Google+

Kesiman Dalam Sejarah Politik dan Ekonomi Abad XIX

Kesiman Dalam Sejarah Politik Abad XIX

Pada tahun 1809-1810 ketika Mengwi berada di bawah kekuasaan I Gusti Agung Ngurah Made Agung, Kerajaan Badung menyerbu Sibang yang merupakan daerah kekuasaan Puri Sibang yang merupakan negara bagian Kerajaan Mengwi. Kerajaan Badung yang dimotori oleh tentara bayaran Belanda mampu menaklukkan Sibang. Kerajaan Mengwi tidak mampu memberikan bantuan kepada Sibang seperti dulu ketika Badung menaklukan Padangluah. Dengan ditaklukkannya Puri Sibang, walaupun tidak seluruh kekuasaannya berhasil dilucuti, namun kerajaan Badung akhirnya memperoleh kuasa untuk melakukan penggalian sebuah saluran tambahan yang mengalirkan air dari sungai Ayung ke daerah persawahan di Badung. Pada periode kepemimpinan Raja I Gusti Agung Ngurah Made Agung itu, Raja Mengwi tidak lebih dari pemimpin satelit dari Raja Badung. Ia harus menyetorkan sebagian dari penghasilan kerajaan untuk dan mengirimkan bahan-bahan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan Puri Denpasar dan diharapkan memberikan sumbangan pada upacara pengebenan di Badung. [Nordholt, p.139]


Penaklukan Sibang (1809-1810) merupakan awal dari peperangan antara Badung melawan Mengwi. Pada tahun 1820, Badung menjadi pesaing Mengwi yang sangat kuat dan paling ditakuti, karena kerajaan itu berkoalisi dengan Raja Tabanan, Gianyar, dan penguasa dari desa Banjar (Buleleng Tengah). Sementara, Mengwi hanya bersekutu dengan Kerajaan Klungkung dan Karangasem, Jadi, Mengwi dikepung oleh musuh-musuhnya dari segala penjuru. Tahun 1823 I Gusti Agung Ketut Agung tampil sebagai raja Mengwi menggantikan kakaknya. Raja ini memberikan kebebasan kepada rakyatnya menggunakan air sungai Ayung untuk kepentingan pertanian. Raja ini juga tak berbuat apa-apa ketika petani Mengwi merusak beberapa empangan air para petani Badung, sehingga merugikan kepentingan kerajaan Badung. [Gora Sirikan, op. cit., p. 64]

Persoalan pengairan berkembang menjadi persoalan politik. Raja Badung menuduh Raja Mengwi sengaja merusak empangan supaya rakyat Badung kelaparan dan pada akhirnya mengabdikan diri mereka pada Raja Mengwi. Raja Badung (Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan) menyampaikan nota protes kepada raja Mengwi, namun tidak dindahkan. Karena itu raja-raja Badung bermufakat menyerang kerajaaan Mengwi. Sebelum penyerangan dilakukan, Raja Badung menghubungi Raja Tabanan dan Gianyar. Kerajaan Tabanan dapat mengusai Desa Marga, Gianyar merebut Desa Kadewatan, dan Badung memperoleh beberapa desa di wilayah selatan. Menyadari dirinya akan kalah, Raja Mengwi segera mengusulkan genjatan senjata yang berlanjut dengan perdamaian. Perdamaian itu disahkan pada tahun 1828 melalui pasebaya, surat perjanjian yang menyatakan bahwa Raja Mengwi bersedia menghormati kedaulatan Kerajaan Badung.

Pada tahun 1829 Raja Mengwi mencabut kembali surat itu, sebab ia menemukan peluang Badung tidak akan mampu bereaksi. Saat Badung sedang berduka, karena rajanya dari Puri Denpasar mangkat. Karena itu raja dan rakyat Badung lebih disibukkan oleh upacara dan upakara kematian. Tahun 1830 disusul oleh mangkatnya raja Badung dari Puri Pemecutan. Ketika kesempatan sudah terbuka, kerajaan Mengwi sudah berkoalisi dengan Kerajaan Klungkung, sehingga posisinya pun aman dari serangan musuh-musuhnya.

Menurut Henk Schulte Nordholt, penghentian perang melawan Mengwi juga disebabkan oleh sikap putra raja yang mangkat tahun 1828. Pangeran itu tidak bisa menerima penyebab kepergian ayahnya, yang mangkat karena diracun, yang disebut sebagai kasus kedua dari tiga pembunuhan dalam pengambilalihan kekuasaan dinasti Badung. Raja muda itu berbalik melawan pamannya, Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman alias I Gusti Ngurah Made Pemecutan, yang dianggap merampas kekuasaan ayahnya dan ia memutuskan melarikan diri ke Mengwi. Sebagai ahli waris penerus ayahnya, dia meniadakan kewajiban para raja bawahan memberikan penghormatan pada pusat Kerajaan Badung. Dengan demikian Raja Badung tidak mampu mendesak rakyat mendukung dirinya untuk menggempur Mengwi. Jadi, status Mengwi sebagai sebuah kerajaan yang lebih rendah daripada Badung, dengan sendirinya sudah dicabut. [Henk, op. cit., pp. 144-145]

Dalam Sejarah Ekonomi Abad XIX

Perubahan ekonomi diawali dengan keinginan pemerintah kolonial Belanda menjajagi kemungkinan membuka kantor perdagangan di Bali. [Goa Sirikan, op. cit , p. 66] 

Menurut Ide Anak Agung Gde Agung, penjajagan itu sudah dilakukan sejak tahun 1808 ketika mereka menugaskan Kapten Van der Wahl ke Bali. Ia berhasil mengadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan Wahl mengakui Gusti Ngurah Made Pemecutan sebagai susuhunan, junjungan raja seluruh pulau Bali. Keputusan itu disebut sebagai kesalahan politik Wahl karena status itu dipegang oleh Raja Klungkung sebagai penerus dinasti Dalem Gelgel. Sebagai imbalan atas dukungan itu, pihak Raja Badung memberikan persetujuan kepada Belanda membuat benteng-benteng, pangkalan meriam, dan mendaratkan pasukan tak terbatas di wilayah kerajaan Badung. [Gde Agung, p. 42]

Ide Anak Agung Gde Agung menyebutkan raja-raja Bali menentang isi perjanjian itu, karena akan dapat membahayakan kekuasaan mereka masing-masing. Perjanjian itu tidak disetujui oleh Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels di Batavia. Tantangan itu mengakibatkan I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengundurkan diri sebagai Raja Badung pada tahun 1810 dan kekuasaannya digantikan oleh putranya. Tujuh tahun kemudian, tanggal 1 Desember tahun 1817 Komisaris H.A. van den Broek datang ke Bali untuk mengunjungi Raja Kerajaan Buleleng. Ia kemudian meneruskan perjalanan ke timur. Tanggal 18 Desember 1817 ia mengadakan pertemuan dengan Raja Kerajaan Karangasem dan tanggal 23 Januari 1818 dengan Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman. Raja Badung memanfaatkan kedatangan Broek untuk kepentingan politik dan ekonomi. Secara politik, ia mendesak Belanda supaya mau membantunya dalam menghadapi Lombok. Sebagai imbalannya, Raja Badung menginjinkan Belanda membangun kantor perdagangan di Badung, namun bukan dipelabuhan, melainkan di pantai. Namun rencana itu dibatalkan karena Raja Badung khawatir akan menimbulkan kecemburuan raja-raja lain di Bali.

Raja Badung sempat mengajukan naskah pejanjian kepada Broek, namun ditolak karena tidak menguntungkan Belanda secara politik dan ekonomi, karena menempatkan seolah-olah Kerajaan Belanda lebih kecil daripada Kerajaan Badung dan teksnya tidak menyebutkan perjanjian izin membangun kantor pedagangan di Badung. Sebagai gantinya, Broek yang mengajukan naskah perjanjian, namun ditolak oleh Raja Badung. Dengan demikian, misi Belanda menguasai Badung dengan bersembunyi di balik kepentingan ekonomi gagal. Pada tahun 1824, Belanda mengulangi lagi usaha menjalin persahabatan dengan Raja Badung. Kali ini yang dikirim orang keturunan Arab bernama Pangeran Said Hasan al Habeshi. Ia datang bersama sekretarisnya Abdullah bin Muhammad el Mazrie. Mereka tinggal di Bali dari tahun 1820-1824.

Utusan Belanda itu menyampaikan laporan kepada tuannya, bahwa raja-raja Bali sedang bertengkar satu sama lain untuk merebut kekuasaan. Jadi, ada peluang untuk meluaskan kekuasaan ke Bali, namun tidak semudah membalikkan tangan, karena raja-raja Bali umumnya tidak senang jika orang-orang Belanda ada di Bali. Mereka juga menyampaikan informasi, bahwa di antara semua kerajaan di Bali, Badung yang paling makmur. Kerajaan ini punya tiga pelabuhan yakni Sanur, Benoa, dan Kuta. Ketiganya ramai dikunjungi oleh saudagar asing, sehingga sangat menguntungkan Badung. [Goa Sirikan,op. cit., pp. 66-67]

Laporan itu akhirnya mendorong kembali Belanda menjalin hubungan dengan Raja Badung. Karena itu, tahun 1826 mereka mengirim Kapten J.S Wetters. Ia berhasil menjalin persahabatan dengan Raja Badung melalui sebuah surat perjanjian. Sebagai implementasinya, Belanda mengangkat Dubois sebagai pejabat perekrutan calon prajurit Bali. Saat itu Belanda membutuhkan tentara Bali untuk dipakai dalam Pangeran Dipanagara di Jawa Tengah. Dubois mendapat izin dari raja Badung untuk menetap di desa Kuta dan tinggal di rumah biasa. Rupanya ia curang, karena bukan hanya merekrut para calon tentara asal Bali, tetapi menyelundupkan para budak. Atas kesalahannya itu ia oleh Raja Badung. [Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., p. 77]

Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman akhirnya memberlakukan undang-undang pelarangan perbudakan yang dikeluarkan oleh Belanda tahun 1815. Pemberlakuan undang-undang ini merugikan sektor perdagangan raja-raja Bali, karena selain candu, komiditas ini sangat sangat menguntungkan. Sebelum tahun 1815, dalam setahun sekitar 2000 orang budak ditukar dengan uang kepeng, senjata, dan sejumlah besar candu. Setelah itu Raja Badung menjalin hubungan dagang dengan Singapura yang kemudian diikuti oleh raja-raja lain. Tahun 1830 bahkan terjadi perdagangan langsung antara Bali dengan Singapura, tanpa singgah di Jawa. Para pedagang berlabuh di Kuta. Belanda pun cemas dan ingin segera menaklukkan Bali, sebab tidak ingin didahului Inggris. Mereka lalu mengirim mata-mata bernama Jembrong. Ia berangkat dari Banyuwangi dan tiba di Kuta tanggal 18 Agustus 1835. Sembilan hari kemudian ia tiba kembali di Banyuwangi dan melaporkan hasil penelitiannya kepada Belanda. [Henk, op. cit., p. 82-84]

Belanda kemudian merancang strategi menguasai Bali. Pada awalnya, mereka meminta NHM (Nederlandsche Handelmaatschappij) supaya segera membuka kantor dagang di Bali. Sebagai imbalannya, NHM akan diberikan bantuan finasial jika sampai mengalami kerugian atau kegagalan di Bali. Kantor NHM akhirnya berdiri di Kuta tanggal 1 Agustus 1939. NHM di Bali mengalami kerugian di Bali, yang disebabkan oleh adanya persaingan ketat dengan George Morgan King, Mads J. Lange, dan pedagang Bugis. George Morgan King adalah seorang pedagang Inggris mulai menetap di Lombok tahun 1835. Ia berjasa dalam kemenangan Raja Mataram melawan musuh-musuhnya.[Tagel Eddy, p. 31] 
Sedangkan Mads J. Lange adalah seorang pedagang asal Denmark sebelumnya tinggal di Lombok. Dia berpihak dan membantu kerajaan Karangasem-Sasak ketika berperang melawan Kerajaan Mataram. Seteleh kerajaan Karangsem-Sasak kalah dalam peperangan itu, Lange melarikan diri dan tinggal di Kuta. [Ida Anak Agung Gde Agung, op. cit., p. 145]

Kegagalan itu juga disebabkan oleh perintah Raja Badung yang melarang rakyatnya tidak menjalin hubungan perdagangan dengan NHM. Selain itu, juga disebabkan oleh pangeran Puri Kesiman, I Gusti Ngurah Ketut yang tidak setuju terhadap keinginan NHM membangun tembok batu di lingkungan kantornya. [Lekkerkeker, afc. 1 an 2] 
Biarpun gagal secara ekonomi, namun NHM Bali berhasil secara politik. Itu disebabkan karena dua raja Badung, yakni Pemecutan dan Kesiman datang ke kantor NHM untuk meminta bantuan mesiu dan timah hitam kepada Belanda yang akan digunakan melawan Klungkung. Sebagai imbalannya mereka memberikan izin membangun sebuah benteng kecil yang dikamuplase dalam bentuk rumah kantor supaya tidak dicurigai oleh raja-raja Bali lainnya. [Ida Anak Agung Gde Agung, op. cit., pp. 88-89]

daftar bacaan:
  • Nordholt, Henk Schulte, 2006. The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan.
  • Gora Sirikan, “Pulau Bali dalam Masa-masa Jang Lampau, Jilid IV” Manuskrip, Gianyar 1956.
  • Gde Agung, Ide Anak Agung, 1989. Bali pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.
  • Tagel Eddy, I Wayan, 1992. “Bara Lombok di Seberang Bali (Sebuah Studi Pemberontakan Praya) 1891-1894,” Tesis S-2, Sekolah Pasca Sarjana UGM.
  • Lekkerkeker, C. , “Het Voorspel er Vestiging van de Nederlndsch Macht op Bali en Lombok (dicetak kembali dari Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde van Ned. Indie, dell 79, afc. 1 an 2.

1 komentar: