Pages

Upacara Cakcakan di Desa Sambirenteng

Upacara Cakcakan di Desa Sambirenteng

Upacara Cakcakan terdiri dari dua kata yakni Upacara dan Cakcakan. 
  • Upacara berarti cara manusia untuk menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan menggunakan suatu alat yang disebut upakara atau banten. 
  • Cakcakan berarti suatu rangkaian upacara Bhuta Yadnya yang pelaksanaannya diiringi dengan adu kemiri, adu telor, adu sata, mecaru di Perempatan Desa, dan acara pesta massal atau pagibungan krama.
Setiap desa di Bali memiliki pedoman dan konsep yang sama dalam mencapai kemajuan, kesejahteraan dan kedamaian desanya. Pedoman itu adalah konsep Tri Hita Karana. Masing-masing desa pakraman memiliki adat dan tradisi yang berbeda-beda dalam menjalankan konsep Tri Hita Karana itu sesuai dengan latar belakang desa, tempat, penduduk dan potensi desa itu sendiri. Sehingga dari berbagai ragam adat dan tradisi umat Hindu inilah yang memperkaya budaya daerah dan budaya nasional dapat menarik para wisatawan asing untuk datang ke daerah Bali menyaksikan keragaman budaya dan tradisi-tradisi yang unik itu.

Agama Hindu dalam hal ini Gama Bali adalah suatu kepercayaan terhadap Tuhan yang bersifat luwes dan tidak kaku, selama hal itu masih berjalan sesuai dengan agama yang terdapat dalam kitab suci Weda. Sehingga hal inipula yang mendasari masing-masing desa pakraman di Bali memiliki tradisi dan adat istiadat yang beraneka ragam, baik dalam melaksanakan upacara-upacara keagamaan maupun yang lainnya.
Di Desa Pakraman Sambirenteng ada suatu tradisi pelaksanaan upacara yang disebut Upacara Cakcakan yang bertujuan untuk membina hubungan yang harmonis seperti dalam konsep Tri Hita Karana. Untuk lebih jelasnya maka penulis akan jelaskan tentang latar belakang adanya Upacara Cakcakan.
Menurut penuturan tetua Adat Sambirenteng bahwa “Dulu ratusan tahun yang lalu sebelum adanya Upacara Cakcakan di Desa Sambirenteng, setiap dekat-dekat Tilem Kapitu selalu ada kejadian-kejadian yang menimpa desa seperti : keributan, pembunuhan, wabah penyakit atau hal-hal lain yang membuat masyarakat dan penghulu-penghulu menjadi resah. Sehingga setelah beberapa kali mengalami hal seperti itu, maka orang-orang suci dan penghulu-penghulu desa memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa supaya diberi petunjuk agar kejadian-kejadian itu dapat berakhir.
Akhirnya orang-orang suci di Sambirenteng mendapat pawisik bahwa hal itu akan dapat berakhir jika melaksanakan Upacara Cakcakan yang pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
  1. Mapejati di Pura Sanggah Desa.
  2. Melaksanakan perang sata.
  3. Melaksanakan pecaruan di Perempatan Desa.
  4. Melaksanakan gibungan krama.
Dalam pelaksanaannya setelah beberapa puluh tahun memang benar desa mengalami ketentraman. Namun setelah sekian lama berjalan kegiatan Upacara Cakcakan ini mendapat masalah dari aparat kepolisian karena perang sata yang dilaksanakan selama dua hari itu, diidentifikasikan sebagai judi. Dari pihak kepolisian melarang dan menangkap Kemong pengatur perang sata itu. Sehingga pernah Upacara Cakcakan tidak diiringi perang sata dan pesta massal. 
Apa yang terjadi?
Desa mengalami musibah seperti : pembunuhan, kekacauan dan hal lainnya yang membuat masyarakat resah kembali. Dan anehnya kejadian-kejadian yang meresahkan itu selalu terjadi dekat-dekat Tilem Kapitu, dan salah satu anggota kepolisian yang membawa Kemong itu sakit keras berbulan-bulan lamanya tak bisa disembuhkan walaupun sudah dicarikan obat dimana-mana. Sehingga dari pihak kepolisian mengembalikan Kemong yang ditangkap dan minta maaf kepada Penghulu Desa mohon pengampunan kepada Sesuhunan yang Malinggih di Desa Pakraman Sambirenteng dengan ngaturang banten Guru Piduka.
Sejak saat itu desa pakraman kembali melaksanakan Upacara Cakcakan seperti semula dan hal itu berjalan hingga saat ini.

