Agni Hotra versi Hindu Bali
banyaknya kalangan warga bali yang ikut sekta/sampradaya dibali, yang sering melakukan pemujaan Agni hotra atau homa di berbagai tempat dibali, yang dikatakan merupakan salah satu yadnya utama dalam weda, membuat banyak kalangan pencinta bali bertanya-tanya:
- Siapakah Dewa Agni (dewa api)?
- apakah benar, kalau dibali sejak dahulu tidak pernah memuja dewa agni?
- apakah agni hotra tersebut tidak pernah diajarkan dibali? sehingga upacara tersebut terkesan baru bagi masyarakat awam dibali?
- jika Agni hotra (memuja dewa api) itu dikatakan penting, dimanakah posisi dewa agni di jajaran dewa penting di hindu bali? mungkinkah beliau termasuk dewa tertinggi menyamai trimurti?
untuk menjawab hal tersebut, saya akan mencoba mengupas tentang agni hotra yang intinya merupakan pemujaan kepada dewa api.
Dewa Agni
adalah perwujudan Tuhan sebagai Dewa Api (Fire God). Dalam Rig Weda, Dewa Agni adalah salah satu dari tiga dewa utama (three supreme deities) yakni Agni, Vayu dan Surya. Ketiga dewa ini penguasa atas tanah (earth), udara (air) dan angkasa (sky). Dalam Rig Weda terdapat 200 mantra yang ditujukan pada Dewa Agni. Ini menunjukkan pentingnya peran Dewa Agni dalam kehidupan. Ia adalah api dari matahari, api dari semua sinar, api pada cahaya hati semua manusia.
Sebagai personofikasi api suci ilahi, Dewa Agni adalah mulut dari para dewa, penerang semua kegelapan – termasuk kegelapan hati dan pikiran manusia, penghubung antara dunia jasmani (dunia materi, alam fana, bumi) dan dunia rohani (alam rohani, alam baka, swargaloka), pengangkut semua persembahan kepada Tuhan.
Dalam pustaka-pustaka suci, Dewa Agni digambarkan memiliki dua muka – satu berguna satu lagi merusak, memiliki enam mata, tiga kaki, tujuh lengan, tiga sampai tujuh lidah, dan rambutnya berdiri tegak laksana nyala api. Di dalam Rig Weda Dewa Agni kadang-kadang disebut sebagai Rudra. Kehadiran Dewa Agni dilibatkan dalam banyak upacara, khususnya Agnihotra.
Pemujaan terhadap Dewa Agni banyak dijumpai pada kitab Weda terutama Reg Weda, dimana penampilannya banyak dihubungkan dengan upacara api.
Wujud beliau, berambut nyala api, berjenggot perang, berdagu tajam,, bergigi emas, dan kepalanya selalu bersinar.
Sebutan beliau : disebut Putra Dewa Dyanus (Dewa Langit dan bumi), Dewa Agni keturunan air, namanya sering dihubungkan dengan dewa Indra, dan inilah beberapa sebutan beliau yang terkenal :
- Disebut Dewa Pemimpin Upacara, sebab beliau dipandang sebagai dewa yang memimpin upacara dan orang melakukan persembahan pertama kali didunia ini hanya kepada Dewa Agni.
- Grhapati, yg artinya tuannya rumah tangga dan Dewa yang selalu mengunjungi orang-orang dirumahnya.
- Vipra, Purohita, Hotri, Adwaryu, Brahman, karena beliau dipandang sebagai pendaping dari pendeta.
- Yatadewa, artinya beliau mengetahui semua yang lahir.
- Menjelma menjadi Nila, sebab dalam kitab Ramayana diceritakan beliau menjelma menjadi seekor Nila atau ikan besar.
- Dengan sakti Dewi Svaha dan mempunyai 3 orang putra, yaitu Pavaka, Pavamana, dan Suchi.
- Vahni , artinya membakar.
- Vitihotra, artinya memberi pahala kepada penyembah.
- Dananjaya, artinya mengalahkan musuh.
- Dhumaketu, artinya bermahkotakan asap.
- Chagaratha, artinya mengendarai kambing betina.
- Sapta Jihwa, artinya berlidah tujuh
dalam Canakya Nitisastra disebutkan bahwa Api adalah guru dari semua warna:
"Guru Agnir Dvijatinam, Varnanam Brahmana Guruh, Patireva Guruh Strinam, Sarvasya Bhayagato Guruh". (Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1)Terjemahan.
"Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya".
Sloka Canakya Nitisastra ini merupakan sebuah pedoman bagaimana etika berguru, ajaran bhakti, sehingga terjadi sebuah tatanan kehidupan yang harmonis, etika sosial dengan saling menghargai satu sama yang lain dan oleh Catur Varna bukan justru dijadikan sebagai stratifikasi sosial untuk mempertahankan status Co. Tetapi intisari pesan dari Sloka ini adalah ada pada baris pertama dan terakhir bahwa sesungguhnya semua harus berguru kepada Agni (Tuhan) dan semua harus berguru kepada Tamu. Kata Tamu ini adalah spirit yang ada diluar diri manusia, siapa spirit itu ? yaitu seluruh sekalian alam (Tuhan).
mantra yang berkaitan dengan dewa agni, tersirat dalam Rg Veda I. 1 - 9,
Om Agnim ile purohitam yajnasya devamrtvijam, Utaram ratnadhatamam
Artinya:
Kami memuja Agni, Pendeta yang berada di depan, yang dipuja dalam upacara korban, Pendeta yang mengatur upacara korban sesuai dengan musim dan Pemuja yang mempersembahkan upacara korban dan yang menguasai kekayaan yang terbaik dalam wujud permata-permata.
Agnih purvebhir rsibhirijyo nutairuta, sa devam eka vaksati
Artinya:
Demikianlah, Agni menjadi sasaran pemujaan para resi jaman dahulu dan jaman sekarang. Ia mengundang para dewa dan semua arah datang pada upacara korban ini.
Agnina rayimasnavat posameva dive dive, yasasam viravat tamam.
Artinya:
Atas karunia Agni, setiap hari dunia ini akan mendapatkan kemakmuran, yang menyebabkan adanya kekuatan, jasa dan pahlawan yang mulia.
Agne yam yajnadvaram visvatah paribhurasi,sa id devesu yacchati.
Artinya:
Agni, upacara korban yang Engkau kelilingi, sesungguhnyalah sampai pada dewa-dewa.
Agnir hota kavikratuh satyascitrasravastaniah, devo devibhiva gamat.
Artinya:
Semoga Agni, Pendeta yang arif dan kreatif, jujur, amat terkenal datang ke sini bersama para dewa.
Yad angga dasuse tvam agna bhadram karisyasi, tavettatsatyamanggirah.
Artinya:
Benarkah apapun yang Engkau anugrahkan kepada pemujamu, sesungguhnya kebenaranmu itu adalah Anggira.
Upa tvagne dive dive dosavaster dhiya vayam, namo bharanta emasi.
Artinya:
Kami mendekat pada Mu setiap hari, pagi dan sore, untuk menghormati Mu
Rajantam adhvara nam gapamrtasya didivim, vardhamanam tve dame.
Artinya:
Engkau penjaga upacara korban, penguasa hukum abadi, membesar di tempatmu sendiri.
Sa nah piteva sunave'gne supayano bhava, sacasva nah svastaye.
Artinya:
Mendekatlah pada kami, dengan cepat, seperti seorang ayah kepada anaknya. Agni hadirlah pada kami demi kebahagiaan kami.
dalam kitam Samaweda, dewa Agni disebutkan sebagai satu-satunya Raja Adiraja penguasa alam, berikut kutipan slokanya:
"Agnih priyesu dhamasu kamo bhutasya bhavyasya sapradeko virajati" (Samaveda 1719)artinya:
Agni yang sangat dicintai, yang mencintai apa yang ada dan yang akan ada, yang bersinar merupakan Raja Adiraja satu-satunya.
Dewa sumber pengetahuan, sehingga Dewa Agni sering dipuja saat belajar:
Om Agne naya supatha raye asman,artinya:
visvani deva vayunaani vidvan,
yuyodhyasmaj juhuranam eno,
bhuyistamte namauktim vidhema (Rgveda 1.189.1)
ya tuhan, tunjukanlah kepada kami jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan, engkau ya tuhan! yang mengetahui semua kewajiban, lenyapkan dosa kami yang menyengsarakan kami, kami memuja engkau.
lebih lengkap silahkan baca: Dewa dan Bhatara
berikut ini beberapa Gelar Dewa Agni:
- Ratnadhatamah (Rgveda I.1.1) - Penganugrah utama kekayaan
- Syavista (Rgveda I.26.2) - Sangat Muda
- Yajista (Rgveda I.44.5) - Yang sangat di hormati
- Angiratamah (Rgveda I.31.2) - Angira utama
- Vedhastama (Rgveda I.75.2) - Paling dihormati
- Vajastama (Rgveda I.78.3) - Yang memiliki kekuatan utama
- Vrtrahantama (Rgveda I.78.4) - Penghancur kegelapan (penghancur vrtra uttama)
- Mandista (Rgveda I.97.3) - Dipuja paling tinggi
- Tavastama (Rgveda I.109.5) - Paling Perkasa/kuat
- Sahantamah (Rgveda I.277.9) - Pemenang utama, dengan kekuatan paling handal
Agnihotra (अग्निहोत्र)
Upacara Agnihotra adalah upacara berdasarkan Veda, upacara ini perlu mendapat perhatian untuk dijadikan sebagai pendamping atau sebagai alternatif di dalam menyempurnakan persembahan atau pelaksanaan upacara yajna. Kalau dilihat sejarah di Bali, Agnihotra yang sering disebut Homa Yajna telah datang dan dilaksanakan di Bali bersamaan dengan masuknya agama Hindu di Bali.
Oleh karena itu, ketika upacara Agnihotra mulai berkembang dan hidup lagi, maka tidaklah patut dicurigai, bahwa ia hadir sebagai aliran atau upacara yang asal atau sumbernya tidak jelas. Perkembangan suatu ritual agama yang berdasarkan kitab suci membantu memperkuat agama itu sendiri dan memperbesar keyakinan dan ketaatan pelaksanaan ajaran agamanya. jadi pengembangan Agnihotra kedepan sepenuhnya terserah pada umat untuk memilihnya. Kebebasan ini tercermin dalam Bhagavadgita dengan menyebutkan “jalan apapun yang kau tempuh akan aku karunai”
Seperti dalam petikan kisah Ramayana, di mana pada tampilan awalnya selalu muncul upacara Agnihotra yang dilakukan oleh para “pertapa”, guru-guru suci, rsi-rsi di pertapaannya. Jadi jelas bahwa upacara tersebut memanglah sebuah upacara tua menurut Veda yang sampai saat masih banyak dilakukan di India. Upacara ini berlaku secara universal, karena dilakukan di upacara-upacara keagamaan secara umum.
Agnihotra disebutkan dalam pustaka suci Atharwa Weda (11:7.9), Yajur Weda Samhita dan Shatapatha Brahmana (12:4:1). Upacara Agnohotra disebut juga Homa.
Atharwa Weda XXVIII.6, menyatakan :
Yatra suharda, sukrtam Agnihotra hutam yatra lokah tam lokam yamniyabhisambhuva sano himsit purusram pasumsca.yang artinya:
Dimana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan dan melaksanakan Agnihotra, disana majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.
Agnihotra adalah suatu tatpurusa campuran (samāsa), suatu persembahan ke dalam Agni atau api yang disucikan (pada awalnya, yang dipersembahkan adalah susu). Upacara api suci juga dilakukan oleh penganut agama Zoroaster (Yasna Haptaŋhāiti). Bagian utama dari upacara suci Agnihotra adalah mempersembahkan susu ke dalam api suci tepat pada
waktu matahari terbit dan matahari terbenam, diiringi dengan lantunan mantra-mantra dari Weda. Agnihotra biasanya dipimpin oleh seorang Pandita atau Pinandita, diikuti oleh semua peserta upacara.
Dahulu Agnihotra dilaksanakan oleh pengikut Weda sekte tertentu saja (sekte Brahmana). baca: "Sejarah Sekte di Bali"
Agnihotra berasal dari kata Sansekerta dimana terdiri dari dua kata yaitu Agni dan Hotra.
- Agni adalah api, dan
- Hotra adalah persembahyangan atau melakukan persembahan.
Ini disebutkan dalam petikan mantra Reg Veda I.1.1
“oh deva Agni, Engkau sebagai Pendeta Utama, dewa pelaksana upacara yajna, kami memuja-Mu, Engkau pemberi Anugrah berupa kekayaan yang utama”
Maknanya adalah bahwa dewa Agni berfungsi dan bertugas sebagai Purohita (Pendeta Utama), maka dapat disimpulkan bahwa tanpa dewa Agni berarti semua upacara persembahan akan sia-sia belaka. Kalau dikaitkan dengan yajna di jaman sekarang tidak akan lepas dari api itu sendiri.
Yang Melakukan Persembahan
Disebutkan dalam Kitab Satapathabrahamana : “Mereka (Tuhan) mengatakan siapa yang melakukan pemujaan kepada Beliau, para Brahmana yang mempersembahkan kepada Beliau. Lalu apa yang diberikan, yang diberikan adalah persembahan Agnihotra dan yang ditinggalkan dalam sendok besar adalah sisa (ucchista) dari Agnihotra. Yang tersisa dalam mangkok adalah beras yang dituangkan dari wadahnya.
Jenis-jenis Agni
Ada beberapa Jenis Agni, yaitu :
- Ahavaniya Agni ; yaitu api suci untuk memasak makanan
- Grhapatya Agni ; yaitu api upacara perkawinan untuk menjaga kesucian perkawinan
- Cita Agni; yaitu api suci untuk membakar mayat
Fungsi AGNIHOTRA
Pada hakekatnya Agnihotra adalah upacara multifungsi. Secara garis besar kehidupan manusia dibagi menjadi dua yaitu :
- kewajiban; yaitu berupa perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh umatnya
- tindakan yang dilakukan berdasarkan untuk pemenuhan kebutuhan/keinginan
Demikian pula upacara Agnihotra dilakukan untuk :
- Nitya Karma (sebagai kewajiban) adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan seseorang sebagai penganut Hindu. Dari kewajiban ini dapat diketahui bahwa semua tugas mulia tersebut berguna untuk membersihkan diri dan selalu melakukan pencerahan hidup. Ada enam hal penting yang menjadi tugas pokok yang harus dilakukan sebagai pelaksanaan Nitya Karma, yaitu : (a) Dewa Puja, (b) Melaksanakan Homa dan Belajar sastra Agam, (c) Melayani Orang Tua, (d) Memberi pelayanan kepada binatang, orang miskin dan orang tak punya, (e) Melayani Guru, Athiti, dan (f) Meditasi
- Naimitika Karma/Kamya Karma (sebagai bentuk keinginan pada kebaikan) adalah suatu kegiatan yang dilakukan berdasarkan keinginan.
- Mencapai Pembebasan. Disebutkan dalam Aitraiyabrahmana, 5,31,2 bahwa jika dia melakukan persembahan sebelum matahari terbit, ini seperti memberikan pada seseorang seekor gajah, ketika tangannya tidak menjulur keluar. Tetapi jika mempersembahkan setelah matahari terbit, ini seperti memberikan sesuatu pada seseorang seekor gajah setelah ia menjulurkan tangannya. Oleh karean itu, harus dilakukan pada saat matahari terbit yang akan membawanya pada Surga.
- Penebusan Dosa. Disebutkan dalam Satapathabrahamana 2.3.1.6 bahwa seperti seekor ular bisa bebas dari kulitnya, demikian pula ia membebaskan dirinya dari kejahatan malam hari, demikian pula halnya yang mengetahui dengan melakukan persembahan Agnihotra ia akan bebas dari kejahatan. Penjelasan tentang pembebasan dari kejahatan dan dosa dapat dilakukan dengan melaksanakan agnihotra pada saat matahari terbenam. Ini disebutkan dalam kitab-kitab suci Jaiminiyabrahmana I.8;I.9-10 dan masih banyak kitab lainnya.
- Homa Therapy, berarti penyembuhan. Ini ditimbulkan karena efek pelaksanaan Homa di udara. Methodenya adalah harmonisasi putaran energi yang sederhana dari planet. Seorang ahli menjelaskan bahwa reaksi kimia yang terjadi ketika pyramid api Agnihotra membakar semuanya. Yang terpenting adalah radiasinya, kita tahu aspek kimia dari api dimana bagian akhirnya didapatkan H2O, CO2 dan CO. Kemudian ada sinar dan sinar infra merah. Ini adalah pemandangan klasik. Jika dilihat struktur yang lebih halus dari api, maka didapatkan lompatan-lompatan electron dari satu atom pada atom lainnya (seperti sinar dari lampu) dan ini merupakan emisi pada level yang sangat halus dengan serangan tiba-tiba yang kuat seperti teori quantum modern.
Waktu Yang Tepat Melaksanakan AgniHotra
Waktu pelaksanaan agnihotra yang baik sangat tergantung pada jenis upacara agnihotra yang dilaksanakan, yaitu :
- Waktu untuk Nitya Karma. Pelaksanaannya ditentukan oleh keberadaan matahari yaitu matahari terbit atau terbenam. Seperti disebutkan dalam beberapa kitab suci, yaitu : (a) Kitab Katakasamhita;6,5;54-4 disebutkan “ dia hendaknya melaksanakan agnihotra di sore hari ketika saat matahari terbenam, pagi hari ketika matahari belum terbit, dan (b) Maitrayanisamhita I.8,7 ; 129-9 disebutkan “agnihotra hendaknya dilaksanakan pada saat malam tiba dan pagi hari setelah matahari terlihat bersinar terang”
- Waktu untuk Naimitika Karma. pelaksanaan agnihotra dalam rangka Naimitika Karma sedikit berbeda dengan waktu sandhya agnihotra atau Nitya Karma. Pada Kamya atau Naimitika Karma, agnihotra dilaksanakan sesuai dengan waktu yang dipilih oleh Yajamana dan Purohita.
Cara Kerja AGNIHOTRA
Prinsip keseimbangan sangat dominant dalam kerja Agnihotra. Seperti proses terjadinya hujan, dimana Air laut menguap karena panas matahari, membentuk awan tebal, terbawa angin kearah pegunungan, karena dingina membentuk titik-titik air, jatuh menjadi hujan, memberikan kesuburan kepada hutan. Air hujan meresap dan disimpan oleh lapisan hutan, mengalir mengikuti aliran sungai dan berakhir di samudra. Siklus ini terulang terus, tiada henti. Dengan adanya hujan ini maka kelangsungan hidup semua mahluk hidup menjadi terjaga. Demikian juga kerja agnihotra dengan menyalakan api suci, dimana persembahan utama ghee, biji-bijian, dan bunga-bungaan, semua keharuman ini terbawa oleh asap yang bergabung bersama awan, kemudian menjatuhkan hujan. Hujan mendatangkan kesuburan, kesuburan ini dinikmati umat manusia dalam menjalani hidupnya di dunia.
Pernyataan ini termuat disebutkan dalam Atharvaveda VIII.107.1
ava divas tarayanti, sapta suryasya rasmaya, apah samudriya dharah
Arti :
”tujuh sinar matahari, mengangkat uap air dari samudra naik ke langit dan semuanya itu menyebabkan turunnya hujan”
Yajamana
Kitab Baaudhayanasratasutra; 3.5.13 menyebutkan
Awalnya, Agnihotra yang sederhana dilaksanakan oleh yajamana pada api sucinya sendiri, bisa dibandingkan dengan yang dilaksanakan di rumah-rumah dimana penjabarannya berdasarkan Srauta Agnihotra, tetapi untuk kelanjutan bentuk yang lebih lama dari ritual api suci.
Menurut arti kata yajamana berasal dari kata yaj (memuja) dan mana (pikiran). Jadi yajamana adalah sang pemikir/Hyang Siwa sebagai jiwa alam semesta. Beliau juga Pandita (Brahmana) yang benar-benar memahami hakikat tujuan yajna serta memahami puja.
Dalam Wretti Sasana diuraikan, ''Yajamana ngaran wiku watek puja''.
Maka itu betapa pentingnya yajamana (sadhaka/diksita/brahmana) dalam yajna, terlebih yajna agung, Agni hotra, Tawur Agung, Labuh Gentuh, Panca Bali Krama, Eka Dasa Rudra, Maligya Marebhu Bhumi.
Yajamana dapat pula disamakan dengan manas (pikiran): ''Mano ha Yajamanasya rupam (Satapatha Brh 12.8.2.4), artinya, pikiran adalah wujud yajamana.
Selanjutnya dalam kitab yang sama diuraikan, ''Mano ha vai yajnasya Brahma'' (Satapatha Brh, 14.6.1.7) artinya pikiran adalah Brahmana yang melaksanakan yajna. Konsepsi Asta Murti Siwa juga menguraikan bahwa yajamana menempati posisi puncak atau paling dalam (prajna matra) beliau disebut Hotri, Pasupati Yajamana/Siwa, Brahmana/Brahma.
Panca Maha Bhuta Stawa menyebutkan, ''Yajamana pawitrena..., Rsi murti namostute'' artinya yajamana sebagai pemberi amerta sujud pada Rsi murti. Selanjutnya dalam Atma Kunda: ''Saptatma Yajamanasca, Saptomkara Hutasanah, sarira dese kunde 'smin" artinya Sapta atma disebut Yajamana Sapta Ongkara sebagai api, badan sebagai kunda/tungku. Jelaslah yang dimaksud yajamana adalah sang muput yajna, yang dalam diri manusia disebut Atma dan di jagatraya disebut Siwa.
Oleh karena itu dalam melaksanakan yajna ditetapkanlah seorang yajamana yaitu seorang sadhaka (wiku watek puja) dibantu seorang tapini (sadhika/sadhaka istri) sebagai wujud yantra/candi banten dan seorang lagi sebagai pengrajeg karya (penyangra, manggala/panitia karya) yang mempersiapkan perlengkapan yajna. Dari sinilah muncul istilah Tri Manggalaning Yadnya.
”aham yajamano ma risam”
artinya
”persembahan yajamana akan dilaksanakan oleh pendeta (bramana warna)”.
Awalnya, Agnihotra yang sederhana dilaksanakan oleh yajamana pada api sucinya sendiri, bisa dibandingkan dengan yang dilaksanakan di rumah-rumah dimana penjabarannya berdasarkan Srauta Agnihotra, tetapi untuk kelanjutan bentuk yang lebih lama dari ritual api suci.
siapakah Yajamana tersebut?
Menurut arti kata yajamana berasal dari kata yaj (memuja) dan mana (pikiran). Jadi yajamana adalah sang pemikir/Hyang Siwa sebagai jiwa alam semesta. Beliau juga Pandita (Brahmana) yang benar-benar memahami hakikat tujuan yajna serta memahami puja.
Dalam Wretti Sasana diuraikan, ''Yajamana ngaran wiku watek puja''.
Maka itu betapa pentingnya yajamana (sadhaka/diksita/brahmana) dalam yajna, terlebih yajna agung, Agni hotra, Tawur Agung, Labuh Gentuh, Panca Bali Krama, Eka Dasa Rudra, Maligya Marebhu Bhumi.
Yajamana dapat pula disamakan dengan manas (pikiran): ''Mano ha Yajamanasya rupam (Satapatha Brh 12.8.2.4), artinya, pikiran adalah wujud yajamana.
Selanjutnya dalam kitab yang sama diuraikan, ''Mano ha vai yajnasya Brahma'' (Satapatha Brh, 14.6.1.7) artinya pikiran adalah Brahmana yang melaksanakan yajna. Konsepsi Asta Murti Siwa juga menguraikan bahwa yajamana menempati posisi puncak atau paling dalam (prajna matra) beliau disebut Hotri, Pasupati Yajamana/Siwa, Brahmana/Brahma.
Panca Maha Bhuta Stawa menyebutkan, ''Yajamana pawitrena..., Rsi murti namostute'' artinya yajamana sebagai pemberi amerta sujud pada Rsi murti. Selanjutnya dalam Atma Kunda: ''Saptatma Yajamanasca, Saptomkara Hutasanah, sarira dese kunde 'smin" artinya Sapta atma disebut Yajamana Sapta Ongkara sebagai api, badan sebagai kunda/tungku. Jelaslah yang dimaksud yajamana adalah sang muput yajna, yang dalam diri manusia disebut Atma dan di jagatraya disebut Siwa.
Oleh karena itu dalam melaksanakan yajna ditetapkanlah seorang yajamana yaitu seorang sadhaka (wiku watek puja) dibantu seorang tapini (sadhika/sadhaka istri) sebagai wujud yantra/candi banten dan seorang lagi sebagai pengrajeg karya (penyangra, manggala/panitia karya) yang mempersiapkan perlengkapan yajna. Dari sinilah muncul istilah Tri Manggalaning Yadnya.
Yadnya Sebagai Pusat Alam Semesta
Yajna dikatakan sebagai suatu sarana untuk mengembangkan sesuatu dari ketidakberaturan menjadi teratur. Teratur ini dimaksudkan ada suatu patokan atau titik tolak yang dapat digunakan dalam pelaksanaannya. Oleh karena Yajna merupakan sumber aturan dan efisiensi, maka hal ini diagungkan sebagai ”Pusar Alam semesta” seperti disebutkan dalam Regveda I.164.35
Iyam vedih paro antah prthivya ayam yajno bhuvanasya nabhih, ayam somo Vrishno asvasya reto brahmayam vacah paramam (Regveda I.164.35)
Arti :
”Altar (kunda pemujaan) adalah tempat tertinggi di bumi, tempat yajna (kunda) adalah putsat alam semesta. Persembahan berupa daun-daun atau rerumputan akan menyuburkan bumi dengan jatuhnya hujan secara teratur, Oh Tuhan, Engkau adalah Mahakuasa dan tersuci diantara semuanya”
Makna sloka ini, dimana ada satu kalimat ”yajno bhuvanasya nabhih” artinya ”dimana ada pusat, disana ada bundaran (mandala) yang mengelilinginya. Pusat budnaran membentuk bagian integral dari lingkaran yang sama, dan masing-masing menjadi yang lain. ”bhuvanasya nabhih” = ”pusat alam semesta” adalah diskripsi dan sekaligus definisi yajna dalam segala bentuk manifestasi. Sedangkan satya merupakan prinsip utama yang memungkinkan beroperasinya kekuatan-kekuatan menghadapi ketidakbenaran atau kekacauan. Yajna adalah pernyataan tentang deva atau prinsip sattvik menghadapi asura-asura atau kekuatan-kekuatan yang negatif.
Dari penjelasn di atas, maka bentuk pelaksanaan agnihotra, pemimpin upacara, yajamana, serta peserta lainnya duduk mengelilingi kunda, sebagai pusat alam semesta. Kunda pemujaan adalah tempat tertinggi dan pusat alam semesta. Sedangkan pendeta, yajamana dan peserta lainnya duduk sejajar di tanah, menyimbolkan persamaan kedudukan di mata Tuhan. Sebab, bekal manusia setelah meninggal hanyalah karma sewaktu hidupnya atau karma yang tersisa dari kehidupan masa lalu.
Dijelaskan dalam Regveda I.1.4, mengapa peserta agnihotra duduk melingkar mengelilingi kunda atau Vedi
Agneyam yajnam advaram, visvatah pariburasi sa, Id devesu gacchati
Arti
Dengan persembahan tanpa himsa, persembahan dilakukan dari segala arah, semoga sampai kepada para deva-deva
Makna persembahan dilakukan dari segala arah, menunjukkan bahwa kunda menjadi pusat persembahan, karena pusat alam semesta ada pada api suci. Hal ini tentu saja berbeda dengan pola pemujaan yang mengambil Purana sebagai sumber. Karena adanya lingga atau di Bali lingga diletakkan di pelinggih, sehingga pemujaan dilakukan menghadap pelinggih. Perbedaan ini muncul ketika pemujaan berpusat pada api suci pada Agnihotra.
Dalam perkembangannya maka sang yajamana dengan tulus mempersembahkan persembahan kepada deva-deva dan selalu mencari persahabatan kepada deva-deva, ini akan meningkatkan kemuliaan hati dan pribadi sang yajamana, maka dengan mantra permohonan atau doa berikut sang yajamana menyatakan ketulusikhlasan dalam beryajna. Seperti disebutkan dalam Regveda I.89.2 tentang hubungan atau korelasi yang dilakukan yajamana dengan para deva;
Devanam bhadra sumatir rijuyatam devanam ratir abhi no ni vartatam, devanam sakhyam upa sedima vayam deva na ayuh pra tirantu jivase
Arti :
Semoga Tuhan yang Mahabijaksana selalu melindungi kami. Kami dengan tulus ikhlas telah membina hubungan yang intim dengan pada deva dan mudah-mudahan para deva memperpanjang hidup kami sehingga dapat hidup selamanya
Disini jelas sekali harapan tersebut ditumpukkan pada para deva, terutama dalam timbulnya keingina untuk hidup lama, kekayaan, kemakmuran dan bentuk keunggulan lain yang kiranya dapat diraih. Tentu semua ini bermanfaat jika semua anugerah tersebut dapat digunakan untuk tujuan kebaikan dan akan menjadi bumerang jika digunakan untuk ketidakbaikan.
Seperti biasa, setealah upacara Agnihotra berakhir disertai pula dengan ”Nagarasankirtana”, kalau dibali disebut ”Purwa Daksina”. Dimana berjalan mengelilingi pusat yajna dari arah Timur ke Selatan dengan mengucapkan Bumi Sukta atau Prthivi Sukta, Purusa Sukta dan Nasadiya Sukta. Sukta ini sering ini juga diganti dengan Maha Mantra atau bhajan atau kirtan atau dengan ista dewata tertentu untuk ikut serta hadir dan menganugerahkan rahmatnya kepada sang yajamana.
DUPA SEBAGAI PENGGANTI AGNIHOTRA
DI INDONESIA
Di Indonesia, upacara Agnihotra tidak hanya penting dan dilaksanakan
umat Hindu semata, namun pelaksanaannya juga sudah meluas di kalangan
non-Hindu. Bahkan dalam Agama Budha ada dikatakan Agni Hotra adalah
Yadnya utama dari segala Yadnya. Mengapa? Manusia tidak bisa lepas dari
penggunaan api sebagai sarana dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia
adalah makanan, makanan dalam wujud buah-buahan dan sayuran-sayuran
memerlukan sinar dalam pertumbuhannya, sedangkan sinar adalah energi dan
energi umumnya berasal dari api.
Dalam tradisi Veda, upacara Agnihotra perupakan ritual tertinggi dan tertua keberadaannya karena telah ada sejak zaman Veda, dari sejak dulu kala di India maupun di Indonesia, khususnya di Bali. Dulu, upacara Agnihotra pernah menimbulkan kebakaran besar, akhirnya raja memerintahkan agar Agnihotra ditiadakan atau minimal diringkas. Karenanya upacara ini sempat mengalami penyusutan dan berubah dalam bentuk yang lebih kecil menjadi Pasepan dan Pedupaan, sehingga Agnihotra menjadi langka digandrungi oleh umat Hindu di Indonesia.
selanjutnya dijelaskan kegunaan Agni Hotra Aswameda Yadnya:
Dalam Wrhaspati Tattwa, disebutkan pula tentang pemujaan Dewa Agni memusnahkan seluruh dosa yang telah menumpuk, Kemudian Siwa, seperti Cintamani, memenuhi segala keinginan. dalam lontar tersebut beliau disebut Siwagni, adapun kutipan lontar tersebut:
Bila kita membuka sumber tertua Jawa Kuno, maka dalam bagian awal dari kakawin Ramayana I. 24-30, yakni ketika prabhu Dasaratha memohon kelahiran putra-putranya dipimpin oleh Maharsi Åsyasåòga keturunan Gadhi kita mendapatkan informasi tentang upacara Agnihotra sebagai berikut:
Sumber Jawa Kuna lainnya adalah Agastyaparwa (355) yang menjelaskan berbagai macam Yadnya (Pañca Maha Yadnya) yang dalam uraiannya tentang Dewa Yadnya secara tegas menyatakan bahwa Dewa Yajna adalah persembahan kepada Sivagni yang dimaksud tidak lain adalah Agnihotra sedang Korawasrama, menyatakan bahwa Dewa Yadnya adalah upacara persembahan berupa makanan dan pengucapan mantram-mantram Stuti dan Stava (Hooykaas, 1975: 247) menunjukkan bahwa mantram Veda merupakan sarana dalam Dewa Yadnya yang tidak lain juga hampir sama dengan pelaksanaan Agnihotra. Di dalam kakawin Sutasoma 79.8, Tantri Kamanîaka 142 dan Nagarakåtagama 8.4 dinyatakan bahwa upacara Agnihotra atau Homayadnya tersebut merupakan pusat dari upacara korban.
Sumber lainya dalam bahasa Jawa Kuno adalah kitab Adiparwa (197) yang menyatakan: mangarpanaken udakañjali, magaway agnihortra, yang artinya memper-sembahkan air penyuci tangan dan melaksanakan Agnihotra (Mardiwarsito,1981: 13).
Di samping sumber tersebut di atas, pelaksanaan Agnihotra atau Homayadnya dijelaskan pula dalam kitab-kitab susastra Jawa Kuno seperti: Brahmanîa Purana 127 dan 178, Wirataparwa 12, Ramayana 5.9, Sutasoma 1.11;109.4;110.6;119.12, Nagarakåtagama 83.6, Nitisastra 8.1;1.114, Tantu Pagelaran 90, Kidung Harsawijaya 6.85; 6.93, Arjunawijaya 53.3; 53.4, Parta yadnya 11.10, Sasasamuccaya 64, Slokantara 41, Tantri Kamanîaka 38, Tantri Kadiri 1.38, Calon Arang 122.
Salah satu usaha untuk menyucikan diri bagi seorang Sadhaka adalah dengan melakukan Agnihotra atau Homayadnya:
Agni dalam tradisi Hindu Bali adalah tak sekedar api. Dalam kitab Sasrasmuscaya dituliskan dengan indah mengenai agni ini:
Api juga disebut sebagai sang pemimpin (agne naya); juga sebagai pendeta (purohitam) sebab Ida Sang Hyang Widi Wasa telah mengizinkan adanya matahari, sifat tuhan yang tak terbantahkan dalam diri api yakni sebagai saksi semesta.
Demikian pula seorang pendeta dalam memimpin upacara akan mewujudkan diri sebagai Siwa Raditya dengan cara menghidupkan astra dupa dipa mantra; inilah yang memimpin upacara itu.
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, bahwa Agnihotra atau Homayajna dilaksanakan pula di Indonesia (Bali) dan sebagai pendukung data ini kita masih dapat mengkajinya melalui peninggalan purbakala (arkeologi) dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Salah satu peninggalan purbakala adalah adanya lobang api (Yadnyasala atau Vedi) tempat dilaksanakan-nya upacara Agnihotra. Tempat atau lobang api ini dapat pula kita saksikan di salah satu Gua Pura Gunung Kawi yang diyakini oleh penduduk sebagai Geria Brahmana terdapat sebuah lobang dalam sebuah altar di tengah-tengah gua, yang rupanya dikelilingi duduk oleh pelaksana upacara Agnihotra. Peninggalan berupa lobang tempat api unggun itu adalah Yadnya kunda (Yadnya sala) dikuatkan pula dengan adanya lobang api di bagian atap sebagai ventilasi keluarnya asap dari tempat dilangsungkannya upacara Agnihotra. Nama-nama seperti Keren, Kehen, Hyang Api Hyang Agni (Hyang geni) dan Sala menunjukkan tempat yang berkaitan dengan dilangsungkannya upacara Agnihotra.
Dalam konteks sastra dupa adalah aksara tattwa dan dipa adalah sakti tattwa, sebab datangnya dupa dari alam semesta, sedang dipa dari ardha candra gunanya untuk meneguhkan, memantapkam, menajamkan sembah. Ardha candra adalah hulu lambng purusa dari ongkara sedang Omkaranya lambang pradana. Perhatikan weda pendeta disaat melaksanakan surya sevana di pagi hari; yang disebut mantra asep; itulah seruan suci memohon kepada dewa agni untuk menyucikan dan mempersilahkan memimpin upacara.
Ajaran suci mengenai agni itu juga nampak pada tri sadaka; sang katrini; tiga pendeta sebagai pemimpin upacara di bali; ketiga dianugrahi senjata yakni:
Dalam buku sara samhita kirana (naskah – terjemahan – penjelasan) Weda Parikrama oleh G. Puja MA SH, Lembaga penyelanggara penterjemah kitab suci Weda (halaman 241) dijelaskan bahwa dalam Sthiti Mantra, yakni proses sthiti (kesucian) bermula dari prakrti (purusha), atma (roh), matahari, dan api (agni) dari Siwa. Semuanya disimbulkan dalam aksara suci: Sa, Ba, Ta, A, I .
Kemudian C. Hooykaas dalam bukunya: Surya Sevana, the way to God of a Balinese Siva Priest, NV Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij, Amsterdam – 1966, menjelaskan adanya perbedaan dalam keyakinan Hindu di India (Selatan) dan di Bali mengenai kedudukan Dewa Agni.
Di Bali kedudukan Dewa Agni sejajar dengan Dewa-Dewa lainnya, dan dirangkaikan dalam Tri Mandala yang terdiri dari Agni Mandala (api), Surya Mandala (matahari) dan Candra Mandala (bulan). Para Wiku (pendeta) dari Gama Tirta (awal mula nama Agama Hindu – Bali) berpedoman pada Lontar Arga Patra yang memuat ringkasan Weda Parikrama.
dalam Weda parikrama, gegelaran Pandita (sulinggih), pemujaan dewa Agni dilakukan beberapa kali, yakni:
disamping itu saat mengucapkan mantra dipa pradaksina, siwabha disucikan dengan cara siwabha-pradaksina 7 kali keliling lampu (dipa) sebagaimana dilakukan juga pada tripada. pradaksina pada dipa ini adalah merupakan simbol tuhan adalah agni tattwa (sang hyang iswara, agni tattwa sira, sang sinabah)
Dalam Lontar Arga Patra ada Mudra, yakni bentuk-bentuk gerakan tangan dan jari sebagai niyasa untuk mewujudkan Sanghyang Widhi dalam alam pikiran serta mempersembahkan atau memohon sesuatu kepada-Nya, diawali dengan pemujaan kepada Dewa Agni.
Mudra Trimandala dilakukan dengan mantra:
Tegasnya, di Bali pemujaan kepada Dewa Agni tidak dilakukan dalam ritual khusus seperti agnihotra atau homa yajnya. Lontar Arga Patra itu hingga kini menjadi pegangan para Wiku Siwa, Bodha, dan Waisnawa di Bali.
satu catatan penting:
Karena api ini pula arah sembahyang ke arah timur; ke arah matahari terbit, sebab matahari adalah segala sumber api; dia sang pemimpin upacara, pemimpin sembahyang, saksi yang tidak terbantahkan. Bayangkan jika hidup tanpa matahari (?)
begitu pula arah tidur; kepala dianjurkan mengarah ke arah timur. Begitu pula sarana api linting, yang biasanya setiap sore dinyalakan di penjor saat galungan tiba; sayangnya tradisi ini sering dilupakan, tradisi menyalakan linting di senja hari di bagian sanggah penjor; yang tujuannya tiada lain; terus menerus mengingatkan mengenai tujuan hati dalam proses hidup ini.
Sumber tradisi di antaranya adalah penggunaan pasepan oleh para pamangku, dedukun atau sedahan desa, menunjukkan pula pelaksanaan Agnihotra dalam bentuknya yang sederhana, sayang tradisi menggunakan pasepan dengan mempersembahkan darang asep atau kastanggi kini nampaknya semakin memudar, pada hal yang penting dalam mempersembahkan pasepan adalah mempersembahkan darang asep tersebut. ini merupakan penyederhanaan akibat penyatuan sekte-sekte yang dahulu sempat berkembang di Bali.
Kisah agni ini dibali memang tak sederhana; bahwa api juga dilambang sebagai nafsu yang berkobar-kobar, tak kenal siapapun disaat murka; akan menghancurkan apapun tanpa kenal ampun. Agni juga mendapat gelaran sarwa baksa; pemakan segalanya.
Namun jika api dipahami maka seperti:
nah untuk para Walaka, cukup menggunakan pemujaan untuk dupa saja, dengan mantra: Om Ang Dupa Dipa Astra Ya Namah Swaha. ini merupakan pemujaan Dewa Agni dengan sarana Dupa yang dilakukan diawal yadnya atau persembahyangan.
lebih lanjut silahkan baca: Dupa (api) dalam sloka Weda
Pemujaan Dewa Agni di Bali
dalam Lontar Kala Tattwa, ditemukan kata HOMA, yang artinya merujuk pada pelaksanaan Agni Hotra. berikut ini kutipannya:....tingkah ing yajna madana dana, kasukan sarwa mulya saraja yogya maka dulurin bhojana mwang sarwa phala mula, maka saksi Sang Hyang Siwaditya, pinuja denira sang siddhayogi, sang natha ratu juga wenang amanguna yajna mangkana....maksudnya:
Tatacara yajna adalah dengan membagi-bagikan dana kesenangan, segala yang mulai seperti isi kerajaan, disertai persembahan hidangan dan umbi-umbian dan buah-buahan, sebagai saksi Sang Hyang Siwaditya, yang dipuja oleh sang pendeta yang mempunyai pengetahuan sempurna, seorang raja dapat melaksanakan/ menyelenggarakan yajna yang demikian.
lebih lanjut baca: Hyang Surya Raditya Dewa Matahari
selanjutnya dijelaskan kegunaan Agni Hotra Aswameda Yadnya:
yang bila diartikan, begini maksudnya:Gunaning aswameda yajna kawruhaken denta naku, ikang yajna angentasaken saisin rat bhawana, umilangaken sarwa geleh geleh ing loka makadi tang ila ila kabeh, mwang sarwa krura, sarwa mandi, sarwa magalak, sarwa mrana, marmaning pada inangaskara ikang sarwa tiryak sarwa prani, sarwa janma tekeng daitya danawa raksasa, bhuta kala dewa Bhatara. Ika samodaya inarpanakena ginawe HOMA, maka stana Sang Hyang Agni dumilah gumeseng ikang lengkaning bhuwana kabeh.Mangkana krama tiningkah de sang wijnana ya ryadeg ning aswayambhuwa manu prih kapagehan ing bhuwana. Mangkana tiningkah yan hana bhumi kaputungan ratunya twin kahilangan, yadyapin ilang sankayang ing keneng sapa keneng soda, keneng temah mwang durmita, durmanggala, sira sang yajamana juga wihikan ri samangkana, apan sang ratu winasa dening satru yajna wenang sira Bhatari Uma-Pati inastungkara dening HOMA ASWAMEDA YAJNA pareng lan sang Hyang Saraswati. Sira wenang umulihaken kahayuning loka twin ring swarga kahyangan yanya kadurmitan. Mangkana juga kramanya, apan sira sang yajamana maka ngaran catur-asrama. Sira ngawak ing sangkan paraning sa rat kabeh. Sira pangadeganing sang hyang catur Weda.
TETAPI, sayangnya... hingga bagian akhir lontar Kala Tattwa, tidak disebutkan urutan Ritual Agni Hotra, apa saja kelengkapan upacaranya, serta upakara yang diperlukan. ini juga terjadi di beberapa Lontar Bali yang mencantumkan tentang puja Homa Yadnya.Guna dari Aswameda Yajna, ketahuilah olehmu anaku, adalah yajna untuk membebaskan seisi dunia, menghilangkan segala kekotoran di dunia, terutama segala dosa, segala yang menyeramkan, segala yang gaib, segala yang buas, segala penyakit tanaman, karena semuanya tersucikan oleh yajna itu, apakah itu binatang, mahluk hidup, manusia, sampai pada detya, danawa, raksasa, Bhuta, kala, dewa, dan Bhatara.
Itu semua akan tersucikan dengan dibuatkan “homa”, sebagai stana Sang Hyang Agni yang menyala, membakar seluruh kekotoran di dunia.Demikian yang dilaksanakan oleh orang yang bijaksana pada masa pemerintahan Aswayambhuwa. Manu mengharapkan kokohnya dunia. Demikian juga tatacara yang harus dilaksanakan bila ada negara/kerajaan yang tidak ada pemimpinnya atau meninggal, meskipun meninggalnya karena kena kutukan, sial, tanda-tanda buruk, beliau sang yajamana mengetahui hal itu, karena raja akan binasa oleh musuh, maka itu patutlah Bhatari Umapati dipuja dengan menyelenggarakan Homa Aswameda Yajna serta pemujaan Sang Hyang Saraswati. Beliaulah yang dapat memulihkan kebaikan dunia termasuk juga sorga dan tempat suci kalau mengalami benacana. Demikianlah tata caranya, oleh karena sang Yajamana disebut catur asrama, asal dan kembalinya seluruh dunia. Beliau adalah perwujudan Sang Hyang Catur Weda.
Dalam Wrhaspati Tattwa, disebutkan pula tentang pemujaan Dewa Agni memusnahkan seluruh dosa yang telah menumpuk, Kemudian Siwa, seperti Cintamani, memenuhi segala keinginan. dalam lontar tersebut beliau disebut Siwagni, adapun kutipan lontar tersebut:
sakweh ning papa nika sang yogiswara, lawan ikang wasana kabeh, yateka tinunwan de Bhatara ning siwagni, ri huwusnya hilang ikang karmawasana, tanmolah alanggeng samadhi nira, tanmolah Bhatara ri sira yan mangkana, ya ta matangyan cintamani sira, asing sakaharep nira teka, sakahyunira dadi, ndah wyaktinya kapanggih ikang kastaiswaryan de nira (lontar wrhaspati tattwa)artinya:
seluruh dosa beserta karmawasana seorang yogiswara dimusnahkan oleh Tuhan dalam siwagni. bila pemusnahan karmawasana telah selesai, maka konsentrasinya menjadi kokoh dan kuat. tuhan selalu ada dalam dirinya. karena itu ia dikatakan cintamani, segala yang ia inginkan terpenuhi, sebagai manifestasiNYA ia mendapatkan delapan aiswatya.
Bila kita membuka sumber tertua Jawa Kuno, maka dalam bagian awal dari kakawin Ramayana I. 24-30, yakni ketika prabhu Dasaratha memohon kelahiran putra-putranya dipimpin oleh Maharsi Åsyasåòga keturunan Gadhi kita mendapatkan informasi tentang upacara Agnihotra sebagai berikut:
Saji ning yajna ta humadang, sri wåksa samiddha puspa gandha phala, dadhi ghåta kåsnatila madhu. mwang kusagra wåtti wetiá (24)artinya:
Lumekas ta sira mahoma, pretadi pisaca raksasa minantram, bhuta kabeh inilagaken, asing mamighna rikang yajna (25)
Sakali karana ginawe, awahana len pratista sannidhya, Parameswara inangen-angen, umunggu ring kunda bahnimaya (26).
Sampun Bhattara inenah, tinitisaken tang miñak sasomyamaya, lawan kåsnatila madhu, sri wåksa samiddha rowang nya (27)
Sang Hyang Kunda pinuja, caru makulilingan samatsyamangsadadhi, kalawan sekul niwedya. inames salwir nikang marasa (28)
Ri sedeng Sang Hyang dumilah, niniwedyaken ikanang niwedya kabeh, Osadi len phala mula, mwang kembang gandha dhùpadi (29)
Sampun pwa sira pinuja, bhinojanan sang maharsi paripùrnna, kalawan sang wiku saksi, winùrsita dinaksinan ta sira (30).
Sesajen upacara korban telah siap, kayu cendana, kayu bakar, bunga, harum-haruman dan buah-buahan, susu kental, mentega, wijen hitam, madu, periuk, ujung alang-alang, bedak dan bertih (24).
Mulailah beliau melangsungkan upacara korban api (Agnihotra), roh jahat dan sebagainya, pisaca dan raksasa dimentrai. Bhuta Kala semuanya diusir, segala yang akan menggangu upacara korban itu (25).
Segala perlengkapan upacara telah tersedia. Doa dan tempat peralatan hadirnya dewata. Bhatara Siwa yang dimohon kehadiran-Nya, hadir pada tunggu persembahan (26).
Sesudah dewata disthanakan, diperciki minyak “soma”, wijen hitam dan kayu cendana beserta kayu bakar (27).
Api ditungku dipuja, di kelilingi dengan caru dan ikan, daging dan susu kental, bersama nasi sesaji persembahan, dicampur dengan segala yang mengandung rasa (28).
Pada waktu api di tungku itu menyala-nyala, dipersembahkan sesaji itu semua, tumbuh-tumbuhan bahan obat-obatan, buah-buahan dan akar-akaran, kembang harum-haruiman, dupa dan sebagainya (29).
Sesudah Beliau disembah (selesai acara pemujaan), disuguhkan suguhan kepada para maharsi, bersama para wiku (pandita) yang menjadi saksi, mereka dihormati dipersembahkan hadiah untuk beliau (30).
Sumber Jawa Kuna lainnya adalah Agastyaparwa (355) yang menjelaskan berbagai macam Yadnya (Pañca Maha Yadnya) yang dalam uraiannya tentang Dewa Yadnya secara tegas menyatakan bahwa Dewa Yajna adalah persembahan kepada Sivagni yang dimaksud tidak lain adalah Agnihotra sedang Korawasrama, menyatakan bahwa Dewa Yadnya adalah upacara persembahan berupa makanan dan pengucapan mantram-mantram Stuti dan Stava (Hooykaas, 1975: 247) menunjukkan bahwa mantram Veda merupakan sarana dalam Dewa Yadnya yang tidak lain juga hampir sama dengan pelaksanaan Agnihotra. Di dalam kakawin Sutasoma 79.8, Tantri Kamanîaka 142 dan Nagarakåtagama 8.4 dinyatakan bahwa upacara Agnihotra atau Homayadnya tersebut merupakan pusat dari upacara korban.
Sumber lainya dalam bahasa Jawa Kuno adalah kitab Adiparwa (197) yang menyatakan: mangarpanaken udakañjali, magaway agnihortra, yang artinya memper-sembahkan air penyuci tangan dan melaksanakan Agnihotra (Mardiwarsito,1981: 13).
Di samping sumber tersebut di atas, pelaksanaan Agnihotra atau Homayadnya dijelaskan pula dalam kitab-kitab susastra Jawa Kuno seperti: Brahmanîa Purana 127 dan 178, Wirataparwa 12, Ramayana 5.9, Sutasoma 1.11;109.4;110.6;119.12, Nagarakåtagama 83.6, Nitisastra 8.1;1.114, Tantu Pagelaran 90, Kidung Harsawijaya 6.85; 6.93, Arjunawijaya 53.3; 53.4, Parta yadnya 11.10, Sasasamuccaya 64, Slokantara 41, Tantri Kamanîaka 38, Tantri Kadiri 1.38, Calon Arang 122.
Salah satu usaha untuk menyucikan diri bagi seorang Sadhaka adalah dengan melakukan Agnihotra atau Homayadnya:
Suddha ngaranya eñjing-eñjing madyus, asuddha sarìra, masùrya sewana, mamuja, majapa, mahoma. (Silakrama, lamp.41)
(Bersihlah namanya, tiap hari membersihkan diri, sembahyang kepada Sang Hyang Surya, melakukan pemujaan, melakukan Japa dan melaksanakan Homayadnya).
Agni dalam tradisi Hindu Bali adalah tak sekedar api. Dalam kitab Sasrasmuscaya dituliskan dengan indah mengenai agni ini:
"...manglelana amuja ring Sang Hyang Tryagni ngaranira Sang Hyang Apuy Tiga, praktyakanya, ahawaniya, grhaspatya, citagni, ahanidha ngaranira apuy ring asuruhan, rumateng I pangan, grhyapatya ngaranira apuy ring winarang, apam agni saksika kramaning winarang ikalaning wiwaha, citagni ngaranira apuy nring manusawa, nahan ta sang hyang tryagni ngaranira sirata puja..."arti bebasnya yakni:
taat memuja kepada tiga api suci yang digelari Tryagni; yaitu ahawanya, grhaspatya dan citagni. Ahawanya artinya pemasak makanan, grhaspatya artinya api upacara perkawinan, sebagai saksi, citagni artinya api pembakar jenazah. Itulah tiga api suci, api itu harus dihormati dan dipuja.
Api juga disebut sebagai sang pemimpin (agne naya); juga sebagai pendeta (purohitam) sebab Ida Sang Hyang Widi Wasa telah mengizinkan adanya matahari, sifat tuhan yang tak terbantahkan dalam diri api yakni sebagai saksi semesta.
Demikian pula seorang pendeta dalam memimpin upacara akan mewujudkan diri sebagai Siwa Raditya dengan cara menghidupkan astra dupa dipa mantra; inilah yang memimpin upacara itu.
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, bahwa Agnihotra atau Homayajna dilaksanakan pula di Indonesia (Bali) dan sebagai pendukung data ini kita masih dapat mengkajinya melalui peninggalan purbakala (arkeologi) dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Salah satu peninggalan purbakala adalah adanya lobang api (Yadnyasala atau Vedi) tempat dilaksanakan-nya upacara Agnihotra. Tempat atau lobang api ini dapat pula kita saksikan di salah satu Gua Pura Gunung Kawi yang diyakini oleh penduduk sebagai Geria Brahmana terdapat sebuah lobang dalam sebuah altar di tengah-tengah gua, yang rupanya dikelilingi duduk oleh pelaksana upacara Agnihotra. Peninggalan berupa lobang tempat api unggun itu adalah Yadnya kunda (Yadnya sala) dikuatkan pula dengan adanya lobang api di bagian atap sebagai ventilasi keluarnya asap dari tempat dilangsungkannya upacara Agnihotra. Nama-nama seperti Keren, Kehen, Hyang Api Hyang Agni (Hyang geni) dan Sala menunjukkan tempat yang berkaitan dengan dilangsungkannya upacara Agnihotra.
Dalam konteks sastra dupa adalah aksara tattwa dan dipa adalah sakti tattwa, sebab datangnya dupa dari alam semesta, sedang dipa dari ardha candra gunanya untuk meneguhkan, memantapkam, menajamkan sembah. Ardha candra adalah hulu lambng purusa dari ongkara sedang Omkaranya lambang pradana. Perhatikan weda pendeta disaat melaksanakan surya sevana di pagi hari; yang disebut mantra asep; itulah seruan suci memohon kepada dewa agni untuk menyucikan dan mempersilahkan memimpin upacara.
Ajaran suci mengenai agni itu juga nampak pada tri sadaka; sang katrini; tiga pendeta sebagai pemimpin upacara di bali; ketiga dianugrahi senjata yakni:
- sang siwa senjatanya agni angalayang,
- sang budha geni sinarasara,
- sang bujangga bersentakan Gnisara.
Dalam buku sara samhita kirana (naskah – terjemahan – penjelasan) Weda Parikrama oleh G. Puja MA SH, Lembaga penyelanggara penterjemah kitab suci Weda (halaman 241) dijelaskan bahwa dalam Sthiti Mantra, yakni proses sthiti (kesucian) bermula dari prakrti (purusha), atma (roh), matahari, dan api (agni) dari Siwa. Semuanya disimbulkan dalam aksara suci: Sa, Ba, Ta, A, I .
Kemudian C. Hooykaas dalam bukunya: Surya Sevana, the way to God of a Balinese Siva Priest, NV Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij, Amsterdam – 1966, menjelaskan adanya perbedaan dalam keyakinan Hindu di India (Selatan) dan di Bali mengenai kedudukan Dewa Agni.
Di Bali kedudukan Dewa Agni sejajar dengan Dewa-Dewa lainnya, dan dirangkaikan dalam Tri Mandala yang terdiri dari Agni Mandala (api), Surya Mandala (matahari) dan Candra Mandala (bulan). Para Wiku (pendeta) dari Gama Tirta (awal mula nama Agama Hindu – Bali) berpedoman pada Lontar Arga Patra yang memuat ringkasan Weda Parikrama.
dalam Weda parikrama, gegelaran Pandita (sulinggih), pemujaan dewa Agni dilakukan beberapa kali, yakni:
- Pada saat persiapan upacara Swakarna dan Saprakarananya; dilakukan pemujaan astadhupa dan dhipa.
- pada saat pasang siwambha dan konsekrasi, dilakukan puja dipa pradiksa.
"wijil ingdhupa saken wiswa, dipa sakeng ardha candra landepi sembah"yang artinya:
tajamnya sembah bakti itu (dengan) dhupa yang tercipta dari wiswa (sarwa alam) dan dipa yang terdiri dari ardhacandra (bulan sabit) atau dengan istilah lainnya bahwa terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat diintensipkan dengan mempergunakan dhupa dan dipa itu.sehingga mantra yang digunakan adalah:
Om Am Dhupa-Dhipa Astra Ya Namah Swahakata astra dalam mantra ini maksudnya ngastiti (stiti), bukanlah astramantra.
(sujud kepada A(m), dupa dan dipa, astra (itu).
disamping itu saat mengucapkan mantra dipa pradaksina, siwabha disucikan dengan cara siwabha-pradaksina 7 kali keliling lampu (dipa) sebagaimana dilakukan juga pada tripada. pradaksina pada dipa ini adalah merupakan simbol tuhan adalah agni tattwa (sang hyang iswara, agni tattwa sira, sang sinabah)
Dalam Lontar Arga Patra ada Mudra, yakni bentuk-bentuk gerakan tangan dan jari sebagai niyasa untuk mewujudkan Sanghyang Widhi dalam alam pikiran serta mempersembahkan atau memohon sesuatu kepada-Nya, diawali dengan pemujaan kepada Dewa Agni.
Mudra Trimandala dilakukan dengan mantra:
Om Ing Hring Sring Kpreng Asra Hung Dwadasa Kalatmane Satwa Rajo Adipata Ya Namah, Om Agni Mandala Ya Swaha.
Om Ing Hring Sring Kpreng Asra Hung Dwadasa Kalatmane Satwa Tamo Adipata Ya Namah, Om Surya Mandala Ya Swaha.
Om Ing Hring Sring Kpreng Asra Hung Dwadasa Kalatmane Satwa Tattwa Adipata Ya Namah, Om Candra Mandala Ya Swaha.Pada akhir pemujaan ada mantra Sangkepi, di mana permohonan kesucian kepada tri mandala diwujudkan dalam bentuk dupa dan dipa, selain unsur lainnya dari panca upakara: bunga, air, ganda dan ksata.
Tegasnya, di Bali pemujaan kepada Dewa Agni tidak dilakukan dalam ritual khusus seperti agnihotra atau homa yajnya. Lontar Arga Patra itu hingga kini menjadi pegangan para Wiku Siwa, Bodha, dan Waisnawa di Bali.
satu catatan penting:
salah satu ciri dan bukti bahwa umat hindu bali sudah memuja Dewa Agni, adalah "di setiap akhir mantra pemujaan selalu ada kata SWAHA yang merupakan sakti beliau dan selalu menggunakan dupa saat pengucapan mantra tersebut dalam upacara Panca Yadnya.Dalam tradisi yang lebih tua lagi, bagaimana pemangku melakukan 'sehe' dalam lontar Gagelaran pemangku:
"pukulun paduka bhatara brahma, bhatara wisnu, bhatara iswara, bhatara mahadewa, bhatara siwa, bhatara sadasiwa, bhatara paramasiwa, bhatara triguna sakti, bhatara maka lingganing bhuwana kabeh, malingga ring kahyangan iriki, punika pedekan para sedahan anguntap manuhur paduka bhatara dewa gana. Malejeg sang hyang homa ring kukus menyan, majagau, cendana, tumedun pada paduka bhatara bhatari ring kahyangan sakti"
Karena api ini pula arah sembahyang ke arah timur; ke arah matahari terbit, sebab matahari adalah segala sumber api; dia sang pemimpin upacara, pemimpin sembahyang, saksi yang tidak terbantahkan. Bayangkan jika hidup tanpa matahari (?)
begitu pula arah tidur; kepala dianjurkan mengarah ke arah timur. Begitu pula sarana api linting, yang biasanya setiap sore dinyalakan di penjor saat galungan tiba; sayangnya tradisi ini sering dilupakan, tradisi menyalakan linting di senja hari di bagian sanggah penjor; yang tujuannya tiada lain; terus menerus mengingatkan mengenai tujuan hati dalam proses hidup ini.
Sumber tradisi di antaranya adalah penggunaan pasepan oleh para pamangku, dedukun atau sedahan desa, menunjukkan pula pelaksanaan Agnihotra dalam bentuknya yang sederhana, sayang tradisi menggunakan pasepan dengan mempersembahkan darang asep atau kastanggi kini nampaknya semakin memudar, pada hal yang penting dalam mempersembahkan pasepan adalah mempersembahkan darang asep tersebut. ini merupakan penyederhanaan akibat penyatuan sekte-sekte yang dahulu sempat berkembang di Bali.
Kisah agni ini dibali memang tak sederhana; bahwa api juga dilambang sebagai nafsu yang berkobar-kobar, tak kenal siapapun disaat murka; akan menghancurkan apapun tanpa kenal ampun. Agni juga mendapat gelaran sarwa baksa; pemakan segalanya.
Namun jika api dipahami maka seperti:
- "api takep" pada Segehan, yang dibuat dari dua belah serabut kelapa, dasarnya ada tapak dara; lambang harmoni inilah juga oleh para cendekiawan disebut Yoga Jiwatman; yang menolak dari segala godaan.
- "prakpak" dan "obor"; keduanya adalah penenang bhuta kala, penunjuk arah kemana bhuta kala itu harus menuju.
- "api sundih" api ini merupakan penerang jalan untuk roh orang yang meninggal, (pitra yadnya) saat mayatnya dibawa ke kuburan.
- "api tetimpug", api ini ada dalam rangkaian upacara mecaru, dibuat dari tiga potong bambu, jika bambu itu dibakar akan menimbulkan ledakan; namun syaratnya di ujung bambu itu dibuatkan sampian; symbol bahwa bambu itu telah dihidupkan.
- "Sambe Layar"; serupa dengan dipa, yang digunakan sebagai sarana nerang hujan.
- "api tabunan"; serupa dengan api unggun, digunakan sebagai penyucian darah yang tercecer karena kecelakaan; darah yang menetes diyakini dalam tradisi bali akan hidup sebagai kekuatan jahat.
- "api ganjreng" digunakan sebagai pelindung bayi, sebagai salah satu bantuan untuk nyama papat (kanda pat rare), yang diletakkan di tempat mengubur ari-ari, digunakan hingga bayi berumur 42 hari (bulan pitung dina)
- "api linting"; dimana api dalam upacara manusa yadnya yang dibuat dari ujung lidi dililitkan kapas yang dicelupkan minyak kelapa (nyuh surya), yang dibuat sebanyak tiga batang. digunakan sebagai petunjuk pemilihan nama bayi, Tradisi lama ini sangat menarik dimana calon nama bayi digantungkan di batang linting; lalu dinyalakan, mana pilihan nama yang terakhir terbakar; itulah nama si bayi.
- "Blencong" (lampu sumbu) yang digunakan oleh Jro Dalang dalam pertunjukan Wayang Kulit merupakan simbol Dewa Surya/matahari (bhuwana agung) atau alam semesta, Jiwatma (roh) manusia atau bhuwana alit. selain itu Api blencong sebagai simbol dewa Agni
lebih lanjut baca: Orang Bali WAJIB ketahui hal ini
Mantra-mantra Mudra, Sangkepi dan mantra-mantra lainnya di Bali sangat disakralkan, sehingga hanya seorang Wiku/Sulinggih/Sanyasin saja yang boleh mengucapkannya.Berbeda dengan pelaksanaan agnihotra atau homa yadnya, kini banyak diikuti secara aktif oleh para walaka di mana mereka juga turut mengucapkan mantra-mantra yang sakral itu. semua itu tidak salah, tapi hanya berbeda pemahaman. dibali Sulinggih (biksuka) lebih dihormati dan diberikan kewenangan dalam pengucapan weda, sedangkan sadaka (grahasta dan wanaprasta) belum diperbolehkan, andaikata ada keinginan untuk mengucapkan, sangat dianjurakan untuk madwijati dahulu, agar mendapatkan gelar biksuka/sanyasin (sulinggih).
nah untuk para Walaka, cukup menggunakan pemujaan untuk dupa saja, dengan mantra: Om Ang Dupa Dipa Astra Ya Namah Swaha. ini merupakan pemujaan Dewa Agni dengan sarana Dupa yang dilakukan diawal yadnya atau persembahyangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar