Gede Basur, Cerita Perlawanan Hegemoni Gender dalam Geguritan Basur
sebagian cerita, Gede Basur dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Penggabungan ini akan makin kompleks jika seorang pengarang memiliki kemauan, kemampuan, penghayatan terhadap persoalan-persoalan yang menyebabkan sebuah karya sastra itu lahir.
Karya sastra bukanlah lahir dari sebuah kekosongan. Ia berbicara dan menyuarakan masyarakat yang ingin diejawantahkan oleh seorang penulis. Bahasa sebagai sarana untuk merefleksikan persoalan-persoalan sosial yang mengusik seorang penulis. Apalagi sastrawan sekaliber Ki Dalang Tangsub yang karyanya sudah membumi bahkan terkadang tanpa disadari dilantunkan atau dikutip dalam setiap pembicaraan adalah hasil renungan Ki Dalang Tangsub.
Sebuah karya sastra akan bisa eksis hidup jika mampu menyuarakan problematika yang dihadapi masyarakat pada zamannya. Problematika-problematika ternyata ada benang merahnya dengan problematika yang dihadapi masyarakat dalam kekinian. Masa ini tidak bisa dilepaskan oleh masa lalu. Pengarang lewat karyanya bisa mengatasi sang waktu. Artinya, karyanya tidak lekang oleh waktu. Ia akan terus berbicara selama manusia ingin menggali yang terdapat di dalamnya. Nilai-nilai inilah yang perlu direnungi diresapi, dihayati sehingga karya sastra itu berguna dan bermanfaat bagi kehidupan.
Salah satu yang unik dalam Geguritan Basur ini adalah Ki Dalang Tangsub berkeinginan menyuarakan perempuan. Konsep, ide, gagasan, cita-cita, dan cinta dalam diri seorang tokoh Garu-lah itu diwakilkannya. Perempuan yang tidak boleh diremehkan lagi. Perempuan yang pemberani, tegas, dan tegar dalam menghadapi cibiran dalam masyarakat. Tokoh yang menentang sebuah hegemoni yang diciptakan seorang pria, Gede Basur. Hegemoni Basur berusaha mendominasi, memengaruhi Garu agar menerima segala nilai-nilai moral dan budaya dalam dirinya. Akan tetapi, Garu tetap pada sikapnya bahkan berani melakukan perlawanan.