Bentuk Upakara Upacara Cakcakan

Dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali selalu dilengkapi dengan upakara yang merupakan perlengkapan dari upacara keagamaan yang disebut banten. Banten dalam klasifikasinya dibedakan menjadi tiga yaitu : Nista, Madia dan Utama.
Bentuk upakara/banten yang dipergunakan dalam rangkaian Upacara Cakcakan adalah sebagai berikut :
  1. Banten Pajati, yang terdiri dari : banten ajengan, sesantun/daksina satu tanding, canang sari dan nasi warna masing-masing satu tanding. 
  2. Banten di kalangan/tempat perang sata yakni : canang raka dan nasi warna masing-masing satu tanding.
  3. Banten penunasan Tirtha Pecaruan di Pura Bale Agung yakni : banten ajengan, nasi warna dan tatakan tirtha masing-masing satu tanding.
  4. Banten Pacaruan yang terdiri dari :
Payasan Sanggah :
  1. Satu kelan kulit ketupat diisi beras sedikit.
  2. Satu kelan kulit belayag diisi beras sedikit.
  3. Satu buah bungsil kelapa.
  4. Satu buah bungsil rontal.
  5. Dua buah botol yang berisi tuak dan arak.
  6. Sampian penjor.
Banten Munggah di Sanggah Cucuk :
  1. Satu tanding banten ajengan.
  2. Satu tanding canang sari.
  3. Satu tanding nasi takepan
  4. Satu ceper, yang berisi lekesan tujuh dan rokok masing-masing sebelas batang       serta satu biji pinang dibelah menjadi sebelas.
  5. Sasantun dan penyungsung masing-masing satu tanding.
Banten Segehan dan Caru  :
  1. Nasi warna limang tanding.
  2. Lima buah tatakan bayang-bayang yang berisi tumpeng nasi dan lawar serta sate kelapa, sate isi, tumpeng disesuaikan dengan warna ayam di atasnya, di atas tatakan bayang-bayang itu berisi ayam masing-masing satu ekor sesuai warna tumpeng.
  3. Tirtha Pacaruan.
  4. Api Takep.
  5. Banten Pabersihan/Rerebu.

Tahap Pelaksanaan Upacara Cakcakan

Pelaksanaan Upacara Cakcakan lokasinya di tiga tempat yaitu di Pura Sanggah Desa saat mapejati dan adu sata, di Pura Bale Agung nunas Tirtha Pacaruan serta di Perempatan Desa melaksanakan pecaruan dan pesta massal.

Adapun tahap-tahap pelaksanaan Upacara Cakcakan adalah sebagai berikut :

Dua Hari Sebelum Tilem Kapitu

Sebelum pelaksanaan perang sata yang bertujuan sebagai tabuh rah, krama desa ngaturang banten pejati di Pura Sanggah Desa supaya pelaksanaan Upacara Cakcakan dapat berjalan lancar dan mendapat lindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seluruh warga desa ikut sembahyang di sana. Di tempat kalangan perang sata maturan canang raka dan ngeluarang nasi warna. Setelah upacara mapejati selesai maka warga desa  mulai melaksanakan perang sata/sabungan ayam, namun harus berpakaian adat dan nunas tirtha panglukatan sebelum masuk Pura. Bagi warga desa yang tidak membawa uran/ayam maka dikenai Pemirat sebagai uang pengganti ayam itu sejumlah Rp 15 000 ribu.
Warga dari daerah lain boleh ikut tetapi harus mematuhi aturan yang berlaku di desa Sambirenteng, yakni memakai pakaian adat, nunas tirtha panglukatan sebelum masuk Pura dan bila ayamnya menang pacundangnya tidak boleh dibawa pulang karena pacundang-pacungdang itu akan dipergunakan lawar untuk gibungan krama. Demikian perang sata berlangsung selama dua hari sehingga daging pacundang terkumpul banyak dan cukup untuk pesta massal di puncak acara.

Sehari Sebelum Upacara Cakcakan

Pagi hingga sore harinya masih tetap berlangsung perang sata di pelataran Pura Sanggah Desa. Malam harinya warga desa melaksanakan sambang samadhi (Siwaratri). Karena pada hari itu adalah hari suci untuk melaksanakan pamujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus  bagi umat Hindu karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pemusatan pikiran kehadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menemu kesadaran diri (atutur ikang Atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monobrata dan jagra. Siwaratri juga disebut hari suci pajagran. Siwaratri jatuh pada hari Catur Daksikrnapaksa bulan Magha (Panglong ping 14 sasih kapitu).
Brata Siwaratri terdiri dari Utama, Madya dan Nista.
  1. Utama, melaksanakan: Monobrata (berdiam diri dan tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan Jagra (berjaga, tidak tidur).
  2. Madya, melaksanakan: Upawasa dan Jagra.
  3. Nista, hanya melaksanakan jagra.
Tata cara melaksanakan upacara Siwaratri di Desa Sambirenteng yakni : krama desa melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 Sasih Kapitu. Upacara dimulai  pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut :
  1. Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan bathin.
  2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan kehadapan  Sang Hyang Surya, mohon kesaksiannya.
  3. Sembahyang kehadapan leluhur yang telah Sidha Dewata, mohon bantuan dan tuntunannya.
  4. Ngaturang banten pajati kehadapan Sang Hyang Siwa, banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piyasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada : Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodaya. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirtha pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwaratri ditutup dengan melaksanakan dana punia. 
  5. Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upawasa Sasih Kapitu sampai dengan besoknya pada pagi hari (24 jam). Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih. Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
  6. Persembahyangan seperti di atas pada huruf d. dilakukan tiga kali yaitu : pada hari sandekala, tengah lemeng dan lemah. Persembahyangan ini diikuti oleh seluruh krama.

Pada Hari Tilem Kapitu

Pada pagi hari mulai pukul 10.00-15.00 wita krama desa membawa papeson berupa: nasi atakeh, satu butir kelapa, dua lembar daun pisang, bumbu secukupnya dan kayu api dua batang untuk masing-masing krama. Para krama desa pada hari itu tedun untuk mebat di balai masyarakat.
Sorenya sekitar pukul 18.00 wita seluruh warga desa tedun untuk mengikuti persembahyangan mecaru di Perempatan Desa dan acara pesta massal (pagibungan krama).
Sebelum melaksanakan upacara mecaru di Perempatan Desa, Pemangku Desa nunas tirtha pacaruan di Pura Bale Agung. Upacara mecaru dilaksanakan saat sandekala dengan caru Panca Sata, diiringi dengan perang sata satu seet sebagai tabuh rah. Berselang sepuluh menit selesai upacara mecaru maka krama desa pangempon mengadakan pagibungan krama di Perempatan tempat pecaruan itu. Setelah pagibungan krama sebagai pengempon, diikuti oleh seluruh krama yaitu pesta massal untuk seluruh warga desa yang pelaksanaannya diawali oleh pecalang desa, supaya pesta massal berjalan lancar. Masing-masing gibungan yang anggotanya delapan orang, salah satunya dituakan berjalan mengambil bagian gibungan satu klatkat ke balai desa, sedang yang lainnya tetap duduk melingkar di tempatnya masing-masing. Setelah semua kelompok gibungan mendapat bagian maka Saaya membunyikan kulkul desa sebanyak tiga kali, sebagai tanda pagibungan krama dimulai.
Adapun hikmah dari gibungan adalah menambah rasa kekeluargaan dan rasa persatuan warga masyarakat yang bila dihubungkan dalam konsep Tri Hita Karana dapat terjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia (Pawongan).

Tujuan Upacara Cakcakan

Upacara Cakcakan adalah merupakan upacara Bhuta Yadnya. Di dalam buku Panca Yadnya dijelaskan bahwa : “Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat (alam beserta isinya) dan memelihara serta memberi penyupatan kepada para Bhuta Kala dan mahluk-mahluk yang dianggap lebih rendah dari manusia”.
Dengan demikian pembersihan itu mempunyai dua sasaran yaitu :
  1. Pembersihan terhadap tempat (alam) dari gangguan dan pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para Bhuta Kala dan mahluk yang dianggap lebih rendah dari manusia seperti tersebut di atas.
  2. Pembersihan terhadap Bhuta Kala dan mahluk-mahluk itu, dengan maksud untuk menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya, sehingga sifat baik dan kekuatannya dapat berguna bagi kesejahtraan umat manusia dan alam. Hendaknya disadari kehidupan kita ini memerlukan pula kekuatan-kekuatan dari mereka, misalnya untuk menjaga rumah, menjaga diri sendiri dan sebagainya.
Pemeliharaan yang dimaksudkan disini adalah untuk menjaga agar mereka tetap bersifat baik serta berada atau bergerak menurut jalannya masing-masing, sehingga tidak menimbulkan gangguan kepada alam dan isinya. Suatu yang kelihatannya agak berlawanan adalah pemeliharaan terhadap para binatang. Seperti diketahui bahwa bentuk upakara Bhuta Yadnya di Bali khususnya, mempergunakan banya jenis hewan. Makin tinggi tingkatan upacara itu makin banya pula hewan yang dikorbankan untuk yadnya tersebut. Sehingga sepintas lalu seolah-olah tidaklah ada unsur-unsur pemeliharaan. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut puja dari pengelepas perani/patikawenang, yang diucapkan pada waktu upacara mepedada dan setiap akhir suatu yadnya, menunjukkan bahwa unsur pemeliharaan di sini tidaklah bersifat nyata seperti memberi makan, mengobati dan sebagainya, melainkan lebih bersifat abstrak/rohaniah yaitu meningkatkan hidup para binatang itu dari alam hewan ke alam manusia. Jadi lebih bersifat penyupatan, kepadanya. Dengan menjelmanya dia sebagai manusia kelak, agar dapat berbuat kebajikan, sehingga dia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya (memperbaiki karmanya). 
Sebagai contoh dari pengelepas perani itu adalah sebagai berikut:
Ong indah ta kita pada, saking purwa desa sinangkan ta pamuliha kita maring purwa desa, menembah ta kita ring Sang Hyang Iswara. Om Sang namah linggan ta. Wus samangkana pasangsarga kita ring Sang Hyang Iswara, away ta kita maganti tiakena katuturan ira Sang Hyang Dharma, tutur-tutur away lali, enget-enget away lupa, nahan teka ring dalem kepatian. Yan kita dadi jadma dadi ya kita “wiku sakti”, saguna kayanta aturakena ring ulun apan ulun amantukena iri kita. Om Sang Sadya ya namah.
Demikian halnya dengan hewan yang berkaki empat, perginya keselatan. Untuk segala jenis ikan, pergi ke utara, segala yang berjalan dengan dada, pergi kebarat, dan seterusnya termasuk jenis daun-daunan, pohon-pohonan pergi ke tengah. Yang dimaksud dengan Penyupatan dalam hal ini adalah untuk mengembalikan mereka ke tempat/kepada asalnya dan memberi peningkatan yang lebih sempurna kepadanya. 
Di dalam beberapa lontar seperti Widi Sastra, Yama Tattwa, Lebur Gangsa, disebutkan bahwa salah satu yang menjadi Bhuta Kala, Peri, Jin, Setan dan lain-lain, yang sejenis dengan itu adalah Dewa-Dewa atau roh-roh terkutuk karena dosa-dosanya/kesalahannya, serta diturunkan ke dunia untuk mencari penyupatan. Sebagai contoh misalnya adalah terkutuknya Dewi Uma menjadi Durga Dewi, kemudian disupat oleh Sahadewa (dalam ceritra Sudamala), terkutuknya roh Prabu Nahusa menjadi seekor naga yang berbisa, kemudian disupat oleh Sang Bima dan Prabu Yudistira (dalam ceritra Wana Parwa) dan lain-lainnya. Demikian dijelaskan dalam buku Panca Yadnya (I Nengah Mas, Bendesa Adat Sambirenteng).
Tujuan Upacara Cakcakan menurut Juklak/Pamiteges Awig-Awig Desa Adat Sambirenteng adalah:
  1. Memberi upon-upon berupa sasaji kepada Bhuta Kala agar tidak mengganggu ketertiban Dewa.
  2. Memberi upon-upon berupa sasajen kepada Bhuta Kala agar ikut membantu dalam hal memelihara kemakmuran desa (nangkluk merana). 

Makna Upacara Cakcakan Bagi Kehidupan Masyarakat Desa Pakraman Sambirenteng

Setiap upacara yang dilaksanakan sudah pasti memiliki tujuan, fungsi dan makna bagi kehidupan umat Hindu sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaan upacara agama. Demikian halnya dengan Upacara Cakcakan yang dilaksanakan di Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, yang tujuan utamanya adalah untuk menjaga ketentraman desa, dengan mengadakan upacara mecaru Panca Sata, dengan diiringi perang sata dan acara pesta massal. Semua itu dilaksanakan atas dasar kepercayaan, bahwa kesejahteraan akan dapat terwujud bila terbina hubungan yang harmonis antara tiga hubungan pada Tri Hita Karana.
Bila diperhatikan sepintas, Upacara Cakcakan memang bagian dari upacara Bhuta Yadnya. Namun dalam pelaksanaannya dapat mencakup yadnya yang lainnya yaitu Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Sebab bila kita perhatikan setiap upacara yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu pasti tidak bisa lepas dari Dewa Yadnya dan Manusa Yadnya. Dewa Yadnya selalu harus diutamakan sebelum kegiatan upacara berlangsung dengan menghaturkan piuning dan pajati agar pelaksanaan upacara mendapat restu dan ridoi dari Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta dapat berjalan lancar tanpa rintangan dari awal sampai akhir upacara. Manusa Yadnya juga tidak bisa dilepaskan yaitu pada saat penyelenggaraan upacara, antara yang satu dengan yang lainnya saling membantu dan sama-sama mengabdi dengan yang lainnya, sehingga pelaksanaan upacara dapat selesai.
Dalam pelaksanaannya, Upacara Cakcakan pertama kali akan memulai persiapan kelengkapan upacara para krama desa mapajati di Pura Sanggah Desa untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi supaya pelaksanaan upacara dapat berjalan lancar. Dan pada hari Tilem Kapitu baru mengadakan pecaruan Panca Sata di Perempatan Desa diiringi pesta massal.
Dari tata urutan pelaksanaan Upacara Cakcakan itu, maka dapat dipetik maknanya yaitu :
  1. Menuntun warga Desa Sambirenteng khususnya dan umat Hindu umumnya agar  selalu berbakti kepada Tuhan, selalu memohon ridoi dari Tuhan setiap akan memulai kegiatan. 
  2. Menuntun warga desa agar selalu percaya dengan adanya kekuatan alam dan membina hubungan dengan alam dalam kehidupan sehari- hari, sebab alam memiliki kekuatan-kekuatan yang dapat membantu manusia dan dapat pula mengusik ketenangan manusia bila kita tidak membina hubungan dengannya.
  3. Menuntun warga desa untuk membina rasa kekeluargaan dan persatuan antar warga, tidak ada jurang pemisah di antara mereka dan semua umat manusia sama dihadapan Tuhan.
  4. Menuntun warga desa untuk selalu mematuhi segala aturan dan adat istiadat di desanya sendiri, wilayah lain dan negaranya.
Demikian sekilas  Upacara Cakcakan di Desa Sambirenteng, semoga informasi ini bermanfaat.

3 komentar: