Google+

Malen atau Tualen (hyang aji semar)

Malen atau Tualen (hyang aji semar)


Dalam cerita pewayangan kita mengenal suatu tokoh penasehat dari Prabu Sri Kreshna orang menyebutnya dengan nama Sang Tualen / Malen.di benak kita bertanya ,kenapa Sang Tualen menjadi penasehat Sang Prabu Kreshna padahal Sang Prabu Kreshna adalah Awatara Wisnu ? 

Semar di Bali dikenal bernama Tualen, Petruk adalah merdah, Gareng adalah Sangut dan Bagong adalah Delem.

Malen atau Tualen (hyang aji semar)
Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Sebutan lain Semar : Saronsari, Ki lurah Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Ismaya, Malen, Tualen

Pada saat Panca Pandawa mengasingkan diri ke alas, alas yang dicapai adalah alas Jawa, karena diceritakan pada saat itu semua pulau masih bersatu. Bukti dari Panca Pandawa datang ke alas Jawa yaitu Bima kawin dengan seorang raksasa bernama Diyah Dimbi dan lahirlah Gatot Kaca. Juga Arjuna bertapa di gunung yang sekarang dikenal dengan gunung Arjuna di Jawa, serta karena pada saat itu banyak sekali raksasa-raksasa yang mengganggu Arjuna dalam tapanya, maka diturunkanlah 4 punakawan oleh Ida Bhatara Hyang Siwa Pasupati untuk menjaga Arjuna. Dalam pertapaannya Arjuna diberi sebuah panah sakti oleh Hyang Siwa Pasupati. Semar adalah juga merupakan Dewa yang mengatasi semua Dewa dan Dewa yang menjelma menjadi manusia. Semar juga kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatrya utama lainnya yang tidak terkalahkan.

Lontar Kala tatwa terjemahan

Lontar Kala tatwa terjemahan

om awighnamastu Semoga tiada ada rintangan dari berhasil.

Inilah Kala Tattwa yaitu riwayat Bhatara Kala dari sejak beliau lahir. Diceritakan Bhatara Siwa bersama permaisuri-Nya yaitu Bhatarì Girìputri pergi melihat-lihat laut, samudra. Tak berapa lama sampailah beliau di atas samudra. Tiba-tiba bangkitlah birahi Bhatara Siwa, ingin bersenggama dengan permaisurinya, Sang Hyang Girìputri. Tidak mulah beliau (Bhatarì Girìputri) karena sadar sebagai perwujudan dewata. Kemudian marahlah Bhatara Siwa. Berkatalah Bhatarì Girìputri: Duhai junjungan, janganlah demikian, (perilaku seperti itu) bukanlah perilaku dewata.

Berkatalah Bhatara (Siwa):
Ya Bhatarì janganlah demikian, karena tidak terkendalikan keinginanku, jika tidak diberikan tidak senanglah aku”.

Akhirnya (keduanya) sama-sama marah. Namun belum terpenuhi keiginan Bhatara (Siwa), sperma beliau sudah keluar dan jatuh ke laut. Selanjutnya Bhatara Siwa kembali ke sorga bersama dengan permaisuri-Nya.

Tidak diceritakan Bhatara dengan permaisuri-Nya.

Lontar Kala Tatwa

Lontar Kala Tatwa

Om Awighnamastu nama siddham

kala tatwa
Nihan Kala Tatwa nga, indik Bhatara Kala duk sira wahu mijil. Caritan Bhatara Siwa sareng swaminida Bhatarì Girìputri lungha nulu sagara.

Ndah tan dwa prapta ring luhur ing samudra. Tan dwa kasmaran Bhatara Siwa ahyun asanggama ring rabhi Sang Hyang Girìputri. Tan kahyun Ida Siwa ahyun asanggama ring rabhi Sang Hyang Girìputri. Tan kahyun Ida Bhatarì, eling ring paragan ing Hyang.

Dadya ta wirosa Bhatara Siwa. Umatura Bhatarì; ”Uduh pukulun aja mangkana, dudu polah ing Hyang”.Ling Bhatara; ”Singgih Bhatarì aja sira mangkana, apan tan siddha inandetan ikang indriya yan tan aweh tan suka aku”.

