Google+

Catur Warna Strata Sosial dalam Agama Hindu

Catur Warna Status Sosial dalam Agama Hindu

Dalam Lontar Wrhaspati Tattwa dijelaskan: 
Paramasiwa kesadarannya mulai tersentuh oleh Maya; ketika itu ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna, dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Dalam keadaan begini ia diberi gelar Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimpulkan sebagai bunga teratai (padma) yang merupakan stana-Nya. Dengan sakti, guna, dan swabawa-Nya ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaan-Nya, karena itu ia disebut Saguna Brahman. Dalam menciptakan manusia ia tidak membeda-bedakan derajat manusia.
Dalam agama Hindu, istilah Kasta dalam weda tidaklah dikenal, tetapi yang ada adalah Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti "memilih (sebuah kelompok)".


Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.
Caturwarnyam maya srishtam Guna karma wibhagasah, Tasya kartaram api mam Vidhdhy akartaram avyayam (Bhagavad-Gita IV.13)
Artinya :
Catur Warna adalah ciptaan-Ku menurut pembagian kwalitas kerja, Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan perubahan
Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra ataupun Waisya, apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu.

Weda kitab Sanatana Dharma Wahyu Tuhan

Weda kitab Sanatana Dharma Wahyu Tuhan

dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 1849, oleh seorang sarjana Belanda "R. Freiderich" menulis dengan antusias tentang keberadaan weda di pulau bali. ia memberitahu pembacanya bahwa
"para pandita memiliki lontar (manuscript) yang sangat penting berupa 4 buah Samhita yang ditulis oleh Bhagawan Byasa (Maharsi Vyasa). mereka merahasiakan isinya dan mengajarkannya secara terbatas hanya kepada sisya (murid)nya saja."
R. Freiderich kemudian diijinkan hanya melihat sebuah lontar yaitu Brahmanda Purana berbahasa Jawa Kuno dan tidak diijinkan melihat lontar-lontar lainnya yang dirahasiakan itu. teka-teki keberadaan weda ini cukup lama berlangsung dan baru kemudian beberapa sarjana seperti " Brumund dan Kern" menemukan kenyataan sebenarnya. sarjana ini menemukan bahwa mantram-mantram sansekerta bercampur dengan bahasa jawa kuno dalam mantram ritual dan penjelasannya yang bersifat mistik dengan latar belakang bersifat Siwaisme dengan warna tantrik. Jadi di bali oleh para pandita disebut weda adalah teks atau mantra-mantram puja, stuti atau stawa.

Cara belajar Weda Hindu

Cara belajar Weda Hindu

Ada orang yang berpendapat bahwa memahami ajaran Weda adalah sangat susah karena ada hal-hal yang memang sulit untuk dimengerti. pendapat ini memang sebagian ada benarnya kan ketika para tetua menyampaikan gagasan untuk mulai memaparkan ajaran weda dengan lebih ringan agar lebih mudah dipelajari, ada salah seorang teman yang nyeletuk;

  • siapa yang (boleh) membaca kitab suci weda?
  • bukankah kitab suci Weda sangat sulit dipahami?
  • ah... janganlah kita terpengaruh pola pikir agama lain!
  • bukankah setiap orang tidak boleh membaca weda?
  • mengapa sedikit-sedikit harus kembali merujuk ke kitab suci?
  • bukankah lontar-lontar warisan leluhur sudah cukup untuk menjadi pedoman?

terhadap pernyataan teman itu, kami benar-benar terkesima, apakah saya dan teman-teman lainnya telah salah langkah? bukankah Weda harus dipahami oleh semua orang, setiap umat manusia. Kitab Suci Weda jelas-jelas mengamalkan hal tersebut;
yethemam vacam kalyanim avadani janebyhah,

brahma rajanyabhyam sudraya caryaya,
ca svaya caranaya ca (Yayurweda XXVI.2)
artinya:
hendaknya disampaikan sabdha suci ini ke seluruh umat manusia, cendikiawan-rohaniawan, raja/pemerintahan, masyarakat, para pedagang, petani dan para buruh, kepada orang-orangku dan orang asing sekalipun.

hilangkan Nasib Buruk dengan Sungkem Padasewanam

hilangkan Nasib Buruk dengan Sungkem Padasewanam

siapa yang tidak mengenal arti sungkem?
nakula sahadewa melakukan Padasewanam
sudah tentu, ritual ini banyak bisa kita lihat belakangan ini, baik pejabat maupun para artist, bila akan melaksanakan sebuah acara penting, maka "Ritual Sungkem pada orang tua" tidak akan dilewatkan.

Bagi saudara kita suku Jawa, tradisi sungkeman kepada orang tua ketika mantenan atau hari raya (seperti Lebaran) merupakan pemandangan yang sudah biasa. Tradisi ini dipahami sebagai pernyataan terima kasih, permohonan maaf, sekaligus pemberkatan kepada sanak keluarga (anak-anak) dari orang tuanya. Para menganut tradisi sungkeman meyakinkan bahwa sujud di kaki orang tua merupakan anugerah luar biasa bagi sebuah kesuksesan. Namun hal ini menjadi luar biasa (bahkan dipandang maboya = aneh) ketika tradisi ini dilakukan oleh orang Hindu (Bali).

mungkin dalam benak semeton bali ada yang bertanya-tanya dalam hati,
bukankah, sungkeman itu ritual adat jawa?
atau, sungkeman dan cium tangan orang yang lebih tua merupakan ritual agama non-hindu..?
sepintas bila di lihat di media masa, TV dan media lainnya, memang kebanyakan orang yang melakukan sungkem adalah orang non-hindu. tapi perlu diketahui bahwa, ritual sungkem merupakan ritual asli agama hindu.
kok bisa...??
mari kita telusuri dasar pelaksanaan sungkem.
dalam Agama Hindu, istilah "SUNGKEM lebih dekat dengan kata PADASEWANAM atau istilah balinya NYUMBAH".

benarkah Swaha lebih tepat dari Astungkara?

benarkah Swaha lebih tepat dari Astungkara?

sebelum kita mebrbicara lebihjauh tentang ketepatan dan kesesuaian padan katanya, ada baiknya kita ulas dahulu tentang "Arti Swaha" itu sendiri.

Swaha atau Soha

Dalam agama Hindu dan Buddha, kata swaha (Dewanagari: स्वाहा; IAST: svāhā; Hanzi tradisional: 薩婆訶; pinyin: sà pó hē; bahasa Jepang: sowaka; bahasa Tibet: soha) adalah suatu kata dari bahasa Sanskerta, suatu kata seruan (interjeksi) yang mengindikasikan akhir dari suatu mantra.
Dalam bahasa Tibet, "swaha" diterjemahkan sebagai "semoga terjadi demikian" dan seringkali diucapkan dan ditulis "soha".

Kapan pun upacara pengorbanan diselenggarakan, kata swaha senantiasa diserukan. (umumnya diucapkan di akhir mantra pemujaan)
Dalam agama Hindu, Swaha juga merupakan nama istri Dewa Agni, dewa api dan persembahan. Sebagai kata benda feminin, SVAHA di Rgveda juga bisa berarti "persembahan" (ke Agni atau Indra), dan sebagai persembahan dipersonifikasikan, SVAHA adalah dewi, istri Dewa Agni. awalnya dia adalah seorang widyadari tetapi menjadi abadi setelah menikah Agni. Dalam beberapa versi, dia adalah salah satu dari banyak ibu ilahi Kartikeya. Dia juga ibu dari Aagneya (Aagneya) - putri Agni.

Dewa Siwa - Mahadewa dengan Lingga dan Bulan Sabit

Dewa Siwa - Mahadewa dengan Lingga dan Bulan Sabit

Siwa (Dewanagari: शिव; Śiva) adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
lebih lanjut tentang tri murti, silahkan baca: "Tri Murthi: Brahma Wisnu Siwa"
Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia dan makhluk hidup lainnya ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sanga (Nawa Dewata), Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih. Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Batara Guru. Adya / Siwa / Pusat / Segala Warna (Cahaya) = peleburan kemanunggalan.

Dewa Siwa memiliki nama lain, diantaranya: Jagatpati, Nilakantha, Paramêśwara, Rudra, Trinetra serta nama lainnya yang dikenal dengan 108 Nama Dewa Siwa. Dalam tradisi Indonesia, kadangkala Siwa disebut Batara Guru atau Hyang Guru.
untuk lebih lengkap tentang ke-108 sebutan Dewa Siwa bisa dibaca di "mantra dewa siwa-108 nama gelar hyang Siwa"
Dewa Siwa memiliki sakti yang bernama Dewi Parwati, dikenal juga dengan sebutan Dewi Sati, Dewi Durga, Dewi Kali. dan dengan wahana (kendaraan) Lembu Nandini.

Ayat Weda tentang Kerja Keras dan Ketekunan

Ayat Weda tentang Kerja Keras dan Ketekunan

Kerja keras dan tidak malas merupakan kewajiban dan kebajikan yang patut dilakukan. Tuhan Yang Maha Esa hanya menyayangi mereka yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan, bukan mereka yang malas, gampangan dan menyepelekan segala sesuatu. orang yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan akan mencapai keberhasilan. hal ini sangan relevab dengan perkembangan dunia modern. siapa saja yang tekun bekerja, tekun belajar, berdisiplin dan memiliki kualitas sradha yang mantap, akan sukses dalam berbagai aspek kehidupan. demikian pula orang yang tidak kenal menyerah, tak kenal lelah, tidak cepat putus asa akan memperoleh kekayaan lahir dan batin. Tuhan Yang Maha Esa selalu menolong orang yang suka bekerja keras.
berikut ini sloka Weda yang berkaitan dengan kerja keras.

selalulah melakukan kerja keras,

Kurvan eveha karmani,

jijiviset satam samah,
evam tvayi nayatheto-asti,

na karma lipyate nare (Yayurweda XI.2)

Kenapa Orang Bali memuja Pretima?

Kenapa Orang Bali memuja Pretima?

inilah pertanyaan "maut" yang sering kita dengar, disaat kita bergaul di lingkungan non-hindu. sebuah pertanyaan yang sangat simple terkesan mudah dijawab, tetapi bilah salah ucap makan kita orang bali akan di-CAP BERHALA.
untuk membantu semeton bali menjawab petanyaan tersebut, saya akan coba menjelaskan pemahaman singkat tentang jawaban untuk pertanyaan tersebut.

apa itu Pratima atau Arca?

Pratima atau Arca merupakan "simbol" Dewa/Bhatara yang dipergunakan sebagai alat untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa. Penggunaan Pratima atau arca sebagai alat memuja Tuhan berlangsung sebelum kerajaan Singasari dan Majapahit. Kini penggunaan pratima sudah jarang dilakukan, pratima dan arca saat ini merupakan sebagai pusaka yang dikeramatkan.

Kata arca asalnya dari bahasa sansekerta yang sudah diserap kedalam bahasa indonesia. Nama lain arca adalah murti atau pratima. Dalam bukunya Darshan : Seeing the Divine Image in India, Professor Diana Eck dari Harvard University, Amerika menuliskan sbb:
“just as the term icon conveys the sense of a ‘likeness’ so do the Sanskrit word pratikriti and pratima suggest the ‘likeness’ of the image of the deity it represents. The common word for such image, however, is murti, wich is defined in Sanskrit as ‘anything which has difinite shape and limit, ‘ ‘a form, body, figure,’ ‘an embodiment, incarnation, manifestation. ‘Thus the muti is more than a likeness;it is the deity itself taken ‘form’… The uses of the word murti in the upanisads and the ‘Bhagavad-gita’ suggest thet the form is its essence. The flame is the murti of fire, (etc)…”
Artinya :
“Seperti halnya istilah ikon menunjukkan makna ‘kesurupan’ begitu pula kata-kata pratikrti dan pratima dalam bahasa Sansekerta mengandung makna ‘kesurupan’ antara gambar atau patung dengan dewata yang dilambangkannya. Namun, kata yang umum digunakan untuk menyebut patung seperti itu adalah murti yang didefinisikan sebagai ‘segala sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu,’ ‘suatu bentuk, badan, atau figur,’ ‘sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejawantahan.’ Jadi murti lebih dari sekedar ‘kesurupan’, melainkan dewata sendiri yang telah mewujud. …Pemakaian kata murti dalam berbagai Upanisad dan ‘Bhavad-gita’ menunjukkan bahwa bentuk atau wujud itu adalah hakekat atau esensinya. Nyala api adalah murti dari api, dan sebagainya…
Sayangnya setelah diserap ke dalam bahasa indonesia, kata arca kemudian dimaknai identik dengan kata patung atau berhala, dan sering berkonotasi negatif.

mengapa melakukan pemujaan pretima?

mengapa seseorang menaruh keyakinan pada kepingan logam, kayu atau batu yang dicetak atau diukir atau dipahat sebagai dewa?
semua itu tidak lebih dari sekedar benda-benda tak bernyawa.

Rutinitas di Pagi Hari

Membaca Mantra di Pagi Hari

banyak pertanyaan di kalangan umat tentang kegiatan sehari-harinya, salah satunya pertanyaan yang umum ditanyakan adalah:

  • mengapa bangun pada saat Brahma Muhurtam?
  • mengapa melakukan pembacaan mantra di pagi hari?
  • mengapa menatap cakupan tangan di pagi hari?

nah, itu pertanyaan umum, mungkin para pembaca artikel ini juga tergelitik dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti itu, tapi adakah yang mengetahui jawabannya?
berikut ini saya akan mencoba memberikan pemahaman kenapa kita harus melakukan rutinitas pagi seperti itu.

mengapa bagun pada saat Brahma Muhurtam?

pukul 4 paagi sampai dengan 5.30 pagi disebut brahma muhurtam dalam sastra hindu.
periode tenang dan damai ini sangat cocok untuk belajar weda atau buku-buku agama lainnya, latihan yoga dan meditasi.

Pemahaman dan Arti Simbol Ongkara

Pemahaman dan Arti Simbol Ongkara

Om Swastiastu,
Salam Bhineka Tunggal Ika, hari ini saya ingin menyampaikan suatu karya tentang pemahaman simbol simbol dalam Hindu dimana simbol simbol tersebut sangat banyak macamnya dimana salah satunya adalah ONGKARE. 

Para generasi Muda Hindu yang saya banggakan...
wawasan akan Simbul Ongkare ini adalah karya tulis seorang teman bernama Dede Yasa Varmadeva, yang menjelaskan arti simbol simbol pada Ongkare. Untuk itu mari kita simak.