Pages

Sira Agra Manik

Sira Agra Manik

Sekarang dikisahkan Sira Agra Manik di Besakih yang bertugas untuk nabdabin Lawangan Agung. Selama di Besakih beliau tinggal di Pesraman mendampingi Ida Bang Tulusdewa. Setelah Sira Agra Manik dewasa, beliau lama tidak menikah. Pada suatu hari Sira Agra Manik pergi ke Lawangan Agung untuk melakukan kegiatan kebersihan. Di sana bertemu dengan anaknya I Pasek Prateka yang bernama Ni Luh Watusesa. Lama kelamaan keduanya saling mencinta, kemudian melangsungkan pernikahan. Kemudian Ni Luh Watusesa hamil dan melahirkan putra laki-laki dinamai Sira Manikan.

Semenjak mempunyai putra itu kemudian Sira Agra Manik tinggal di Lawangan Agung.
Tidak diceritakan kegiatan Sira Agra Manik setelah mempunyai putra Sira Manikan. Sampai lama kelamaan Sira Manikan menjadi dewasa. Selanjutnya Sira Manikan kawin dengan anaknya I Pasek Kayu Selem yang bernama Ni Luh Sari. Setelah perkawinannya itu beliau tinggal di Batusesa, dan diberi oleh orang tua beliau senjata batu yang sangat ampuh (mawisesa) serta kris pasupati.
Dari perkawinannya tersebut melahirkan 2 (dua) orang putra dan 1 (satu) orang putri:

  1. Sira Manik Gumi, 
  2. Sira Ayu Manik Mas dan 
  3. Sira Manik Arum.

Setelah Sira Manik Gumi dianggap dewasa, beserta dengan orang tuanya Sira Manikan kemudian pergi ke Swecapura untuk membantu Ida I Gusti Anglurah Sidemen. Sedangkan Sira Manik Arum pergi ke Karang Amla.


Di Semarapura terjadilah musibah/perang saudara yang mengakibatkan Sira Manikan wafat akibat ditikam dari belakang. Sira Manik Gumi selanjutnya menikah dengan anaknya I Pande Basa yang bernama Ni Luh Pande. Dari perkawinannya tersebut mempunyai 2 (dua) orang putra, masing-masing bernama:

  1. I Ngurah Manikan, dan 
  2. I Manik Gde Arum. 

I Ngurah Manikan tinggal di Semarapura, sedangkan I Manik Gde Arum pergi dan bertempat tinggal di Gianyar.

I Ngurah Manikan selanjutnya menikah dengan Ni Luh Biasama dan didaulat menjadi Patih Ida Dalem.
Dari perkawinannya tersebut mempunyai 4 (empat) orang anak:

  1. I Wayan Ngurah, 
  2. I Made Dabdab, 
  3. I Nyoman Brata, dan
  4. I Ketut Kemoning.


Di Gianyar, I Manik Gde Arum bertugas sebagai prajurit Raja Gianyar , dan bertemu serta kawin dengan anaknya I Bandesa yang bernama Ni Luh Kunti Sari. Dari perkawinannya itu, mempunyai 2 (dua) orang anak, masing-masing diberi nama:

  1. I Gede Ngurah Geni, dan 
  2. I Gede Gianyar.


Di Karang Amla, Sira Manik Arum kawin dengan anaknya I Gede Karangasem yang bernama Ayu Putri, dan kemudian diangkat menjadi Pejabat Raja Karangasem. Dari perkawinannya itu mempunyai seorang putra yang diberi nama Sira Manik Arum”.
Dan karena terjadi pergolakan di Puri, pergilah Sira Manik Arum tanpa tujuan yang pasti. Sira Manik Arum kawin dengan Ni Luh Karang dan mempunyai (4) empat orang anak:

  1. I Ngurah Wisesa, 
  2. I Ngurah Karang,
  3. Ayu Mas, 
  4. I Ngurah Manikan.


Atas permintaan Ida Dalem, maka I Wayan Ngurah ditunjuk menjadi pejabat kerajaan, sedangkan I Made Dabdab kembali ke Besakih. Sampai di Gembalan, I Made Dabdab kemalaman dan kemudian bertemu dengan I Pande. Beliau memutuskan untuk menginap di sana. Pada saat itu bertemulah beliau dengan anaknya I Pande yang bernama Ni Pande Dewi. Akibat kecantikan dari Ni Pande Dewi, akhirnya I Made Dabdab tidak jadi melanjutkan perjalanan dan memutuskan untuk kawin dan menetap di Gembalan. Sedangkan I Nyoman Brata diperintahkan untuk berjaga dan sebagai prajurit di Budaga. Dan pada suatu ketika bertemu dengan Ni Ayu Bajing, selanjutnya kawin dan menetaplah beliau di sana.

Sedangkan I Ketut Kemoning ditunjuk sebagai prajurit dan ditugaskan untuk berjaga di daerah Kemoning. Di Kemoning bertemu dengan Ni Luh Canting serta kawin dan menetap di sana. Selanjutnya tidak diceritakan lagi.

Di Sweca Pura, I Wayan Ngurah kawin dengan Ayu Manik Mas, dan mempunyai 3 (tiga) orang anak:

  1. I Putu Gunadi, 
  2. Ni Luh Manik Parasara, dan 
  3. Ni Luh Suryani.


I Putu Gunadi kawin dengan Ayu Mas, dan mempunyai 2 (dua) orang anak:

  1. I Paresara, dan
  2. I Made Wardana (putung/camput).


I Paresara kawin dengan Ayu Manggis Kuning dan mempunyai anak tunggal yang bernama I Putu Gelgel. I Putu Gelgel setelah dewasa diangkat menjadi pejabat utama Ida I Gusti Ngurah Sumerta yang saat itu sebagai Anglurah Sidemen VI, seperti permintaan Ida Dalem. Selanjutnya kawin dengan Ni Luh Sri Wardani serta mempunyai 5 (lima) orang anak:

  1. I Putu Paresara,
  2. I Made Widjaya,
  3. Ni Luh Wardani,
  4. I Gede Manikan, dan
  5. I Catri Arsana.


Akibat terjadinya situasi yang tidak kondusif di Kerajaan Gelgel, maka sekitar tahun 1685 Masehi I Putu Paresara bersama-sama dengan saudara-saudaranya pergi meninggalkan Suweca Pura (Gelgel). I Putu Paresara pergi ke Timur sampai di Wilayah Selatan Bukit Indrawati, yang sekarang bernama Ulakan dan menetap di sana.

Tidak diceritakan berapa lama I Putu Paresara tinggal dan menetap di Ulakan, sampai pada suatu ketika I Putu Paresara bertemu dengan Ni Luh Nurida dan melakukan perkawinan. Dari perkawinannya itu mempunyai 3 (tiga) orang anak:

  1. I Wayan Budjangga,
  2. I Made Suda, dan
  3. I Nyoman Brati.

Lama kelamaan I Wayan Budjangga dan I Made Suda diutus untuk membawa surat ke Kerajaan Bangli. Sesampainya di Kerajaan Bangli, bertemu dengan I Gusti Anom Wanasari dan atas persetujuan beliau diangkatlah menjadi prajurit dan oleh karenanya menetap di Puri Bangli. Sedangkan I Nyoman Brati pergi ke Daerah Sasak. Tinggalkan cerita itu sejenak.

Sekarang diceritakan, bahwa adiknya Ida I Gusti Anglurah Mangku Sidheman bernama I Gusti Made Teges, yang tinggal di Karangasem, lama kelamaan rindu dengan adiknya yang bernama I Gusti Anom Wanasari yang tinggal di Puri Bangli.

Beliau dengan beriringan beberapa orang prajurit dengan membawa senjata “Sangkut” yang bernama Ki Barujaya dan “Pawedaan”, pergi mencari adiknya I Gusti Anom Wanasari di Bangli, dengan maksud untuk di ajak ke Karangasem.
Tidak diceritakan berapa lama mereka diperjalanan, akhirnya sampai mereka di Puri Bangli. Lalu menghadap Raja, dan permintaan beliau agar Raja berkenan memberikan adiknya I Gusti Anom Wanasari untuk bisa diajak ke Karangasem. Raja tidak mengijinkankan, tetapi Raja berkenan memberikan mengajak prajurit sebanyak-banyaknya, tetapi I Gusti Made Teges tidak mau. Lalu Raja berkenan dan memberikan mengajak prajurit andalan yang bernama I Made Suda yang memang keluarga Manikan, supaya mengikuti ke Karangasem ditambah beberapa prajurit lainnya. I Gusti Made Tegespun mengikuti perintah Raja, dan berpamitan kepada Raja untuk pergi ke Karangasem. Beliaupun berangkat dengan I Made Suda dengan beriringan beberapa orang prajurit pemberian Raja Bangli. Sesampainya di Karangasem beliau lalu membangun Puri yang bernama “Karang Sidemen”.

Entah berapa lama I Made Suda tinggal dengan I Gusti Made Teges, lalu kawin dengan seorang putri yang berasal dari Belong Karangasem. Dari perkawinannya itu, melahirkan 3 (tiga) orang putra dan putri:

  1. I Ganti,
  2. Ni Luh Bagia, dan
  3. I Komang Jata

Lama kelamaan, I Ganti pergi mengembara ke Daerah Badung, di Kerobokan, sedangkan I Komang Jata pergi ke Ulakan.

Kembali diceritakan sekarang, saudaranya I Putu Paresara yang nomor dua yang bernama I Made Widjaya. Beliau pergi meninggalkan Gelgel ke Daerah Buleleng dan memutuskan untuk menetap di sana. Di Buleleng diangkat menjadi prajurit kerajaan dan selama di Buleleng bertemu dan melangsungkan perkawinan dengan anak I Pasek Preteka yang bernama Luh Pasek Lemuh. Selanjutnya tidak diceritakan lagi.

Ni Luh Wardani, manjing ke Puri sebagai dayang. Dan I Gede Manikan tinggal di Gelgel dan kawin dengan Ni Widiasih. Akibat semakin tidak kondusifnya keadaan di Puri Gelgel menjelang pemberontakan I Gusti Agung Maruti terhadap Dalem Dimade, maka pergilah I Gede Manikan dari Gelgel ke Bala Batuha, yang sekarang bernama Blahbatuh, bersama-sama dengan wadwanya I Gusti Ngurah Jelantik.

I Catri Arsana pergi ke Daerah Badung, dan di Badung kawin dengan Ayu Kunti Manik. Dari perkawinannya itu mempunyai 2 (dua) orang anak:

  1. I Wayan Majun, dan
  2. I Made Gede Rai.


Demikianlah keberadaan keturunan dari Sira Agra Manik, putra keempat Ida Danghyang Bang Manik Angkeran.

Demikian ceriteranya dahulu, keberadaan keturunan persaudaraan Catur Warga, keturunan Pendeta Besar Ida Danghyang Siddhimantra, yang berputra Ida Danghyang Bang Manik Angkeran, di Pulau Bali. Inilah sapanya: Om Ksamaswamam pangastutyem, Sarwa sujanyem Çiwabudhayem, Wetting hina wakyam hina budyem, Hinaksaram hina prityaksyem, Siddhakarem wahya turyyanem, Grahanem edatwantu çimantanem.

1 komentar:

  1. salam hangat dari kami ijin menyimak gan, dari kami pengrajin jaket kulit

    BalasHapus