Google+

istilah - istilah dalam Lontar Bali

istilah - istilah dalam Lontar Bali


saat teman - teman yang masih awam membaca lontar, akan menemukan beberapa istilah yang mungkin membingungkan. berikut ini tyang kan coba memberika sedikit informasi tentang istilah  - istilah dalam Lontar Bali tersebut.
lontar bali

banyak penulisan lontar dengan singkatan, diantaranya

"nga" yang maksudnya "ngaran" artinya "yaitu, adalah, namanya, disebut"

contohnya...
"...... sukeh adwe anak, gajah kurung, nga...." artinya .... susah memiliki putra, namanya Gajah Kurung... (lontar usadha tiwang 30a)
".........Nihan patêngêran lare iñja, yanya ngutah mising, nga.." artinya ...ini tetengeran (ciri/tanda) untuk mengetahui sakit dr tinja (anak kecil), yang biasa disebut ngutah mising..." (lontar usadha manak 16b)

Lontar Usada Rare 1a - 4b

Lontar Usada Rare 1a - 4b

Lontar Usada Rare
[1b] Awighnamatu nama sidham. Nihan patngeraning rare kna wisya, yan tan pabayu, kna upas tawun, ngaran, tamba, sarana, gendis, isinrong, yeh jruk linglang, inum. Mwah yan magtra kukunya masuwat bang, kna upas ring hyang, ngaran, tamba, sarana, dukut karasti, adas, bawang tambus, tahap. Mwah yan makadudungan getih kukunya, kna upas warangan, ngaran, tamba, sarana, lunak tanek, banyuning kabang jalikan, inum. Yaning jnar socanya asmu bang, kna upas dewek, ngaran, tamba, sarana, carmmaning poh ijo, lunak tanek, wenya bahem warak, inum. Yan ya kuning kukunya, kni krikan gangsa, ngaran, tamba, sarana, kunir warangan, purisyaning bebek,

[2a] tahap. Nihan pangudal-udal upas, sarana, wding pepe, adas, 3, tahap. Yan kukul tangan sukunya, awaknya pakajutjut, mata sabawangan, tiwang pnyu, ngaran, tamba, sarana, tuba jnu, jbugarum, mnyan, lungid, isinrong, tahap. Yan manyebak mangakes, bulunya jring, rambutnya akas, tiwang sona, ngaran, tamba, sarana, mandalika, rwan pangi, tri ktuka, bras bang, wdakna. Yan kesat matanya makjit, tiwang kapi, ngaran, sarana, jruk linglang, mica, kencur, tri ktuka, bras bang, wdakna. Yan mabengeh-bengeh, tiwang jaran, ngaran, sarana, akah dalungdung, kaya kaphal saka wit, tri ktuka,

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh


Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok makhluk magis yang meyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya Ida Betara Rangda.

Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang Bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi

Panungrahan artinya pemberian dari Dewa


Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug [wabah penyakit] yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali, namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat modern dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa, atau Pura mesti ada Petapakan Ida Betara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Betara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri India, mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali, mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikannya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pralina yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut.

Apa itu ngereh ?

Apa itu ngereh ?

Setelah dicari-cari pada beberapa kamus Bahasa Bali ternyata tidak mencantumkan kata ngereh. Begitu juga pada Kamus Bahasa Bali karangan Simpen AB juga tidak ditemukan kata ngereh.

Namun beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain Lontar Canting Mas (Informasi dari Ida Pedanda Bang Buruan pada majalah taksu, 196 th 2007), Widhi Sastra dan Ganapati Tatwa dan lontar pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberikan penjelasan mengenai ngereh atau kerauhan dalam perspektif yang luas, sehingga menimbulkan kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia. Disebut rahasia sebab dilakukan di kuburan tengah malam, hal ini merupakan pengertian ngereh yang sempit yang hidup dan berkembang dalam benak masyarakat Hindu Bali.

