Google+

Raja Purana Besakih

Raja Purana Besakih

Raja Purana Besakih 1b
Ini perihal ketentuan dan kewajiban di pura Besakih (Gunung Agung) yang tercantum dalam Piagam Raja (Dalem). Anglurah Kebayan di Besakih dan Sedahan Ler di Selat mempunyai tugas yang sama untuk memelihara dan menegakkan piagam raja ini. Begini disebutkan, persembahan raja berupa tanah sawah untuk laba pura. Tanah itu ada di wilayah desa Tohjiwa terletak di subak Kepasekan, Bugbugan, Lenging Ogang, Lod Umah, Dauh Kutuh, jumlah semuanya berbibit 12 1/2 tenah, untuk Batara Ratu Kidul sepertiga, Batara I Dewa Bukit Pangubengan sepertiga, Batara Dewa Danginkreteg sepertiga, jadi masing-masing pura mendapat sawah berbibit 3 tenah 2 depuk. Lagi sawah untuk laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara di Batumadeg tanah sawah di desa Tangkup yang terletak di Jejero berbibit 5 tenah. Lagi laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara Manik Geni berupa tanah sawah di Muncan yang terletak

Raja Purana Besakih 2a
di Teba Kulon, Teba Lor, berbibit 4 tenah. Persembahan Dalem ke hadapan Batara Basukihan, dan Batara Tulus Dewa berupa tanah sawah di desa Klungah terletak di subak Bukihan berbibit 12 tenah yang juga dipergunakan untuk bebakaran. Untuk pesangon juru arah, pengusung Sang Hyang Siyem, Batara Rabut Paradah ialah hasil sawah di desa Macetra di sebelah selatan bukit Santap berbibit tiga setengah tenah. Ini ketentuan yang pertama. Warga keturunan dari Majapahit yang ikut bersama Sri Kepakisan yang datang dan menjadi raja di Bali ialah keturunan warga Kanuruhan, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Sira Wang Bang. Sesudah itu Arya Kutawaringin. Pangeran Asak mengembara

Prasasti Bhujangga Waisnawa ring Sekartaji Nusa Penida

Prasasti Bhujangga Waisnawa ring Sekartaji Nusa Penida

1.a. Ong awighnam mastu namā śidyam. Ong prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Ong namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri bhatarā hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā pasyā.

1.b. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirghga premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, prêtthi entananira sang bhujanggā wişņawa, tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. Ong namasiwaya, ong nama bhuddayā.

2.a. Ong namā bhujanggā bħuddayā. Nyan têgêsing prihagem pañungsungan, krananya hana prigêm (ha) pañungsungan, panugrahan sakêng griya pajaten, titanen mangke ida bagus citrā, hangamet sêtri, listuhayu paripurnna, sutanirā aryyā damar, sakêng kadiri, wus alamā lamā hatmu rabyā, mijil sutanning karwa laki-

Bhujangga Waisnawa Perjalanan Ida Rsi Madura di Bali

Bhujangga Waisnawa Perjalanan Ida Rsi Madura di Bali

Perjalanan Ida Rsi Madura ( abad 12 M - 13 M )

Ida Rsi Madura merupakan seorang rsi maha sakti yang berasal dari Madura, tepatnya ida berasal dari suatu daerah di Madura yang seluruh tanah disekitarnya berwarna merah yang sekarang dikenal dengan daerah Tanah Merah. Lokasi griya beliau disana berupa rumah panggung yang berada di suatu tanah lapang luas yang dekat dengan sumber air seperti danau kecil yang sampai sekarang keberadaannya tetap dikeramatkan dan disucikan di sana. Ida Rsi Madura merupakan guru suci dan guru silat dari Arya Wiraraja, semua ide diBalik kebangkitan Majapahit, termasuk kenapa Arya Wiraraja dari tanah Madura mau membantu Raden Wijaya berasal dari beliau. Akan tetapi keberadaan beliau sebagai pendeta alam yang lebih senang dekat dengan alam terutama alam laut dibandingkan duniawi menyebabkan jarang orang yang mengenal beliau. Dan mungkin tidak ada yang menyangka bahwa beliau adalah aktor utama diBalik kebangkitan Majapahit. Setelah majapahit berdiri beliau ditawarkan kedudukan sebagai pendeta utama penasihat raja, akan tetapi beliau memilih merantau ke tanah Bali untuk menapak tilas dan melanjutkan perjalanan leluhur beliau Ida Rsi Markhandeya untuk menata pulau Bali.

Bhujangga Waisnawa dalam Perjalanan Suci Ida Maharsi Markhandeya di Bali

Bhujangga Waisnawa dalam Perjalanan Suci Ida Maharsi Markhandeya di Bali

( Jejak perjalanan para leluhur Bhujangga Waisnawa di Bali )

OM Swastiastu,
Semua kehidupan di dunia ini tidak bisa dipisahkan dari perjalanan para leluhur. Di Bali leluhur merupakan tangga utama dalam mencapai Tuhan. Kehilangan jejak leluhur merupakan salah satu hal yang mengakibatkan para saudara di Bali banyak mengalamai permasalahan dalam kehidupan dunia nyata. Permasalahan ini ternyata juga banyak terjadi pada warih bhujangga waisnawa. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan saya mencoba menguraikan jejak perjalanan para leluhur bhujangga, smoga bisa menambah dan membuka wawasan para semeton terhadap jejak perjalanan para Leluhur.

Jejak Perjalanan Maharsi Markhandeya : 111 Masehi atau ( Wak Sasi Wak)
Perjalanan Maharsi Markhandeya di tanah Bali dimulai dari :

Pura Rambut Siwi.

Lokasi Pertapaan Beliau ada di tebing depan pura melanting Tempat ida rsi membuat benteng/perlindungan Bali terutama dalam Menyeleksi orang-orang yang hendak masuk ke Bali (dari Jawa).

Bhujangga waisnawa Ida Maharsi Madura di danau beratan

Bhujangga waisnawa Ida Maharsi Madura di danau beratan

Menurut Raja Purana Pura Puncak Pengungangan, Bedugul. 

Menyebutkan tentang perjalanan Ida Rsi Madura dengan diiring sekitar 400-800 orang pengikut beliau datang dari jawa ke daerah seputaran Danau Beratan untuk melakukan pertapaan dan untuk membangun tempat-tempat suci. 

Begitu juga seperti tersebut dalam Bhuana Tattwa Rsi Markandeya, dimana dinyatakan bahwa Ida Rsi Madura memperistri anak dari Ida Dalem Tamblingan yang bernama Ida Dewa Ayu Sapuh Jagat. 

Dari dua sumber tertulis ini dapat ditelusuri bahwa Ida Rsi Madura pernah lama bertempat tinggal di daerah seputaran Bedugul. Di seputaran tempat ini, beliau banyak membangun tempat suci atau pura yang banyak mengadopsi arsitektur Jawa disesuaikan dengan tempat kelahiran dan asal Ida Rsi Madura yaitu dari daerah Madura. Pura-pura ini kalau kita telusuri dari daerah selatan adalah:

  • Pura Puncak Sari, 
  • Pura Puncak Kayu Sugih, 
  • Pura Puncak Pengungangan, 
  • Pura Batu Meringgit, 
  • Pura Puncak Terate Bang (Pura Puncak Bukit Tapak), 
  • Pura Penataran Beratan, 
  • Pura Candi Mas, 
  • Pura Puncak Rsi, 
  • Pura Puncak Taman Sebatu (Pura Ulun Danu Beratan yang asli). 

