Pages

Sang Catur Sanak dari Panca Tirtha kembali ke Bali

Sang Catur Sanak dari Panca Tirtha kembali ke Bali

Dari peristiwa peristiwa yang telah dikemukakan pada babad terdahulu, dapat disimpulkan, betapa eratnya hubungan pulau jawa khususnya Jawa Timur dengan Pulau Bali, terutama dalam hal spiritual. Ditambah lagi dengan berkuasanya Ratu Kediri atas Pulau Bali seperti tercantum pada prasasti Desa Julah, yang disimpan di Desa Sembiran, kecamatan Tejakula (buleleng) bertahun saka 905. Dalam prasasti itu ada memuat nama seorang ratu Yakni Wijaya Mahadewi. Dihubungkan dengan prasasti yang mempergunakan tahun saka 859, di dalamnya dijumpai sebuah kalimat.

Ikatan tali kasih antara Bali dan Jawa Timur bertambah erat, dengan dilangsungkannya perkawinan agung antara sri Udayana (dharmmodayana) Warmadewa dari Bali dengan sri Mahendratta, adik perempuan Raja Daha di Jawa Timur . Sri Mahendratta adalah cicit dari sri maharaja Paradewasikan Kamaswara Dharmmawangsa, raja di Jawa Timur pada tahun saka 851. Sesudah berakhir masa jabatannya sebagai raja, beliau menjalani dharma kebrahmanan dengan melalui suatu upacara pudgala yaitu Dwijati atau diksa bergelar Mpu Sendok.

Sang Sapta Pandita atau Sang Sapta Rsi Putra dari Mpu Gnijani, sudah samasama kawin dan berumah tangga dijawa, kemudian masing-masing memiliki keturunan.

  1. Mpu Ketek mempersunting putri Ki Aryya Padang Subadra, berputra dua orang lakilaki. Yang sulung bernama Aryya Kapasekan, dan adiknya bernama Sang Hyang Pamacekan.
  2. Mpu Kananda menikah dengan putri Mpu Swethawijaya, berputra seorang laki-laki bernama Sang Kuldewa. Sesudah menempuh acara dwijati, sang Kuldewa bergelar Mpu Swethawijaya, sama namanya dengan kakek dari Pradhana (pihak perempuan).
  3. Mpu Wiradnyana menikah dengan putri Mpu Panataran berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiranatha.
  4. Mpu Withadarma mengawini putri Mpu Dharmaja berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiradaharma.
  5. Mpu Ragarunting kawin dengan putri Mpu Wiranathakung berputra seorang lakilaki bernama Mpu Wirarunting alias Mpu Paramadhaksa.
  6. Mpu Prateka mengambil putri Mpu Pasuruan, berputra seorang laki-laki bernama Mpu Pratekayajna.
  7. Mpu Dangka menikah dengan putri Mpu Sumedang, berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiradangkya.

Alkisah, sesudah Sri Mahendratta dipersunting sri Udayana Warmadewa, pada tahun saka 910, bersama-sama dinobatkan menjadi raja di Bali dengan gelar Sri Gunaprya Dharmmapatni warmadewa, keduanya sering disebut raja suami istri. Sejumlah dokumen, antara lain prasasti desa Sading, kecamatan Mengwi.

Peranan Para Mpu di Bali

Kedatangan empat pandita yang juga disebut Sang Catur Sanak Bali membawa angin segar bagi daerah daerah ini. Sebab, empat rohaniawan iitu bukan saja ahli dalam bidang agama, namun juga menguasai berbagai hal yang berkaitan dengan pemerintah dan politik. Seorang diantaranya yang sangat menonjol dalam berbagai bidang keahlian, yaitu Mpu Kuturan. Hal ini dapat dibuktikan dengan dipilih dan diangkatnya beliau dalam kedudukan sebagai senapati. Disamping itu, Mpu Kuturan juga dipilih dan diangkat selaku ketua majelis bernama Pakira-kiran Ijro Makabehan, yang beranggottakan seluruh senapati dan para Pandita Dangacaryya dan Dangupadhyaya (Siwa dan Buddha).

