Pages

Upacara Ngaben - Pitra Yadnya

Upacara Ngaben - Pitra Yadnya

ini merupakan ringkasan dari buku: "Mengapa Mayat Dibakar" karangan I Gusti Ketut Kaler, Yayasan Dharma Naradha, 1993
Ngaben berasal dari kata abu > abuan > abon > ngabon > ngaben
Meninggal sebelum kepus pusar
belum terhitung mahluk buana agung (dunia ) ini, dinilai sejajar dengan dewa. Upacara yang dibuat di rumah saat meninggal ditujukan untuk menyucikan ibu dan sang catur sanak juga pihak lain yang membantu atau ikut ambil bagian  saat bayi dilahirkan.

Sesudah kepus pungsed
upakara yang dibuat saat bayi meninggal untuk ngeluhurang Bhatara Kumara, juga mengembalika sang catur sanak dan juga upakara pemarida kecuntakan.
Usia 105 hari s/d sebelum gigi tanggal, hanya sawa anak telah berusia lebih dari 5 bulan boleh atau sebaiknya dibakar. Abunya dimasukkan dalam klungah nyuh gading. Yang berumur dibawahnya, diberi tirta pengentas baru dikubur. Abu di klungah nyuh gading disuguhkan sesaji sederhana, kemudian dihanyut ke sungai atau ke laut. Sebelum tirta pengentas tadi perlu juga dimohonkan tirta dari pemerajan, Kahyangan Tiga, Prajapati dan beberapa pura lainnya. Pada umur ini tidak perlu dilanjutkan  pada upacara atma wedana (memukur)


SAWA WEDANA TANPA JENASAH

Diawali dengan NGULAPIN/NGEWANGUN
Ngulapin bermakna memanggil atau mengundang roh, ngewangun berarti membangunkan  yang selama ini dianggap tidur. Sering juga disebut NGEPLUGIN karena suara “keplug” dari upih yang dipakai membangunkan serta memanggil roh mendiang.

Ngulapin dilakukan 2-4 hari menjelang pengabenan. ADEGAN adalah awak-awaking sawa yang terbuat dari sebilah papan cendana atau majegau tipis dimana telah dilukis dahulu dengan gambar seorang pria atau wanita sesuai jenis kelamin mendiang. Ukura pengawak yaitu sepanjang asta plus amusti (sekitar 50cm) dan lebarnya sekitar 4 cm. Adegan atau pengawak diletakkan pada bagian hulu kuburan mendiang, yang dibuat lubang kecil atau 1 cangkul perlambang “jalan keluarnya mendiang” dari tempat peristirahatannya. 
Upakara yang dibawa saat ngulapin : upakara pemamitan terhadap “Hyang Prajapati  dan Sedahan Setra” dan Tirta Pengulapan. 
Setelah upakara diayab dan tirta sudah diperciki > Ngeplugin > memanggil mendiang diajak ke tempat pengabenan untuk upacara selanjutnya. Atma mendiang sudah masuk ke adegan/pengawak yang berfungsi sebagai badan kasarnya, dan mendiang dianggap masih hidup. Keluarga serta keturunannya melakukan muspa pemamit terhadap Sedahan Setra, Hyang Prajapati dan Betara dalem. Kemudian adegan/pengawak dibawa ke tempat upacara selanjutnya. Setelah sampai, diberi sesajen dan perjamuan lainnya laksana menjamu seorang keluarga yang baru datang dari bepergian jauh.
Kemudian melakukan upacara perlambang mendiang jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Acara ini diteruskan dengan NGERINGKES.  
Tatanan pelaksanaanya, upakaranya sama dengan ngeringkes sawa dalam bentuk MINI.  Kain, tiker, lante, peti dan yang lainnya serba mini.
Pengawak atau adegan ditempatkan  selanjutnya ditempatkan di “tumpang salu” (balai-balai kecil yang khas) serta dikurung dengan paplekungan (sebuah kere yang khas pula) di tempat yang disediakan secara bersama-sama. Selanjutnya pengawak/adegan mendapat upacara sama dengan sawa pada umumnya