Jadi ngereh merupakan suatu prosesi ritual mistik yang dilakukan dikuburan pada tengah malam dan merupakan tahapan akhir dari proses sakralisasi petapakan Ida Bhatara Rangda atau Barong Landung. Atau tahapan akhir dari proses sakralisasi setelah memperbaiki petapakan yang lama atau rusak.

antara Mpu Kuturan dengan Senapati Kuturan

antara Mpu Kuturan dengan Senapati Kuturan


Argumentasi lain yang menyebutkan Mpu Kuturan datang di Bali pada zaman pemerintahan Sri Dharmmodayana Warmadewa, dan beliau banyak membangun tempat suci (pura) yang ada di Bali, juga terdapat beberapa silang interpretasi yang berbeda-beda terhadap argumentasi tersebut, sedikit komparasi antara:

Versi Jawa, menyebutkan Mpu Kuturan:


adalah seorang pendeta atau rohaniawan berasal dari Majapahit (Usana Bali) dan referensi lain menyebutkan keberadaan beliau Mpu Kuturan yang bersaudara kandung dengan Mpu Genijaya, Mpu Ghana, Mpu Semeru, Mpu Bharadah yang hidup pada zaman pemerintahan Airlangga tahun 1019. 

Mungkinkah seorang resi membangun pura pura yang ada di Bali? 
Karena seorang resi (pertapa) berusaha hidup melepaskan keterikatan duniawi dan hidup dari hasil pajak kerajaan. 

Mengapa konsep yang dibuat oleh Mpu Kuturan dalam penataan tempat suci (pura) yang ada di Bali tidak lazim terdapat di Jawa, seperti ada Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, Pura Panti, Pura Segara, Pura Tambak Kurung atau dengan perkataan lain, terdapat pemujaan berdasarkan atas karakteristik atau sifat kekhasan dari pura tersebut, yaitu ada Pura Umum (Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat), Pura Teritorial (Kahyangan Desa), Pura Fungsional (Pura Subak, Pura Melanting, Pura Sagara, dll), Pura Kawitan (Sanggah Kamulan, Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadya).

antara Mpu Gni Jaya dengan Sri Gni Jaya

antara Mpu Gni Jaya dengan Sri Gni Jaya


Kadang-kadang seseorang kesulitan untuk mengetahui tahun berapa prasasti tersebut ditulis dan di zaman pemerintahan siapa prasasti tersebut dikeluarkan, maka seseorang kemudian cuma menebak-nebak dengan memainkan perasaan dan akal sehat, memainkan huruf perhuruf dalam kata, memainkan kata perkata dalam kalimat, sehingga hasil perenungan seseorang memunculkan banyak dugaan, banyak nama samar, banyak nama tempat sama, banyak nama pura sama, semua mengaku paling jitu dan sah. Tapi, karena pendapat itu tidak didukung oleh data sejarah, orang cendrung meragukan dan mengabaikannya, karena tiada data sejarah itulah muncul kemudian nama-nama samar yang belum tentu orangnya sama, riwayat berdasarkan Babad, jejak yang sesungguhnya dikait-kaitkan satu dengan yang lain, dirunut berdasarkan potongan-potongan ingatan, disampaikan dari mulut ke mulut, bisa saja muncul pendapat lain, sehingga terjadi silang sengketa beberapa versi, beda judul isi sama, atau tergantung dari aspek batiniah si penulis.

Disamping melalui konsepsi Tri Hita Karana atau konsep tata letak tempat dalam suatu wilayah atau desa, yang telah diwariskan oleh para leluhur terdahulu, yaitu tentang parahyangan, pawongan, palemahan. Dimana pangemong dan pangempon (penanggung dan pemelihara) pasti hidup di lingkungan terdekat dari pura tersebut. Bagaimana mungkin menghaturkan yadnya sehari-hari dengan lancar dan khusuk, sedangkan pengamong bertempat tinggal jauh dari letak wilayah administratif desa. Analogi ini kita ambil contoh; sanggar kamulan (tempat suci rumah tangga) dimana pemuja dan pemelihara pasti hidup berdampingan atau menyatu di dalam rumah tangga, tidak mungkin sanggar kemulan itu dipuja oleh tetangga sebelah kecuali hidup dalam satu batih keluarga di satu pekarangan rumah, dan Pura Desa Kuta misalnya, tidak mungkin di-mong dan di-mpon oleh masyarakat Desa Jimbaran dan selanjutnya.