Tan dwa pada rosa-wirosa. Durung tutug ing citta Bhatara, dadi mijil ikang kama tiba ring sagara. Kunang Bhatara mantuka maring swarga, sahardhanareswarì nira.

kalpika dan karawista, salah satu piranti sembahyang

kalpika dan karawista, salah satu piranti sembahyang


Ada berbagai peranti yang digunakan dalam persembahyangan. Peranti tersebut biasanya digunakan dalam persembahyagan lengkap (resmi). adapun piranti tersebut antara lain: 

KARAWISTA  

adalah simbol dari Sang Hyang Widhi karena ada unsur-unsurTri Murti yang terkandung di dalamnya, seperti ilalang yang berwarna hijau melambangkan Wisnu, bunga merah dan putih simbol Brahma dan Siwa, lalu pada bagian depan karawista ada yang berbentuk yang bulat dan berdiri atau tegak, itu adalahwindu dan ardacandra, sehingga karawista adalah simbol Omkara atau simbol Sang Hyang Widhi 

KALPIKA

yang terbuat dari daun kembang sepatu atau kembangpucuk dalam bahasa Bali. Berbentuk segitiga yang merupakan simbol Trilingga. Trilingga adalah alam semesta ciptaan Sang Hyang Widhi yang terdiri dari bulan, bintang, dan matahari. Kemudian ada juga unsur-unsur Tri Murti, yaitu bunga putih,bunga merah, dan daun pucuk yang berwarna hijau di mana hijau dianggap sebagaihitam. Kemudian yang ketiga adalah bunga biasa. Bunga biasa, kalau yang berwarnaputih itu adalah simbol Siwa, yang berwarna merah simbol Brahma, yang berwarnakuning itu simbol Mahadewa, berwarna biru atau hijau itu adalah simbol Wisnu. 

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI Arsitektur Bangunan Suci di Bali


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.

Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

Tujuan Asta Bumi adalah

  • Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
  • Mendapat vibrasi kesucian
  • Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali

angkul - angkul bagian dari asta kosala kosali
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
  • Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. 
  • Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana. Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.

Belajar meMantra atau meWeda

Belajar meMantra atau meWeda


Dilarang belajar mantra, banyak orang takut belajar mantrà,
karena belum mengerti apa itu sesungguhnya mantrà disamping itu, sering mendengar sebuah kalimat; “Aywa Wera tan sidhi phalania”, jangan disembarangkan, perilaku yang sembarangan itu sangat tidak baik manfaatnya. Kemudian lebih lanjut tutur-dituturkan oleh tetua kita di Bali; Dà melajahin aksarà modré/aksarà suci nyanan buduh nasé. Jangan mempelajari aksarà Modré/aksarà suci, nanti bisa gila. Dua pernyataan seperti ini sudah cukup menakutkan bagi orang Bali yang lugu dan hormat kepada tutur, orang tua dan orang yang disucikan.

Maka kita tidak cukup menerima begitu saja, tutur tetua kita dan kalimat “Aywa Wera tan sidhi phalania”, dan Dà melajahin aksara modré/aksara suci nyanan buduh nas'e, kalimat ini harus ditelusuri lebih mendalam. Dari mana sesungguhnya kalimat tersebut muncul, dan dari buku mana dan apa tujuannya.

Kalimat tersebut muncul dari Purwa Adhi Gama Sesana, (Ringga Natha, 2003:3) yang menyatakan: 
Yan han wwang kengin weruhing Sang Hyang Aji Aksara,
mewastu mijil saking aksara,
tan pangupadyaya/maupacara mwah tan ketapak, tanpa guru,
papa ikang wwang yan mangkana.
Bibijat wwang ika ngaranya,

panca sembah atau kramaning sembah

panca sembah atau kramaning sembah

Sembahyang atau sering juga disebut muspa kramaning sembah merupakan jalan dan salah satu cara Memuja Tuhan bukan menyembah alam ciptaannya. sebelum memulai panca sembah terlebih dahulu ketahuilah apa itu sembahyang yang merupakan salah satu hakekat inti ajaran hindu, kemudian Pedoman dan Persiapan sembahyang,

