Google+

edukasi weda selama masa prenatal

edukasi weda selama masa prenatal


Perkembangan balita (bayi di bawah lima tahun) sangat menakjubkan. Masa pertumbuhan sejak masa prenatal menjadi dasar pembentukan karakter. Untuk membentuk sifat anak yang baik, mengajarkan Weda sangat penting di mulai sejak masa prenatal yaitu masa janin di dalam kandungan.

Pada masa prenatal, bayi mengalami perkembangan organ-organ mulai dari sistem saraf, penerimaan sensor (telinga, hidung, mata, dan bagian kulit, rambut dan kuku), sistem peredaran, tulang, otot, sistem pembuangan dan sistem reproduksi. Setelah semua organ-organ terbentuk maka bayi sudah bisa merasakan apa yang terjadi di luar rahim ibu. Bayi sudah bisa merasakan gangguan fisik dan psikis yang dialami ibunya. Bayi memiliki kemampuan merasakan perasaan ibu yang sedang mengalami rasa senang, sedih, sakit. Bahkan sang anak mampu mendengarkan suara dari keluarga terdekat lainnya, seperti ayah.

Penunggun Karang atau Sedahan Karang

Penunggun Karang atau Sedahan Karang

Pengijeng Karang - Sedahan Karang
Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian).

Untuk Bali, melindungi senyawa rumah, isi dan penghuni sebuah rumah adalah tugas besar yang tidak dapat ditangani secara efektif oleh dinding dan gerbang saja, terutama ketika berhadapan dengan gangguan mistis. Untuk gangguan Bali mistis nyata seperti yang fisik dan beberapa Bali lebih menekankan pada gangguan mistis ketika berhadapan dengan melindungi masalah rumah karena tidak dapat dirasakan dengan kasat mata dan terbukti lebih sulit untuk menangani daripada gangguan fisik semata.

Bali percaya bahwa gangguan mistis harus ditangani oleh wali mistis karena manusia biasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menembus ke dalam alam mistis meskipun seseorang memiliki cukup pengetahuan kekuatan mistis dia tidak bisa tetap waspada 24/7 dalam rangka untuk menjaga rumahnya dari serangan mistis.

rumah khas Bali biasanya memiliki dua tempat bangunan suci yang keduanya memeiliki fungsi bertindak sebagai wakil penghuni di alam mistis. Tempat suci tersebut terletak di dalam kompleks rumah.
Tempat tersebut adalah Sanggah pemerajan dan Sanggah Pengijeng karang

Sanggah Pengijeng karang

Sering juga disebut dengan Tugu Pengijeng, Penunggun Karang atau Tugun Karang atau Tugu Karang, diterjemahkan secara harfiah menjadi "kuil untuk penjaga rumah"
  • kata "sanggah / tugu" berarti "tempat / bangunan suci",
  • kata "pengijeng" berarti penjaga. (berasal dari kata "ngijeng" berarti "untuk menjaga" atau "untuk tinggal di rumah") dan
  • kata "karang" berarti "halaman rumah".
Sanggah pengijeng karang adalah bangunan beratap dengan permanen. ini terletak dalam rumah, Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan, kurang lebih di sisi barat laut kompleks rumah atau sisi barat bangunan “bale daja”, memiliki fungsi pelindung, penjaga, wakil dan pengasuh penghuni rumah beserta isi dari pekarangan rumah tersebut.

Malen atau Tualen (hyang aji semar)

Malen atau Tualen (hyang aji semar)


Dalam cerita pewayangan kita mengenal suatu tokoh penasehat dari Prabu Sri Kreshna orang menyebutnya dengan nama Sang Tualen / Malen.di benak kita bertanya ,kenapa Sang Tualen menjadi penasehat Sang Prabu Kreshna padahal Sang Prabu Kreshna adalah Awatara Wisnu ? 

