Pages

makna filosofis dalam menggunakan Bija atau mebija

Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan, kita akan dibagikan butiran-butiran beras yang kita tempelkan di kening dan di leher yang disebut bija. Bija atau disebut dengan wija adalah komponen penting yang terdapat pada canang. Suatu hal sesederhana memakai bija pun sesungguhnya memiliki makna yang luas dalam ajaran Veda. Bija pada umumnya adalah beras yang dicuci dengan air bersih lalu direndam dalam air cendana, kemudian diberi pewarna (biasanya menggunaka kunyit - Curcuma Domestica VAL) agar berwarna kuning maka disebutlah bija kuning

Dalam perkembangannya, terkadang bija hanya dibuat dengan beras yang dicuci dengan air bersih saja. Pemakaian bija dilakukan setelah menerima tirtha atau amertha pada akhir proses persembahyangan. Pada kenyataanya, setiap umat Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri alam menggunakan bija. Wija atau bija diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). 

Ajna padmam bhruvor madhye
hakshopetam dvi patrakam
shuklabham tan mahakalah
siddho devy atra haakinii
(Siva Samhita 96: ajna cakra vivaranam)
Artinya:
Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna, terletak di antara kedua alis mata dan memiliki aksara ham dan ksam. Pimpinannya disebut Sukla Mahakala (waktu agung putih); pimpinan devinya disebut Hakini. 


Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta. 

Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiwi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan. 

Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. 

Kata "bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. 

Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera. Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. 

Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa). 

Pada kenyataanya, setiap umat Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri dalam menggunakan bija. Penempatan bija pada tubuh setiap orang berbeda-beda. Berikut adalah tempat pemakaian bija beserta beragam macam maknanya: 
  • Di ubun-ubun: untuk menguatkan atma 
  • Di dahi atau sela-sela alis: untuk memuja Siwa (trinetra) 
  • Di pangkal tenggorokan: untuk menguatkan kundalini (tujuh cakra di dalam tubuh) 
  • Di pangkal leher belakang: untuk menolak bahaya 
  • Di daun telinga bawah kiri-kanan: untuk mengendalikan panca indra 
Tidak hanya di kening dan leher, bahkan banyak orang yang juga memakai bija di atas kepala, di bahu, di balik telinga, bahkan tidak jarang ada yang memakainya di kedua pelipis.

Keberadaan bija sangat erat dengan kegiatan beragama Hindu. Bija adalah salah satu bahan yang dipakai di kening ketika seorang Hindu selesai melakukan persembahyangan. Ada bahan-bahan lain yang disebut bhasma, yang terbuat dari pasta cendana. Bahan-bahan ini dipercaya sebagai bahan yang suci sebagai lambang Tuhan. Bija juga disebut tilaka di tempat lain dengan bahan-bahan seperti abu agnihotra dan pasta merah. 

Bija memiliki beberapa makna filosofis yang dikaitkan dengan spiritualisme. 
  1. kita lihat dari asal katanya. Bija berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang diadopsi dari kata vija (Sanskrit). Vija dapat dikaitkan dengan kata (pranava) Om sebagai nama utama dari Tuhan. Om juga disebut vijaksara, sebagai aksara Brahman yang tertinggi. Om adalah nama Tuhan yang paling sakral dan memiliki makna yang tidak terbatas. Memakai bija di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara. Hal ini juga berarti konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan. Orang yang memakai bija (tilaka) diharapkan dapat mewujudan perilaku sattvika, pengasih, dan bijaksana. Demikianlah makna kata bija yaitu sebagai kata lain dari Omkara. 
  2. bija memiliki makna anatomis. Dalam Siva Samhita ditemukan sloka-sloka tentang tujuh cakra (simpul syaraf) utama yang membujur di sepanjang tulang belakang. Ketujuh cakra itu memengaruhi fungsi biologis dan fisiologis tubuh. Salah satu cakra adalah cakra Ajna (baca: adnya) yang terletak di kedua alis. Cakra ajna memiliki daun bunga dua yang dalam masing-masing kelopaknya bertuliskan aksara vam dan ksam. Siva Samhita juga menyatakan bahwa cakra ini adalah petemuan tiga pembuluh, yaitu ida, pinggala, dan susumna. Pertemuan ketiganya ini disebut Triveni. Pembuluh ida (pembuluh bulan) yang dingin mengalir dari bagian kanan cakra ajna dan berbelok menuju lubang hidung sebelah kiri, semantara pinggala (pembuluh matahari) yang hangat mengalir dari bagian kiri ajna dan berbelok ke lubang hidung kanan. Ida membawa hawa dingin dan aktif pada malam hari, sedangkan pinggala membawa hawa panas yang aktif pada siang hari. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akan menghembuskan udara yang agak hangat dari lubang hidung kanannya, sementara dari lubang hidung kirinya akan terhembus udara yang agak dingin. Pembuluh ketiga yaitu susumna adalah jalan keluar-masuk roh. Dalam kaitannya dengan pemakaian bija di kening, kita diharapkan mampu mengaktifkan energi dari ketiga pembuluh tersebut untuk menciptakan kesehatan yang baik. Apalagi jika seseorang mampu berkonsentrasi pada ajna, makhluk-makhluk seperti yaksa, gandharva, kinnara, dan apsara akan mematuhi perintahnya (Siva Samhita 113).
  3. bija memiliki makna benih. Bija terbuat dari beras yang seharusnya lonjong sempurna, bukan butiran-butiran yang terpecah-pecah seperti yang sering kita temui. Beras yang bentuknya sempurna melambangkan lingga, stana Siva Mahadeva. Selain itu, beras yang bentuknya sempurna juga melambangkan alam semesta yang juga berbentuk bulat. Bija adalah benih padi yang berwarna putih yang bermakna hendaknya kita menumbuhkan benih-benih kesucian dalam kehidupan. Kini banyak kita lihat orang-orang yang memakai bija tetapi tidak mampu menumbuhkan benih-benih kesucian dalam dirinya. Apabila semua orang dapat menumbuhkan kesucian dalam dirinya, semua akan dapat memanen hasilnya yaitu padi keharmonisan. 
  4. bija memiliki makna kesungguhan dan kesadaran karena seseorang yang memakai bija berarti orang yang seharusnya memiliki keyakinan dan kesadaran akan kewajibannya untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan. Orang yang memakai bija akan merasakan bahwa Tuhan berstana dalam dirinya sebagai Paramatman dan merasa terlindungi. Ia juga akan merasakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk hidup, termasuk kuman-kuman, bakteri, tumbuhan, dan hewan. Dengan demikian, ia akan belajar untuk menghormati eksistensi makhluk lain sebagai bagian dari kekuasaan Tuhan. 

Adapun tempat pemakaian bija dan makna yang berbeda sebagai berikut: 
  • Bija yang diletakkan di kening memiliki makna supaya dengan prasadam yang diberikan oleh Tuhan tujuannya untuk menimbulkan benih-benih ide yang cemerlang serta membuat pikiran kita terfokus pada hal-hal yang suci, doa yang di gunakan saat menaruh bija di kening adalah Om Shriyam Bawanthu, yang artinya semoga cerdas atas anugerah Hyang Widhi. 
  • Bija yang diletakkan pada dada dimaksudkan agar di dada senantiasa bersemayam kesucian pribadi dan untuk melapangkan hati doa yang di ucapkan pada saat meletakkan bija di dada adalah Om Sukham Bhawanthu, yang artinya semoga mendapatkan kebahagiaan atas anugerah Hyang Widhi. 
  • Bija yang ditelan kedalam mulut bermakna bahwa kita menanam benih-benih kesucian dalam diri, selain itu juga untuk memperoleh anugrah kemakmuran, doa yang diucapkan pada saat menelan bija itu adalah Om Purnam Bhawanthu, Om ksama sampurna ya namah swaha, yang artinya semoga mendapat kesempurnaan dan pengampunan dari Hyang Widhi. 

Demikianlah makna filosofis dari bija. Banyak yang tidak menyadari hal-hal kecil seperti ini dan menjadikan agama sendiri sebagai bahan olok-olok yang lainnya sebagai agama tahayul. Padahal sebenarnya peradaban Hindu dan Veda bukan hanya sebuah agama tua yang komplit, melainkan juga sebuah jalan pengetahuan tiada batas.

6 komentar:

  1. om swastyastu, saya wahyu dari banyuwangi mau tanya kalau bija yang sudah dipakai sisanya apa boleh digunakan lagi? dan jika tidak apa boleh dibuang begitu saja? trimakasih. om shanti shanti shanti om.

    BalasHapus
    Balasan
    1. om swastiastu, yg tiang tahu.. misalnya tirta, jika tidak habis.. misalnya keesokan harinya, biasanya disini istilahnya di lebar (airnya di buang ke atas genteng), atau jika masih bagus biasanya bisa digunakan sampe 3 hari, kalo untuk bija mungkin saja sama.. misalnya pada saat nunas bija dan sudah digunakan, jika di tangan masih tersisa.. bisa di tuangkan saja sisanya di atas kepala di ubun2..
      namun untuk yang masih di wadahnya, jika masih bagus mungkin masih bisa di tunas sebagai bijih IDA SESUHUNAN yg bersangkutan, atau jika sudah tidak bagus mungkin bisa di lebar juga seperti halnya tirta..
      sedikit juga yang tiang ketahui, kiranya ada kata2 yang kurang berkenan, titiang nunas hampura.. suksema

      Hapus
  2. terima kasih atas pengetahuannya , hal sekecil ini saya jadi tahu . saya made dari jakarta

    BalasHapus
  3. Apakah bayi udah boleh dipakekan wija ??

    BalasHapus
  4. Agar berasnya tdk mudah lepas jatuh dr kening itu pakai lem apa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam.. yg saya tahu tidak usah oake lem, dan tidak usah dirisaukan jika terlepas dari kening, yg terpenting adalah apa pengharapan dan doa pada saat nunas dan mengenakan bija, mohon maaf jika ada yg kurang berkenan, salam rahayu

      Hapus