatara dimana menurut Kitab Weda beliau adalah Awatara ke 5 dan mengambil wujud manusia (manusia pertama di Bumi).Kita telah mengenal Awatara- Awatara yang telah turun ke Bumi Sbb:
  1. Matsya Awatara ( mengambil wujud Ikan)
  2. Kurma Awatara ( mengambil wujud Empas/ mirip Kura-kura)
  3. Weraha Awatara (mengambil wujud Babi Hutan )
  4. Narasimha Awatara ( mengambil wujud Manusia berkepala Singa )
  5. Bhagawan Wamena Awatara / Bhagawan Manu / Hyang Semar,( Manusia pertama di Bumi)
  6. Parasurama Awatara ( Mengambil Wujud Manusia Raksasa )
  7. Rama Awatara
  8. Krishna Awatara
  9. Budha Awatara
  10. Awatara ke sepuluh ini diperkirakan hadir mengambil wujud seorang Kalki
Hiranya Kasipu beliau berwujud Denawa atau Raksasa dan dibunuh oleh Narasingha Murti dan setelah Hiranya Kasipu dikalahkan oleh Narasingha Murti, maka para Denawa / Raksasa bersembunyi di alam Petala. Pada jaman itu para Dewa dengan para Denawa selalu berperang / berkelahi dan Hiranya Kasipu selalu mengobrak abrik Swarga Loka, dengan kejadian ini Tuhan mengutus Narasingha Murti turun kebumi untuk dapat mengalahkan Hiranya Kasipu dan para Denawa.

Diceritakan, Awatara berikutnya adalah Bhagawan Wamena / Bhagawan Manu / Hyang Semar adalah Awatara manusia I yang dilahirkan di lembah Sungai Soma yang mungkin sekarang disebut Sungai Bengawan Solo,situs -situs purbakala inipun banyak ditemukan di lembah Sungai Soma / Solo ini .
Dengan Awatara I mengambil wujud manusia ,maka disebutlah bahwa beliau adalah manusia pertama di Bumi, dan raksasa itu beda dengan manusia, walaupun bentuknya sama,

Dalam pakem pewayangan beliau Bhagawan Semar, selalu menjadi pengemong dan pelindung keturunan Rsi Palasara/ Sentanu. Apa yang diceritakan oleh orang suci dalam kitab suci ada benarnya, begitu juga dengan hasil penelitian para ilmuwan yang menyatakan bahwa alam nusantara ini menyatu menjadi suatu benoa juga ada benarnya, berdasarkan cerita-cerita orang wikan, usia Bumi ini belum ada para ahli mampu memperkirakan dengan pastinya.

Tapi kita cukup berbangga (berdasarkan Dharma Wacana orang wikan) bahwa peradaban dunia katanya awalnya dari alam Nusantara, bahkan India katanya peradabannya masih belakangan , bisa diambil contoh nama-nama yang terdapat dalam Ramayana maupun Mahaberatha, sepertinya peradaban dunia di mulai dari Nusantara. Di Daerah Sangir di lembah Sungai Soma ( Bengawan Solo),telah ditemukan fosil-fosil manusia furba ini salah satu bukti sejarah,

C.Tsing, seorang pendeta Tibet menyampaikan pula bahwa pertapaan Otisa itu ada di Bali yang belokasi di pinggir Danau Tamblingan, Pendeta Tibet ini sangat menyayangi Bali karena leluhurnya jaman dulu belajar di Bali. Pada waktu Bali heboh dengan pembangunan Geothermal di Bedugul, beliau ikut andil menggagalkan proyek itu lewat ritual dan permohonan kepada Hyang Maha Kuasa sehingga pengeboran itu tidak mengeluarkan Uap Panas ,Kalau Proyek itu jadi ada, maka kehancuran alam Bali ini akan terjadi.

Dinasti Murya juga mengakui bahwa orang-orang Murya belajar di Bali, makanya ajaran Agama Hindu di Bali beda dengan Weda, Tripitaka, Orang bijaksana jaman dulu menyebut Agamanya adalah Agama Wali .Pada Abad ke XVII,Mark Muller menemukan peradaban Weda hidup dilembah Sungai Sindhu, maka beliau menyebut agama ini Agama Hindu, Karena Presiden kita Waktu itu Bpk Soekarno ingin mengakui Agama-agama yang ada di Indonesia dan punya nama, maka nama Hindu-lah yang dipakai.

kalau diurut dari Avathara pertama dihubungkan dengan pembagian jaman adalah sebagai berikut:
  • Matsya (Kisah Manu), Kurma (Pemutaran Gunung mandara, Waraha (Badak Agung/ Babi Besar), Shri Narasimha (Haranyakasipu/Prahlada), Wamana (Rsi Kerdil/ Cebol berpengetahuan tinggi) adalah zaman Kerthayuga (Satyayuga)
  • Parasurama (Pemusnah Paraksatria yg sewenang-wenang/ bersenjata kapak), Rama (Dasaratha/Ramayana) adalah zaman Traitayuga
  • Krishna (Raja Vrisni/ Mahabharata), Budha (Putra Raja Kapilawastu) adalah zaman Dvaparayuga
  • dan jaman pertengahan Budha, Mulai penobatan Raja Parikesit (dinasti Astina terakhir), hinga kini menunggu Kalki Awatara (Yang akan muncul di akhir zamn Kaliyuga)  adalah zaman Kaliyuga. 
Kiranya nyambung, nanti kita ceritra lagi zaman Narasimha/ Prahlada dan konon Raja Wali (Bali) adalah garis keturunan dari Prahlada.

