Google+

Kawitan Leluhur Bali

Kawitan Leluhur Bali

Orang Bali tidak akan merasa lengkap jati dirinya bila dia belum mengetahui siapa dan dimana "Kawitan” dan sejarah perjalanana Leluhurnya. Mereka tertuntut menelusuri silsilah mereka ke atas, atau yang sudah merasa ‘mempunyai’ berlomba mempertegas “sejarah” (ingat dalam tanda kutip) mereka dengan babad atau unsur-unsur yang mempertegas keberadaan “kepalingbalian” mereka, kemudian diikuti dengan pembentukan organisasi soroh (komunitas yang mendasarkan diri pada persamaan kawitan, pura leluhur), membuat terbitan ekslusif untuk anggota, bahkan terkesan anggota sidang redaksinya “tertutup”, dan seterusnya.

“Kawitan saya dimana dan Siapa ?”
barangkali itulah kalimat yang sering kita dengar di masyarakat.

Apa yang dimaksud sebenarnya dengan Kawitan?

Secara umum masyarakat mengenal kata Kawitan dengan arti asal mula atau leluhur seseorang yang menjadi cikal bakal keberadaan keluarganya di masa kini. Atau bisa dikatakan bahwa Kawitan adalah Asal mula sebuah soroh atau clan yang ada di Bali.

Babad Mas Sepuh - Pangeran Menak Jingga

Babad Mas Sepuh - Pangeran Menak Jingga

Sang penyair menyatakan pujiannya kepada Siwa, memohon pengampunan, rahmat dan restu: semoga ia dijauhkan dari segala kejahatan, segala penderitaan, segala dosa; semoga dia dan kerabatnya mendapatkan kebahagiaan, umur panjang dan kemakmuran.

Pangeran Danureja, yang telah menjadi raja Blambangan sesudah lama bertapa, mempunyai anak:

  • Pangeran Menak Jingga (Pangeran Jingga dalam Babad Wilis) yang biasanya dinamakan Pangeran Mas Sepuh.
  • Mas Ayu Nawangsasi (isteri Danuningrat). 
  • Mas Ayu Sepuh (Babad Tawang Alun) atau Mas Ayu Rahinten, 

Pada tahun 1520 Saka (dengan sangkala nora tinghal bhuta sasih) [yaitu 1598 M], Blambangan ditaklukkan oleh Ki Gusti Nglurah Panji Sakti, raja Singaraja, yang kemudian menghadiahkannya—bersama negeri Jambrana [Bali Barat]—kepada Raja Mangwi, Gusti Agung Dhimadhe. Gusti Agung Dhimadhe lalu dinamakan Gusti Nglurah Agung Sakti dari Blambangan [dalam babad Mas Sembar, ia diberi nama Cokordha Blambangan]

Ida Tohjiwa atau Gusti Ngurah Tohjiwa

Ida Tohjiwa atau Gusti Ngurah Tohjiwa

Ida Tohjiwa atau Ida Sukaluwih, adik dari I Gusti Panataran, putra dari Ida Wang Bang Tulus Dewa.

Seperti diceriterakan di depan Ida Tohjiwa kemudian beralih wangsanya menjadi Arya-Kstariya mengikuti kakaknya Ida Bang Panataran yang menjadi I Gusti Ngurah Panataran atau I Gusti Ngurah Kacangpawos. Karena itu berliau bernama I Gusti Ngurah Tohjiwa. 

Beliau juga menjadi pejabat mendampingi Ida Dalem Smara Kepakisan di Gelgel, kemudian ketika Ida Dalem wafat, beliau diganti oleh Ida Dalem Waturenggong. Ida Dalem Waturenggong sudah berusia lanjut kemudian berpulang ke Sorgaloka. Ada putranya dua orang masih kanak-kanak, yang bernama:

  • I Dewa Pamahyun, 
  • Ida I Dewa Dimade atau Ida I Dewa Anom Sagening nama beliau yang lain. 

Kemudian I Dewa Pamahyun yang menggantikan Ida Dalem Waturenggong, namun masih kanak-kanak, sehingga beliau diasuh oleh paman beliau. Pada saat itu yang menjadi patih adalah Kriyan Batan Jeruk.

I Gusti Kubayan Sakti

I Gusti Kubayan Sakti

Sekarang kembali diceriterakan I Gusti Kubayan Sakti, putra kedua dari Ida I Gusti Anglurah Sidheman Gunung Agung, atau adik dari Ida I Gusti Anglurah Sidheman Kaler Dimade, yang berdiam di pasraman Ida Bhatara Danghyang Bang Manik Angkeran di Besakih. 

Beliaulah yang melanjutkan pelaksanaan upacara di Kahyangan Besakih, serta menyelesaikan selengkapnya hal-hal yang ada di Besakih. Beliau mempunyai putra dua orang:

  • I Gusti Ngurah Mangku Sidemen, berdiam di Jero Meregan, Besakih
  • I Gusti Mangku Kubayan, berdiam di Delod Sisi, besakih.

Kemudian berdua itu melaksanakan dwijati serta diberikan pegangan masing-masing satu buah yakni agar mengingatkan pekerjaaan ayah-ayah di Pura Besakih, yang dibagi dua bagaikan akasa dengan pertiwi. 
Yang satu agar mengingatkan wilayah yang dinamai Luhuring Ambal-ambal, memiliki pembantu atau petangan empat orang yakni : 

  • Ki Tinggi, 
  • Ki Tincap, 
  • Ki Pageh serta 
  • Ki Patuh. 

Yang satunya lagi mengawasi serta melakukan kebersihan di wilayah yang dinamai Soring Ambal-ambal, memiliki pembantu petangan tiga orang yakni:

  • Ki Dangka, 
  • Ki Gaduh dan 
  • Ki Pejengan.

Anglurah Sidheman VII

Anglurah Sidheman VII - I Gusti Ngurah Mangku

Para putra Ida I Gusti Anglurah Sidheman Sumertha adalah:

  • I Gusti Ngurah Mangku yang menggantikan ayahandanya bergelar Ida I Gusti Anglurah Sidheman,
  • I Gusti Teges tinggal di Ulakan, 
  • I Gusti Anom di Bangli, 
  • I Gusti Ketut Putu menetap di Muncan, 
  • I Gusti Kebon pergi ke desa Abang dan 
  • I Gusti Alit Sawan di Macetra.

Ida I Gusti Anglurah Sidheman Mangku dikatakan sebagai Anglurah Sidemen terakhir, karena sesudah beliau tidak ada lagi keturunan Arya Bang Sidemen yang menjadi pejabat Anglurah. 
I Gusti Anglurah Mangku Sidheman diperdaya oleh I Gusti Nengah Sibetan yang di bantu oleh Raja Karangasem. Di wilayah desa Duda beliau dihadang dan direbut sehingga akhirnya beliau meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.

Anglurah Sidheman III - VI

Anglurah Sidheman III - I Gusti Kaler Dimade

Kemudian beliau diganti oleh putranya I Gusti Kaler yang mempergunakan gelar sebagai ayahnya yakniIda I Gusti Anglurah Sidheman. 
Putra yang kedua bernama I Gusti Kubayan sakti diminta menjaga Parhyangan Ida Bhatara di Besakih, putranya yang ketiga I Gusti Dangin diminta untuk berdiam menjaga kawasan Yeh Mumbul, Sibetan. 
Ida I Gusti Anglurah Sidheman Dimade, Ken Sena juga namanya yang lain, terkenal dengan kepandaiannya dalam hal sastra, serta indah sekali tulisan beliau.

Ida I Gusti Anglurah Sidheman atau I Gusti Kaler Dimade memiliki 3 puri – tempat tinggal, yakni:

  1. Puri Singharsa di Sidemen sebagai tempat beliau menata pemerintahan beliau, 
  2. di Muncan sebagai tempat beliau melaksanakan tugas di Pura Besakih atau di Pura Linjong, 
  3. istana di Kacangpawos dipakai tatkala beliau bersitirahat saat menghadap kepada Ida Dalem di Suwecapura.

Anglurah Sidheman IV - I Gusti Cerawis

Sekarang diceriterakan I Gusti Anglurah Sidheman – I Gusti Kaler sudah berputra seorang anak laki-laki bernama:

  • I Gusti Cerawis atau I Gusti Kumis. 

Cara Membuat Anak Keturunan yang Suputra

Cara Membuat Anak Keturunan yang Suputra

Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh anak. Sebab, kelak diharapkan anak menjadi penyelamat keluarga, membebaskan leluhur dari api neraka? Karena itulah seorang anak disebut putra, artinya dapat membebaskan orang tua, atau leluhur dari penderitaan alias neraka.
Itulah sebabnya kehadiran seorang anak begitu penting bagi keluarga Hindu, khususnya Bali. 

Mengingat akan pentingnya kelahiran anak yang suputra dalam setiap rumah tangga, maka untuk hal itu diantaranya dapat dilakukan beberapa ritual sebagaimana tertuang dalam Lontar Smara Kriddha Laksana sebagai berikut:

Persiapan Melakukan Hubungan Suami Istri (Senggama)

sebelum melakukan pertemuan suami istri ada beberapa hal yangperlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut:
  • Mantapkan niat, baik fisik maupun non-fisik
  • Haturkan sesuatu ke hadapan Bhetara Kawitan, berupa sesajen di Sanggah Kemulan,
  • Melakukan Persembahyangan bersama, yang kemudian di ikuti dengan Do'a Permohonan untuk memperoleh keturunan,
  • lakukan prosesi yang dibahas di "pertemuan suami-Istri (coitus)"
  • Selama Istri mengandung, suami/istri  pantang untuk membunuh binatang, mengendalikan emosi -ego, dan setiap hari ucapkan mantra "Gayatri" pada pusar istri serta mengucapkan mantra "Om Srikomadewa ya namah".

Anglurah Sidheman II

Anglurah Sidheman II - I Gusti Gunung Agung

Sepulang Ida I Gusti Anglurah Sidheman Dimade ke Sorgaloka, maka kedudukan beliau digantikan oleh putranya I Gusti Gunung Agung, memakai gelar sebagai ayahnya Ida I Gusti Anglurah Sidheman.

Beliau menjadi Anglurah yang mendampingi Ida Dalem Sagening di Gelgel. Sebagai mahapatih Ida Dalem adalah I Gusti Agung Widhya diseratai oleh adiknya yang bernama I Gusti Ler Pranawa. Karena sehari-hari bertemu dengan putri I Gusti Ler, maka beliau jatuh cinta kepada I Gusti Ayu Kaler putri dari I Gusti Kaler.

Diceriterakan I Gusti Ler Pranawa yang menjabat Demung di Gelgel mempunyai putra laki-laki 9 orang, wanita 5 orang. 
Yang laki bernama:

  1. I Gusti Penida, 
  2. I Gusti Wayahan Kamasan, 
  3. I Gusti Ketut Kamasan, 
  4. I Gusti Sibetan, 
  5. I Gusti Sampalan, 
  6. I Gusti Tambesi, 
  7. I Gusti Teges, 
  8. I Gusti Ubud, 
  9. I Gusti Basang Kasa. 

Ida I Gusti Anglurah Sidhemen I

Ida I Gusti Anglurah Sidhemen I atau I Gusti Made Kacang

Diceriterakan sekarangputra Ida I Gusti Anglurah Kacangpawos yang bernama I Gusti Made Kacang atau I Gusti Dimade, sudah dewasa beliau itu kemudian menggantikan kedudukan ayahnya seperti yang diperintahkan oleh Ida Dalem. Semasa ayahnya hidup, Ida I Gusti Dimade ditugaskan untuk mengadakan penelitrian serta membangun permukiman di perbukitan atau tanah cebola di tepi timur laut desa Kacangpawos. I Gusti Made Kacang menuruti perintah ayahnya dengan membawa perlengkapan serta rakyat 200 orang banyaknya.

Disertai oleh rakyatnya, I Gusti Made Kacang tanpa pamrih membangun kawasan tanah cebola itu, kemudian membangun istana. Wilayah itu dinamai Cabola yang belakangan menjadi Tabola atau Tebola.

Lama kelamaan Ida I Gusti Made Kacang berdiam di Cabola, kemudian pada suatu hari beliau beranjangsana, melihat wilayah sebelah timur tempat istana beliau. Kemudian beliau sampai di suatu tempat yang luas yang masih sepi namun baru – suwung lan hnu anyar. Kemudian beliau beristirahat di tempat itu. Ada wangsit dari beliau Yang Di Atas yang meminta agar beliau membangun tempat itu. 
Itu sebabnya beliau disetai rakyatnya semuanya kemudian membangun tempat itu dan membuat istana di sana. Kemudian tempat itu diberi nama Yang Taluh. Itu sebabnya beliau diberi gelar I Gusti Yang Taluh

Ida Bang Penataran atau Anglurah Kacangdawa

Ida Bang Penataran atau Anglurah Kacangdawa

Diceriterakan sekarang Ida Bang Panataran, putra dari Ida Bang Tulus Dewa, setelah ditinggal oleh ayahnya. Memang benar-benar sayang beliau kepada adik beliau Ida Bang Tohjiwa serta Ida Bang Singharsa. Siang malam beliau bertiga memperdalam kecakapan dan ilmu yang diberikan oleh ayahnya agar kian merasuk di diri beliau masing-masing.

Karena beliau sudah meningkat dewasa, andal pada diri, maka pada suatu hari, Ida Panataran berangsana turun dari Besakih ke desa-desa, sampai akhirnya tiba di Gelgel. Saat itu Ida Dalem Smara Kepakisan yang menjadi raja Bali didampingi oleh para patih dan menteri semua. Di saat itu beliau dilihat oleh Patih Agung Kriyan Patandakan yang sedang menuju ke puri menghadap Ida Dalem. Sangat heran Sang patih Agung , Kriyan Patandakan melihat prabawa Ida Panataran. Kemudian diminta beliau itu singgah di Puri Ki Patih Agung. Di sana Ida Panataran jatuh cinta kepada purti Ki Patih Agung yang bernama I Gusti Ayu Buringkit.

Singkat cerietera, karena sudah saling mangasihi, keduanya, maka Ida Bang Panataran menikahi putri Ki Gusti Agung dan kemudian berdiam di rumah mertuanya.

Diceriterakan sekarang adik Ida Panataran yang bernama Ida Tohjiwa, seperti kehilangan, sudah demikian rindu dengan kakak beliau, kemudian dicarinya kakaknya ke desa-desa, tak dinyana ditemuinya di Gelgel. Di sana kemudian adiknya menghadap kepada kakaknya, di Kepatihan. 

Ida Wang Bang Tulus Dewa

Ida Wang Bang Tulus Dewa

Dikisahkan sekarang Ida Wang Bang Tulus Dewa atau Ida Wang Bang Tulus Ayu di Besakih bersama adiknya Ida Wang Bang Wayabiya. Sesudah Ida Danghyang Bang Manik Angkeran berpulang moksa ke Sorgaloka, beliau berdua kakak beradik bertempat tinggal di Pasraman ayah beliau sang pendeta yang sudah meninggal. Berdua beliau itu melanjutkan tugas ayah beliau sebagai Juru Sapuh, mengawasi keasrian serta kesucian sthana Ida Bhatara semua se wilayah Besakih, terutama di Kahyangan Hyang Naga Basukih serta menjadi prakangge yang menyelesaikan segala upacara di Kahyangan Jagat itu. Di samping itu Ida Bang Tulus Dewa memang benar-benar seorang arsitek agung, beliaulah yang memperbaiki serta menata Pura Besakih pada saat itu, sehingga menjadi asri serta megah nampaknya.

Sira Agra Manik

Sira Agra Manik

Sekarang dikisahkan Sira Agra Manik di Besakih yang bertugas untuk nabdabin Lawangan Agung. Selama di Besakih beliau tinggal di Pesraman mendampingi Ida Bang Tulusdewa. Setelah Sira Agra Manik dewasa, beliau lama tidak menikah. Pada suatu hari Sira Agra Manik pergi ke Lawangan Agung untuk melakukan kegiatan kebersihan. Di sana bertemu dengan anaknya I Pasek Prateka yang bernama Ni Luh Watusesa. Lama kelamaan keduanya saling mencinta, kemudian melangsungkan pernikahan. Kemudian Ni Luh Watusesa hamil dan melahirkan putra laki-laki dinamai Sira Manikan.

Semenjak mempunyai putra itu kemudian Sira Agra Manik tinggal di Lawangan Agung.
Tidak diceritakan kegiatan Sira Agra Manik setelah mempunyai putra Sira Manikan. Sampai lama kelamaan Sira Manikan menjadi dewasa. Selanjutnya Sira Manikan kawin dengan anaknya I Pasek Kayu Selem yang bernama Ni Luh Sari. Setelah perkawinannya itu beliau tinggal di Batusesa, dan diberi oleh orang tua beliau senjata batu yang sangat ampuh (mawisesa) serta kris pasupati.
Dari perkawinannya tersebut melahirkan 2 (dua) orang putra dan 1 (satu) orang putri:

  1. Sira Manik Gumi, 
  2. Sira Ayu Manik Mas dan 
  3. Sira Manik Arum.

Setelah Sira Manik Gumi dianggap dewasa, beserta dengan orang tuanya Sira Manikan kemudian pergi ke Swecapura untuk membantu Ida I Gusti Anglurah Sidemen. Sedangkan Sira Manik Arum pergi ke Karang Amla.

Para Putra Arya Wayabiya berpindah tempat

Para Putra Arya Wayabiya berpindah tempat

Diceriterakan I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi ketika beristana di Tambaan serta menjadi Anglurah Gelgel, ada putranya bernama:

  • I Gusti Ngurah Tambaan Saguna, 
  • I Gusti Ayu Jembung, 
  • I Gusti Ayu Raka serta 
  • I Gusti Tambaan Laca. 

I Gusti Tambaan Laca menyertai ayahnya di Tegal. 
 I Gusti Ayu Jembung sudah dipertemukan dan dinikahkan dan sudah diupacarai dengan I Gusti Ngurah Arsa Guwi. Tahu-tahu datang utusan sang ratu Taman Bali, meminang I Gusti Ayu Jembung. Utusan itu bernama Padanda Sakti Gde Mawang. 

Tatkala I Gusti Ngurah Tambaan keluar dari puri, dilihat sang pandita di halaman puri sedang memegang tateken beliau dan terlihat keluar api se-kepalan tangan bertingkat satu. Kemudian Ida I Gusti Ngurah Tambaan seraya menghaturkan ucapan selamat datang, juga memegang keris pusaka – pajenengan beliau dan keluar api se-hasta bertingkat 21. Saat itu merasa kalah kesaktian sang pandita dengan I Gusti Ngurah Tambaan. Lalu Ida pandita menyampaikan prihal akan meminang adiknya I Gusti Ayu Jembung akan dipakai isteri oleh I Dewa Taman Bali. 

Bukti Saint Veda tentang keberadaan Alam Semesta

Bukti Saint Veda tentang keberadaan Alam Semesta

Pustaka Hindu kuno, memperkirakan "Hari Brahma, jangka hidup dari alam semesta kita, menjadi 4.32 milyar tahun. Angka ini dekat dengan perkiraan para astronom kita, yang menghitungnya menjadi sekitar 4.6 milyar tahun."

Dr. Carl Sagan ahli astronomi AS terkenal, di dalam bukunya, Cosmos (1980) menjelaskan: “Agama Hindu adalah satu-satunya agama besar dunia yang mengatakan bahwa Alam Semesta mengalami kelahiran dan kematian tak terukur, tak terbatas. Ia adalah satu-satunya agama di mana skala waktunya sesuai dengan skala waktu kosmologi ilmiah modern. Siklusnya berjalan dari hari siang dan malam biasa kita ke suatu siang dan malam Brahma, 8.64 milyar tahun panjangnya. Lebih panjang dibanding usia Bumi atau Matahari dan sekitar separuh waktu sejak Dentuman Besar (Big Bang). Dan masih ada banyak skala waktu yang lebih panjang.”

Suatu ketika Dr. Carl Sagan, melakukan show di sebuah TV di Amerika. 
Dengan bantuan animasi dan simulasi komputer, Mr. Sagan mempresentasikan semua teori yang dikemukakan oleh Para ahli fisika astronomi saat ini. 
Dijelaskannya tentang panjang gelombang cahaya galaxy yang terus bertambah, alam semesta mengembang, teori Big Bang, efek Dopler, dan sebagainya. Para pemirsa terkejut, ketika menjelang akhir acaranya Mr. Sagan terlihat berada di India, berdiri di depan sebuah Temple Krishna yang telah berusia ribuan tahun. 

Mr. Sagan berkata “Para ilmuwan menemukan semua teori yang telah saya paparkan tadi tahun-tahun akhir ini saja, sedangkan di sini, di India, orang sudah mengetahui informasi itu sejak ribuan tahun yang lalu, dari kitab-kitab Weda…” (Danavir Gosvarni, 2002).