Ngaten Pade Gelahang
Pengertian wiwaha atau nganten artinya perkawinan suatu gejala sosial masyarakat yang memasuki Grahasta Asrama dalam Catur Asrama. Perkawinan menurut Hindu adalah perintah agama yang dianggap suatu jalan untuk melepaskan derita leluhurnya/ orang tuanya yang telah meninggal.
Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut bentuk perkawinan Pada Gelahang seperti, perkawinan negen dua, mapanak bareng, negen dadua mepanak bareng, nadua umah, makaro lemah, magelar warang, ada juga yang menyebutkan lumayan panjang seperti : perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit. Apapun istilah yang diperlukan pada dasarnya mengandung makna yang sama.
Dalam konteks perkawinan yang dilangsungkan umat hindu, istilah-istilah tersebut mengandung makna, perkawinan yang dilangsungkan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (dikenal pula dengan sebutan “kawin keluar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kejeburin atau “kawin kedalam”), melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggug jawab dan kewajiban (swadarma), yaitu meneruskan tanggugjawab istri dan juga meneruskan tanggug jawab suami, sekala maupun niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.
Menurut Ida Bagus Sudarsana, seorang tokoh Agama Hindu Dibali mengemukakan bahwa
"perkawinan dengan sistem makaro lemah atau madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama, karena waris kewaris dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut. Pada pewaris nanti diharapakan dari keturunan sang pengantin diberikan hak dan kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta sama cinta, suka sama suka dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga".
Walaupun dikenal banyak istilah untuk menyebut bentuk perkawinan ini, dalam uraian selanjutnya akan dipergunakan perkawinan Pada Gelahang, yang berarti duenang sareng atau “memiliki bersama”. Dipilihnya istilah ini disebabkan 2 hal yaitu :
- Istilah ini mudah dimengerti karena sudah umum dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat.
- Istilah ini juga sejalan dalam salah satu prinsip dasar dalam mewujudkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat dibali, yaitu duenang sareng atau “memiliki bersama”, yang mengandung makna “saling menghargai”. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI, dkk,2008:23-26)
Faktor Penyebeb Perkawinan Pada Gelahang
Perkawinan Pada Gelahang oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya, disebabkan karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal dirumahnya masing-masing, sehingga tidak mungkin melihat bentuk perkawinan biasa atau bentuk perkawinan nyentana. Beberapa pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Berdasarkan beberapa contoh pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, dapat diketahui bahwa faktor yang membelakangi pasangan pengantin dan keluarga sepakat melangsungkan perkawinan Pada Gelahang adalah :
- Adanya kekhwatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan leluhur , baik yang berwujud tanggug jawab atau kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan.
- Adanya kesepakatan di antara calon pengantin beserta keluarganya, untuk melangsungkan perkawinan Pada Gelahang.
Munculnya kekhwatiran bahwa warisan yang ditinggalakan oleh orang tua dan leluhurnya tidak ada yang mengurus dan meneruskan, didasarkan atas dua hal. Pertama, calon pasangan suami istri adalah anak tunggal dirumahnya masing-masing. Kedua. Adanya keyakinan bahwa saudaranya yang lain, tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu seperti : sakit yang tidak mungkin disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan atau karena sudah melangsungkan perkawinan biasa (kawin keluar).
Proses Melangsungkan Perkawinan Pada Gelahang
Cara Melangsungkan Perkawinan
Seperti halnya perkawinan umumnya, Nganten Pade Gelahang ada dua cara melangsungkan perkawin yang lazim dilaksanakan berdasarkan hukum adat Bali, yaitu
- Perkawinan dengan cara memadik (meminang), dan
- Perkawinan dengan cara ngerorod (lari bersama).
Tata cara melangsungkan pepadikan dalam perkawiana biasa atau perkawinan nyentana, dengan beberapa pembicaraan tambahan berupa kesepakantan tambahan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari.
Persamaannya antara lain dilaksanakan sesuai tata cara yang sudah lazim berjalan seperti (memadik) sesuai dengan ajaran agama hindu. Pembicaraan dimulai dari kedua calon pengantin, dilanjutkan dengan melibatkan orang tua kedua belah pihak terakhir melibatkan keluarga yang lebih luas serta disaksikan oleh prajuru (perangkat pimpinan) banjar atau desa pakraman masing-masing. Materi pembicaraan tambahan mengenai pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari , dapat dijelaskan sebagai berikut. (Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:51-52)
Upacara perkawinan
Dalam hal melangsungkan perkawinan biasa, keluarga laki-laki relative lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga perempuan, karena upacaranya dilangsungkan di tempat kediaman pengantin laki-laki. Sebaliknya dalam melangsungkan perkawinan nyentana, keluarga perempuan relatif lebih sibuk karena berbagai hal yang harus disiapkan dan dilaksanakan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan di tempat kediaman perempuan, menjadi tanggung jawab keluarga perempuan, sementara keluarga laki-laki hanya bersikap nodia atau mengikuti rangkaian upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan upacara perkawinan menurut Agama Hindu dan hukum adat Bali.
Dalam hal melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, kesibukan tampak dikedua belah pihak, baik keluarga laki-laki, maupun keluarga perempuan. Hal ini disebabkan karena semua pasangan pengantin yang memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang sepakat melangsungkan upacara perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat. Ditempat kediaman suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang sama. Soal di tempat mana dilaksanakan lebih dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan kedua belah pihak beserta keluarganya. Ada yang melangsungkan melangsungkan upacara di tempat kediaman suami lebih dulu, kemudian dilanjutkan dengan upacara yang sama di tempat kediaman istri, atau sebaliknya, ditempat kediaman istri pada pagi hari, kemudian pada sore hari atau pada hari yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama ditempat kediaman suami.
Semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, tidak melanjutkanya dengan melaksanakan upacara mapejati di tempat pemujaan keluarga (sanggah). Selain itu, semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, juga merumuskan kesepakatan keluarga mengenai masa depan kehidupan pasangan suami istri ini, pada waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang (memadik) mengenai bentuk dan substansi pokok kesepatan keluarga yang dimaksud, tampak seperti di uraikan di bawah ini.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk, 2008: 52-53)
Kesepakatan Keluarga
Adanya kesepakantan calon pengantin dan keluarganya bahwa mereka akan melangsukan perkawinan Pada Gelahang, merupakan salah satu unsur penting dapat dilangsungkannya perkawinan yang dimaksud. Rintisan kearah tercapainya kesepakatan biasanya telah dimulai secara informal oleh orang tuan masing-masing, semasa calon pengantin masih berstatus berpacaran (magelanan). Apabila peluang dianggap terbuka, barulah melanjutkan dengan pembicaraan yang lebih formal, pada waktu pembicaraan antara orang tua kedua belah pihak. Kesepakatan yang di dapat pada waktu pembicaraan informal ini diteruskan dalam penentuan formal, yaitu pada waktu melangsungkan Pepandikan (meminang). Disaksikan keluarga yang lebih luas dan perangkat pimpinan (prajuru) banjar atau Desa Pakraman.
Lebih dari itu, kesepakan keluarga mengenai bentuk perkawinan Pada Gelahang yang dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung jawab (swadarma) para pihak dikemudian hari terhadap kelurga dan orang tua masing-masing, serta keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara lisan dengan disaksikan oleh prajuru adat dan keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa keluarga saja yang membuat kesepakan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau pernyataan tertulis.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:53-54)
Administrasi Perkawinan
Perubahan signifikan dalam hubungan dengan melaksanakan perkawinan dan perceraian diBali, terjadi setelah berlakunya U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan terutama tampak pada persyaratan perkawinan dan perceraian serta penyelesaian administrasi atau akte perkawinan dan akte perceraian bagi pasanagan suami istri yang bercerai. Walaupun pada awal berlakunya, ketentuan ini tidak efektif, tetapi sekarang ini tidak ada pasangan suami istri yang telah kawin, tidak memiliki akte perkawinan. Demikian pula halnya dengan akte perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai.
Akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang memilih bentuk perkawinan nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte perkawianan yang berlaku secara nasional, dengan catatan yang menerangkan bahwa “pihak istri yang berkedudukan sebagai purusa”.
Akte perkawinan untuk bentuk perkawianan Pada Gelahang, sampai sekarang belum ada persamaan persepsi, sehingga belum beragam. Hal itu dapat diketahui dari beberapa akte perkawinan pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, yang dilangsungkan sebelum maupun sesudah berlakunya undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Keanggotaan Didesa Pakraman
Berkaitan dengan domisili sesudah perkawinan dilangsungkan, ditemui adanya variasi domosili. Ada pasangan suami istri yang telah memilih dirumah suaminya, ditempat kediaman yang baru dan ada pula yang menggunakan semacam jadwal. Dalam hal ini yang penting bukan domisilinya, melaikan keanggotaannya didesa pakramannya. Sesuai dengan latar belakang dan faktor penyebab dilangsungkannya perkawianan Pada Gelahang, maka dengan sendirinya pasangan suami istri ini tercatat sebagai anggota (krama desa) didua desa pakraman, kalau pasanagn suami istri ini berasal dari desa pakraman yang berbeda. Tetapi kenyataanya , keanggotaannya (pipil) mereka sering kurang jelas. Kekurang jelasan ini disebabkan oleh dua hal.
Sampai sekarang krama desa memang belum meliliki kartu tanda krama desa (KTKD) bagi semua anggota keluarga ditempat yang bersangkutan tercatat (mipil), sehinggah segala kewajiban (swadharma)terhadap masyarakat dilaksanakan oleh orang tua atau mertuanya. Sesudah anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri Pada Gelahang dianggap dewasa dan orang tuanya bestatus nyada, barulah pipil di Desa Pakraman digantikan oleh salah seorang keturunannya.
Perkawinan Pada Gelahang Dimasa Depan
Keberadaan perkawinan Pada Gelahang dilangsungkan di Bali, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa dari tahun ketahun pelaksanaan Pada Gelahang, senantiasa mengalami peningkatan. Tim peneliti menduga, pada tahun mendatang jumlah pasangan suami istri yang melilih bentuk perkawinan ini cendrung akan semakin meningkat. Munculnya kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal.
Kemajuan dalam bidang pendidikan yang mendorong semakin tumbuhnya kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, serta semakin tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI,2008:59-69 )
Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
Perkawinan Pada Gelahang adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa.
Perkawinan Pada Gelahang tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu.
Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban gandan dalam melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.
Sumber:
P. Windia,Wayan,dkk. 2008. Perkawinan Pada Gelahang di Bali. Denpasar : Udayana University Press.
Undang-undang Perkawinan no 1 Tahun 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar