Weda kitab Sanatana Dharma Wahyu Tuhan
dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 1849, oleh seorang sarjana Belanda "R. Freiderich" menulis dengan antusias tentang keberadaan weda di pulau bali. ia memberitahu pembacanya bahwa
"para pandita memiliki lontar (manuscript) yang sangat penting berupa 4 buah Samhita yang ditulis oleh Bhagawan Byasa (Maharsi Vyasa). mereka merahasiakan isinya dan mengajarkannya secara terbatas hanya kepada sisya (murid)nya saja."
R. Freiderich kemudian diijinkan hanya melihat sebuah lontar yaitu Brahmanda Purana berbahasa Jawa Kuno dan tidak diijinkan melihat lontar-lontar lainnya yang dirahasiakan itu. teka-teki keberadaan weda ini cukup lama berlangsung dan baru kemudian beberapa sarjana seperti " Brumund dan Kern" menemukan kenyataan sebenarnya. sarjana ini menemukan bahwa mantram-mantram sansekerta bercampur dengan bahasa jawa kuno dalam mantram ritual dan penjelasannya yang bersifat mistik dengan latar belakang bersifat Siwaisme dengan warna tantrik. Jadi di bali oleh para pandita disebut weda adalah teks atau mantra-mantram puja, stuti atau stawa.