Google+

Jro Mangku sebutan untuk Pemangku

Jro Mangku sebutan untuk Pemangku

Pada umumnya kita di Bali mendengar kata pemangku (Jro Mangku) memang hal yang sudah biasa, namun perlu kita ketahui apakah yang terkandung tersirat dari makna kata yang terkandung didalamnya pada bagian ini kita akan bahas dari beberapa sumber yang menyebutkan makna dari kata pemangku. 

Menurut Lontar Widhi Sastra kata pemangku diuraikan menjadi:

  • ‘Pa’, bermakna “Pastika pasti”, yang artinya paham akan hakikat kesucian,
  • ‘Mang’ bermakna “Weruh ring titining Agama” artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran Agama. Mengingat ‘Mang’ sebagai suku kata aksara suci Dewa Iswara atau Siwa sendiri sebagai guru niskala bagi warga desa, beliau juga dijuluki sebagai Sanghyang Ramadesa. 
  • ‘Ku’ bermakna “Kukuh ring Widhi” yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi.

Kemudian dari kata Widhi, diperoleh suku kata ‘di’ yang artinya “dina” (hari), dari kata ‘dina’ diperoleh suku kata ‘na’ artinya “amertha” (sumber kehidupan) dari kata amertha diperoleh suku kata ‘ta’ artinya “toya” (air), dari kata toya diperoleh suku kayaa ‘ya’ artinya “jati jatining kaweruhan ring kahananing bhuana agung muang bhuana alit (hakikat pengetahuan mengenai bhuana agung dan bhuana alit).


Dalam Lontar Sukretaning Pamangku, dinyatakan bahwa pemangku adalah perwujudan I Rare Angon (Dewa Gembala/Pengangon) yang merupakan perwujudan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan sebagai berikut” ‘Ikang sukretaning pamangku ring khayangan, wnang tegesin pamangku kawruhakena kang mawak pamangku ring sariranta. I Rare Angon mawak pamangku ring sariranta’.

Pawintenan Pemangku

Pawintenan Pemangku

Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata “mawi” dan “inten”.

  • Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti bersinar,
  • Inten berarti intan atau permata. 

Dengan demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan.
Mengapa perlu disucikan?
Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.

Cara Memilih Pemangku

Cara Memilih Pemangku

sebelum memilih seorang Pemangku/Mangku, kita wajib mengetahui, siapa yang boleh menjadi Pemangku.
Pemangku sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi hendaknya dipilih dari umat yang memiliki budhi luhur, moral dan mental yang tinggi. 
Seorang calon Pemangku hendaknya memiliki jiwa pengabdian yang tulus dan ikhlas serta selalu siap untuk ngayah tanpa memikirkan imbalan apapun. 
Jabatan Pemangku seyogyanya tidak dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kelemahan pribadinya yang sesungguhnya kurang baik, sehingga dapat menjadi orang terpandang di masyarakat. Kalau ternyata ada yang bertindak seperti itu, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai penipu masyarakat. Karmaphala buruk yang harus ditanggung dikemudian hari tentu akan menjadi lebih besar lagi. 

Demikianlah, maka untuk menetapkan seseorang untuk menjadi Pemangku tidaklah sembarangan.

Yang boleh dipilih menjadi Pemangku adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat. 

Peranan Pemangku dalam Masyarakat Adat Bali

Peranan Pemangku dalam Masyarakat Adat Bali

Pemangku mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat beraagama Hindu. 
Dikatakan penting karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan Sulinggih, maka Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten). Memang tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan/atau Pemangku, sebab ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun Pinandita. 

Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh Pemangku dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya bantuan Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat.

Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan dan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi berbagai persyaratan.

Mangku dan Kepemangkuan

Mangku dan Kepemangkuan

Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai rokhaniawan. Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai rokhaniawan, seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

  • Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan Sulinggih.
  • Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dan lain-lain

Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam tingkatan Dwijati.

