Google+

Mantra Muspa atau Sembahyang

Mantra Muspa atau sembahyang

setelah lama menulis, ternyata ada banyak pertanyaan tentang
"mantra untuk muspa" itu yang bagaimana...?
apakah mantra saat muspa diluar rumah dengan di dalam dirumah itu beda?

untuk itu, melalui blog cakepane ini, saya kembali mengulas tentang Mantra Muspa atau Sembahyang.
kalau diteliti dari awal dibuatnya blog tentang budaya bali cakepane ini, penulis telah beberapakali memposting tentang mantra muspa atau sembahyang ini, yaitu dengan judul Kramaning Sembah

tetapi, untuk mengisi dahaga para pembaca setia cakepane ini, saya kembali bagikan mantra-mantra yang digunakan saat muspa dirumah saja, sedangkan untuk muspa diluar rumah baik di pura maupun tempat lainnya, silahkan baca artikel saya di atas.

dilihat dari etimologi, asal kata "muspa" berasal dari kata "puspa" yang artinya sekar, kembang, bunga. jadi maksud dari kata "muspa" ini adalah sembahyang dengan menggunakan sarana sekar/kembang, yang dalam kesehariannya juga dikenal dengan istilah mabakti.
mabakti sendiri asal katanya adalah "bakti", yang menunjukan maksud dengan kesungguhan hati mengabdi dengan cinta kasih mendekatkan diri, tunduk kehadapanNYA.

muspa atau mabakti ini dilakukan dengan jalan 5 tahap, sehingga dapat juga disebut dengan "panca sembah". diantaranya:

  1. sembah puyung "tanpa bunga" yang ditujukan kehadapan Tuhan YME sebagai Sang Hyang Paratma.
  2. sembah dengan bunga yang ditujukan kehadapan Tuhan YME yang dimanifestasikan sebagai Dewa Surya, sebagai saksi setiap kejadian di dunia ini.
  3. sembah dengan bunga/kawangen, yang ditujukan kehadapan Tuhan YME dalam manifestasinya sebagai Dewata Utama yang dijadikan tujuan utama sembahyang. misalnya kalau dirumah kehadapan bhetara hyang guru/kawitan (yang memiliki kemulan) atau siwa aditya (yang tidak memiliki kemulan, hanya memiliki sanggah surya/padma sari)
  4. sembah dengan bunga, yang ditujukan kehadapan Tuhan YME dalam manifestasinya sebagai Dewata/dewa samodaya untuk memohon anugrahNYA
  5. sembah puyung, tanpa sarana, yang ditujukan kehadapan Tuhan YME hyang Acintya.

bagi yang ingin mengetahui mantra dan tatacara ritual pamuspan atau mebakti dapat dilaksanakan sebagai berikut:

Filosofi dan Mitologi Saraswati

Filosofi dan Mitologi Saraswati

Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia.

Sebagaimana disebutkan, Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.

Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati.

Mitologi cerita Runtuhnya Watugunung

Mitologi cerita Runtuhnya Watugunung

Hari Suci Sarasawati - Hari suci Wuku Watugunung ini didasarkan oleh suatu Epos dan Ethos, sehingga dapat mempersonifikasikan suatu karakter yang keras, didukung juga dengan kesaksian yang dimiliki.

Watugunung (Watu Gunung) yang disebutkan dalam wuku dengan urip 8 dan bilangan 30. Tersebutlah sebuah kisah watugunung sebagaimana yang disebutkan dalam lontar medangkemulan, sebagai salah satu acuan lontar dalam perhitungan kalender Bali.

Watugunung adalah seorang anak dari raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih.

Pada mulanya diceritakan, setelah lama bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia.

Sang Raja menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di kraton selama beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.

Hari Raya Saraswati

Hari Raya Saraswati

Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya, karena pada Hari Raya Saraswati ini sebagai hari pemujaan turunnya ilmu pengetahuan bagi umat Hindu
secara Etimologi Saraswati terdiri dari kata : Saras dan Wati.
  • Saras berarti sesuatu yang mengalir, dan kecap atau ucapan.
  • Wati berarti yang memiliki/ mempunyai. 

Jadi, Saraswati berarti : yang mempunyai sifat mengalir dan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.

Dalam ajaran Tri Murti menurut Agama Hindu Sang Hyang Saraswati adalah Saktinya Sanghyang Brahman. Sang Hyang Saraswati adalah Hyang-Hyangning Pangaweruh sehingga Aksara merupakan satu- satunya Lingga Stana Sang Hyang Saraswati. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.

Kawitan Leluhur Bali

Kawitan Leluhur Bali

Orang Bali tidak akan merasa lengkap jati dirinya bila dia belum mengetahui siapa dan dimana "Kawitan” dan sejarah perjalanana Leluhurnya. Mereka tertuntut menelusuri silsilah mereka ke atas, atau yang sudah merasa ‘mempunyai’ berlomba mempertegas “sejarah” (ingat dalam tanda kutip) mereka dengan babad atau unsur-unsur yang mempertegas keberadaan “kepalingbalian” mereka, kemudian diikuti dengan pembentukan organisasi soroh (komunitas yang mendasarkan diri pada persamaan kawitan, pura leluhur), membuat terbitan ekslusif untuk anggota, bahkan terkesan anggota sidang redaksinya “tertutup”, dan seterusnya.

“Kawitan saya dimana dan Siapa ?”
barangkali itulah kalimat yang sering kita dengar di masyarakat.

Apa yang dimaksud sebenarnya dengan Kawitan?

Secara umum masyarakat mengenal kata Kawitan dengan arti asal mula atau leluhur seseorang yang menjadi cikal bakal keberadaan keluarganya di masa kini. Atau bisa dikatakan bahwa Kawitan adalah Asal mula sebuah soroh atau clan yang ada di Bali.

Babad Mas Sepuh - Pangeran Menak Jingga

Babad Mas Sepuh - Pangeran Menak Jingga

Sang penyair menyatakan pujiannya kepada Siwa, memohon pengampunan, rahmat dan restu: semoga ia dijauhkan dari segala kejahatan, segala penderitaan, segala dosa; semoga dia dan kerabatnya mendapatkan kebahagiaan, umur panjang dan kemakmuran.

Pangeran Danureja, yang telah menjadi raja Blambangan sesudah lama bertapa, mempunyai anak:

  • Pangeran Menak Jingga (Pangeran Jingga dalam Babad Wilis) yang biasanya dinamakan Pangeran Mas Sepuh.
  • Mas Ayu Nawangsasi (isteri Danuningrat). 
  • Mas Ayu Sepuh (Babad Tawang Alun) atau Mas Ayu Rahinten, 

Pada tahun 1520 Saka (dengan sangkala nora tinghal bhuta sasih) [yaitu 1598 M], Blambangan ditaklukkan oleh Ki Gusti Nglurah Panji Sakti, raja Singaraja, yang kemudian menghadiahkannya—bersama negeri Jambrana [Bali Barat]—kepada Raja Mangwi, Gusti Agung Dhimadhe. Gusti Agung Dhimadhe lalu dinamakan Gusti Nglurah Agung Sakti dari Blambangan [dalam babad Mas Sembar, ia diberi nama Cokordha Blambangan]

Ida Tohjiwa atau Gusti Ngurah Tohjiwa

Ida Tohjiwa atau Gusti Ngurah Tohjiwa

Ida Tohjiwa atau Ida Sukaluwih, adik dari I Gusti Panataran, putra dari Ida Wang Bang Tulus Dewa.

Seperti diceriterakan di depan Ida Tohjiwa kemudian beralih wangsanya menjadi Arya-Kstariya mengikuti kakaknya Ida Bang Panataran yang menjadi I Gusti Ngurah Panataran atau I Gusti Ngurah Kacangpawos. Karena itu berliau bernama I Gusti Ngurah Tohjiwa. 

Beliau juga menjadi pejabat mendampingi Ida Dalem Smara Kepakisan di Gelgel, kemudian ketika Ida Dalem wafat, beliau diganti oleh Ida Dalem Waturenggong. Ida Dalem Waturenggong sudah berusia lanjut kemudian berpulang ke Sorgaloka. Ada putranya dua orang masih kanak-kanak, yang bernama:

  • I Dewa Pamahyun, 
  • Ida I Dewa Dimade atau Ida I Dewa Anom Sagening nama beliau yang lain. 

Kemudian I Dewa Pamahyun yang menggantikan Ida Dalem Waturenggong, namun masih kanak-kanak, sehingga beliau diasuh oleh paman beliau. Pada saat itu yang menjadi patih adalah Kriyan Batan Jeruk.

I Gusti Kubayan Sakti

I Gusti Kubayan Sakti

Sekarang kembali diceriterakan I Gusti Kubayan Sakti, putra kedua dari Ida I Gusti Anglurah Sidheman Gunung Agung, atau adik dari Ida I Gusti Anglurah Sidheman Kaler Dimade, yang berdiam di pasraman Ida Bhatara Danghyang Bang Manik Angkeran di Besakih. 

Beliaulah yang melanjutkan pelaksanaan upacara di Kahyangan Besakih, serta menyelesaikan selengkapnya hal-hal yang ada di Besakih. Beliau mempunyai putra dua orang:

  • I Gusti Ngurah Mangku Sidemen, berdiam di Jero Meregan, Besakih
  • I Gusti Mangku Kubayan, berdiam di Delod Sisi, besakih.

Kemudian berdua itu melaksanakan dwijati serta diberikan pegangan masing-masing satu buah yakni agar mengingatkan pekerjaaan ayah-ayah di Pura Besakih, yang dibagi dua bagaikan akasa dengan pertiwi. 
Yang satu agar mengingatkan wilayah yang dinamai Luhuring Ambal-ambal, memiliki pembantu atau petangan empat orang yakni : 

  • Ki Tinggi, 
  • Ki Tincap, 
  • Ki Pageh serta 
  • Ki Patuh. 

Yang satunya lagi mengawasi serta melakukan kebersihan di wilayah yang dinamai Soring Ambal-ambal, memiliki pembantu petangan tiga orang yakni:

  • Ki Dangka, 
  • Ki Gaduh dan 
  • Ki Pejengan.

Anglurah Sidheman VII

Anglurah Sidheman VII - I Gusti Ngurah Mangku

Para putra Ida I Gusti Anglurah Sidheman Sumertha adalah:

  • I Gusti Ngurah Mangku yang menggantikan ayahandanya bergelar Ida I Gusti Anglurah Sidheman,
  • I Gusti Teges tinggal di Ulakan, 
  • I Gusti Anom di Bangli, 
  • I Gusti Ketut Putu menetap di Muncan, 
  • I Gusti Kebon pergi ke desa Abang dan 
  • I Gusti Alit Sawan di Macetra.

Ida I Gusti Anglurah Sidheman Mangku dikatakan sebagai Anglurah Sidemen terakhir, karena sesudah beliau tidak ada lagi keturunan Arya Bang Sidemen yang menjadi pejabat Anglurah. 
I Gusti Anglurah Mangku Sidheman diperdaya oleh I Gusti Nengah Sibetan yang di bantu oleh Raja Karangasem. Di wilayah desa Duda beliau dihadang dan direbut sehingga akhirnya beliau meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.

Anglurah Sidheman III - VI

Anglurah Sidheman III - I Gusti Kaler Dimade

Kemudian beliau diganti oleh putranya I Gusti Kaler yang mempergunakan gelar sebagai ayahnya yakniIda I Gusti Anglurah Sidheman. 
Putra yang kedua bernama I Gusti Kubayan sakti diminta menjaga Parhyangan Ida Bhatara di Besakih, putranya yang ketiga I Gusti Dangin diminta untuk berdiam menjaga kawasan Yeh Mumbul, Sibetan. 
Ida I Gusti Anglurah Sidheman Dimade, Ken Sena juga namanya yang lain, terkenal dengan kepandaiannya dalam hal sastra, serta indah sekali tulisan beliau.

Ida I Gusti Anglurah Sidheman atau I Gusti Kaler Dimade memiliki 3 puri – tempat tinggal, yakni:

  1. Puri Singharsa di Sidemen sebagai tempat beliau menata pemerintahan beliau, 
  2. di Muncan sebagai tempat beliau melaksanakan tugas di Pura Besakih atau di Pura Linjong, 
  3. istana di Kacangpawos dipakai tatkala beliau bersitirahat saat menghadap kepada Ida Dalem di Suwecapura.

Anglurah Sidheman IV - I Gusti Cerawis

Sekarang diceriterakan I Gusti Anglurah Sidheman – I Gusti Kaler sudah berputra seorang anak laki-laki bernama:

  • I Gusti Cerawis atau I Gusti Kumis. 

Cara Membuat Anak Keturunan yang Suputra

Cara Membuat Anak Keturunan yang Suputra

Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh anak. Sebab, kelak diharapkan anak menjadi penyelamat keluarga, membebaskan leluhur dari api neraka? Karena itulah seorang anak disebut putra, artinya dapat membebaskan orang tua, atau leluhur dari penderitaan alias neraka.
Itulah sebabnya kehadiran seorang anak begitu penting bagi keluarga Hindu, khususnya Bali. 

Mengingat akan pentingnya kelahiran anak yang suputra dalam setiap rumah tangga, maka untuk hal itu diantaranya dapat dilakukan beberapa ritual sebagaimana tertuang dalam Lontar Smara Kriddha Laksana sebagai berikut:

Persiapan Melakukan Hubungan Suami Istri (Senggama)

sebelum melakukan pertemuan suami istri ada beberapa hal yangperlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut:
  • Mantapkan niat, baik fisik maupun non-fisik
  • Haturkan sesuatu ke hadapan Bhetara Kawitan, berupa sesajen di Sanggah Kemulan,
  • Melakukan Persembahyangan bersama, yang kemudian di ikuti dengan Do'a Permohonan untuk memperoleh keturunan,
  • lakukan prosesi yang dibahas di "pertemuan suami-Istri (coitus)"
  • Selama Istri mengandung, suami/istri  pantang untuk membunuh binatang, mengendalikan emosi -ego, dan setiap hari ucapkan mantra "Gayatri" pada pusar istri serta mengucapkan mantra "Om Srikomadewa ya namah".