Majelis ini adalah sebuah lembaga tinggi Negara dalam pemerintahan Sri Gunaprya Dharmmaphatni. Lembaga ini berfungsi dan berugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada raja. Jadi, mungkin semacam Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam pemerintahan RI. Selain itu, lembaga ini juga menggodok program kerajaan. Jadi semacam MPR menyusun GBHN.

Program kerajaan yakni melakukan pembinaan disegala bidang. Yang tak kalah penting mendapat penekanan yakni menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, pihak kerajaan selalu menciptakan kestabilan dalam bidang politik, ekonomi, social, budaya dan agama. Segala sesuatu yang hendak dijalankan oleh pemerintah, terlebih dahulu senantiasa dimusyawarahkan di dalam siding majelis. Setelah diputuskan dalam sidang majelis, barulah keputusan itu dilaksanakan oleh pemerintah kerajaan.

Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung sepintas , tatkala di Jawa pernah bertahta sebagai raja berkedudukan di Girah. Dan mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali. Namun Mpu kuturan dan istrinya mengalami pertentangan, sehingga keluarga itu menjadi retak. Konflik itu terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam yaitu menjalankan teluh terangjana, sedang Mpu kuturan menerapkan ajaran ilmu putih yaitu kebijakan. Sebab itu istrinya tidak diajak ke Bali dan ditinggalkan bersama putrinya di Girah, Jawa. Nah karena menjanda, istri Mpu Kuturan ini dijuluki “walu atau rangda natheng girah”yang artinya janda raja Girah. Pengalaman Mpu Kuturan sebagai raja di Girah, diterapkan di Bali. Dari hasil penelitian yang dilakukan Mpu Kuturan sendiri, beliau memperoleh informasi, data dan fakta yang sangat bermanfaat untuk mengatasi kemelut Yang terjadi di dalam masyarakat, sebagai dampak perbedaan kepercayaan dan penganut agama yang berbeda. Beliau sudah menemukan kiat untuk mengatasi kemelut yang terdapat du dalam masysrakat. Namun beliau tidak segera melakukan tindakan, karena masih menunggu waktu yang tepat.

Pada suatu hari yang dianggap baik, Mpu Kuturan, selaku ketua Majelis Pakirakiran Ijro Makabehan, mengadakan persamuan agung dengan mengambil di tempat batanyar. Pada pesamuan agung itu diundang dan hadir tokoh dari masing-masing penganut kepercayaan dan pemeluk agama, yang dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :

  1. Mpu Kuturan disamping selaku ketua Majelis Pakira kiran ijo makabehan dan pimpinan tersebut, juga sebagai wakil penganut agama Budha.
  2. Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga, dari masing-masing kepercayaan dan pemeluk agama yang terdiri dari sad paksa agama, diijadikan satu kelompok yang jumlahnya paling banyak.
  3. Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa meripakan kelompok tersendiri.

Karir Mpu Kuturan cepat menanjak. Namun itu bukan berarti, kehadiran kakakkakak beliau, tidaklah berarti dan tidak berkesan. Oleh karena disamping beliau mengkhususkan dalam bidang agama, juga ikut membantu Mpu kuturan, baik dalam jabatan selaku ketua majelis. Beberapa buah prasati yang terbuat daril lembaran tembaga, yang memakai aksara palawa atau Medang, mempergunakan bahas Bali Kuna atau Jawa Kuna, ada memuat nama Mpu Kuturan lengkap dengan jabatan beliau sebagai senapati. Prasasti itu merupakan sebagai salah satu bukti akan kebenaran jabatan yang pernah dipangku Mpu Kuturan. Prasasti-prasasti tersebut sampai sekarang masih disimpan dibeberapa tempat, yaitu :