Sikap Sembahyang dan Kramaning Sembah

  1. Kehadapan Sang Hyang Widhi, cakupan tangan diletakkan di atas dahi hingga ujung jari ada di atas ubun-ubun.
  2. Kehadapan para dewa (dewata), ujung jari-jari tangan di atas, diantara kening. 
  3. Kepada Pitara (roh) Leluhur, ujung jari-jari tangan berada di ujung hidung. 
  4. Kepada sesama manusia, tangan dihulu hati, dengan ujung jari-jari tangan mengarah ke atas.
  5. Kepada para Bhuta, tangan di hulu hati, tetapi ujung jari-jari tangan mengarah kebawah. (Titib, 1997:92).
untuk mantra atau meweda dalam panca sembah silahkan baca di "Sembahyang, kramaning sembah - Memuja Tuhan" yang didahului dengan mantra wajib bagi umat Hindu Bali yaitu Puja trisandya

Mantram Widhi Yadnya

Mantram Widhi Yadnya

Sebelum kita mulai menyebutkan mantram Sang Hyang Widhi Yadnya, maka terlebih dahulu perlu kita ketahui, macam yadnya. Secara umum dijelaskan bahwa dalam agama Hindu terdapat lima Yadnya yang disebut dengan Panca Yadnya. Karena Sang Hyang Widhi Yadnya diidentikkan dengan Dewa Yadnya. Tetapi dalam prakteknya, dan secara logika antara Sang Hyang Widhi dan Dewa tidak sama. Sang Hyang Widhi adalah simbolis Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan Dewa adalah Div, yang berarti Sinar.

Sang Hyang Widhi itu adalah Tunggal dan Div atau Dewa itu adalah banyak, merupakan sinar suci dari Tuhan, sehingga dalam memujanyapun juga berbeda, seperti sikap tangan yang dinyatakan sebagai berikut:
  • Sembahyang kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi), kedua tangan dicakupkan di atas dahi, sehingga ujung jari tangan berada di atas ubun-ubun,
  • Bersembahyang kehadapan para Dewa (Dewata) cakupan jari tangan ditempatkan ditengah-tengah dahi dengan ujung kedua Ibu Jari tangan berada di antara kedua kening,
  • Bersembahyang kehadapan Pitara, cakupan jari tangan ditempelkan diujung hidung, dengan kedua ujung ibu jari tangan menyentuh hidung,
  • Bersembahyang kehadapan Bhuta, cakupan tangan diletakkan di hulu hati, dengan ujung jari menghadap kebawah. (Suhardana, 2005:10).

Mantra upacara Dewa Yadnya

Mantra Upacara Dewa Yadnya


Yang termasuk dewa yadnya adalah setiap:
1). Klion, 2). Purnama, 3). Tilem, 4). Pager Wesi, 5). Tumpek Landep, 6). Galungan, 7). Kuningan, 8). Tumpek Bubuh, 9). Saniscara Umanis Watugung, 10). Banyu Pinaruh, 11). Soma Ribek, 12). Sabuh Mas, 13). Redite Umanis Ukir, 14). Anggara Klion Kulantir, 15). Anggara Klion Julung wangi, 16). Wrespati Wage Sungsang, 17). Paing Dunggulan, 18). Wage Dunggulan, 19). Wrespati Manis Dunggulan, 20). Wage Dunggulan, 21).Wrespati Umanis Dunggulan, 22). Sukra Paing Dunggulan, 23). Redite Wage Kuningan, 24). Soma Klion Kuningan, 25). Sukra Wage Kuningan, 26). Budha Klion Paang, 27). Sukra Wage Wayang, 28). Buda Wage Kelawu, 29). Sukra Manis Kelawu. (Pramadaksa, 1984).

Setelah selesai melaksanakan puja matram di atas, maka dilanjutkan dengan mantram-mantram sebagai berikut:

Menghaturkan dupa.

Om Ang Brahma-amerta dipa ya namah
Om Ung Wisnu-amerta dipa ya namah
Om mang Iswara-amerta dipa ya namah

Metabuh arak/ berem.

Om Ang Kang Khasolkaya swasti-swasti, sarwa kala Bhuta bholta ya namah

Mersihin eteh-eteh upakara (mesarana sekar lan Bija):

Om Grim Wausat ksama sampurna ya namah

Mantra upacara Pitra Yadnya

Mantra upacara Pitra Yadnya


Tirta Puwa Pangentas Wong Preteka.

Ong idam toyam wimalan dewam sarwa kali kalusa prasame namah swaha.
Ye toyamciwon ce yah, ye toyem prameng srayem, brahma, wisnu, swaroma yem, tat to sima murti dewam.
Ciwa angga Siwa samahen, Siwa Murti suka wahem, pawitram mangghalam, dwam sarwa manggalanne sanem, sarwa tirthem siyemsawem.
Antaranta maye cubhem, nugrahanem bagawan dewi maye datem.
Maheswaram, tirtha jatah pawitrakah, jale dewam rsi sangke, twe meweh sapwe mi yadi ye na sakti bhawisiyate.
Om ganerem maha tirthem, sarwa papa winasanem nama, ste bhagawan Gangga nama ‘stuti nala muwapuh.
Salilem winalem toyem-toyem tirtha swibbhawa wanem subiksa ye sama toye, dewanemlila nasanem. Gangga tirtha ye maha bhuta, maha nadhi tre priyem tatha sarwa dewati, deweye nameste ye namo namah.
Hung hur suma gangga idem toyem.

mantra upacara Resi Yadnya

mantra upacara Resi Yadnya


Yang dimaksud dengan Rsi Yadnya, mawit sakeng pelaksanaan swadharmaning Sang Sadaka ring para janane sami, punika pisan sane ngawanang, I para jadmane wenten utang mabudi ring Sang Sadaka, kebawos Rsi Renam. Ring tepengan punika waluya kapatutang/dharmaning bhakti, satunggil diangken I Para Jana mangda mapunya ring Sang Sadaka sane pageh ngamong berate lan swadharmaning kasulinggihan; sapunika taler panungkalikanya Ida Sang Hyang Sedaka ring Ida Para Jana. (Pramadaksa, 1984). (arti bebasnya: berawal dari pelaksanaan kewajiban Sang Sadaka (Sulinggih), terhadap masyarakat pada umumnya, itu yang menyebabkan, disebut dengan Rsi Rnam. Pada kesempatan ini sepertinya telah dibenarkan sebagai wujud bhakti, untuk berkorban dengan tulus ihklas ring Sang Sulinggih, yang secara terus menerus menjalani hidup sebagai Sulinggih; demikian juga sebaliknya Beliau sang Sulinggih terhadap masyarakat).

Selanjutnya mengenai peraturan Sulingih telah diatur pada Himpunan Kesatuan Tafsir Terhadap. Aspek-Agama Hindu I-IX (1982-1982:14). Menyatakan bahwa: Tentang Kawikon/Sulinggih/Pendeta selaku Dwijati adalah suatu kedudukan khusus yang hanya bisa didapatkan dengan memenuhi syarat dan upacara menurut sesana serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan Parisada.

Guru Pada Namas Karo

Om Guru-pada namas karaan, dewa-dewa stiti guruh.
Santi-pusti-wasat-karma, karya siddhis ca jayate;
Om Guru-paduka-byo namah, Waham wata - desyami
Guru-pada dasyat sada, nama namah swaha. (Pramadaksa, 1984).

mantra upacara Manusa Yadnya

mantra upacara Manusa Yadnya


Yang dimaksud dengan, manusia yadnya terdiri dari dua belas tahapan yaitu: 1). Pawiwahan, Pagedong-gedongan, 3). Wawu hembas rare, 4). Kepus udel, 5). Roras rahina, 6). Bulan pitung dina, 7). Tigang sasih, 8). Nempugin, 9). Pawotanan, 10). Ngraja Singa, 11). Metatah, 12). Mapodgala atau Mawinten/Madwijati (sesuai dengan tingkat kemampuan seseorang, dan dipercaya oleh pendukungnya/masyarakat).

Kelahiran Bayi.

(Keselamatan Bayi dan Ibunya)
Om Brhatstsumnah prasawita newisiano
Jagatah sthaturubhayasya yo wasu,
Sa no dewah sawita sarna yacchatwasme
Ksayaya triwartitamamhasah - Rg. Weda IW.53.6

(Ya Tuhan Yang Maha Pengasih, yang memberi kehidupan pada alam, dan menegakkannya. Ia yang mengatur baik yang bergerak dan yang tidak bergerak, semoga ia Sawitar memberi rahmat-Nya kepada kami untuk ketentraman hidup, dengan kemampuan untuk menghindari kekuatan jahat). (Titib, 1997:78)

Ngastawa Sang Hyang Kumara.

Om namah Kumara sad-anama ya,
Siki dwa jaya prati mayaloke
Sad-kreti kanandakara ya nityam,
Namao,stu tasme dwajawara pujitram.

ngayab banten Bhuta Yadnya

ngayab banten Bhuta Yadnya

Susunan Bhuta Yadnya

Pertama: 1). Segehan Alit & Agung, 2). Panca sata, 3). Panca sanak, 4). Manca kelud 5). Rsi gana, 6). Walik Sumpah, 7). Lebuh Gentuh, 8). Tawur Agung, 9). Panca wali Krama, dan 10). Eka Dasa Rudra. Mantram caru termasuk yadnya sesa, adalah sebagai berikut:

Mantra Yadnya Sesa

Om Ang Kang Kasolkaya kanaya osak namah swaha
swasti-swasti sarwa butha sukha pradanya namah.

Pengelebaran caru-caru

Om Tang Ang Ing Sang Bang Ung Ca Tat
Om Gunung Gangga dipataye.
Om Hreng Rajastraya namah.
Om Phat-phat,
Om Ang-Sura bhalaya namah.
Om Ung Cakra bhala ya namah.
Om Sang Bang Tang Ang Ing
Panca Maha bhuta bhiyo namah.

Ngayab Bebanten

Ngayab Bebanten

Sebelum upakara dan upacara tersebut dimulai kita harus membersihkan diri, membersihkan sarana upakara dan mengistanakan para dewa pada upakara tersebut, seperti pada upakara /bebanten:

Pelaksanaan Upacara

Sikap duduk tegak, tangan ditengadahkan diletakkan pada kedua belah lutut
Omprasada stiti siwa nirmala ya namah
Om padmasana ya namah
Om lingga purusa ya namah swaha.

Menyalakan dupa/Ambil Dupa nyalakan, ganti setiap habis

Om Ang Brahma dipastra ya namah
Om dupa amertha ya namah
Om lingga purusa ya namah sawaha.

Amusti Karana, tangan cakupkan pada dada atur nafas masuk lewat hidung

Penghormatan, Dewa yang Berstana di Gunung-Gunung

Penghormatan, Dewa yang Berstana di Gunung-Gunung

Penghormatan di Gunung Andakasa

Ong Ing Indra taya namah swaha

Penghormatan di Gunung Mangu

Om Ang Kling Cling Adhikalayang de bhawa

Penghormatan di Gunung Watukaru

Om Tang Jayanatri namo namah swaha
Puncak Gunung Watukaru
Om Ung Hyang watukaru dewa Saktiya namah

Penghormatan di Gunung Kawi

Om Ung Manik wisesa Sakti Dewa Purusa ya namah swaha

Upakara Ngawit mekarya Wewangunan

Upakara Ngawit mekarya Wewangunan

 Upakara

Dasar Bambang

Tumpeng duang bungkul, mareruntutan jaje raka-raka magenepan, bene siap biying mapanggang, sampian tangge, banten punika maaled kulit peras.

Canang Pendeman

Canang burat wangi, canang pagerawos, canang tubungan, pasucian suang-suang atanding Kuangi, keraras, misi pipis solas (11) keteng, kuangene merajah ongkara merta.
Dipuncakne, dagingin kwangen, misi pipis telung dasa telu (33) keteng.
Sampian banten pendemane, mewadah bungkak nyuh gading sane matulis antuk ongkara, rarsi kaput antuk kasa, tegul antuk benar catur warna, luwire: putih, barak, kuning, selem.

Caru Pengeruak dan Mantra

Ngaturang banten durmanggala, banten parascita, katur ring Sang Buta buana. Segeh agung ring Sang Buta dengen.

Nganteb Piodalan Alit

Nganteb Piodalan Alit

Persiapan Muput Piodalan Alit

Muput Tirta Gede (Sapta Gangga)

Ambil sekar.
Om om rahpaht astra ya namah (sekare pentil kearep)

Ambil dupa.
Om ang dupa astra ya namah

Ambil sekar.
Om bayu sabda idep sudhanta nirwiggnam ya namah
Om sidhi ya namah (pentil sekere kepedewekan)

Ambil dupa.
Om om wisnu alungguh haneng sesantun bhatara guru anugraha
Ingsun sakeluwiring tinuja den insun tan amiruda ring sira (dupane celekang ring daksina)