Semar di Bali dikenal bernama Tualen, Petruk adalah merdah, Gareng adalah Sangut dan Bagong adalah Delem.

Malen atau Tualen (hyang aji semar)
Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Sebutan lain Semar : Saronsari, Ki lurah Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Ismaya, Malen, Tualen

Pada saat Panca Pandawa mengasingkan diri ke alas, alas yang dicapai adalah alas Jawa, karena diceritakan pada saat itu semua pulau masih bersatu. Bukti dari Panca Pandawa datang ke alas Jawa yaitu Bima kawin dengan seorang raksasa bernama Diyah Dimbi dan lahirlah Gatot Kaca. Juga Arjuna bertapa di gunung yang sekarang dikenal dengan gunung Arjuna di Jawa, serta karena pada saat itu banyak sekali raksasa-raksasa yang mengganggu Arjuna dalam tapanya, maka diturunkanlah 4 punakawan oleh Ida Bhatara Hyang Siwa Pasupati untuk menjaga Arjuna. Dalam pertapaannya Arjuna diberi sebuah panah sakti oleh Hyang Siwa Pasupati. Semar adalah juga merupakan Dewa yang mengatasi semua Dewa dan Dewa yang menjelma menjadi manusia. Semar juga kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatrya utama lainnya yang tidak terkalahkan.

Lontar Kala tatwa terjemahan

Lontar Kala tatwa terjemahan

om awighnamastu Semoga tiada ada rintangan dari berhasil.

Inilah Kala Tattwa yaitu riwayat Bhatara Kala dari sejak beliau lahir. Diceritakan Bhatara Siwa bersama permaisuri-Nya yaitu Bhatarì Girìputri pergi melihat-lihat laut, samudra. Tak berapa lama sampailah beliau di atas samudra. Tiba-tiba bangkitlah birahi Bhatara Siwa, ingin bersenggama dengan permaisurinya, Sang Hyang Girìputri. Tidak mulah beliau (Bhatarì Girìputri) karena sadar sebagai perwujudan dewata. Kemudian marahlah Bhatara Siwa. Berkatalah Bhatarì Girìputri: Duhai junjungan, janganlah demikian, (perilaku seperti itu) bukanlah perilaku dewata.

Berkatalah Bhatara (Siwa):
Ya Bhatarì janganlah demikian, karena tidak terkendalikan keinginanku, jika tidak diberikan tidak senanglah aku”.

Akhirnya (keduanya) sama-sama marah. Namun belum terpenuhi keiginan Bhatara (Siwa), sperma beliau sudah keluar dan jatuh ke laut. Selanjutnya Bhatara Siwa kembali ke sorga bersama dengan permaisuri-Nya.

Tidak diceritakan Bhatara dengan permaisuri-Nya.

Lontar Kala Tatwa

Lontar Kala Tatwa

Om Awighnamastu nama siddham

kala tatwa
Nihan Kala Tatwa nga, indik Bhatara Kala duk sira wahu mijil. Caritan Bhatara Siwa sareng swaminida Bhatarì Girìputri lungha nulu sagara.

Ndah tan dwa prapta ring luhur ing samudra. Tan dwa kasmaran Bhatara Siwa ahyun asanggama ring rabhi Sang Hyang Girìputri. Tan kahyun Ida Siwa ahyun asanggama ring rabhi Sang Hyang Girìputri. Tan kahyun Ida Bhatarì, eling ring paragan ing Hyang.

Dadya ta wirosa Bhatara Siwa. Umatura Bhatarì; ”Uduh pukulun aja mangkana, dudu polah ing Hyang”.Ling Bhatara; ”Singgih Bhatarì aja sira mangkana, apan tan siddha inandetan ikang indriya yan tan aweh tan suka aku”.

Tan dwa pada rosa-wirosa. Durung tutug ing citta Bhatara, dadi mijil ikang kama tiba ring sagara. Kunang Bhatara mantuka maring swarga, sahardhanareswarì nira.