Google+

I Gusti Ngurah Jelantik kembali ke Gelgel

Gusti Ngurah Jelantik kembali ke Gelgel

Keberadaan kota Gelgel berangsur pulih setelah I Gusti Agung Maruti dapat dikalahkan. Namun kondisi Puri Gelgel dengan pemerintahannya haruslah ditata kembali. Dewa Agung Jambe memohon agar Dewa Agung Mayun, kakaknya, mau duduk sebagai kepala pemerintahan sebagai penerus Sesuhunan Bali. Namun Dewa Agung Mayun tidak mau karena kemenangan bukan karena perjuangan beliau. Untuk menata kembali pemerintahan, Dewa Agung Jambe memanggil semua keluarga / kerabat keturunan para Arya yang dulu pernah setia untuk kembali bergabung sebagaimana yang dulu pernah dilakukan oleh para leluhur mereka. Semuanya diingat kembali, terutama I Gusti Ngurah Jelantik yang sudah mengungsi di desa Selantik wilayah Mengwi. Setelah beliau wafat, diganti oleh putranya, I Gusti Ngurah Gde sudah bergelar I Gusti Ngurah Jelantik sebagaimana gelar ayahandanya. Dewa Agung teringat akan semua jasa I Gusti Ngurah Jelantik waktu pemerintahan dipegang leluhurnya dahulu.

Dewa Agung Jambe mengetahui bahwa I Gusti Ngurah Jelantik faham perihal tattwa dan juga sudah “mabisheka”. Namun beliau berada di desa Selantik tidak lagi di Gelgel. Maka ditugaskan seorang utusan untuk membawa surat ke desa Selantik. Sampailah utusan di Selantik dan masuk ke istana Jelantik yang sedang penuh sesak oleh para tamu dan pelayan istana.


I Gusti Ngurah menyapa: "Eh, kita anu, tan wruh manira! Wong saking ĕndi sira datĕng mara ngke? Warah manira!
(Ee, engkau siapa, aku belum kenal! Orang dari mana kamu datang kepadaku? Jelaskan kepadaku).

Utusan menjawab: "Sējnĕ, ki gusti, kawula ingutus denira pĕduka bhattara ring Gelgel, sang apura ring Semarapura, kenendyan angaturakĕn puang cewalapatra
(Mohon maaf ki gusti, hamba diutus beliau paduka batara di Gelgel, yang beristana di Semarapura, bertugas menghaturkan sebuah surat”).

Surat itu pun diambil oleh I Gusti Ngurah. Isi suratnya:
"Eh, kita Ngurah Jelantik, mulih po kita maring Gelgel! Ulihana weçmana mwah ana ring Jelantik. Aywa kita alah-aca, anut wyadhi ning bapanta nguni, apan citra ning dewa, mangke manira eling i kita, tan dadi laling citta, apang tan mageng pangayanta lawan manira, sangkaning kuna-kuna”.
(E, Ngurah Jelantik, pulanglah kembali ke Gelgel. Dan kembali tinggal di istana yang ada di Jelantik. Jangan kita salah pengertian, sesuaikan kembali sebagai ayahmu dulu, karena selalu ingat akan leluhur, sekarang aku ingat padamu, tidak boleh kita saling melupakan, karena besar tugas kita bersama-sama, sejak jaman dahulu).

Lantas I Gusti Ngurah Jelantik berkata kepada utusan, agar menyampaikan kepada Dalem, bahwa perintah akan dilaksanakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik, katanya: "Eh, kita potusan, pamatur po kita, aturakĕne manirânuhun wacana Dalĕm".
(E, engkau utusan, sampaikanlah olehmu, katakan bahwa aku menuruti perintah Dalem).

I Gusti Ngurah Jelantik segera berkemas-kemas. Tidak diceritakan berapa lama kemudian I Gusti Ngurah Jelantik sudah berada kembali di kediaman dahulu yaitu di puri Jelantik di Gelgel. Beliau lantas menghadap Dewa Agug Jambe di puri Gelgel yang sedang penuh sesak oleh tamu, pada pemuka, para Arya saha wadwa.

Tidak lain acara yang dibahas adalah usaha untuk mengembalikan kerajaan Gelgel seperti dahulu, sebelum dinodai oleh I Gusti Agung Maruti. Masalah ini perlu dibahas untuk mendapat dukungan semua pihak.

I Gusti Ngurah Jelantik mendapatkan posisi dirinya dalam keadaan yang dirasakan sangat sulit. Apalagi kalau diingat pengalaman kakeknya di puri Gelgel yang penuh dengan pengorbanan dan penderitaan pada waktu I Gusti Agung Maruti sebagai Perdana Menteri. Yang menjadi pikirannya sekarang hanyalah minta bantuan kepada I Gusti Ngurah Panji di Buleleng (Den Bukit) untuk melepaskan diri dari tekanan perasaan seperti sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar