Google+

Nyentana atau Paid Bangkung?

Nyentana atau Paid Bangkung?

istilah “paid bangkung” sudah bukan istilah yang asing lagi di telinga umat Hindu etnis Bali. Yaitu sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan seorang lelaki (selaku purusa) yang menikah dengan wanita (selaku predana) dan kemudian mengikuti kemauan istrinya serta ikut segala perintah dari pihak predana.

Paid Bangkung tidak hanya berlaku untuk sebutan seorang Suami (hindu) ikuti kemauan Istri (Non-Hindu) serta pindah agama ke agama si Istri, tetapi istilah paid bangkung juga digunakan untuk seomua suami yang "tunduk" kepada istrinya.
Etimologi “paid bangkung” sendiri berasal dari bahasa Bali, yaitu dari kata 

  • paid” = ditarik, dan 
  • bangkung” = babi betina yang dipelihara untuk dibiakkan. 

Namun belakangan ini muncul istilah baru lagi, yaitu "paid kaung". "kaung" = Gigolo-nya babi. 
bilamana ada wanita bali yang sampai disebut "paid kaung" maka dia diidentikkan setia dengan suami yang suka mencari wanita penghibur atau rela dimadu dengan banyak istri. paid kaung juga di identikkan dengan wanita hindu yang pindah agama. 
Jadi istilah “paid bangkung” ataupun "paid kaung" selalu dikonotasikan sebagai hal yang negatif. 
trus, Apa beda Nyentana dengan Paid Bangkung?

Perkawinan Nyentana 

Nyentana adalah Hukum Adat, bukan kaidah Agama Hindu. Mungkin ada sedikit kaitan dengan tradisi beragama Hindu di Bali, di mana dikenal adanya istilah “Pradana” dan “Purusha”.

Seseorang yang nyentana hendaknya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak/ kewajibannya di Sanggah lama (purusha) dan menjadi warga baru di Sanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitannya yang lama dan kawitan istrinya.

Sebaiknya jangan menggunakan istilah “Paid Bangkung” itu adalah kata-kata yang kurang sopan, di mana si wanita disebut “bangkung” (induk babi).

Bahwa perkawinan itu bisa saja berlangsung dengan bahagia, tergantung dari bagaimana si suami-istri bisa menciptakan surga dalam kehidupan rumah tangganya. Istilah yang kurang enak itu hanyalah ungkapan dari sifat-sifat arogansi superioritas kaum lelaki.

Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang Bali yang sejak zaman dahulu mengambil langkah nyentana seperti itu.

Contohnya adalah Arya Tutuan, yang distanakan di Bukit Buluh, Desa Gunaksa, Klungkung. Toh sekarang preti sentana beliau hidup bahagia sebagaimana layaknya umat Hindu.

Jadi tidak ada yang salah dalam hal Nyentana. Yang penting adalah bagaimana membina kehidupan ini agar harmonis, sesuai ajaran Veda.

Paid Bangkung

merupakan pernikahan dimana si Suami ikut semua kehendak Istri. dalam hal ini secara sah harusnya Pihak Predana yang ikut Pihak Purusa tetapi kenyataannya terbalik, inilah yang disebut Paid Bangkung. Paid Bangkung juga diidentikkan dimana seorang Lelaki Hindu yang menikah secara Hindu tetapi dlam kesehariannya melakukan keyakinan Agama Non-hindu yang diyakini oleh istrinya.

Sering kali seorang pemuda Hindu Bali khususnya yang baik karena merantau ke luar Bali atau karena memang lahir di luar Bali dihadapkan dengan sebuah permasalahan yang sudah pasti pernah dialami oleh orang normal, yaitu “Cinta”. Sebagian besar pemuda/pemudi Hindu di luar Bali pernah menjalin cinta dengan pemuda/pemudi non-Hindu.

Cinta, sebuah hal yang sederhana tetapi juga ruwet. Cinta memang buta, hanya karena cinta pada pasangan, seseorang dapat meninggalkan agama dan keluarga.
Tidakkah mereka sadar bahwa cinta pada lawan jenis tidak ubahnya bagai bunga rumput yang kadang tumbuh dan bersemi lalu mati dalam hitungan sekejap?
Sering kali kita jatuh cinta pada seseorang karena fisiknya, padahal kalau mau jujur, sampai kapan kecantikan/ketampanan fisik itu akan bertahan?
Tidak akan lebih dari umur 30 tahun kan?

Kita adalah Jiva (Atman) yang mandiri dan terpisah dari jiva-jiva lainnya. Jiva (Atman) hanya memiliki hubungan khusus dengan sumber dari Atman itu sendiri, yaitu Paramatman, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagavad Gita 8.15 Sri Krishna mengatakan
Bhair antas ca bhutanam"
Aku bersemayam dalam hati setiap insan. 
Dalam aspeknya sebagai paramatman, Tuhan selalu menyertai sang jiva. Jika jiva dan paramatman diibaratkan sebagai dua ekor burung yang hinggap di sebuah pohon (analogi dari badan), Maka burung yang satu (jiva) sibuk sebagai penikmat dan pengguna semua fasilitas dan makanan yang ada pada pohon (badan) tersebut, sementara itu burung yang satunya lagi (paramatman) selalu setia menemani dan mengawasi burung penikmat (jiva) tadi.

Celakanya, sering kali burung penikmat (jiva) ini selalu disibukkan oleh pemuasan nafsu kenikmatan pribadinya, sehingga dia melupakan burung yang selalu menemaninya (paramatman) dan selalu tertarik untuk terbang ke pohon-pohon lainnya demi kenikmatannya sendiri. Kita sering kali lupa akan siapa sejatinya diri kita.
Apakah kita badan ini atau sesuatu di balik badan ini? 
Kita sering kali terperangkap untuk menikmati badan serta tertarik pada badan-badan yang lain dan kita lupa pada Tuhan (paramatman) yang selalu setia menemani kita. Andaikan seseorang sadar akan kedudukannya ini, dan mengerti bahwa cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, maka penderitaan akan cinta yang konyol seperti kasus “paid bangkung” ini tidak akan pernah terjadi.

Dalam pelaksanaan perkawinan (vivaha) Hindu, hendaknya seseorang harus memperhatikan beberapa aturan dasar yang harus diketahui dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan vivaha tersebut, mokshatram ya ca iti dharma.

Tujuan mendasar dari sebuah perkawinan adalah membentuk keluarga yang berazaskan dharma sehingga menghasilkan anak-anak yang suputra dan selanjutnya suami istri harus dapat saling bahu-membahu melaksanakan yajna (upacara agama) sehingga diharapkan keduanya pada akhirnya akan mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu moksha. Hal ini diuraikan dalam Manava Dharma Sastra 9.96;
“untuk menjadi ibu/istri maka wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah/swami maka lelaki diciptakan, keduanya diciptakan untuk menyelenggarakan upacara agama”.

Disamping itu seorang laki-laki yang akan menikah harus menyadari betul hak dan kewajibannya sebagai seorang suami. Istilah suami berasal dari kata sansekerta “svami” yang artinya mengendalikan. Penggunaan kata svami ditujukan untuk dua hal, yaitu untuk orang suci dan untuk pemimpin keluarga.

Orang suci dapat menyandang nama/gelar svami jika mereka mampu mengendalikan indria-indrianya, mampu melaksanakan Panca Yama Bratha dan Panca Nyama Bratha serta menjalani aturan kehidupan sanyasi (bhiksuka), tidak terikat lagi dengan keluarga dan kehidupan material dan hanya disibukkan dalam pelayanan bhakti pada Tuhan dan menyebarkan dharma ke seluruh dunia.

  1. Seorang laki-laki berumah tangga dapat disebut suami/svami jika mampu mengendalikan dan menuntun istri serta anak-anaknya sesuai dengan ajaran dharma. 
  2. Seorang suami tidak dibenarkan takut pada istri dan berada di bawah ketiak istri, tapi swamilah yang harus mengendalikan istrinya dan tentunya harus sesuai dengan prinsip-prinsip dharma. 
  3. Seorang lelaki yang mengendalikan pasangan hidup dan keluarganya secara sewenang-wenang dan tanpa aturan sastra agama yang benar juga tidak layak disebut sebagai suami.

Sehingga dengan ketiga prinsip dasar ini, yaitu bahwasanya cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, suami dan istri diciptakan untuk saling bahu membahu melaksanakan ajaran dharma serta pada dasarnya seseorang hanya dapat disebut suami jika dia mampu mengendalikan dan mendidik keluarganya sesuai dengan prinsip dharma, maka beberapa jenis pernikahan yang marak terjadi belakangan ini tidak dapat dibenarkan.

Yang pertama, pernikahan “paid bangkung” sudah pasti menunjukkan bahwa pemuda yang “paid bangkung” ini tidak menyadari dirinya yang sejati sebagai jiva. Dia terlena akan kecantikan lawan jenis, iming-iming harta warisan atau mungkin karena pengetahuan agama dan antar agamanya yang sangat kering.

Kesalahan utama pemuda/pemudi Hindu dalam meminang seorang pasangan non-Hindu adalah pada pemahaman yang merupakan kebanggaan semu dari penganut Hindu yang menyatakan bahwa “semua agama sama”. Padahal pada kenyataannya tidak satu agamapun yang sama di dunia ini, bahkan dalam satu agamapun acap kali terdapat perbedaan pandangan/aliran. Sebuah survei interfaith menunjukkan bahwa agama yang memiliki toleransi paling tinggi adalah Hindu dan berikutnya diurutan kedua adalah Buddha serta agama-agama Timur lainnya. Pada urutan berikutnya adalah Kristen dan dikuti oleh agama Yahudi. Sementara itu agama yang paling tidak toleran menurut survei tersebut adalah Islam. Merupakan sebuah kebanggaan sebagai Hindu dimana menduduki peringkat teratas dalam hal toleransi beragama, tapi juga merupakan bumerang bagi mereka yang tidak memahami filsafat Hindu dengan benar.

Kasus menarik “paid bangkung” akibat kebanggaan buta akan sikap toleransi dan keringnya pengetahuan akan Hindu pernah terjadi di Yogyakarta. Pada waktu itu sebuah rombongan keluarga dari seorang alumnus salah satu perguruan tinggi di Yogya mendatangi rumah keluarga pacarnya dengan maksud meminang pacarnya tersebut. Setelah melakukan percakapan yang cukup hangat, tibalah pada sebuah percakapan yang menyangkut perbedaan agama antara kedua keluarga tersebut. Percakapanpun berlangsung alot dan tegang, namun pada akhirnya diredam dengan satu “kalimat sakti” oleh pemimpin rombongan keluarga Hindu dari Bali tersebut. Beliau berujar dan mengatakan bahwa semua agama sama, sehingga tidaklah masalah untuk melakukan pernikahan beda agama antra pasangan ini. Meski meredakan ketegangan, namun ternyata pernyataan ini menjadi bumerang bagi keluarga Hindu Bali ini. Salah satu pihak perempuan akhirnya berujar; “Kalau memang menurut anda semua agama sama, berarti tidak masalah dong ya kalau anak bapak yang pindah ke agama kami?”. Logika yang bagus dan dengan primis yang memang tidak dapat dipatahkan. Akhirnya dengan kecewa, keluarga dari Bali ini harus pulang dengan merelakan anak lelaki mereka “paid bangkung”, menikah dan berubah agama mengikuti agama istrinya.

Kasus kedua yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah dimana suami dan istri memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Manava Dharma Sastra 9.96 sudah sangat tegas mengatakan bahwa suami dan istri harus saling bahu membahu melaksanakan yajna (upacara agama).
Jika mereka memiliki keyakinan berbeda, bagaimana mereka dapat melaksanakan yajna sesuai dengan aturan Veda?

Kasus yang kedua ini biasanya terjadi untuk meredam masalah dimana pihak suami atau istri sama-sama bersikukuh untuk mempertahankan agamanya. Namun biasanya yang pada akhirnya kalah adalah pihak Hindu, walaupun yang Hindu adalah suaminya, sering kali anak-anak mereka dididik dengan agama istrinya yang non-Hindu. Faktor utama penyebab ini sudah barang tentu karena Hindu sebagai minoritas di Indonesia tidak memiliki sistem pendidikan yang baik. Dan faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah karena sebagian besar orang Hindu tidak memahami ajarannya dengan baik dan tidak dibekali dengan pemahaman akan ajaran agama yang lain.

Kesalahan terbesar orang Hindu, terutama Hindu etnis Bali diluar ketidakmampuan mensinergikan antara filsafat dan upacara (ritual) adalah karena orang Hindu tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kerajaan majapahit runtuh karena Raja Brawijaya V tidak mampu bertindak sebagai seorang suami yang benar, dia tidak mampu mengendalikan dan mendidik istrinya yang muslim sehingga anak kandung dari istrinya itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab kehancurannya dan kerajaannya. Kerajaan badung-pun hampir hancur dengan cara seperti ini, namun “untung” belanda datang menjajah sehingga Hindu di Bali belum sempat hancur seperti halnya Hindu di Jawa.

Menurut sebuah milis pemuda Hindu, saat ini terdapat seorang menteri Hindu yang juga sedang terjerat kasus seperti ini. Dalam keluarganya hanya dialah satu-satunya Hindu, istrinya dan anak-anaknya non-Hindu.
Apakah seseorang yang tidak mampu mengendalikan keluarganya sendiri dapat diangkat sebagai menteri dan disuruh mengendalikan departemen? 
Kasus yang sama juga saya temukan di kota Metro, Lampung. Sungguh menyedihkan ketidakberdayaan lelaki-lelaki takut istri ini. Mereka (para lelaki) sama sekali tidak layak disebut sebagai suami (svami).

Paid Kaung

Adakah istilah "paid kaung" dalam masyarakat Hindu di Bali?
Mungkin istilah "paid kaung" ini ada, namun kurang populer jika dibandingkan dengan istilah "paid bangkung". Tetapi tidak dapat dipungkiri, hal ini sering juga terjadi pada wanita-wanita Hindu yang menikah dan mengikuti agama suaminya yang non-Hindu. Memang tidak ada yang salah dengan hal ini karena dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 
Sejalan dengan UU tersebut, Perkawinan beda agama, bagi umat Hindu tidak dibenarkan, karena menurut Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 27 tertulis:
"Acchadya Carcayitwa Ca, Sruti Sila Wate Swayam, Ahuya Danam Kanyaya, Brahma Dharmah Prakirtitah".
Artinya:
seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang beragama Hindu (meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dan seorang wanita yang taat beragama Hindu (karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang tua dan disucikan oleh seorang Wiku). 
Oleh karena itu bila ada beda agama, maka pangasangan (suami/istri) agar ‘di-Hindu-kan’ dahulu dengan upacara sudhi wadani, yakni mengucapkan kata-kata suci:
Om I Ba Sa Ta A I Om Ya Nama Siwaya, Om Ang-Ung-Mang, 
Om Sa Ba Ta A I Om Ya Nama Siwaya, Om Mang-Ung-Ang, 
Om Awignam Astu Namo Sidham
Ucapkan itu di depan sebuah sanggah surya dengan banten pejati, dan dipimpin oleh wiku atau jero mangku.

Perkawinan di mana sang suami (Agama Lain) mengikuti agama istri (Hindu) sebenarnya tidak ada masalah, mungkin istilahnya berubah menjadi "maid kaung"; upacaranya juga dengan Sudhi Waddani yang mendahului upacara perkawinan. Yang jadi masalah jika perkawinan itu berdampak kepada Hukum Waris yang di dalam istilah adat di Bali dinamakan “ngrajeg dalem” atau “nyentana”. Jika ini yang dimaksud maka tindakan hukum ini harus mendapat persetujuan dari semua ahli waris yang berhak, di mana persetujuan atau penolakan harus dilakukan secara tertulis, dan untuk amannya dibuatkan Akta Notaris. Apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak dengan maksud ngrajeg dalem harus pula dinyatakan dengan tegas dalam suatu akte agar tidak menyulitkan para ahli waris di kemudian hari. Bila rumah tangga itu nanti akan berdiri sendiri (tanpa ngrajeg dalem dan tanpa masuk warga Dadia) sebaiknya sang suami mengikuti Kawitan istrinya dan membangun Sanggah Kamulan sendiri.

Kembali ke istilah "paid kaung", wanita Hindu yang menikah dengan pria non-Hindu harus mengikuti agama suaminya. Karena menurut adat-kebiasaan masyarakat Bali, perempuan merupakan ‘pradana’ yang wajib berbakti kepada sang suami selaku ‘purusa’. Oleh karena itu, keluarga si wanita dapat mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan, misalnya tidak mengakuinya lagi sebagai warga dadia penyungsung Sanggah Pamerajan. Dadia Sanggah Pamerajan dalam adat Bali mempunyai legitimasi sebagai lembaga adat yang boleh mempunyai aturan-aturan tertentu yang mengikat bagi warganya. Anak-anak yang dilahirkan tentu mengikuti keyakinan orang tuanya, kecuali bila kelak dewasa mengambil keputusan sendiri. Bilamana wanita itu resmi masuk agama lain, sebaiknya mepamit dahulu di Sanggah Pamerajan dengan upacara tertentu.

Jatuh cinta dan menikah dengan lawan jenis yang berbeda agama tidaklah masalah, karena grahasta (wiwaha) adalah jenjang yang harus dilewati oleh setiap orang yang menjalankan catur ashrama secara normal. 

Menikah berarti membangun pasangan untuk masuk ke dalam tahapan hidup selanjutnya, manusia telah belajar tentang kehidupan dan berpasangan menjadikannya mampu memahami kehidupan lebih baik, mampu mengenal kehidupan lebih baik dengan saling mendukung satu sama lainnya.

Namun untuk melaksanakan pernikahan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma dan tidak juga menyebabkan kita tergerus keluar dari ajaran yang sudah tepat, maka setiap pemuda-pemudi Hindu harus memiliki bekal filsafat Hindu yang benar dan juga memahami ajaran agama yang lain dengan baik. Sehingga apapun argumen memojokkan dari agama lain dapat kita tangkis dan bahkan dibalikkan kembali untuk memperlihatkan kekeliruan mereka.

Jika sistem pendidikan Hindu di Indonesia kuat dan setiap orang Hindu sadar akan pentingnya filsafat maka sudah pasti tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti diatas.

Hidup adalah pilihan, dan semua yang telah dipilih memiliki konsekuensinya masing-masing yang menjadi tanggung jawab dari tiap-tiap orang. Pilihan akan menjadi sebuah dilema jika tidak mampu mempertimbangkan konsekuensi dari pilihan tersebut dan tidak bisa membuat suatu keputusan yang pasti.

4 komentar:

  1. Ngntot aja lhuu sama AKI SYHE MAULANA nohh, taik lahh di postingan orng yg bagus2 malah komen macem taikk

    BalasHapus
  2. Swastyastu, tiang Ayu dari Ubud. Tiang hendak bertanya, beberapa hari terakhir tyg dihadapkan dengan masalah besar. Tunangan tyg dari Singaraja. Sementara tyg adalah anak perempuan satu2nya dirumah yg harus nyentana. Sebagai tunangan, dia sudah iya dengan keputusan ini. Sekarang adalah bapak dan Kakaknya yg angkat tangan dan cenderung tidak menyetujui dengan alasan sanggah dadia mereka masih mebrata sampai hari yg belum bisa ditentukan. Tyg merasa pernikahan tyg selalu diundur dan ditentang. Kami berdua sepakat melanjutkan hubungan ini karena kami tidak mau pisah hanya gara2 hal kegengsian. Semua hukum setuju adanya nyentana, dan tujuan kami baik yaitu meneruskan keturunan, lalu kenapa kami ditentang? Mohon petunjuk siapapun yg bisa menolong tyg? Bila perlu tyg ingin menghubungi PHDI kab buleleng sebagai pihak netral. Kami saling mencintai dan tulus tidak ada paksaan, mohon bantuannya. Kalau ada yg bisa bantu, tyg ada ni nomer 081910193623. Suksma warga bali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya adalah salah satu yg sudah mendapatkan sentana. Saya perempuan bertiga. Dn suami saya adalah orang yg berkasta. Saya hanya wanita dr kaum biasa(sudra). Banyak yg bilang klo orng laki2 berkasta haram nyerod ke orng biasa tp knp Untuk wanita sudah lumrah? Bukankah kita dimata Tuhan sama,intinya klo nyentana itu kesepakatan antara berdua. Cinta sm cinta. Saya sempet bertanya pada salah satu sulinggih di badung dn sampai bertanya kebesakih pd sulinggih dsna (makesure atas hal yg akan di tempuh, takut jg salah scra niskala) untuk hal ini dan WOW, mereka memberikan pencerahan dn yah mereka memberikan pengertian yg cukup bijaksana untuk jaman skrng. Yah intinya pernikahan antara 2 individu dengan jalan apapun. Asal cinta ya bisa jalan. Masalh dosa pada leluhur atau dengan TUHAN itu masalah individu sama Tuhan. Klo km baik ya pasti jalanmu baik. Bukan sentana yg buat jelek.

      Hapus
  3. Mohon dikoreksi artikelnya menjadi moksartham jagaditha ya ca iti dharma. Suksma.

    BalasHapus