Google+

Palinggih Indra Blaka untuk Karang Panes

Palinggih Indra Blaka untuk Karang Panes

Ajaran agama Hindu dengan konsep alam semestanya senantiasa menekankan betapa perlu dan pentingnya diciptakan suatu kondisi harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya. Kondisi harmonis itulah yang akan mengantarkan umat Hindu untuk mencapai tujuan Hidupnya yaitu Jagadhita dan Moksha. Untuk itulah pemilihan sebuah pekarangan untuk dibangun rumah/tempat tinggal(palemahan/pekarangan) hendaknya memperhatikan hal-hal yang diyakini akan turut berperan menciptakan kondisi yang harmonis.
Bila dikaji lebih jauh, pengaruh baik-baiknya maupun upaya yang dilakukan untuk menghindari atau menetralisir pengaruh negatifnya, senantiasa mempertautkannya dengan hal-hal yang bersifat fisik, tangible, nyata (sekala) maupun prihal yang intangible, tak kasat mata (niskala).
Dengan kata lain ”berkorelasi” horizontal maupun transendental (vertikal). Ada religiosistas dan proses ritual di dalamnya. Suatu totalitais kearifan dan harmonisasi kehidupan.

Penelusuran dan eksplorasi nilai dan makna yang terkandung dalam ketentuan tata letak tanah dan bangunan bercitra kearifan lokal Bali, kiranya lebih memberi peluang, untuk lebih membuka pemahaman atau penafsiran yang benar tentang tata cara membangun paumahan menurut tafsir (smerti) agama Hindu.
Seperti yang ada tertuang dalam lontar-lontar, membuat secara rinci mengenai cara memilih tanah, jenis tanah, tata ruang (spasial) halaman, prosedur membangun hingga upacara yang berhubungan dengan nyakap palemahan dan melaspas bangunan. Juga ada petunjuk atau ketentuan tentang bagaimana memiliki letak tanah, merujuk pada letak yang baik atau sebaliknya.
ada beberapa lontar yang memuat tentang baik-buruknya tata letak dan bentuk pekarangan atau tanah untuk tempat tinggal atau perumahan. Di antaranya, Tutur Bhagawan Wiswakarma, Bhamakretti, Japakala dan Asta Bhumi. seperti yang dikutif dari lontar bhama kertih, yang dimaksud dengan karang paneh diantaran:
Iki ling ira BHAGAWAN WISWAKARMA, pangalihan karang, anggen karang pahumahan, mangda tan kabheda – bheda dening lara kageringan, helingakna padhartania, lwirnia: Yan hana karang tegeh ring paschima, hayu nga, nemu labha sang ngumahin.

tegesin Dewa Tatwa

tegesin Dewa Tatwa

Om awighnamastu nama sidam.

Iti tegesing DÉWA TATWA.


  1. Nihan tingkahing makérti ring parhyangan, wnang kapagêhang maka anggén awig-awigring makrama pura, né ngaran trikrama siwa tirta, tgêsnia, trikrama, ng, tingkahé tatiga, lwir, siwa, ng, panyiwi, darma, ng, widi, tirta, ng, toya. Kang toya, ng, tan adwa. Lingania, siwa darma tirta, ng, nyiwi ring widi, antuk budi laksana suci jati. Marmaning sarwa babantênan wnang pinrascitanan ruhun, maka pangilanganing sarwa lêtuh, olih tirtaniong sang wiku pandita putus, ring parhyangan kunang. Wi, ng, nora, ku, ng, céda, pandita, ng, pradnyan, putus, ng, puput, tgêsnia sang sida pradnyantan pacéda.
  2. Nihan tingkah angadêgang pamangku. Yan kaputungan pamangku, wnang ikrama pura twi ipamaksan, malih mamilih pacang pamangku, kramania, dén upakara dumun, saparipolah gamania, mapadêngên-dêngên, mawintên marajah, majaya-jaya. An wus madêg mangku, dugi malih ngrêrêh rabi, sawusé winarang, wnang imangku lanang wadon nyapuh déwék, mwang ngaturang panyêpuhan ring palinggihé ring pura.

Korelasi Catur Warna dengan Catur Marga Yoga

Korelasi Catur Warna dengan Catur Marga Yoga

seperti telah diketahui bahwa warna (profesi) dalam hidup ini ada empat yang utama. itu Artinya warna menjadi bagian tersendiri yang tiada dipisahkan pada kehidupan yang sosial. Dikatakan pula pada Manawa Dharmasastra Bab II pasal 18, dikatakan bahwa:
tasmidece ya acarah parampyakramagatah,warnamam santralanam sa sadacara ucyate.
Artinya:
Adat istiadat yang diturunkan dalam urutan yang wajar dari sejak dulu kala diantara empat golongan utama masyarakat serta suku-suku campruran yang ada,dinamai “Adat istiadat orang-orang Bijaksana”
Jadi dengan demikan berarti bahwa tidak ada suatu ketidakbijaksaan bagi para leluhur yang menciptakan adat istiadat tersebut sebaai sesuatu yang memiliki kharisma tersendiri.

Namun batasan terpenting dari empat golongan itu,sangatlah universal adanya, maka tercantum di sarasamuscaya bahwa itu melibatkan tanggung jawab yang sangat besar dan beban itu selayaknya disetujui diri sebagai kebenaran. Kitab Sarasamuscaya 61 menyatakan bahwa:

Jnana Marga Menyebarkan Pengetahuan adalah yadnya utama

Jnana Marga Mengajarkan Ilmu adalah yadnya utama

Bekerja serta berbuat untuk sesama (Karma Marga) dan menyayangi mengasihi berbakti (bakti marga) tanpa didasarkan pada ilmu pengetahuan (jnana marga) yang benar akan sia-sia. Lebih-lebih pada zaman modern ini apa pun yang kita lakukan kalau tanpa pengetahuan yang jelas akan menjadi sia-sia. Melakukan kegiatan beragama tanpa didasarkan pada ilmu pengetahuan yang telah ditentukan dapat menimbulkan penyimpangan.

Dalam kehidupan ini ilmu pengetahuan (jnana) tersebut demikian pentingnya. Karena itu, beryadnya dengan ilmu pengetahuan dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita yang dikutip dalam tulisan jauh lebih utama daripada beryadnya dengan harta benda dalam bentuk apa pun. seperti yang disebutkan dalam Bhagawad Gita Bab IV ayat 33 yang menyebutkan:
srayan dravyamayad yajnajjnanayajnah paramtapasarvam karma ‘khilam parthajnane perisamapyate (Bhagawad Gita IV.33)
artinya:
Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, oh Parta.
Karena itu, dalam Manawa Dharmasastra III.70 dinyatakan, 
Adhyapanam brahma yajnah, pitr yajnastu tarpanam, homo daiwo balibhaurto, nryajno'tithi pujanam (Manawa Dharmasastra III.70)
maksudnya: belajar dan mengajar dengan keikhlasan disebut Brahma Yadnya. Karena proses belajar dan mengajar itu bertujuan untuk memberikan orang ilmu pengetahuan untuk menopang hidupnya mendapatkan kebahagiaan. 

Tradisi belajar dan mengajar dalam masyarakat Hindu di Bali pernah mandek karena salah dalam memahami istilah ayuwa wera. Pada hal konsep "ayuwa wera" itu adalah baik. Artinya, janganlah menyebarkan dengan sembarangan sastra agama tersebut.

membedah Hari Siwaratri dalam Siwa Ratri Kalpa

Hari Siwaratri dalam Siwa Ratri Kalpa

Hari Siwaratri dilaksanakan setiap setahun sekali, yaitu pada hari ke 14 paruh gelap bulan ke tujuh (panglong ping 14 sasih kepitu). Penyambutannya ditandai dengan pelaksanaan brata Siwaratri yang terdiri atas : jagra, upawasa, dan mono brata. Dalam hal ini siwaratri bagi umat hindu adalah sebagai malam perenungan dosa.

Siwaratri dalam agama hindu memiliki ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya untuk manusia bagaimana untuk melakukan suatu perubahan untuk penyadaran diri. Siwaratri terdapat sumber-sumber ajaran siwaratri. Dalam kepustakaan sansekerta uarian tentang siwaratri, upacaranya sekaligus dengan si pemburunya yang naik sorga, tepatnya mendapat anugerah siwa di siwa loka, dapat ditemui dalam empat buah purana yaitu dalam padma purana, siwa purana, skanda purana,dan Garuda Purana. 

Demikianlah sumber sansekerta yang memuat tentang uraian siwaratri. Dalam Kekawin siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kekawin yang dibentuk oleh 20 wirama dan dnegan jumlah bait 232 buah ini, di samping dengan secara indah menguraikan kisah perjalanan si lubdaka, Bagaimana sadhana atau pencarian tersebut yang penuh dengan makna simbol-simbol akan dibahas dalam makna filosofis Siwaratri, juga dengan cukup mendasar menguraikan pelaksanakan upacara dan brata siwaratri.

Pelinggih Penglurah atau Ratu Ngurang Agung

Pelinggih Penglurah atau Ratu Ngurang Agung

Ratu Ngurah Agung panglurah
Palinggih Penglurah
dalam sanggah / merajan alit, selain kemulan - taksu, semeton bali diwajibkan membangung panglurah agung. dimana palingih ini berupa bangunan bebaturan seperti tugu dengan batu paras, batu cadas atau batu bata dengan rong satu bertempat di sebelah kiri sanggah kemulan.

Bhatara Ngelurah atau sering disebut Pengelurah. Penglurang asal katanya "Lurah" yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan ng, menjadi kata kerja, jadi pengelurah artinya bertugas menjadi pembantunya para dewa atau dewata (menjadi patihnya) pada setiap pura atau pamerajan.

Bangunan ini merupakan palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga sanggah pamerajan (Winanti, 2009:42). Dalam Penghayatan agama Immanent ( sekala ) Tugu Panglurah adalah palinggih ( Sthana ) para Lurah, iringan pengawal para Dewa Istadewata Hyang Widhi. Fungsinya adalah sebagai Pengawal Pribadi dari Ista Dewata Hyang Widhi.

Pelinggih Ratu Ngurah
Selain itu makna pelinggih Panglurah ini adalah untuk menstanakan Sang Catur Sanak yang telah suci. Sang Hyang Atma yang telah suci berstana di palinggih pretisentana atau keturunannya yang masih hidup (Wianti, 2009:32). Palinggih Pangrurah ini merupakan manifesatsi dari Sang Hyang Widhi dengan Swabhawa “Bhuta Dewa” yang maksudnya setengah Dewa setengah Bhuta. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para dewa, disamping itu sebagai juru bicara antara dewa, Dewata dengan manusia dengan umatnya. Dengan kata lain Beliau sebagai penyampai dari sembah bhaktinya umat, dan penyampai anugrah dari para dewa. (Sudarsana, 1998:70).

artikel yang terkait dengan Pelinggih Penglurah atau Ratu Ngurang Agung adalah:


demikian sekilas tentang Pelinggih Penglurah atau Ratu Ngurang Agung. semoga bermanfaat.

Kitab Sarasamuscaya

Kitab Sarasamuscaya (sarasamuccaya)

Om A No Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah (Reg Weda I.89.1)
Semoga semua pikiran yang baik datang dari semua penjuru.
Sarasamuscaya pertamakali diterjemahkan kedalam bahasa jawa kuno dan kemudian diterjemahkan pula ke dalam bahasa indonesia, merupakan salah satu kitab suci. pentingnya sarasamuscaya dalam tata kehidupan umat hindu di indonesia karena dalam menilai tata kehidupan umat itu ternyata sejak jaman dahulu dianggap sebagai salah satu sumber dharma atau hukum yang kaedah-kaedahnya masih diperhatikan sebagai panutan oleh masyarakat umumnya.

didalam buku "history of sanskrit literature" terdapat keterangan yang menyatakan bahwa sarasamuscaya ditulis sebagai pujian oleh ratnakara, sedangkan menurut rontal, sarasamuscaya itu sendiri menyebut-nyebut nama Wararuci sebagai penulisnya. bila benar bahwa Wararuci adalah Ratnakara, yang dalam sejarah sastra juga dikenal dengan sebutan Katyayana, salah satu permata kerajaan yang dianggap setara dengan sastrawan besar lainnya. Wararuci, nama lain untuk Katyayana adalah salah satu pujangga, yang hidup sekitar abad ke-5 SM. banyak yang menyebut-nyebut namanya, salahsatunya oleh patanjali, sastrawan raja Wikramaditya.

Pelinggih Taksu di Merajan

Pelinggih Taksu di Merajan/Sanggah

Pada areal sanggah kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting yaitu Taksu.
Pelinggih Taksu Agung adalah tempat untuk menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Agung atau Sang Hyang Adi Taksu. Bangunan Pelinggih Taksu ini Berbentuk Gedong dengan tiga kaki penyanga gedong serta anda bangunan dengan dua tiang (saka) didepannya.

Kata Taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja. Misalnya para seniman, pragina, dalang, balian, dalang dll. Mereka berhasil karena dianggap "metaksu".
sehingga kata "Taksu" tersebut bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia memiliki profesionality (wiguna) sesuai dengan konsep "Catur Warna"
Dengan adanya profesi (Guna) memerlukan sekali anugerah Sang Hyang Widhi melalui manifestasinya yaitu Sang Bhuta Kala Raja, beliaulah sebagai sedahan Taksu dengan dewan taksu Sang Hyang Aji Saraswati. Taksu itu seseungguhnya adalah kekuatan magis dari Sang Hyang Widhi, dimana kekuatan tersebut merupakan kekuatan Gravitasi (gaya tarik), dengan kekuatan tersebut menyatu dengaan kekuatan magis manusia serta membangkitkan kekuatan manusia sehingga manusia memiliki kharisma, kekuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya. Dengan demikian bangunan Suci Taksu sangat perlu dibuat sebagai stana Dewa Profesi.

Tutur Angastia Prana

Tutur Angastia Prana

[1a] Ong Awignamastu nama sidam. Iki katuturan Rêsi Bagawan Angastiaprana, madruwe Ida putra kêkalih, sane duwuran lanang, mapsengan Ida Sang Subrata, sane istri mapsengan Ida Sri Satiakrêti. Ida Bagawan Angastiaprana, puputing panugrahan, saking tapa brata, maraga Rêsi Boda, maraga Ida wong kara sara, raris sang putra lanang-istri, raris matur, Inggih paduka sang Rêsi, tabeya pakulun, kaula umatur tan kê-

[1b] na tulahsarik, raja panulah ring hyang suksma. Sumawur Bagawan Angastiaprana, Uduh anak ingsun kalih, napi pamalakun cêning ring bapa. Singgih batara, yan onang batara lugraha, ring kaula titiang nunasang, satingkahe dados jadma, sapunapi wite ring kuna. Sumawur Bagawan Angastiaprana, Sapuniki cêning kawite ring kuna, cening maraga Sang Hyang Siwa atma, duk sang bapa muang sang ibu sami bajang, cêning ngalih tongos, sang bapa muang sang ibu, pada ngêlah ka-

[2a] sêmaran, smaran sang bapa, maharan Smara-jaya, smran sang ibu maharan Smara-ratih, cêning maharan Smara-sunia, sami kasusupin manah sang bapa muang sang ibu, dadi matêmu karsa pada karsa, ya matêmu dêmên pada dêmên, masalin aran, sang bapa smara lulut manahnya, sang ibu wnang manahnya, cêning Smara-asih arannya, nyusup ring ibapa, muang ring ibu, krana matêmu pada suka, cêning dadi Sang Hyang Sunya-atma, duk matêmuang sanggama sang ibu ring sang bapa. Cêning Sanggama-molah, arane, nyusup ring

Tutur Buana Puraka

Tutur Buana Puraka

Widhi Tattwa - iki Tutur Buana Puraka
Om awighnamastu nama sidam 

Iti tutur buana puraka, 


duk ida pêranda wawu rawuh, ica ida ngikêt ada anggen ida kakawin, Nitisastra, sakeng mula tutur lêwih, tur wit nyambut tutur putra sasana sane mamêrihang sang sadhu sami, natan lian sarining kapatian, pamor ring tarya suksmane, ring maha padma mungguh, reh ika wiwitin sami, sami sadaging jagat, sami-sami ipun, sadadian panca maha bhuta, akasa, teja, bayu, apah, prêtiwi, sami mêdal saking irika, sane mawasta bata prêbawa seyetthi, dados sampun mawindu, bayaya ongkara tulen, nghing kari dados katuduh, durung nyata, durung sajati, durung mawasta, sadasamidang durung, kari rasane jêjêhan, kari matah, gêlis madêmang kapêlêk, jêrih kapanêsan, krana panês saking tênggang, krana tênggang tatan hana kawasa, ngajêngang ulam, punika tan hana panggih rahayu, sawireh sarêng sami manusane, ngaba cacad, sasoring langit, sawatêke madaging angkihan, miwah madaging matane, sanadyaning buron sêmut, miwah asing kutunin bumi, samian nira mamêrihang ne utama, nêrus, sane tan kêna inucap, nghing sidane tan sida, hyang widhi sampun uning jadmane arang wikan, katuturane lintang lêwih, kocap sane tan madaging cacad, kojar ring salontarane, sane sampun kasumbung tur kasêmbah dening jagat sami masih matra madaging cacad, klikliking cacad, durung têrus rahayu, salingke jadma manuse, sane makrana bêcik, tan pati cacad-cacadin, sami pada ngaba cacad, gunung agung punika pinih luwih tur kapuji, dening jagat kabeh, dingine sane cacad irika:

Putru Saji Tarpana

Putru Saji Tarpana

Om Awighnamastu

IKI KRAMANING PUTRU SAJI TARPANA

Wnang uncarakna ritatkalaning ngaskara Sanghyang Pirata, lwirnya:
yan karya ngaben, benjang palêbon ngadaslêmah, uncarakna;
yaning makirim, yadyan ring pangrorasan.
Irika mangda sinarêngan ring Ida Sang Pandita.
Samangkana kramaning amitra yadnya, yan sira aniti krama.

Kayeki ucapanya, panguncar wakyanya:

Uduh kaki-kaki sang inangaskara kabeh, aja sira papeka, iki ana tutur mami ring kita mne, poma kengêtakna kita kabeh. Yan hana pangguhta alas agung ring awan, sinaputan dening udan raja, aricik-ricik aworing paptêng, mandêgta kita ikana. Samburakna tang wija catur warna, apan kamulanekang sarwa kunapa, paranta polahira amton ikang sarwa kunapa, paran polahira amton ikang wong salah wtu. Iku amêkon denta asaputan udan raja, aricik-ricik aworing paptêng. Apan aku wruh ring ika sarwa tumuwuh ring kene. Pandan wong arêping awan agung, dukut tan hana ngalapi. Lumaku ta kita sang kunapa, iki tadah sajinira: sga sagulung, jajatah, calon, ktupang, brabas, ayung-ayung, balung gagênding, dengdeng ati, alir-aliran, bawang, jahe, uyah, trasi bang. Uduh ta kita trêna taru lata gulma, talun maha jalma, sakweha kita tumuwuh ring pratiwi, iki tadah sajinira. Mangke wehênta kami dalan apadang apan kita padana klesaning wong mati, kari ring panglatan ring madya pada, mangke wehênta atman ingsun umêntasa. Poma (3x).

Pembacaan Weda saat Upacara

Pembacaan Weda saat Upacara

Svadhyaayam sravayet pitrye. Dharmasastrani caiva hi. Akhyaananitihasamsca Puranani khilanica (Manawadharmasastra III.232).
Artinya: 
Pada waktu upacara yadnya terutama saat pemujaan leluhur, ia harus menperdengarkan kepada tamu-tamunya ajaran Weda, ketentuan-ketentuan hukum suci, cerita kepahlawanan dan cerita dalam kitab-kitab Purana dan Khila.

Dalam tradisi Hindu di Indonesia pada umumnya dan di Bali khususnya, kita akan menyaksikan pembacaan ajaran-ajaran agama lewat sastra weda. Pembacaan sastra weda itu umunya dalam bentuk kekawin atau prosa yang diambil dari Itihasa dan Purana.

Aci dan Piodalan di Sanggah Kamulan

Aci dan Piodalan di Sanggah Kamulan

Dalam memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan) dan Leluhur (kawitan) di Sanggah Kamulan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan cara:

  • Nitya Karya yang dilakukan setiap hari yakni dengan melakukan Tri Sandya dan Muspa. Juga dengan menghaturkan Banten Saiban dan menghaturkan canang.
  • Naimitika Karma dilakukan pada hari-hari tertentu atau rerainan suci.Pada saat ini Umat Hindu melakukan pemujaan dengan sarana bebantenan yang disebut pula dengan Aci-aci.

Kapan Aci-aci itu dilakukan? 
Di bawah ini diuraikan sebagai berikut:

  1. Kajeng Kaliwon dan Purnama-Tilem. Aci yang dihaturkan minimal canang genten, baik juga kalau ajuman, rayunan.
  2. Budha Kaliwon Sinta (Pagerwesi). menghaturkan : Daksina, Pras, Suci asoroh, Panyeneng, Sesayut Panca Lingga, Canang wangi, Raka-raka.
  3. Redite Umanis Ukir (Pujawalinya Ida Bhatara Guru). Wajib menghaturkan piodalan nista, madya, utama. Sedikitnya mesti ada Sesayut Pangambean, Sedah ingapan 25, Kwangen 8 buah.
  4. Soma Pahing Warigadian (pujawalinya Ida Bhatara Brahma). menghaturkan sedah, woh penyertanya minimal Datengan, Ajuman, Rayunan, raka-raka (bayuan), puspa wangi-wangi.
  5. Budha Kaliwon Dungulan (Galungan). menghaturkan aci-aci: Tumpeng penyajan, Penek wakulan, Ajuman, Sedah woh, Kembang payas, wangi-wangi pasucian.