Google+

Kesiman Dalam Meluasnya Pengaruh Belanda

Kesiman Dalam Meluasnya Pengaruh Belanda

Melalui jalan yang dibuka NHM, Belanda memperoleh jalan menguasai Bali. Satu persatu kerajaan Bali dapat ditaklukkan. Proses penaklukan diawali dengan terdamparnya kapal “Overijse” di dekat Pulau Serangan tanggal 25 Juli 1841. Raja Badung dari Puri Kesiman melarang rakyatnya menguasai barang-barang dan benda-benda kapal, namun rakyat serangan membangkang. Sesuai dengan hukum tawan karang, mereka menganggap semua barang dan harta benda kapal itu adalah hak mereka. Raja Kesiman akhirnya mengikuti kehendak rakyat Serangan.[Ida Anak Agung Gde Agung, op. cit., pp. 88-89]

Kesiman Dalam Sejarah Politik dan Ekonomi Abad XIX

Kesiman Dalam Sejarah Politik Abad XIX

Pada tahun 1809-1810 ketika Mengwi berada di bawah kekuasaan I Gusti Agung Ngurah Made Agung, Kerajaan Badung menyerbu Sibang yang merupakan daerah kekuasaan Puri Sibang yang merupakan negara bagian Kerajaan Mengwi. Kerajaan Badung yang dimotori oleh tentara bayaran Belanda mampu menaklukkan Sibang. Kerajaan Mengwi tidak mampu memberikan bantuan kepada Sibang seperti dulu ketika Badung menaklukan Padangluah. Dengan ditaklukkannya Puri Sibang, walaupun tidak seluruh kekuasaannya berhasil dilucuti, namun kerajaan Badung akhirnya memperoleh kuasa untuk melakukan penggalian sebuah saluran tambahan yang mengalirkan air dari sungai Ayung ke daerah persawahan di Badung. Pada periode kepemimpinan Raja I Gusti Agung Ngurah Made Agung itu, Raja Mengwi tidak lebih dari pemimpin satelit dari Raja Badung. Ia harus menyetorkan sebagian dari penghasilan kerajaan untuk dan mengirimkan bahan-bahan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan Puri Denpasar dan diharapkan memberikan sumbangan pada upacara pengebenan di Badung. [Nordholt, p.139]

Sejarah Lahirnya Puri Kesiman

Sejarah Lahirnya Puri Kesiman

PURI KESIMAN: Saksi Sejarah Kejayaan Kerajaan Badung

Kehadiran Puri Kesiman, menurut Gora Sirikan diawali dengan sikap politik I Gusti Ngurah Made. Ia adalah salah seorang cucu I Gusti Gde Oka alias I Gusti Ngurah, seorang Manca Puri Kaleran Kawan, yang merupakan pejabat tinggi di bawah punggawa dalam kerajaan Badung. Diceritakan oleh Sirikan, I Gusti Gde Made tidak puas dengan jabatannya sebagai seorang manca. Ia ingin memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi, karena menganggap dirinya pantas memperolehnya, mengingat kebesaran kerajaan Badung terjadi berkat cicitnya, putri raja Mengwi yang dibekali sejumlah desa saat menikah dengan Raja Pemecutan. Ia pun melirik kekuasaan I Gusti Ngurah Jambe di Puri Kesatria.[Gora Sirikan, p. 79]

Jangan pernah membayangkan istana Jambe Merik itu di Puri Kesatria adalah Puri Satria yang terwariskan sampai sekarang itu. Puri Satria yang dihuni oleh keluarga Anak Agung Ngurah Puspayoga, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur Bali, dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1929 di atas areal pura peninggalan I Gusti Jambe Merik. Puri Satria dimaksudkan sebagai tempat tinggal regent (wali pemerintahan) yang tiada lain adalah datuk Anak Agung Ngurah Puspayoga, salah satu keturunan raja Badung yang dapat menyelamatkan diri dalam perang 1906, kemudian ditawan Belanda di Lombok. Sementara Puri Kesatria yang dikisahkan dalam tulisan ini berasal dari Puri Peken Badung yang didirikan oleh I Gusti Jambe Merik. Setelah I Gusti Jambe Merik mangkat, ia digantikan oleh putranya, I Gusti Jambe Tangkeban. I Gusti Jambe Tangkeban digantikan lagi I Gusti Jambe Ketewel. Pada masa Jambe Ketewel, kekuasaan Puri Peken Badung meluas, yang disebabkan karena Raja Sukawati menghadiahinya daerah Batubulan. Hadiah itu diberikan sebagai balas budi atas jasanya mendamaikan pertengkaran antara Tjokorda Made dan Tjokorda Anom di Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi penyebab dari lahirnya Kerajaan Sukawati.[Gora Sirikan, p. 23]

Puri Kesiman

Puri Kesiman: Saksi Sejarah Kejayaan Kerajaan Badung

Artikel ditulis dalam rangka menyambut acara “Restorasi Makna, Nilai, Jatidiri Puri Agung Kesiman Sebagai Benteng Pelestari dan Pengembangan Budaya Bali” di Puri Agung Kesiman, tanggal 2 Juli 2011. 

“Tuanku I Gusti Ngurah Mayun,andai tuan masih ada hari penghabisan itu, apakah tuan kuasa tak akan membakar istana, seperti dilakukan dua saudara tuan,di Denpasar dan Pemecutan.” 

“Itulah sebab aku mendahului pergi,aku tak mau bakar membakar,mati tertembak peluru lawan.” 

“Jadi, karena itukah Tuan titahkan pandita,menikam keris pusaka ke dada.”