PEBERSIHAN/PESUCIAN

2 atau 3 hari sebelum pengabenan yang terdiri 3 rangkaian:
  1. MANAH TIRT ENING
  2. MLASPAS KAJANG
  3. SANGASKARA
Dalam acara inilah Pendeta mengambil perannya yang paling besar. Pada “malam hari” menjelang acara Pebersihan digelar acara MESESALIN. Pada acara ini semua pengeringkes sawa “diperbaharui” seluruhnya. Pada upacara ini  disisipkan sebuah  bungkusan kecil ke mulut sawa berupa panca datu (perak,tembaga,emas,besi,permata) permohonan agar Panca Dewata agar unsur badan kasar mendiang kembali dengan baik ke Buana Agung dan tidak menyebabkan keletehan alam semesta. Acara mesesalin selesai. Dimulailah acara Pebersihan.

1. MANAH TIRTA ENING

Bermakna mencari segelas tirta ening/air jernih. Agar hidmat, air bening itu disongsong dengan alat yang menyerupai singgasana mungil yang dihias indah. Diarak pula sebuah panah yang terbuat dari bamboo dengan busur berukuran sekitar 50 cm, pada ujung panah tersisip sekuntum bunga harum. Air yang akan diambil dipanah 3 kali. Disamping panah juga diarak ilih (kipas dari bamboo bergambar hanoman/garuda). Juda diarak sebuah kotak bergambar cili sebagai mukanya dan diisi sebutir telur yang juga dihias cantik.  Air bening ini sebagai simbul keluarga mendiang berkomunikasi dengan mendiang sambil berkata “Pitara, silahkan bercermin pada air jernih ini, supaya kami yang hidup dapat melihat wajah, dan bisa berkomunikasi dengan anda” Air bening ini bernama TIRTA TARPANA , cermin mendiang memanifestasikan diri. Tirta Tarpana untuk memanifestasikan unsure teja, kipas untuk bayu dan kotak berisi telur untuk akasa dari lingga sarira mendiang.

2. MLASPAS KAJANG atau KAKEREB SAARI

Kajang berfungsi sebagai “ kain kafan teratas”  yang akan disambung denga lelancingan kajang yang akan diusung keluarga mendiang menuju setra saat pengabenan. Makna Kajang adalah pangembalian unsure-unsur kekuatan, tenaga,kemampuan yang berupa Dasa Bayu, Dasendria, bayu,sabda, idep dan yang lainnya dari mendiang, agar jiwa/atma dapat mencapai MOKSA. Maka itu kajang berisi aksara Bijaksara dan Ukur.
Berbarengan dengan Mlaspas Kajang juda di plaspas ANGENAN, PISANG JATI, PANGURYAGAN, SOK CEGCEG, DAMAR KURUNG DAN ADEGAN.
ANGENAN

Pelita kecil terbuat dari kulit telur ayam, berminyak kelapa, ditopang dengan setangkai kayu kecil artistik, ditanam pada pot dari buah kelapa yang dikupas halus. Dinyalakan dan ditaruh dipeplekungan. Di Angenan inilah letak hati dan manah mendiang yang telah dicabut dengan  puja pendeta dan sebagai sarana menuju dunia spirit buana agung.

PISANG JATI

Bakul kecil seperti daksina berisi 1001 ramuan perlambang “materi tubuh”(otak,sum-sum,darah,saraf dsb), juga terdapat buah pisang saba(pisang kepok) sepanjang 36 cm. Upakara ini dihias dengan indah. Pisang jati > sang jati > aku / “ego” , merupakan lambing keakuan / ego mendiang.
Tebog (ngiu yang pinggirnya tinggi), diisi bermacam-macam ramuan yang juga dihias indah. Penguryagan > guru yaga > tenaga bakti > yang ditujukan pada para GURU TIGA : Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa.

SOK CEGCEG = berhamburan = tersebar

Bakul besar panjang lebarnya kira 40 cm, tinggi 25 cm, tidak dihias indah tapi juga berisi 1001 ramuan upakara yang rumit. Maknanya, saat mendiang di dalam kandungan dirawat “ 108 nyama bajang” maka isi sok cegceg ini perlambang 108 nyama bajang yang nanti diharapkan menunggu duluan di alam sana makanya dibawa ke setra pagi-pagi buta ke setra sebelum pengabenan. Dengan sarana sok cegceg ini pula nyama bajang dikumpulkan kembali yang nanti bersama-sama mendiang masuk ke rahim ibu.

DAMAR KURUNG

Maknanya untuk membatasi pancaran cuntaka dari proses pengabenan ini.

ADEGAN

Sarana upakara yang dihias paling indah. Berwujud cili terbuat dari daun rontal dilapisi kertas emas, roman mukanya terbuat dari papan cendana tipis bahkan cincin, gelang, perhiasan emas ditempatkan disampingnya. Disinilah Sang Hyang Atma ditahtakan. Pada upacara degan Pembersihan, Adegan inilah yang mendapat perlakuan paling banyak.

3.  SANGASKARA

SANGASKARA, SAMSKARA, PENYANGASKARA adalah upacara Penyucian.  
Inilah “topic terpenting” dari upacara Pembersihan. Setelah proses-proses diatas seluruh perlengkapan upakara seperti Kajang, Angenan, Pisang Jati, Penguryagan dan adegan dianggap “hidup dan suci secara relegius” Kini saatnya unsur pribadi mendiang yang akan diletakkan pada masing-masing alat tadi. Dengan Puja Sangaskara inilah Dasa Bayu, Dasendria, Tri Sakti, Manah, Aku/Ego terutama sekali ATMA mendiang dimasukkan kea lat-alat upakara di atas. Sesajen yang digunakan pada acara ini : Di uskami ligi, Lis, Buhu, Tepung Tawar, Tirta Ening, dan lain-lain terutama Tirta Pengelukatan Pebersihan. Dengan acara ini maka pratista dan sucilah unsure-unsur pribadi mendiang dan atma yang masih dinungkus Lingga Sarira dimohonkan “tadak terlekati oleh noda”. Sebagai cirri dari prosesi ini Sang Pendeta meletakkan KARAWISTA (simpul yang terbuat dari 4 helai daun ilalang) pada setiap upakara bersangkutan terutama Adegan.

PEGUNTINGAN

Adegan dibawa oleh anggota keluarga yang terkemuka menghadap ke Pendeta melakukan sembah bakti kepada Pendeta. Kemudian Pendeta “menggunting cili dari Adegan”seperlunya. Pengguntingan cili bermakna mengubah watak dan sifat mendiang karena saat ini adalah masa peralihan dari alam “Mercepada kea lam Roh(Ayatana-stana)”.Pada ngaben masal menggunting ini juga bisa dilakuka oleh WELAKA.

UPADESA (pewisik warah-warah) dari Pendeta

Merupakan amanat petuntuk jalan kepada mendiang, bagaimana semestinya dia membawa diri di alam lain itu. Setelah itu adegan dikembalikan ke tempatnya semula.

SAJI TARPANA

Bermakna mempersilahkan Sang Pitara untuk menikmati saji yang dihaturkan pretisentana mendiang, namun sebelumnya dihaturkan BANTEN TEBEN yaitu sesajen yang diletakkan di teben tak jauh dari kaki mendiang. Bermakna agar sesajen itu dibawa mendiang dalam perjalanan kea lam lain sebagai oleh-oleh yang akan diberikan kepada Kingkara Bala dan penghalang lainnya( mahluk-mahluk yang dijumpai dalam perjalanan). Dengan oleh-oleh tadi diharapkan mendiang “akrab” dengan penghalang-penghalang tadi dan mendiang bisa diterima sebagai “ warga baru “ di alam roh itu.
Pada saat ini sanak keluarga melakukan sembah bakti. Orang hamil, haid atau sedang menyusui, atau anak-anak yang belum tanggal gigi pantang menyembah Sang Pitara.

PEMERASAN

Adalah upakara timbang terima / serah terima secara keagamaan antara mendiang yang akan pergi dunia lain dengan anak-anak yang ditinggalkan.  Mendiang menyerahkan swadarmanya, beban dan tanggungjawab dan member hak dan berbagai hak milik yang dulunya ada pada mendiang. Pihak penerima diharapkan melanjutkan memelihara, mengemong, mempertanggungjawabkan serta menikmati menurut apa adanya.
Upakaranya berupa sajen berupa bebangkit sebagai pokoknya.Ada tanda yang khas yaitu jukung kecil yang terbuat dari seludang kelapa. Jukung perlambang mendiang akan pergi jauh mengarungi samudra alam yang amat luas. Juga jarum untuk menjarit namun berperan hanya lubangnya saja sebagai “teropong” oleh “pendeta” , melalui lobang jarum itu pendeta bersama-sama keluarga mendiang menyasikan berlayarnya mendiang kea lam lain yang maha jauh. Upakara ini juga dilengkapi dengan sebilah keris (kalau ada) dan satu dua perhiasan pusaka(cincin dsb). Perlambang swadarma dan tanggungjawab kemasyarakatan yang diserahkan mendiang kepada keluarga yang hidup. Juga dilengkapi pipil  tanah sebagai hak milik yang diserahterimakan kepada anaknya. Bebangkit ini bisa untuk dua upacara yaitu Pemerasan dan Pemuspaan.