  1. Di desa Serai, kecamatan Kintamani (bangle) yang bertahun saka 915
  2. Di Pura Abang Desa Batur, kecamatan Kintamani (bangli) yang bertahun saka 933
  3. Di desa Sambiran Kecamatan Tejakula (buleleng) yang bertahun saka 938
  4. Di desa batuan, kecamatan Sukawati (Gianyar) yang bertahun saka 944
  5. Di desa buahan, kecamatan kintamani (banglli) yang bertahun saka 947
  6. Di pura Kehen Bangli, tidak dapat dibaca tahunnya, karena sebagian sudah rusak.
  7. Di desa Ujung, Kecamatan Karangasem (karangasem) yang bertahun saka 962

Sekian banyaknya prasasti itu sebagai salah satu fakta sejarah, yang mencatumkan nama Mpu Kuturan sebagai senapati di Bali pada tahun-tahun tersebut. Prasasti-prasasti itu juga merupakan sabda raja-raja yang bertahta pada waktu itu di Bali, mengenai isi prasastiprasasti sebagai berikut :
Prasasti Desa Serai mencantumkan nama para senapati itu adalah :

  • Kuturan Dyah Kuting
  • Pinatin Dyah Mahogra
  • Dalembunut Tuha Buncang
  • Waranasi Tuha Pradhana
  • Waranasi Tuha Gato
  • Waniringin Tuha Tabu

Pada jaman pemerintahan Raja Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara di Majapahit, sebutan atau jabatan seperti tersebut pada prasasti desa Serai, masih ada dijumpai dan diuraikan demikian : dalam soal pengadilan raja dibantu oleh dua orang darmmadhyaksa. Seorang Dharmmadhyksa kacaiwan dan seorang Dharmmadhyksa Kacogatan, yaitu kepala agama siwa dan kepala agama budha.

Pada masa pemerintahan Raja Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara, jumlah upappati dari lima ditambah lagi dua sehingga menjadi tujuh. Tambahan yang kedua ini diambil di golongan, kacogatan , sehingga ada lima upapatti kacaiwan dan uppatti kacogatan. Perbandingan itu sudah layak, mengingat jumlah pemeluk agama Buddha lebih sedikit dengan jumlah pemeluk agama siwa. Sedang uppati kacagotan itu adalah sang pamegat kandangan rare. Demikian adanya sebutan pejabatan kerajaan pada pemerintah sri gunaprya dharmmaphatni warmdewa di Bali, dibandingkan dengan masa pemerintahan Dyah Hayam Wuruk Rajasanagara di Majapahit.

Mpu Kuturan, Konseptor Desa Pakraman

Mari kita simak kembali kisah raja Sri Gunaprya Dharmmapatni. Beliau putra tiga orang yaitu,

  1. Sri Dharmawangsa Wardahana Marakatapangkaja Stanotunggadewa
  2. Sri Airlangga dan
  3. Sri Anak Wungsu.

Tatkala akan melahirkan Sri Anak Wungsu Sri Gunaprya Dharmapatni terkena sakit keras. Oleh karena itu tidak sedikit dukun yang termashur ke-sidhi-an dan ka-mandian-nya, didatangkan ke puri untuk mengobati. Namun sayang, tidak seorang dukun pun yang mampu menyembuhkan Sri Gunaprya Dharmaphatni. Oleh karena dalam keadaan sakit keras, dan rupanya sudah jadi kehendak yang maha kuasa, pada saat sri gunaprya dharmapatni melahirkan, beliau menemui ajalnya. Namun putranya lahir dengan selamat. Anak yang sudah baik tampak rupawan dan tampan itu diberi nama Sri Anak Wungsu yang berarti anak wungsu dari Sri Gunaprya Dharmmaphatni.

Berita tentang wafatnya Sri Gunaprya Dharmapatni segera tersebar sampai kepelosok pedesaan, sehingga rakyat ikut bersedih hati serta menyampaikan bela sungkawa. Berita ini bukan saja tersebar dipulau bali, akan tetapi juga tersebar di pulau Jawa. Itulah sebabnya Mpu Bharadah diutus oleh Raja Daha Sri Airlangga dating ke Bali, untuk menyatakan bela sungkawa dan melayat jenazah ibunya, kemudian abu jenazahnya di candikan di Kutri, buruan (gianyar), diberi gelar Durga Mahisa Mardhini Asthabuja, sebab beliau dianggap jelmaan dewi Uma penganut faham siwa.

Peristiwa ini terjadi pada candra Sangkala berbunyi Lawang Apit Lawang, yaitu tahun saka 929, dan putranya yaitu Sri Anak Wungsu berada dalam keadaan sehat walafiat.

Disamping itu ada juga penjelasan Mpu Kuturan yang mengatakan bahwa bilamana terjadi kekeruhan didunia, harus diadakan upacara atau Yajna bernama Tebasan. Upacara ini harus dipuja oleh sang bujangga. Hanya sang bujangga yang berwenang memuja pangklukatan tersebut bilamana terjadi kekeruhan di alam semesta ini, termasuk yang berhubungan dengan pekarangan rumah, tegalan, persawahan dan lain-lainnya. Jika bukan sang bujangga yang memuja upacara pangklukatan tersebut pasti tidak akan berhasil, sebab hal itu merupakan tugas sang bujangga. Apabila sudah dilaksanakan seperti itu, barulah pulau Bali ini menjadi aman sentosa.

Desa Pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan, melahirkan tatanan kehidupan masyarakat, suatu organisasi sebagai wadah kesatuan masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata karma, yakni suatu aturan hidup untuk menciptakan suasana kehidupan yang serasi ,selaras dan seimbang di dalam masyarakat Manusia di dalam kehiduannya membutuhkan suatu tempat tinggal. Tempat tinggal sekelompok manusia ini disebut hunian . Hunian ini bukanlah merupakan sesuatu yang hanya dipergunakan, melainkan mempunyai sebuah fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk memperkuat hubungan social. Hunian bukan saja menampung manusia semasa hidupnya, tetapi juga pada saat meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu sanggah atau pamerajan.

Oleh sebab itu antara sekala dengan niskala dapat dipadukan kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat ,sehingga masalah actual dan spiritual dapat diwujudkan dan disenyawakan, seperti apa yg dikonsepkan dalam ajaran rwabineda.

Pada konsep tata ruang yang berbudaya dan berwawasan lingkungan positif, yang diterapkan oleh Mpu ke dalam masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan rakyat di daerah ini.Seperti misalnya mengenai konsep Triangga, Trimandala, Hulu-Teben, Asthabhumi, Asta Kosala, Astha Kosali, Bhamakerti, Janantaka dan lain sebagainya.

Prasasti Pucangan, Jawa yang bertahun caka 963 (tahun 1041M) menyebutkan, sesudah berhasil merebut kembali kerajaan Daha dan menundukan Raja Wirawari, beliau lalu menggantikan kedudukan pamannya dari Prhdana. Selanjutnya beliau dinobatkan menjadi raja Daha, bergelar Sri Maharaja Rakai Hulu Sri Lokeswara Dharma Wangsa Airlangga Anantha Wikrama Utunggadewa. Tatkala Kerajaan Daha diserang oleh Narottama yang sangat setia sejak dari Bali, lalu melarikan diri dan bersembunyi di dalam Hutam Wanagiri.

Mpu Semeru Menurunkan Putra Dharma

Kisah Mpu Semeru yang selama hidupnya menempuh kehidupan Brahmacari (tidak kawin selama hidup)cukup menarik.
Mengapa?
Oleh karena, meskipun beliau tidak menikah seumur hidup beliau bisa menurunkan seorang putra.
Tentu saja itu terjadi berkat kasidhi ajnanan. Beliau menurunkan putera dharma ,bernama Mpu Dryakah atau Mpu Kamareka.

Berdasarkan kasidhi ajnanan dan kekuatan panca bhayunya, tonggak kayu tersebut diciptakan menjadi sesosok manusia .Begitu menjadi manusia, seketika manusia baru itu menghadap Mpu Semeru. Orang itu menghaturkan sembah dan sujud bhakti, serta menyamapikan terima kasih banyak kepada Mpu Semeru, yang telah berkenan mengubah tonggak kayu menjadi manusia .

Manusia itu berkata baik budi paduka Mpu janganlah hendaknya secara lahirniah saja ,melainkan juga agar samapai ke dalam hati nurani paduka Mpu. Seterusnya supaya hamba diberikan tuntunan dan ajaran,sehingga hamba dapat mengikuti jejak Paduka Mpu. “Demikian keinginan manusia tersebut,tetapi Mpu Semeru menoaknya .Beliau tidak berkehendak menyucikan manusia tersebut”.
Mendengar jawaban Mpu Semeru Orang itu berlinang air mata dan berkata “bahwa sebaiknya Mpu Semeru mengembalikan saja ke wujud asalnya, karena ia merasa tidak berguna menjadi manusia , tanpa ilmu dan pengetahuan” .
Mendengar kata manusia tersebut , Mpu Semeru tidak dapat mengeluarkan katakata sepatah pun, tiba-tiba terdengar sabda dari angkasa.
Kemudian Mpu Semeru meninggalkan Besakih izin kepada Bhatara Hyang Putrajaya untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Gunung Lampuyang Luhur yaitu Bhatara Hyang Gnijaya. Berkat kekhudukan Mpu Semeru berdoa, keluarlah Bhatara Hyang Gnijaya. Beliau sangat senang menerima kedatangan keturunannya melakukan persembahyangan. Kemudian Mpu Semeru membangun parahyangan di Besakih, dengan dibantu oleh orang-orang Bali Aga. Sejak itu Mpu Semeru pulang pergi ke Bali dan Jawa. Secara lahir batin Mpu Semeru selalu mengupayakan kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini.Oleh karena selalu dipelihara dan dirawat,maka Parahyangan Bhatara Hyang Tri Purusa yaitu di Gunung Agung, di Gunung Lampuyang dan di Hulun Danu selalu lestari.

Asal dan Arti kata Pasek

Lama kelamaan istilah pasek mulai digunakan oleh orang-orang Bali Aga sebagai gelar atau jatidiri bagi seorang pemimpin. Sehingga tak heran bila kemudian dijumpai sebutan Pasek Bali, Pasek Mula, Pasek Sukawih, Pasek Kedisan, Pasek Sukawana dan lain-lain. Pada zaman Mpu Drykah atau Mpu Kamareka. Mpu Semeru memberikan wewenang kepada keturunan Mpu Dryakah untuk mempergunakan sebutan Arya Pasek Kayuselem.

Di Bali bukan saja keturunan Sang Sapta Rsi yang mempergunakan jati diri Ki Pasek, namun warga lainnya pun menduduki jabatan suatu pimpinan , suka memakai sebutan Ki Pasek. Salah satu contoh adalah Warga Pulasari yang menduduki suatu jabatan disebut pasek pulasari. Mereka ini adalah keturunan Dalem Tarukan yaitu : Sekar , Bebandem ,Pulasari ,Balangan , Belayu , dan Dangin, yang kini paguyubannya bernama Para Gotra Santanan Dalem Tarukan.

Dalam arti kiasan, kata Pasek ini dipergunakan dalam rangkaian kata”pasak negeri”.Menurut para ahli bahasa seperti W.J.S Purwadarminta dan Sutan Muh.Zain, kata PASEK diartikan “orang besar yang menjadi dasar keteguhan negeri tempat orang minta nasehat dan sebagainya.

Dalam kaitan ini, di samping bunyi beberapa buah babad dan prasasti, ada baiknya dikutip ucapan dan pendapat beberapa orang sujana atau sarjana .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar