Google+

arti sebilah Keris di Bali

arti sebilah Keris di Bali

Bagi masyarakat Bali, keris memang dianggap sakral. Benda yang banyak memiliki lekukan di sisi pinggirnya itu dipandang sebagai benda pusaka dan senjata pamungkas di wilayah peperangan. Bahkan, keris melambangkan perlawanan terhadap roh jahat melalui perlindungan dewa-dewa.

Keris ialah sejenis senjata pendek yang digunakan sejak melebihi 600 tahun dahulu. Keris digunakan untuk mempertahankan diri dan sebagai alat kebesaran diraja. Keris berasal dari Kepulauan Jawa dan keris purba telah digunakan antara abad ke-9 dan abad ke-14. Senjata ini terbahagi kepada tiga bahagian, yaitu mata, hulu dan sarung. 

Keris sering dikaitkan dengan kuasa mistik oleh orang Bali pada zaman dahulu. Antara lain, terdapat kepercayaan bahawa keris mempunyai semangatnya yang tersendiri. Secara historis, keris Bali adalah bagian dari peninggalan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Konon, pengaruh kebudayaan Majapahit sangat kuat sehingga alat peperangan seperti keris diadopsi pula oleh kerajaan-kerajaan di Pulau Dewata.

Ilmu Kawisesan Mistik dalam Bisnis di Bali

Ilmu Kawisesan Mistik dalam Bisnis di Bali

Bagi masyarakat Bali, perilaku masyarakat terhadap mistik sangatlah mendarah daging, karena menjadi sebuah budaya yang bercampur terhadap kepercayaan keagamaan dan adat. Orang barat menanalogikan budaya Bali dalam metafora Pohon: ”Agama adalah akar, adat adalah batang dan budaya adalah buah”. Oleh karena itu perilaku mistik masyarakat Bali sangat kental, hampir setiap waktu masyarakat Bali melakukan perilaku mistiknya.

belakangan ini mistik merupakan salah satu bentuk perilaku masyarakat untuk mencari solusi terhadap permasalahan dengan mempercayai kekuatan-kekuatan alam dalam mengatasi segala permasalahan kehidupanya, sedangkan bisnis salah satu bentuk perilaku masyarakat yang tujuanya mensejahterakan kehiduapan, tentunya hubungan mistik dalam bisnis memiliki keterkaitan pada masalah tujuan yaitu: laba, kesejahteraan dan pemenuhan keinginan.

Ilmu Kawisesan Asli Bali

Ilmu Kawisesan Asli Bali

Zaman dulu ilmu Kawisesan (kesaktian) sangat dibutuhkan untuk membentengi daerah atau kerajaan dari serangan luar. dalam perkembangannya, Ilmu Kawisesan asli bali kemudian sering disebut ilmu leak atau "ngeleak". Dalam mempelajari ilmu kawisesan ini tidaklah asal-asalan, melainkan membutuhkan pengendalian diri yang sangat kuat. Haruslah orang-orang yang tahu tentang hakekat kesucian diri karena ngeleak dalam prosesnya membutuhkan kesabaran bagi yang mempelajarinya.
"Apapun ilmu yang kita pelajari yang bersumberkan pada sastra agama harus secara kesucian hati tanpa ada ambisi di dalamnya
begitupun juga dengan ngeleak, Jangan selalu menganggap ngeleak itu sama dengan ilmu hitam dan menyakiti orang. Ilmu hitam dan cencerung berbuat jahat adalah desti, teluh, terangjana, maupun yang lainnya. Inilah ilmu hitam yang dikatakan menyakiti orang. Biasanya orang yang melakukan ini karena dendam, iri hati, ambisi untuk menguasai, inilah yang cukup berbahaya. Sedang ngeleak sendiri tidak berbahaya ilmu berhubungan dengan kekuatan sastra yang sering disebut pancaksara maupun dasaksara.

Dewa Yama dalam Teologi Hindu

Dewa Yama dalam Teologi Hindu

Dewa Yama (Dewa Kematian/Neraka)
Dewa Yama merupakan manifestasi dari Brahman yang bergelar sebagai Dewa akhirat, Hakim Agung yang mengadili roh orang mati, untuk mempertimbangkan apakah suatu roh layak mendapat surga atau sebaliknya, mendapat neraka.

Dewa Yama dilukiskan sebagai seorang tua yang berkuasa di singasana neraka, memiliki dua wajah yang tidak terlihat sekaligus. Wajah yang sangar dan menyeramkan terlihat oleh roh orang-orang yang hidupnya penuh dengan perbuatan salah, sedangkan wajah yang lembut dan berwibawa terlihat oleh roh-roh yang hidupnya penuh dengan perbuatan baik.

Yama (Sanskerta: यम; Yama) adalah dewa akhirat juga sering disebut Dewa Kematian dalam agama Hindu. beliau bersenjata Danda, mengendarai Kerbau dengan sakti Dewi Yami atau Syamala.

implementasi Tri Hita Karana dalam kehidupan

implementasi Tri Hita Karana dalam kehidupan

Om Swastyastu,
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.
Tri Hita Karana merupakan suatu konsep atau ajaran dalam agama hindu yang selalu menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup secara rukun dan damai. 
Tri HitaKarana
Tri Hita Karana:
Hubungan Manusia dengan Tuhan (Parhyangan), dengan Sesama (Pawongan) dan dengan Alam Lingkungan (Palemahan)
Tri hita karana bisa diartikan Secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan. Yang mana Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya sejahtera, dan Karana yang artinya penyebab. Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: 

  1. Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan), 
  2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan), dan
  3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan)

Kerauhan (trance) dalam ritual Hindu Bali

Kerauhan (trance) dalam ritual Hindu Bali

Kerauhan merupakan tradisi yang diwariskan para leluhur masyarakat Bali sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Kerauhan berbeda dengan kesurupan, sebab Kerauhan dilaksanakan dalam sebuah ritual keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura), upacara atau upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian upacara, pelaksanaanya di tempat suci (pura), adanya Tapakan Kerauhan, dilaksanakan umat (pengempon pura), adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya. 
Berdasarkan hal tersebut kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan Kerauhan ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk manifestasi-Nya, sedangkan apabila ada orang kesurupan tanpa ada faktor-faktor diatas, patut dipertanyakan roh apa yang memasuki tubuh orang tersebut.

Dalam fenomena Kerauhan terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dalam Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena tersebut antara lain pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan. Hadirnya Tapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah keyakinan umat dalam melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan langsung pelaksanaan yajna yang benar.

Tradisi Upacara Pengerebongan (kerauhan) di Pura Petilan Kesiman Denpasar

Tradisi Upacara Pengerebongan (kerauhan) di Pura Petilan Kesiman Denpasar

Pura Petilan terletak lebih kurang 4 km arah timur Kota Denpasar, di wilayah Desa Kesiman dan sangat mudah dijangkau dengan transportasi baik pribadi maupun umum. Pura ini dikenal dengan upacara‘Ngerebong’, suatu tradisi yang melibatkan seluruh penyungsung pura yang mengalami ‘Kerauhan’ dengan menusukkan ‘keris’ ke dadanya sambil mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali. Di pagi hari berlangsung ‘tabuh rah’ yang merupakan bagian ritual upacara. 
Piodalan di Pura ini berlangsung setiap 210 hari sekali (6 bulan kalender Bali), yaitu Redite Pon Medangsia, delapan hari setelah hari raya Kuningan.
Bertepatan dengan puncak upacara ratusan masyarakat mengeremuni areal pura. Upacara berlangsung dengan meriah karena upacara sangat unik, khususnya di Kota Denpasar

arti Pura di Bali

arti Pura di Bali

Kehidupan masyarakat di Bali, khususnya di masing-masing Desa Pakraman pastilah memiliki sebuah tempat suci/pemujaan yang disebut Pura. 
Istilah “Pura” berasal dari kata Sansekertha, yang berarti “kota” atau “benteng” yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. 
Sebelum dipergunakan kata “pura” untuk menamai tempat suci atau tempat pemujaan digunakan kata kahyangan atau hyang. Pada zaman Bali kuna yang merupakan data tertua ditemukan dalam Prasasti Sukawana A 1 Tahun 882 M. Dalam prasasti Trunyan A 1 tahun 891 M, ada disebutkan
”Sanghyang di turunan“ yang artinya “tempat suci di Trunyan”
Demikian pula dalam prasasti Pura Kehen A (tanpa tahun), disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda, yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda (Titib, 2000:91).

Bhakti Marga Yoga

Bhakti Marga Yoga

Bhakti artinya cinta kasih. bhakti merupakan bagian dari Catur marga Yoga dimana jalan ini menonjolkan rasa kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan jalan kepatuhan atau bhakti. Kata bhakti ini digunakan untuk menunjukkan kasih kepada objek yang lebih tinggi atau lebih luas cakupannya. contoh: kepada orang tua, para leluhur, para dewa, Tuhan Yang Maha Esa. Kata cinta kasih digunakan untuk menunjukkan cinta kepada sesama manusia atau mahluk di bawah mansuia baik kepada kawan, keluarga, pacar, tetangga, rekan kerja, binatang, tumbuh-tumbuhan, alam samesta ini. 

Jalan Bhakti Marga Yoga merupakan salah satu jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha Kuasa dengan menggunakan sarana RASA. dalam weda dijelaskan bahwa Bhakti Marga Yoga merupakan berbhakti kepada tuhan dengan Bhakti ( cinta kasih ) terhadap semua mahkluk, Negara dan kepada Tuhan. Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti dan sujud kepada-Nya untuk mencapai kesempurnaan. Orang yang melakukan jalan bhakti disebtu Bhakta.

Bhaktiyoga disenangi oleh sebagian besar umat manusia. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya yang mengelora dan menyerap segalanya. Cinta kepada Tuhan harus selalu diusahakan. Mereka yang mencintai Tuhan tak memiliki keinginan ataupun kesedihan. Ia tak pernah membenci mahluk hidup atau benda apapun, dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul semuanya dalam dekapan tingkat kasih sayangnya.
Kama (keinginan duniawi) dan trisna (kerinduan) merupakan musuh dari rasa bhakti.

Ritual Perkawinan Adat Bali

Ritual Perkawinan Adat Bali

Ritual Perkawinan Adat Bali merupakan salah satu rangkaian upacara manusa yadnya yang sering juga disebut dengan upacara nganten, pawiwahan dan atau mesakapan.
berikut ini vidio film tentang ritual perkawinan adat bali, yang dilaksanakan pada tanggal 24 Oktober 2014, sukra umanis ukir, penanggal ping 1, sasih kalima oleh warga kubayan di Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar - BALI.