Mantra Muspa atau Sembahyang

Mantra Muspa atau sembahyang

setelah lama menulis, ternyata ada banyak pertanyaan tentang
"mantra untuk muspa" itu yang bagaimana...?
apakah mantra saat muspa diluar rumah dengan di dalam dirumah itu beda?

untuk itu, melalui blog cakepane ini, saya kembali mengulas tentang Mantra Muspa atau Sembahyang.
kalau diteliti dari awal dibuatnya blog tentang budaya bali cakepane ini, penulis telah beberapakali memposting tentang mantra muspa atau sembahyang ini, yaitu dengan judul Kramaning Sembah

tetapi, untuk mengisi dahaga para pembaca setia cakepane ini, saya kembali bagikan mantra-mantra yang digunakan saat muspa dirumah saja, sedangkan untuk muspa diluar rumah baik di pura maupun tempat lainnya, silahkan baca artikel saya di atas.

dilihat dari etimologi, asal kata "muspa" berasal dari kata "puspa" yang artinya sekar, kembang, bunga. jadi maksud dari kata "muspa" ini adalah sembahyang dengan menggunakan sarana sekar/kembang, yang dalam kesehariannya juga dikenal dengan istilah mabakti.
mabakti sendiri asal katanya adalah "bakti", yang menunjukan maksud dengan kesungguhan hati mengabdi dengan cinta kasih mendekatkan diri, tunduk kehadapanNYA.

muspa atau mabakti ini dilakukan dengan jalan 5 tahap, sehingga dapat juga disebut dengan "panca sembah". diantaranya:

  1. sembah puyung "tanpa bunga" yang ditujukan kehadapan Tuhan YME sebagai Sang Hyang Paratma.
  2. sembah dengan bunga yang ditujukan kehadapan Tuhan YME yang dimanifestasikan sebagai Dewa Surya, sebagai saksi setiap kejadian di dunia ini.
  3. sembah dengan bunga/kawangen, yang ditujukan kehadapan Tuhan YME dalam manifestasinya sebagai Dewata Utama yang dijadikan tujuan utama sembahyang. misalnya kalau dirumah kehadapan bhetara hyang guru/kawitan (yang memiliki kemulan) atau siwa aditya (yang tidak memiliki kemulan, hanya memiliki sanggah surya/padma sari)
  4. sembah dengan bunga, yang ditujukan kehadapan Tuhan YME dalam manifestasinya sebagai Dewata/dewa samodaya untuk memohon anugrahNYA
  5. sembah puyung, tanpa sarana, yang ditujukan kehadapan Tuhan YME hyang Acintya.

bagi yang ingin mengetahui mantra dan tatacara ritual pamuspan atau mebakti dapat dilaksanakan sebagai berikut:

Filosofi dan Mitologi Saraswati

Filosofi dan Mitologi Saraswati

Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia.

Sebagaimana disebutkan, Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.

Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati.

Mitologi cerita Runtuhnya Watugunung

Mitologi cerita Runtuhnya Watugunung

Hari Suci Sarasawati - Hari suci Wuku Watugunung ini didasarkan oleh suatu Epos dan Ethos, sehingga dapat mempersonifikasikan suatu karakter yang keras, didukung juga dengan kesaksian yang dimiliki.

Watugunung (Watu Gunung) yang disebutkan dalam wuku dengan urip 8 dan bilangan 30. Tersebutlah sebuah kisah watugunung sebagaimana yang disebutkan dalam lontar medangkemulan, sebagai salah satu acuan lontar dalam perhitungan kalender Bali.

Watugunung adalah seorang anak dari raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih.

Pada mulanya diceritakan, setelah lama bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia.

Sang Raja menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di kraton selama beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.

Hari Raya Saraswati

Hari Raya Saraswati

Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya, karena pada Hari Raya Saraswati ini sebagai hari pemujaan turunnya ilmu pengetahuan bagi umat Hindu
secara Etimologi Saraswati terdiri dari kata : Saras dan Wati.
  • Saras berarti sesuatu yang mengalir, dan kecap atau ucapan.
  • Wati berarti yang memiliki/ mempunyai. 

Jadi, Saraswati berarti : yang mempunyai sifat mengalir dan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.

Dalam ajaran Tri Murti menurut Agama Hindu Sang Hyang Saraswati adalah Saktinya Sanghyang Brahman. Sang Hyang Saraswati adalah Hyang-Hyangning Pangaweruh sehingga Aksara merupakan satu- satunya Lingga Stana Sang Hyang Saraswati. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.