Seperti dalam berita bahwa ada ramalan Tahun 2012 s/d 2015 yang akan datang akan ada bencana besar, itupun Ida juga sering singgung karena tahun itu berkaitan dengan Sabda Palon Nayang Genggong, Kerajaan Hindu di tanah Jawa tumbang Tahun 2015 dan bangkit kembali setelah 500 Tahun runtuh,kembalinya ditandai dg bencana , kalau bukan dengan bencana maka, tak akan terjadi perubahan.

Dalam attach adalah salah satu candi yang masih utuh di Kediri, dan prasasti Poh Sarang yang ditulis oleh Hyang Baradah dalam sebuah batu besar dengan menggunakan huruf Pali yang menekankan dalam prasasti itu janganlah kita lupa dengan ajaran Siwa Budha Lokasi prasasti ini di tengah sungai, dikiri kanannya sawah dan jauh dari pemukiman.

Tualen / Semar di Nusantara adalah sebagai Dang Hyang-nya Nusantara (nenek moyang Nusantara). Beliau berumur jutaan tahun dan hidup abadi atau moksa. Sekali beliau tidur adalah 500 tahun lamanya dan setiap Beliau terbangun pasti ada suatu kerajaan atau keyakinan yang sedang berselisih.

Tualen juga sebagai lurah karang dempel. Karang artinya gersang, dempel artinya keteguhan jiwa. Rambut beliau menguncung, rambutnya memberi tahukan kepada umat manusia; akuning sang kuncung artinya adalah, akulah sebagai kepribadian pelayan umat manusia.

Kain beliau bernama parangkusumorojo yang artinya perwujudan dewonggowantah artinya, menuntun umat manusia agar mencapai memayuhayuning bawono yang artinya, terjadinya keadilan dan kebenaran di muka bumi. Jadi sesunguhnya Semar itu hampir sama tugasnya dengan Ibu Dewi Kwan Im, yaitu bilamana umat manusia belum mencapai kebahagaian maka Beliau tidak akan pergi ke alam nirwana atau alam Siwa Budha.

Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”
maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup” Jadi umat manusia dituntun oleh Tualen agar terlepas dari segala penderitaan dan mencapai moksa.

Tualen sebagai perlambang ngelmu gaib atau simbulnya alam gaib. Kasampurnaning pati. Beliau tidak akan pernah mati karena Beliau sudah mencapai kesempurnaan.

Jadi singkat cerita tentang Tualen/Hyang Semar atau nenek moyang Nusantara ini atau Dhang Hyang-nya Nusantara adalah yang mengemban tugas untuk mempersatukan umat dari masalah-masalah kerohanian.

Pasangan Punakawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Tualen (tualèn = tua len, orang tua berbeda ) atau Malen merupakan salah satu tokoh punakawan (bahasa Bali parěkan) dalam tradisi pewayangan di Bali. Karakternya mirip dengan Semar dalam pewayangan Jawa. Dalam tradisi pewayangan Bali, Tualen digambarkan seperti orang tua berwajah jelek, kulitnya berwarna hitam, namun di balik penampilannya tersebut, hatinya mulia, prilakunya baik, tahu sopan santun, dan senang memberi petuah bijak. Dalam tradisi pewayangan Bali umumnya, Tualen memiliki anak bernama merdah. Selain itu ada punakawan lainnya yaitu Delem dan Sangut. Mereka berempat (termasuk Tualen) merupakan punakawan yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali. Smua memiliki karakter khusus yang mewakili sifat asli manusia. Ada juga yang menghubungkan dengan keberadaan sang catur sanak (Kanda Pat).

Panakawan, ……pana artinya tahu…………. kawan artinya teman. Panakawan artinya : tahu apa yang harus dilakukan ketika mendampingi tuannya (majikannya) dalam keadaan suka dan duka, penuh cobaan dan godaan untuk menuju arah kemuliaan.

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Tuhan (hyang jagatkarana) demi kesejahteraan manusia

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar
Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik”.

Domisili semar adalah sebagai lurah karang dempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa.
Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Pasupati) yang maha pengasih serta penyayang umat”.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.

Bentuk Fisik Malen atau Tualen (hyang aji semar)

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Tualen / Malen / Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya:
  • Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
  • Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka.
  • Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda.
  • Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita.
  • Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
  • Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
  • Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
  1. tidak pernah lapar
  2. tidak pernah mengantuk
  3. tidak pernah jatuh cinta
  4. tidak pernah bersedih
  5. tidak pernah merasa capek
  6. tidak pernah menderita sakit
  7. tidak pernah kepanasan
  8. tidak pernah kedinginan
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung.

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa. Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Keistimewaan Malen atau Tualen (hyang aji semar)

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog (Delem) sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah – yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar – mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Malen atau Tualen (hyang aji semar) Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan 'ngelmu' sedulur papat lima pancer atau dalam kesusastraan bali disebut dengan Kanda Pat.

Kanda Pat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya.
Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh 4 saudara.
Ilmu Kanda Pat lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi - Moksa). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.

Ilmu Kanda Pat memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan.

Hubungan antara Kanda Pat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.

Artikel yang terkait dengan Malen atau Tualen atau Hyang Aji Semar:

7 komentar: