Google+

Nunas Tirtha - Air suci

Nunas Tirtha - Air suci

Air merupakan sarana yajnya yang penting. Tirta bukanlah air biasa. Tirta itu berfungsi untuk membersihkan kekotoran maupun kecemaran pikiran. Tirta adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci. Itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan, umat Hindu tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa.

Setelah upacara persembahan dan persembahyangan selesai dilanjutkan dengan “nunas tirtha” wangsuhpada dari Ida Bhatara yang disembah. Tirtha wangsuhpada atau kekuluh atau banyun cokor Ida Bhatara ini adalah lambang waranugraha-Nya kepada umat yang sujud sembah-bhakti memuja beliau berupa “amrta” yaitu kerahajengan dan kerahayuan hidup.

Adapun pemakaiannya adalah dengan dipercikkan di kepala, diminum, dan diusapkan di muka, sebagai simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep.


Catur Warna dalam Membangun Negara

Catur Warna dalam Membangun Negara

seperti yang telah dijelaskan dalam "Catur Warna Strata Sosial dalam Agama Hindu", bahwa setiap profesi hidup tidaklah ada yang tinggi dan rendah, semua profesi memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, semua seimbang, sama penting dan saling melengkapi. tetapi dalam kenyataannya, masih banyak masyarakat kita teracuni oleh peninggalan penjajah, yaitu kasta. krama bali khususnya, masih membedakan status sosial dengan merendahkan profesi lawannya atau semetonnya. ini terlihat dari pergaulan sehari-hari yang selalu ada yang ingin di tinggikan dan ada yang sengaja merendahkan profesi lainnya.

karena itu, melalui artikel ini dicoba untuk menjelaskan Catur Warna dalam Membangun Negara tersebut.
coba perhatikan sloka 67 (30) dari kitab sokantara berikut ini:
Ye wyatitah swakarmabhyah parakarmapajiwinah,dwijatwamawajananti tamsca sudrawadacaret [slokantara 67 (30)]
"mereka yang melalaikan kewajibanya, dan hidup dengan menjalankan kewajiban orang lain, dengan melupakan kewajiban golongannya, maka mereka dapat dianggap sebagai sudra"
senada dengan kitab slokantara diatas, disebutkan dalam Kitab Wrtisasana (Kirtya IIb.78/I)
Ka, ikang wwang yan surud sakeng swakarmanya, manopajiwanya, amangan denyan umulaheken gawening wwang len, kadyungganing sang brahmana, awaking brahmana pinaka kawijilanira tuhu-tuhu dwijati, tumut ta sira ri sagawening sudra, ikang pinaka pangupajiwa ri sira, yan mangkana, hilang kadwijanira. (hana puweka sang wipra mangkana, sudrawat, pada sira lawaning sudra candala, makanimitta denira n kadi ulahning sudra)
dikatakan bahwa orang yang mengundurkan diri atau menyeleweng dari kewajiban yang diharuskan untuk orang lain, umpamanya orang brahmana, yang kelihatan dan kelahirannya benar-benar dari keluarga brahmana, lalu turut dia mengerjakan segala pekerjaan yang ditentukan bagi golongan sudra, dan hasil pekerjaannya itu merupakan sumber kehidupan mereka, jika ada yang demikian kebrahmanaannya ketingalan, kelahirannya lenyap sirna.

siapa saja yang boleh baca weda?

siapa saja yang boleh baca weda? 

ini pertanyaan yang sering terdengar dari semeton non-hindu, yang membuat semeton bali keblinger menjawabnya, apalagi semeton hindu yang dicerca pertanyaan bahwa orang sudra tidak boleh membaca weda. sungguh pertanyaan yang membuat dilema, yang memungkinkan semeton hindu kita pindah agama karena ditakut-takuti akibat telah membaca weda yang kata orang non-hindu adalah salah.

Sebenarnya, untuk pertanyaan ini sudah pernah dijawab dengan artikel "Cara Belajar Weda Hindu", tetapi mungkin terkendala SEO internet, artikel tersebut sepertinya tenggelam diantara pertanyaan-pertanyaan negatif tentang larangan membaca kitab suci weda.

Melalui artikel ini, saya mencoba mengulangi dan memberikan sedikit pemaparan tentang siapa saja sih yang boleh membaca weda?