Pura Puncak Terate Bang Perspektif Dunia Spiritual

Pura Puncak Terate Bang Perspektif Dunia Spiritual

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam jejak perjalanan Ida Maharsi Madura di Seputaran Danau Beratan, dimana lokasi kebun raya bedugul merupakan lokasi pesraman agung Ida Rsi Madura dalam menuntun para pengikut beliau yang beraneka ragam supaya siap untuk hidup di pulau Bali, maka Ida Rsi Madura mengambil lokasi yang sekarang dikenal sebagai Pura Puncak Terate Bang sebagai lokasi tempat tinggal beliau dalam fungsi beliau sebagai guru besar pesraman agung danau beratan. 

Pesraman agung ini bukan hanya tempat untuk belajar ilmu pengetahuan, akan tetapi juga merupakan tempat ida rsi madura dalam mengajarkan ilmu kanuragan/kedigjayaan/bela diri untuk mempertahankan hidup pada jaman itu. Dalam fungsinya sebagai tempat belajar ilmu pengetahuan maka dilokasi pertapaan beliau yang sekarang dikenal dengan nama Pura Puncak Terate Bang, Ida Rsi Madura memuja Dewa Brahma dalam wujud sakti beliau yang dikenal dengan Dewi Saraswati sebagai dewinya ilmu pengetahuan. 

Jejak Bhujangga Waisnawa Perjalanan Ida Rsi Markandeya

Jejak Bhujangga Waisnawa Perjalanan Ida Rsi Markandeya dan Ida Rsi Madura Di Tanah Lombok Dan Sekitarnya.

Setelah memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka Ida Maharsi Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali dengan sinar-sinar suci. 

Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga. 

Sekte Waisnawa dan Tri Sadaka

Sekte Waisnawa dan Tri Sadaka

Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12).

Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta.Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.

Sekte Siwa 

memiliki cabang yang banyak. Antara lain:
  • Pasupata, 
  • Kalamukha, 
  • Bhairawa, 
  • Linggayat, dan 
  • Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya.

Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan.Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme.Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu 

Pura Gunung Raung dari sebuah pohon yang bercahaya

Pura Gunung Raung dari sebuah pohon yang bercahaya

Ini salah satu pura tertua di Bali. Letaknya di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini erat sekali kaitannya dengan perjalanan Rsi Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung, Jawa Timur, ke Bali untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.

Setelah terlebih dahulu mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, selanjutnya Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa.

Pura Luhur Bhujangga Waisnawa

Pura Luhur Bhujangga Waisnawa

Berkaitan dengan Perjalanan Rsi Markendheya

Pura luhur Bhujangga Waisnawa terletak di Dusun Gunung Sari, Jati Luwih, Penebel. Pura ini disungsung oleh pertisentana Bhujangga Waisnawa atau lebih dikenal dengan Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang berdomisili baik di Bali maupun luar Bali. Keberadaan pura yang kini berstatus pura kawitan ini, erat kaitannya dengan perjalanan Rsi Markandheya ke Bali sekitar abad VIII. Setelah kedatangannya yang kedua ke Bali yang diawali dengan upacara mendem Panca Datu di sekitar Pura Besakih sekarang, beliau meneruskan perjalanannya untuk mengajarkan penduduk tata cara upacara agama, ilmu pertanian dan keahlian lainnya pada berbagai tempat di Bali.

Selain pura di Jati Luwih, masih ada beberapa pura lainnya yang erat kaitannya dengan perjalanan beliau, di antaranya:

  • Pura Luhur Sebang Dahat di Desa Puakan, 
  • Pura Gunung Raung di Desa Taro, 
  • Pura Dalem Murwa di Desa Payangan, 
  • Pura Segara Kidul Batu Bolong, 
  • Pura Pedharman di Gunung Agung dan beberapa pura lainnya. 

Jika ditilik dari perjalanan Rsi Markandheya yang pada mulanya berpesraman di Gunung Raung Jawa Timur itu, beliau membangun tempat pemujaan di sekitar danau, laut, desa dan hutan atau gunung yang merupakan titik-titik strategis di daerah Bali.

Bhujangga Waisnawa dan Senggu

Bhujangga Waisnawa dan Senggu

Kata senggu berasal dari kata sengguh yang berarti dikira. 

perkataan ini menjadi rancu dengan kata sangguhu yang berarti sang guru atau sang guhung (sebutan ini tidak terlepas dari peranan leluhur bhujangga waisnawa yang menjadi pembimbing atau guru spiritual). demikan juga halnya dengan kata sengguan/sengguhan yang dapat berarti tempatnya i senggu/ i sengguh, dan kata sangguhuan yang artinya karang setra/suci. hal ini tidak terlepas dari tempat tinggal Ida Bhujangga Waisnawa yang selalu berdekatan dengan karang tenget atau karang setra karena sang Bhujangga mempunyai kemampuan sebagai pamahayu jagat, pangalebur lan panglukat sahananing leteh (melebur dang menyucikan segala kekotoran.

Penyebutan kata senggu atau sengguh berasal dari kisah pada jaman Dalem Waturenggong di klungkung. Pada zaman pemerintahan dalem Waturenggong, salah satu purohita beliau dari Bhujangga Waisnawa adalah Ida Bhujangga Guru. Selain sebagai purohita, Ida bhujangga juga berperan sebagai Guru bagi putra-putri sang raja.

Salah Kaprah tentang Senggu Bhujangga Waisnawa

Salah Kaprah tentang Senggu Bhujangga Waisnawa

Judul : Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini

Penyusun : Drs. Gde Sara Sastra, M.Si.
Tebal : xv + 272 halaman
Penerbit : Pustaka Bali Post

BUKU ini boleh jadi sebuah pelurusan terhadap salah tafsir akibat informasi yang kurang lengkap. Sampai saat ini, masih banyak umat yang belum tahu secara jelas tentang status kepanditaan umat Hindu di Bali. Sejumlah contoh bisa dikemukakan, yakni masih banyak umat yang mengira bahwa pandita yang beraliran "Siwa" hanyalah pedanda (peranda). Demikian pula I Senggu sering disamakan dengan gelar Ida Bhujangga yang memiliki sebutan Sangguhu Bhujangga.

Yang menjadi biang keladi salah kaprah itu adalah perbuatan I Kelik, yang mau muput upacara besar yang digelar raja, padahal ia bukan pandita. Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong, memang ada kisah yang menarik. Pada suatu hari, Dalem menggelar upacara yang cukup besar. Untuk me-muput upacara tersebut, Dalem mengundang Danghyang Nirartha yang juga bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

Napak Tilas Jejak Spiritual Rsi Markadeya

Napak Tilas Jejak Spiritual Rsi Markadeya

Sebanyak 150 orang umat Hindu turut mengikuti perjalanan suci ke Gunung Raung-Jawa Timur yang berangkat pada 13 Oktober 2007. Tirthayatra ini merupakan rangkaian dari beberapa kegiatan Pashraman Agung Griya Mas, Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali yang diasuh Ida Rsi Hari Dantam. Sebelumnya kegiatan pasraman ini telah berlangsung sejak 6 bulan yang lalu, tepatnya diresmikan 27 April 2007.

Pasraman pamangku ini diikuti oleh 44 peserta dan 18 peserta dinyatakan lulus dan dianggap mampu menjalankan sasana sebagai seorang pamangku dan serati banten. Mereka terdiri dari 12 pamangku dan 6 orang srati berhak mendapatkan sertifikat kelulusan yang dibagikan langsung di Pura Gunung Raung. Sedangkan sisanya sebanyak 22 orang dinyatakan belum lulus.

Seleksi kelulusan ini sengaja di lakukan secara ketat dengan tujuan agar pasraman ini benar-benar menghasilkan pinandita dan penyerati yang berkualitas. Paham akan tattwa, susila dan etika yang ke depannya mampu melayani umat Hindu dalam peningkatan srada dan bhakti umat. Namun pasraman kali ini tak hanya diperuntukkan bagi pinandita, namun diikuti pula oleh dua sulinggih.

sejarah Rsi Markadeya

sejarah Rsi Markadeya

Masa sejarah Bali dapat dilihat kembali berawal dari abad ke 8 masehi, pada saat Rsi Markandeya menginjakkan kakinya di Pulau Bali ini. Rsi Markandeya adalah seorang pendeta Hindu Siwa Tattwa yang merupakan aliran yang diyakini oleh mayoritas masyarakat India pada saat itu terutama di tempat asal beliau yaitu di India Selatan. Dalam catatan perjalannya (Markandeya Purana), dapat diketahui bahwa Rsi Markandeya pertama kali menetap di Gunung Dieng yang termasuk Kerajaan Mataram Kuno (Jawa Tengah) yang pada saat itu di bawah pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu melanjutkan pemerintahan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.

Kemungkinan pada masa itu terjadi suatu peristiwa (alam) yang luar biasa yang memaksa pusat kerajaan Mataram ini di pindah ke wilayah Jawa Timur sekarang, ada dugaan kuat pada masa tersebut terjadi letusan Gunung Merapi yang sekaligus juga menimbun candi Borobudur dan juga candi Prambanan. Rsi Markandeya juga berpindah ke arah timur, mengikuti pergerakan penganut agama Hindu ke arah Jawa Timur yang kelak membentuk Kerajaan Medang Kemulan yang didirikan oleh Mpu Sendok.

Setelah beberapa saat bemukim di Gunung Rawang, sekarang dikenal sebagai Gunung Raung (Jawa Timur), Rsi Markandeya kemudian tertarik untuk melanjutkan perjalannya ke timur.

Markandeya Purana

Markandeya Purana

Markandeya Purana yang terkenal adalah satu di antara delapan belas Mahapuranas. Purana ini memiliki karakter yang berbeda dari semua yang lain. It has nothing sectarial dari semangat, sedikit dari agama nada; jarang memasukkan invocations dan doa-doa kepada dewa, dan seperti yang dimasukkan singkat dan moderat. It deals sedikit di precepts, upacara atau moral. Nya adalah fitur yang naratif; dan menyajikan sebuah terganggu suksesi dari legenda, yang paling kuno adalah ketika embellished dengan keadaan baru, dan ketika baru sampai saat ini bagian dari semangat yang lama, bahwa mereka tdk memihak kreasi dari imajinasi, yang tidak tujuan tertentu, yang dirancang khusus untuk merekomendasikan tidak doktrin atau pemeliharaan.

Purana yang dibagi menjadi lima bagian berbeda, yaitu:


  1. Bab 1-9, yang disebut oleh Jaimini ke Markandeya Burung yang bijaksana, dan mereka langsung menjelaskan kepadanya empat pertanyaan yang bingung dia dan beberapa hal-hal terhubung.
  2. Bab 10-41, di mana, meskipun Jaimini propounds pertanyaan lebih lanjut ke Burung dan mereka nominal mereka secara terperinci, namun sebenarnya adalah speaker Sumati, nicknamed Jada, dan ayahnya.
  3. Bab 42-78: disini, meskipun Jaimini dan Burung adalah nominal speaker, namun sebenarnya adalah speaker Markandeya dan murid Kraustuki.
  4. Bab 79-90, yang Devi-mahatmya, (popularly dikenal sebagai Durgasaptasati) interpolasi yang murni, yang sebenarnya adalah sebuah speaker RSI bernama Medhas, dan yang hanya diulang oleh Markandeya.
  5. Bab 91-134, Markandeya dan membawa mereka Kraustuki wacana. Pada akhirnya, di dekat sini Burung lama wacana yang disampaikan oleh Markandeya, dan Jaimini thanks mereka dan berangkat.

sunya dan Ke-Sunyata-an

sunya dan Ke-Sunyata-an

Ketiga kata ini amat sering kita dengar, baca bahkan gunakan dalam konteks filsafat atau spiritual. Sunya misalnya; sering diterjemahkan sebagai 'kekosongan'. Kekosongan mengandung pengertian sifat atau kondisi yang abstrak, yang tidak dapat dipersamakan dengan nihil atau nol, oleh karena nol merupakan besaran kwantitatif; sedangkan 'kekosongan' lebih bersifat kwalitatif.

Suatu wadah bila tak berisi kita sebut 'kosong', atau tidak ada yang mengisinya. Jadi, kosong tidak mengandung pengertian kwantitatif atau numerikal. Kekosongan, merupakan abstraksi dari kondisi wadah yang kosong tersebut. Ia tidak bersifat atau berkwalitas, yang bersifat atau berkwalitas adalah isinya. Sebuah contoh dalam hal ini adalah 'gelas kosong', menurut persepsi umum ini bermakna tanpa isi; akan tetapi bagi para ilmuwam (fisikawan) tidak demikian. Gelas kosong bagi fisikawan berisi, namun isinya tak tampak oleh indrya pengelihatan kita yaitu udara atau gas. Gas tertentu berbau, jadi bisa dideteksi indrya penciuman, namun banyak gas yang tidak berbau sehingga tak terlihat dan tercium. Bahkan ada gas yang tak mudah dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, sebaliknya ada yang amat mudah beradaptasi dengan udara sekitar. Gas jenis terakhir ini, tentu lebih sulit lagi kita deteksi keberadaannya dalam gelas kosong tadi.

Membongkar Kebohongan Mitos Maya Danawa

Membongkar Kebohongan Mitos Maya Danawa
Galungan adalah hari raya besar keagamaan yang hingga kini masih dirayakan umat Hindu di Bali. Perayaan yang jatuh setiap Buda Kliwon wuku Dungulan ini merupakan peringatan terhadap menangnya dharma atas adharma. Dharma adalah suatu istilah dalam Hindu, jika diterjemahkan secara gampang ia bermakna kebenaran. Sebaliknya adharma adalah kebalikan dari dharma, yaitu aspek ketidakbenaran atau kejahatan.

Hari raya ini berpedoman kepada kitab Usana Bali yang ada memuat cerita Maya Danawa, seorang raja di Bedahulu yang konon atheis, melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Paling tidak, demikian kitab Usana Bali menyebutkan, Raja Maya Danawa ini pula selanjutnya diidentikkan sebagai pihak yang mewakili tokoh adharma di masa silam, sedangkan tokoh dharma-nya adalah Dewa Indra. Beginilah kehebatan cerita yang berkisah tentang terjadinya peperangan antara manusia (Maya Danawa) melawan Dewa (Dewa Indra, Hyang Pasupati dan Dewa Mahadewa).

Siat Peteng Peperangan Niskala

Siat Peteng Peperangan Niskala

Siat Peteng...??

Apa pula ini,

Apakah siat peteng identik dengan adu ilmu atau semacam perang tanding...?? Siat peteng atau perang ilmu dalam hal ini tidak sama dengan perang tanding yang dapat disaksikan dengan mata telanjang, atau diadakan seperti adu ilmu kanuragan semacam ilmu bela diri.

Dalam siat peteng ada hal - hal yg tidak bisa dimengerti dengan akal sehat, namun lebih menekankan pd kemampuan "spritual" dr kalangan tertentu. lalu dapatkah siat peteng dibuktikan secara nyata,

Siapa saja yg melakukan siat peteng?

