Gusti Ngurah Jelantik kembali ke Gelgel
Keberadaan kota Gelgel berangsur pulih setelah I Gusti Agung Maruti dapat
dikalahkan. Namun kondisi Puri Gelgel dengan pemerintahannya haruslah ditata
kembali. Dewa Agung Jambe memohon agar Dewa Agung Mayun, kakaknya, mau
duduk sebagai kepala pemerintahan sebagai penerus Sesuhunan Bali. Namun Dewa
Agung Mayun tidak mau karena kemenangan bukan karena perjuangan beliau. Untuk
menata kembali pemerintahan, Dewa Agung Jambe memanggil semua keluarga /
kerabat keturunan para Arya yang dulu pernah setia untuk kembali bergabung
sebagaimana yang dulu pernah dilakukan oleh para leluhur mereka.
Semuanya diingat kembali, terutama I Gusti Ngurah Jelantik yang sudah mengungsi
di desa Selantik wilayah Mengwi. Setelah beliau wafat, diganti oleh putranya, I Gusti
Ngurah Gde sudah bergelar I Gusti Ngurah Jelantik sebagaimana gelar ayahandanya.
Dewa Agung teringat akan semua jasa I Gusti Ngurah Jelantik waktu pemerintahan
dipegang leluhurnya dahulu.
Dewa Agung Jambe mengetahui bahwa I Gusti Ngurah Jelantik faham perihal tattwa
dan juga sudah “mabisheka”. Namun beliau berada di desa Selantik tidak lagi di
Gelgel. Maka ditugaskan seorang utusan untuk membawa surat ke desa Selantik.
Sampailah utusan di Selantik dan masuk ke istana Jelantik yang sedang penuh sesak
oleh para tamu dan pelayan istana.
I Gusti Ngurah menyapa: "Eh, kita anu, tan wruh manira! Wong saking ĕndi sira
datĕng mara ngke? Warah manira!”
(Ee, engkau siapa, aku belum kenal! Orang dari mana kamu datang kepadaku?
Jelaskan kepadaku).
Utusan menjawab: "Sējnĕ, ki gusti, kawula ingutus denira pĕduka bhattara ring
Gelgel, sang apura ring Semarapura, kenendyan angaturakĕn puang cewalapatra”
(Mohon maaf ki gusti, hamba diutus beliau paduka batara di Gelgel, yang beristana di
Semarapura, bertugas menghaturkan sebuah surat”).
Surat itu pun diambil oleh I Gusti Ngurah. Isi suratnya:
"Eh, kita Ngurah Jelantik, mulih po kita maring Gelgel! Ulihana weçmana mwah
ana ring Jelantik. Aywa kita alah-aca, anut wyadhi ning bapanta nguni, apan citra
ning dewa, mangke manira eling i kita, tan dadi laling citta, apang tan mageng
pangayanta lawan manira, sangkaning kuna-kuna”.
(E, Ngurah Jelantik, pulanglah kembali ke Gelgel. Dan kembali tinggal di istana yang
ada di Jelantik. Jangan kita salah pengertian, sesuaikan kembali sebagai ayahmu dulu,
karena selalu ingat akan leluhur, sekarang aku ingat padamu, tidak boleh kita saling
melupakan, karena besar tugas kita bersama-sama, sejak jaman dahulu).
Lantas I Gusti Ngurah Jelantik berkata kepada utusan, agar menyampaikan kepada
Dalem, bahwa perintah akan dilaksanakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik, katanya: "Eh, kita potusan, pamatur po kita, aturakĕne manirânuhun wacana Dalĕm".
(E, engkau utusan, sampaikanlah olehmu, katakan bahwa aku menuruti perintah
Dalem).
I Gusti Ngurah Jelantik segera berkemas-kemas. Tidak diceritakan berapa lama
kemudian I Gusti Ngurah Jelantik sudah berada kembali di kediaman dahulu yaitu di
puri Jelantik di Gelgel. Beliau lantas menghadap Dewa Agug Jambe di puri Gelgel
yang sedang penuh sesak oleh tamu, pada pemuka, para Arya saha wadwa.
Tidak lain acara yang dibahas adalah usaha untuk mengembalikan kerajaan Gelgel
seperti dahulu, sebelum dinodai oleh I Gusti Agung Maruti. Masalah ini perlu dibahas
untuk mendapat dukungan semua pihak.
I Gusti Ngurah Jelantik mendapatkan posisi dirinya dalam keadaan yang dirasakan
sangat sulit. Apalagi kalau diingat pengalaman kakeknya di puri Gelgel yang penuh
dengan pengorbanan dan penderitaan pada waktu I Gusti Agung Maruti sebagai
Perdana Menteri. Yang menjadi pikirannya sekarang hanyalah minta bantuan kepada I
Gusti Ngurah Panji di Buleleng (Den Bukit) untuk melepaskan diri dari tekanan
perasaan seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar