Google+

hilangkan Nasib Buruk dengan Sungkem Padasewanam

hilangkan Nasib Buruk dengan Sungkem Padasewanam

siapa yang tidak mengenal arti sungkem?
nakula sahadewa melakukan Padasewanam
sudah tentu, ritual ini banyak bisa kita lihat belakangan ini, baik pejabat maupun para artist, bila akan melaksanakan sebuah acara penting, maka "Ritual Sungkem pada orang tua" tidak akan dilewatkan.

Bagi saudara kita suku Jawa, tradisi sungkeman kepada orang tua ketika mantenan atau hari raya (seperti Lebaran) merupakan pemandangan yang sudah biasa. Tradisi ini dipahami sebagai pernyataan terima kasih, permohonan maaf, sekaligus pemberkatan kepada sanak keluarga (anak-anak) dari orang tuanya. Para menganut tradisi sungkeman meyakinkan bahwa sujud di kaki orang tua merupakan anugerah luar biasa bagi sebuah kesuksesan. Namun hal ini menjadi luar biasa (bahkan dipandang maboya = aneh) ketika tradisi ini dilakukan oleh orang Hindu (Bali).

mungkin dalam benak semeton bali ada yang bertanya-tanya dalam hati,
bukankah, sungkeman itu ritual adat jawa?
atau, sungkeman dan cium tangan orang yang lebih tua merupakan ritual agama non-hindu..?
sepintas bila di lihat di media masa, TV dan media lainnya, memang kebanyakan orang yang melakukan sungkem adalah orang non-hindu. tapi perlu diketahui bahwa, ritual sungkem merupakan ritual asli agama hindu.
kok bisa...??
mari kita telusuri dasar pelaksanaan sungkem.
dalam Agama Hindu, istilah "SUNGKEM lebih dekat dengan kata PADASEWANAM atau istilah balinya NYUMBAH".

benarkah Swaha lebih tepat dari Astungkara?

benarkah Swaha lebih tepat dari Astungkara?

sebelum kita mebrbicara lebihjauh tentang ketepatan dan kesesuaian padan katanya, ada baiknya kita ulas dahulu tentang "Arti Swaha" itu sendiri.

Swaha atau Soha

Dalam agama Hindu dan Buddha, kata swaha (Dewanagari: स्वाहा; IAST: svāhā; Hanzi tradisional: 薩婆訶; pinyin: sà pó hē; bahasa Jepang: sowaka; bahasa Tibet: soha) adalah suatu kata dari bahasa Sanskerta, suatu kata seruan (interjeksi) yang mengindikasikan akhir dari suatu mantra.
Dalam bahasa Tibet, "swaha" diterjemahkan sebagai "semoga terjadi demikian" dan seringkali diucapkan dan ditulis "soha".

Kapan pun upacara pengorbanan diselenggarakan, kata swaha senantiasa diserukan. (umumnya diucapkan di akhir mantra pemujaan)
Dalam agama Hindu, Swaha juga merupakan nama istri Dewa Agni, dewa api dan persembahan. Sebagai kata benda feminin, SVAHA di Rgveda juga bisa berarti "persembahan" (ke Agni atau Indra), dan sebagai persembahan dipersonifikasikan, SVAHA adalah dewi, istri Dewa Agni. awalnya dia adalah seorang widyadari tetapi menjadi abadi setelah menikah Agni. Dalam beberapa versi, dia adalah salah satu dari banyak ibu ilahi Kartikeya. Dia juga ibu dari Aagneya (Aagneya) - putri Agni.

Dewa Siwa - Mahadewa dengan Lingga dan Bulan Sabit

Dewa Siwa - Mahadewa dengan Lingga dan Bulan Sabit

Siwa (Dewanagari: शिव; Śiva) adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
lebih lanjut tentang tri murti, silahkan baca: "Tri Murthi: Brahma Wisnu Siwa"
Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia dan makhluk hidup lainnya ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sanga (Nawa Dewata), Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih. Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Batara Guru. Adya / Siwa / Pusat / Segala Warna (Cahaya) = peleburan kemanunggalan.

Dewa Siwa memiliki nama lain, diantaranya: Jagatpati, Nilakantha, Paramêśwara, Rudra, Trinetra serta nama lainnya yang dikenal dengan 108 Nama Dewa Siwa. Dalam tradisi Indonesia, kadangkala Siwa disebut Batara Guru atau Hyang Guru.
untuk lebih lengkap tentang ke-108 sebutan Dewa Siwa bisa dibaca di "mantra dewa siwa-108 nama gelar hyang Siwa"
Dewa Siwa memiliki sakti yang bernama Dewi Parwati, dikenal juga dengan sebutan Dewi Sati, Dewi Durga, Dewi Kali. dan dengan wahana (kendaraan) Lembu Nandini.

Ayat Weda tentang Kerja Keras dan Ketekunan

Ayat Weda tentang Kerja Keras dan Ketekunan

Kerja keras dan tidak malas merupakan kewajiban dan kebajikan yang patut dilakukan. Tuhan Yang Maha Esa hanya menyayangi mereka yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan, bukan mereka yang malas, gampangan dan menyepelekan segala sesuatu. orang yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan akan mencapai keberhasilan. hal ini sangan relevab dengan perkembangan dunia modern. siapa saja yang tekun bekerja, tekun belajar, berdisiplin dan memiliki kualitas sradha yang mantap, akan sukses dalam berbagai aspek kehidupan. demikian pula orang yang tidak kenal menyerah, tak kenal lelah, tidak cepat putus asa akan memperoleh kekayaan lahir dan batin. Tuhan Yang Maha Esa selalu menolong orang yang suka bekerja keras.
berikut ini sloka Weda yang berkaitan dengan kerja keras.

selalulah melakukan kerja keras,

Kurvan eveha karmani,

jijiviset satam samah,
evam tvayi nayatheto-asti,

na karma lipyate nare (Yayurweda XI.2)

Kenapa Orang Bali memuja Pretima?

Kenapa Orang Bali memuja Pretima?

inilah pertanyaan "maut" yang sering kita dengar, disaat kita bergaul di lingkungan non-hindu. sebuah pertanyaan yang sangat simple terkesan mudah dijawab, tetapi bilah salah ucap makan kita orang bali akan di-CAP BERHALA.
untuk membantu semeton bali menjawab petanyaan tersebut, saya akan coba menjelaskan pemahaman singkat tentang jawaban untuk pertanyaan tersebut.

apa itu Pratima atau Arca?

Pratima atau Arca merupakan "simbol" Dewa/Bhatara yang dipergunakan sebagai alat untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa. Penggunaan Pratima atau arca sebagai alat memuja Tuhan berlangsung sebelum kerajaan Singasari dan Majapahit. Kini penggunaan pratima sudah jarang dilakukan, pratima dan arca saat ini merupakan sebagai pusaka yang dikeramatkan.

Kata arca asalnya dari bahasa sansekerta yang sudah diserap kedalam bahasa indonesia. Nama lain arca adalah murti atau pratima. Dalam bukunya Darshan : Seeing the Divine Image in India, Professor Diana Eck dari Harvard University, Amerika menuliskan sbb:
“just as the term icon conveys the sense of a ‘likeness’ so do the Sanskrit word pratikriti and pratima suggest the ‘likeness’ of the image of the deity it represents. The common word for such image, however, is murti, wich is defined in Sanskrit as ‘anything which has difinite shape and limit, ‘ ‘a form, body, figure,’ ‘an embodiment, incarnation, manifestation. ‘Thus the muti is more than a likeness;it is the deity itself taken ‘form’… The uses of the word murti in the upanisads and the ‘Bhagavad-gita’ suggest thet the form is its essence. The flame is the murti of fire, (etc)…”
Artinya :
“Seperti halnya istilah ikon menunjukkan makna ‘kesurupan’ begitu pula kata-kata pratikrti dan pratima dalam bahasa Sansekerta mengandung makna ‘kesurupan’ antara gambar atau patung dengan dewata yang dilambangkannya. Namun, kata yang umum digunakan untuk menyebut patung seperti itu adalah murti yang didefinisikan sebagai ‘segala sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu,’ ‘suatu bentuk, badan, atau figur,’ ‘sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejawantahan.’ Jadi murti lebih dari sekedar ‘kesurupan’, melainkan dewata sendiri yang telah mewujud. …Pemakaian kata murti dalam berbagai Upanisad dan ‘Bhavad-gita’ menunjukkan bahwa bentuk atau wujud itu adalah hakekat atau esensinya. Nyala api adalah murti dari api, dan sebagainya…
Sayangnya setelah diserap ke dalam bahasa indonesia, kata arca kemudian dimaknai identik dengan kata patung atau berhala, dan sering berkonotasi negatif.

mengapa melakukan pemujaan pretima?

mengapa seseorang menaruh keyakinan pada kepingan logam, kayu atau batu yang dicetak atau diukir atau dipahat sebagai dewa?
semua itu tidak lebih dari sekedar benda-benda tak bernyawa.

Rutinitas di Pagi Hari

Membaca Mantra di Pagi Hari

banyak pertanyaan di kalangan umat tentang kegiatan sehari-harinya, salah satunya pertanyaan yang umum ditanyakan adalah:

  • mengapa bangun pada saat Brahma Muhurtam?
  • mengapa melakukan pembacaan mantra di pagi hari?
  • mengapa menatap cakupan tangan di pagi hari?

nah, itu pertanyaan umum, mungkin para pembaca artikel ini juga tergelitik dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti itu, tapi adakah yang mengetahui jawabannya?
berikut ini saya akan mencoba memberikan pemahaman kenapa kita harus melakukan rutinitas pagi seperti itu.

mengapa bagun pada saat Brahma Muhurtam?

pukul 4 paagi sampai dengan 5.30 pagi disebut brahma muhurtam dalam sastra hindu.
periode tenang dan damai ini sangat cocok untuk belajar weda atau buku-buku agama lainnya, latihan yoga dan meditasi.

Pemahaman dan Arti Simbol Ongkara

Pemahaman dan Arti Simbol Ongkara

Om Swastiastu,
Salam Bhineka Tunggal Ika, hari ini saya ingin menyampaikan suatu karya tentang pemahaman simbol simbol dalam Hindu dimana simbol simbol tersebut sangat banyak macamnya dimana salah satunya adalah ONGKARE. 

Para generasi Muda Hindu yang saya banggakan...
wawasan akan Simbul Ongkare ini adalah karya tulis seorang teman bernama Dede Yasa Varmadeva, yang menjelaskan arti simbol simbol pada Ongkare. Untuk itu mari kita simak.

Makna Simbol Tapak Dara (+)

Makna Simbol Tapak Dara (+)

Tapak dara atau sering juga disebut Tampak dara atau Tatorek, merupakan simbol umum yang digunakan dibali, dimana simbol sederhana dari swastika yang digambarkan dengan tanda tambah, biasanya ditulis dengan media bahan kapur mentah atau dalam bahasa bali disebut "Pamor" (limestone) sehingga warnanya menjadi putih. Tapak Dara merupakan simbol penyatuan dwalitas kehidupan (Rwabhineda).

Lambang saling menyilang ini di Bali dikenal dengan tanda Tapak Dara, tanda tambah (+), di India disebut ‘Satiya’. Gambar tapak dara di Bali biasanya digunakan untuk menolak marabahaya atau memberi ketenangan kepada seseorang setelah terjadi sesuatu yang mengejutkan.

Tapak Dara biasanya dugunakan saat melaksanakan suatu upacara keagamaan dan juga dipasangkan atau dituliskan pada rumah, digoreskan di beberapa tiang rumah dengan pamor, tentunya ketika dilaksanakan upacara pemlaspas (ritual selametan untuk rumah yang baru dibangun) .

Tanda Tapak Dara (+) sering pula digunakan sebagai pengobatan Tradisional Hindu (Ayur Veda), dimana tanda ini digoereskan dengan pamor (sejenis kapur) disertai dengan Mantra dipasang di telapak tangan sang pasien maupun di telapak kaki pasien khususnya bayi atau anak-anak. dipasang juga pada seorang ibu sedang menyusui, dikejutkan oleh sesuatu, biasanya digoresi lukisan tapak dara dari arang / kapur sirih pada susu dan anaknya (pada sela dahi maksudnya), ialah untuk menolak bahaya atau yang bersifat negatif. Tanda ini kita dapati juga pada kekeb (penutup masak nasi) yang fungsinya juga untuk menolak hal-hal yang sifatnya negatif. di kulkul (kentongan), tetimpug (alat kelengkapan upacara butha yadnya - mecaru) serta tempat-tempat lainnya yang dianggap penting. Oleh karena itu tanda ini dikenal dengan istilah Tapak Dara (Tampak Dara).

mungkin karena hal itulah, lambang Tapak Dara di adopsi oleh Palang Merah, dengan maksud agar roh dari sistem pengobatan dan pertolongan spiritual menyertai anggotanya. dan sampai sekarang "Palang Merah Indonesia (PMI)" menggunakan simbol Tapak Dara.
tapak dara sebagai lambang PMI

Dewasa Ayu Nganten - Hari Baik Kawin di 2015

Dewasa Ayu Nganten - Hari Baik Kawin

setelah beberapa kali memberikan pertimabangan tentang hari baik menikah menurut budaya bali, diantaranya:


dan saat ini saya akan mencoba kembali memberikan pertimbangan tentang "Dewasa Ayu Nganten - Hari Baik Kawin di 2015".
berdasarkan perhitungan wariga agung, wariga gemet dan sunari tiga, di tahun 2015 sangat minim dewasa ayu. yakni dari perhitungan:
Sasih - Wuku - Wewaran - Penanggal
tetapi, karena menikah itu adalah hak dan kewajiban sebagai manusia, hendaknya diambil skala prioritas dalam pemilihan hari baik menikah ini. memang menurut pribadi saya, sasih adalah prioritas utama, yang kemudian diikuti oleh wuku, wewaran kemudian penanggal. tetapi sehubungan ditahun 2015 Dewasa Ayu Nganten sangan sedikit, perhitungan sasih diabaikan dahulu. wuku yang dikedepankan, kemudian dina, setelah itu penangal, tetapi kalau penanggal sulit untuk dicari kesesuaiannya dengan wuku-dina, maka pilihan berikutnya digunakan pangelong dan sebagai penutup barulah dilihat sasihnya.
bagaimana dengan Banten Bayuh?

apakah bisa menyelesaikan permasalahan dewaya Nganten tersebut diatas?
banyak pertanyaan semeton bali tentang hal tersebut, dengan alasan "MBE (merried by anciden) alias sudah terlanjur HAMIL, akan tugas keluar daerah, hendak melakukan acara lainnya, serta alasan-alasan lainnya" banyak umat "nunasin" dengan agak memaksakan kehendak ke sulinggih untuk di "lugrakan" hari yang baik menurutnya, dalam bulan yang diinginkan yang nunasin, sehinga Ida Sang Sulinggih terdesak akibat "dharmaning sulinggih" yang akan mengabulkan segala permintaan umatnya dengan beberapa pertimbangan. salah satunya sengan menyarankan untuk dibuatkan "banten Bayuh patemuan, Banten Bayuh Dina atau Bayuh Sasih yang sering juga disebut dengan Banten Bayuh Anten.
tapi, apakah itu bisa menyelesaikan masalah?