Siat peteng dapat dilakukan oleh mereka yg mempelajari ilmu kebatinan dan juga oleh mereka yg "melik" yang karena kelahirannya atau karmanya. Dan konon orang yang melik bisa tanpa disadari bisa melakukan siat peteng tanpa mereka belajar ilmu kebatinan.

kemuliaan dan khasiat air

kemuliaan dan khasiat air

Seperti yang anda ketahui kelangsungan planet ini sangat bergantung pada air, bahkan konon karena airlah timbulnya kehidupan di planet bumi ini. Dengan alasan itu pula banyak kepercayaan atau agama di dunia berisi ritual yang berhubungan dengan air. Contohnya agama Islam dengan wudhlu-nya, Kristen dan katolik dengan Baptist-nya, Hindu, Buddha, Shinto dan Agama "timur" lainnya dengan air sucinya dan masih banyak lagi ritual-ritual keagamaan yang berhubungan air. Bahkan hindu di Bali sebelumnya dinamakan agama Tirtha atau agama air, karena begitu banyaknya fungsi air dalam kegiatan keagamaan. Ini membuktikan bahwa begitu mulianya air di mata manusia.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, konsep-konsep agamapun semakin terkuak dan mulai dapat dibuktikan atau bahkan dipatahkan. Masih ingat tentang pernyataan "Bumi itu datar dan bumi adalah pusat tata surya" no offense.

Gerak Tangan dan Jari (Mudra) Dalam Proses Keluarnya Wedangga

Gerak Tangan dan Jari (Mudra) Dalam Proses Keluarnya Wedangga

gerak mudra pada patung buddha

Pengertian Mudra

Suatu pertanyaan besar mengiang di benak para semeton ketika akan memulai persembahyangan. Secara otomatis tangan atau jari-jari kita akan bergerak, melakukan gerakan tertentu, jari-jari dengan lentiknya menari dan liukan-liukan tubuh bak penari atau bahkan kasar seperti panglima perang sedang melakukan pemanasan.
Fenomena apakah ini?
kami mencoba memaparkannya dari segi ilmiah/literatur dan dicompare dengan tutur/wahyu/sabda yang didapat dari beliau.


Gerak tangan atau jari dalam hal penyembahan kepada Tuhan bisa disebut sebagai mudra. Mudra dikenal di agama Hindu, Buddha dan Agama "Timur" lainnya sebagai mantra yang divisualkan dalam bentuk gerak. Dianalogikan seperti orang bisu yang sedang berkomunikasi dengan anggota tubuhnya. Seperti yang dikemukakan di Wikipedia: mudrā (Sanskrit: मुद्रा, lit. "seal(segel pengunci)") adalah ritual gerak yan simbolik dalam agama Hindu dan Budha. Mudra dilakukan oleh seluruh tubuh, kebanyakan ditunjukkan dengan tangan dan jari jemari. 

Klasifikasi Sembahyang

Klasifikasi Sembahyang

Sembahyang/berdoa merupakan ritual keagamaan yang wajib dilakukan bagi para penganut agama tertentu. Bila dianalogikan tubuh harus diberi makanan agar tumbuh dan sehat, nah sembahyang merupakan makanan bagi jiwa manusia. Dengan sembahyang jiwa akan menjadi tenteram, serasa mempunyai kekuatan lebih dalam melakukan sesuatu pekerjaan, pikiran tenang positif dan merasa segar. Dengan sembahyang juga secara tidak langsung membersihkan lapisan karma tubuh, sehingga orang yang sering bersembahyang akan terlihat bersih dan cerah, mungkin ini yang disebut aura

Pada agama Hindu di Bali bersembahyang dikenal namanya mebhakti/ngaturang bhakti/Muspa, jadi merupakan bhakti(persembahan) kita kepada sang pencipta sebagai makhluk ciptaanNya. Di Pesraman Batu Ngadeg Narayana berdasarkan tutur/wahyu/sabda yang didapat dari beliau, sembahyang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: Kesuma Dewa, Kesuma Jaya, Raja Kesuma Sari.

Sejarah Sekte-Sekte di Bali

Sejarah Sekte-Sekte di Bali

Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci catur veda. Syair-Syair kitab suci Weda Sruti disebut Mantra. Sedangkan syair-syair kitab Sastra weda disebut Sloka. Kitab suci Catur Weda itu terdiri dari 20389 Mantra. Empat kitab suci weda itu dipelajari oleh 1180 Sakha atau kelompok spiritual. 
  • Rg Weda dengan jumlah Mantra sebanyak 10552 dipelajari oleh 21 Sakha. 
  • Sama Weda dengan jumlah Mantra 1.875 dipelajari oleh 1000 Sakha.
  • Yajur Weda dengan jumlah Mantra 1975 Mantra dipelajari oleh 109 Sakha ,dan 
  • Atharwa Weda dengan jumlah Mantra 5.967 dipelajari oleh 50 Sakha.

SAMPRADAYA (sekta) lahir dari Upanisad

Setiap Sakha dibahas atas bimbingan Resi yang benar-benar menghayati Weda baik teori maupun praktek. Resi itu disebut Sadaka karena telah mampu melakukan Sadana atau mewujudkan ajaran suci Weda dalam kehidupannya sehari-hari. Orang yang mampu melakukan Sadana itulah yang disebut Sadaka. Sakha itu ibarat sekolah. Sedangkan kitab suci Weda itu ibarat “kurikulum” yang harus diterapkan oleh sekolah tersebut. Meskipun kurikulum yang diterapkan oleh setiap sekolah itu sama, pasti setiap sekolah itu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Demikian jugalah halnya dengan proses mendalami kitab suci Weda sumber ajaran Hindu. Disamping itu Weda adalah kitab suci yang sangat memberikan kemerdekaan pada setiap orang yang meyakininya menyerap ajaran Weda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing umat.
Dari system Sakha itulah melahirkan kitab-kitab Upanisad. 

Maharsi Markandeya dan Sejarah Bhujangga Waisnawa

Maharsi Markandeya dan Sejarah Bhujangga Waisnawa

Terkait dengan Bujangga Waisnawa sampai masuk ke Bali, sejarahnya tentu harus dicari lagi. Ternyata, walaupun tidak khusus juga terdapat di buku Leluhur Orang Bali karangan I Nyoman Singgih Wikarman tentang perjalanan Maharsi Markandya ke Bali.Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Di sanalah maharsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya meninggal. Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung Raung. Di sanalah beryoga, ingin tahu apa sebabnya hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.

Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali. Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat. Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih.

Piodalan Pedudusan Alit di Mrajan Agung Kebayan Guwang (trah ida Kubayan) sesuai purana babad kubayan

Piodalan / odalan / petoyan ida Bathara Kawitan, Pedudusan Alit di Mrajan Agung Kebayan Guwang (trah ida Kubayan) sesuai babad kebayan / babad kubayan

Piodalan adalah upacara pemujaan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya lewat sarana pemerajan, pura, kahyangan, dengan nglinggayang atau ngerekayang (ngadegang) dalam hari- hari tertentu.

Kata piodalan 

berasal dan kata wedal yang artinya ke luar, turun atau dilinggakannya dalam hal ini Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya menurut hari yang telah ditetapkan untuk pemerajan, pura, kahyangan yang bersangkutan. Piodalan disebut juga petirtayan, petoyan, dan puja wali.

Odalan atau piodalan 

pada hakikatnya adalah peringatan hari kelahiran (hari jadi) sebuah pura, semacam perayaan ulang tahun kalau pada manusia. Kalau pada manusia, hari jadi atau ultahnya diperingati berdasarkan perhitungan saat kelahiran menurut penanggalan (hari, tanggal, bulan dan tahun). Sedangkan kalau untuk pura atau kahyangan peringatan “tegak odalan” ditentukan berdasarkan perhitungan sasih atau wewaran terutama memadukan sapta wara dan panca wara serta wuku.