PENEBUSAN

Berfungsi sebagai penebus kesalahan, kekeliruan, kekurangan dan sebagainya semasa mendiang masih hidup kepada “ masyarakat”. Hal ini dimohonkan pada “guru tiga” agar perjalanan mendiang lancar ke alam sana.
Sesajennya berupa bebangkit, uang kepeng, ceeng(alat ukur dari tempurung kelapa), benang tukelan, kelapa, telur dan kemiri dalam hitungan butir, ayam dan itik sebagai kesatuan bilangan. Guru tiga yang hadir : prajuru mewakili guru wisesa, pendeta mewakili guru pengajian, pimpinan dadia sebagai guru rupaka.

MAMUTRU > PUTRU > PITRA

Adalah upacara membaca dilakukan oleh satu atau dua orang pembaca lontar. Dibuatkan tempat khusus biasanya disebelah balai pendeta. Disediakan sebuah daksina gede ditambah selembar kain putih untuk destar sebagai punianya. Lampu penerangan yang dipakai adalah sebuah pelita kecil yang bahan bakarnya dari minyak kelapa  atau linting bamboo yang dililit kapas dan dicelupkan minyak kelapa. Mamutru benar-benar membaca secara spiritual. Yang biasanya dibaca adalah salah satu parwa yaitu, ADI PARWA, UDYOGA PARWA atau SWARGA-ROHANA PARWA sebagai UPANISAD yang memberi petunjuk, nasehat dan pengarahan pada mendiang juga orang yang ditinggalkan. Mamutru dilakukan bersamaan dengan lamanya sang pendeta memuja sejak mulai Mlaspas Kajang sampai upacara Penebusan.

YEH PENEMBAK

Di ambil jam 00.00 sehari sebelum pengabenan. Tidak bersamaan dengan Pembersihan, harus sesuai syarat tadi. Caranya, tanpa kawan, tanpa lampu, anak laki-laki ahli waris ke sungai tertentu. Sepasang jun kecil dengan kayu pikulannya serta tali lidi janur selaku gantungannya. Cara mengambil air, Jun satu dicidukkan dari arah hulu ke hilir, yang satu lagi dari arah hilir ke hulu. Yeh penembak ditaruh di suatu tempat di pemerajan menunggu digunakan saat pengabenan. Cara pencidukkan air perlambang mempunyai kekuatan gaib bisa mensucikan sawa secara rwa-bhineda, dan juga perlambang ujian bagi ahli waris seberapa jauh kadar bhaktinya pada Guru Rupaka.

PEMUSPAAN DAN SAJI TARPANA

setiap hari dilakukan bila upacara pembersihan dilakukan 2 / 3 hari sebelum pengabenan. Waktu kosong sejak Pembersihan selesai disebut PENGEMBANG atau hari luang, selama itu pula keturunan mendiang melaksanakan sembah bakti. Setiap hari dilakukan pencarian Tirta Ening untuk Tarpana. Pada waktu inilah dilakukan pawai Ogoh-ogoh yang diiringi anak-anak dan remaja yang dihias yang istilah Buleleng disebut DEENG.

PRALINA

Dengan puja dan tirta sulinggih diresmikanlah (seca relegius) kembalinya semua unsure sawa kepada unsur Panca Maha Bhuta. Atma dengan lingga-sarira diberangkatkan ke alamnya.
Dilakukan pada dini hari sebelum pengabenan. Semua pretisentanan mendiang melakukan sembah bakti.
Perbedaan Sawa Wedana dengan Sawa Preteka
  • Pada Sawa Wedana, momon dipakai berupa pripih perak, tembaga, emas, besi dan permata yang dibungkus daun dapdap, sedang pada Sawa Preteka tidak.
  • Pada Sawa Wedana bungkusan lantenya dibuang diganti peti yang diikat dengan sumpe rotan, pa lante lagi. Pada Sawa Preteka, bungkusan itu tidak diganti.
  • Didekat banten teben dari Sawa Wedana ada sebuah tabunan yakni paso dengan bara sekam ditutup dengan kepala kerbau, pada Sawa Preteka ditutup dengan klungah nyuh gading.
  • Pada Sawa Wedana dipakai Pering (seperti lis namun bentuknya lebih besar dan dihias  dengan kulit seperti bentuk lamak. Juga dibuat Pekir tiga warna yaitu merah, putih dan hitam. Pering inilah yang dinilai keramat. Pada Sawa Preteka tidak dipakai Pering.

UPACARA KLIMAKS

TIRTA JOTAN

Keponakan dan cucu samping yang sudah diperas memberikan sepasang Tirta Pengentas Jotan untuk mendiang. Oleh sang cucu, biasa pula tirta itu dimohon pada pendeta yang muput pengabenan itu sendiri. Tentu saja sepasang jun pere, kertas walantaka dan sebagainya disiapkan oleh sang cucu, termasuk pula penetapan harga tirta itu.

NYIKUT KARANG

Adalah upacara yang sangat sederhana. Sesajennyapun kiranya tak lebih dari Pras-Daksina Pejati saja. Pelaksanaannya, pada pagi hari pengabenan pergilah seorang utusan pendeta ( biasanya putra beliau) untuk ke setra yang akan dipakai tempat pembakaran jenazah. Bale Pemuun dan sejumlah alat-alat upakara lainnya, sebenarnya telah selesai secara de facto. Tetapi secara relegius, dituntut supaya wilayah yang akan digunakan untuk arena Tunon/Pemuun , dibatasi secara mistik, terutama dimohonkanlah izin dari Ida Hyang Prajapati dan Sang Pengulun Setra.

PENYAMBUTAN

Bertujuan untuk menenangkan anggota keluarga yang ditinggal mendiang, apalagi mendiang merupakan tulang punggung, pengayom keluarga. Tentu yang ditinggalkan merasa terguncang. Upakaranya berupa banten penyambutan yang diayab bersama-sama keluarga mendiang.

MAPEPEGAT

Upakaranya berupa segehan agung dengan lentera kecil, rentangan benang tridatu di antara batang pohon dapdap yang ditancapkan. Pada benang tersebut digantungkan uang kepeng.
Pelaksanaannya, setelah sesajen diayabkan pada Kala, Bhuta dan Dengen  (tiga  dahsyatnya penunggu rumah sebagai pertanda mendiang mohon pamit dari lingkungan mereka. Pretisentanan mendiang  membawa layudan sajen diisi satu atau dua uang kepeng yang diperoleh dengan jalan membakar benang pengikatnya hingga putus, lalu mereka berjalan  mengelilingi sesajen,sambil bersorak-sorai dan terakhir melepar layudan tadi sambil berteriak lebih keras. Bermakna mengiklaskan kepergian mendiang, jangan sedih apalagi mengucurkan air mata karena itu adalah tali pengikat yang menyebabkan perjalanan mendiang terhalang.  

 

TATA PEMBERANGKATAN KE SETRA

Setelah jenazah/pengawak tertata rapi di wadah/bade, rurub kajang dinaikkan dilipat-lipat/ditindihkan pada jenazah/pengawak. Angenan, adegan, pisang jati dan penguyarkan dan lain-lain biasanya dibawa dengan tandu. Segala macam tirta dibawa dengan dulang/nampan yang khusus. Wanita hamil pantang menjunjung tirta pengentas.
Di kanan-kiri terdapat 2 orang MEMANJANG yang membawa sekerura/kerura (merupakan cirri sah dan sakralnya nilai suatu mutasi baik perpisahan atau pertemuan) dan yang lain membawa ubes-ubes (sebuah tongkat yang bermahkotakan seskor burung cendrawasih yang telah di-ofset). Burung cendrawasih dianggap mampu pulang pergi antara dunia dan sorga bahkan ia dianggap lebih banyak hidup di alam lain disbanding di dunia. Karena itu dijuluki “MANUK DEWATA”. Ia diminta pula sebagai pemandu bagi arwah mendiang untuk pergi ke alam sana.
Setiap belokan dilakukan perputaran 3 kali searah jarum jam atau pradaksina. Ini bermaksud untuk mengembalikan unsure badan menjadi unsure Panca Maha Bhuta. Perputaran ini masih bisa diperbincangkan lagi yang benar apakah pradaksina atau prasawiya, dibandingkan saat upacara Dewa Yadnya.

IBER-IBER

Sampai dikuburan berebutlah keluarga mendiang membersihkan rongga lembu dengan rambutnya sebaqgai tanda hormat pada mendiang. Dari bawah bade ditarik keranjang yang berisi 3 ekor ayam kecil-kecil atau burung perkutut yang kemudian dilempar lepas beterbangan. Maknanya kedua hewan itu adalah hewan kesayangan, bahkan saat  pemeliharaannya pemilik seperti memiliki ikatan batin atau tresna atau kasih saying. Hal ini sebagai peringatan bagi mendiang bahwa apa yang dikasihinya itu adalah benda-benda duniawi yang rendah belaka, pemuas nafsu yang tidak ada nilainya di kehidupan dunia lain.
  • Putuskanlah cinta kasih palsu yang mengikat diri dengan dunia.
  • Kemudian pengawak disiram dengan Yeh Penembak di bagian hulu dan kaki. Kemudian dipakaikan pakaian, kemudian diperciki Tirta Pengelukatan,
  • Pabersihan, tirta dari berbagai pura dan terakhir Tirta Pengentas. Selain diperciki juga diminumkan.
  • Kemudian Kajang kembali digelar menutupi pengawak dan siap melakukan pembakaran
  • Kemudian sedikit demi sedikit Adegan, Angenan, Pisang Jati, Penguryagan juga dibakar dihaturkan ke Hyang Agni (api), tanpa sisa.

NGREKA GALIH

Di atas tikar berisi kain abu yang diambil direka bagaikan susunan kerangka manusia ditutup selembar daun pisang diistirahatkan. Dengan upakara Penyambutan abu tadi diayab, bermakna selama proses pembakaran akan terjadi ketidaktenangan, keresahan atau kegocangan. Dengan upakara ini diharapka terjadi ketenangan atau istirahat.
Kemudian batu penggiling lengkap dengan anaknya disediakan. Bila tidak ada diganti dengan sesenden (dulang tanah tempat melumat) deng potongan cabang dapdap sebagai anaknya. Abu dilumat dengan campuran ramuan upakara. Harus dilakukan dengan rasa penuh bhakti dan khidmat, dengan iringan alunan kekawin yang syahdu Hasil lumatan dimasukkan ke klungah nyuh gading diberi bentuk badan dan dibungkus kain putih.  Yang inilah dinamakan SUKU TUNGGAL lalu diistirahatkan. Sekali lagi disajikan Saji Tarpana yang paling esensial “soda putih kuning”. Kemudian dipangku dan diajak melakukan sembah bakti “pamitan” kepada betara-betari di semua pura dan pemerajan. Kemudian suku tunggal dihanyut ke laut atau sungai.  Sebelunya dilakukan permohonan kehadapan Bhatara Wisnu atau Hyang Baruna agar unsur jasad mendiang segera bisa kembali ke Panca Maha Bhuta.

ATMA  WEDANA/NYEKAH/NGERORAS

Obyek dari tahapan upacara ini adalah suksma-sarira atau badan halus mendiang. Bermakna mengupas badan halus mendiang (secara relegius)  supaya atmanya benar-benar menjadi suci mulus kembali sebagai “Zat Immaterial/Zat Hidup Abadi yang maha suci. Suksma-Sarira adalah badan halus berunsurkan teja, bayu dan akasa  dan merupakan badan pembungkus atma. Badan itulah tempat melekatnya hokum karma pala yang merupakan noda yang mengotori badan halus itu. Jadi upakara ini adalah “ proses menghilangkan suksma sarira dengn karma palanya” sehingga atma berubah kedudukannya dari “pitra menjadi bhatara bhetari”. Upacara ini merupakan upacara suci dan tidak kena sebel bahkan sangat sensitive. Tempat melakukan upacara ini disebut PEYADNYAN.
Areal dan bangunannya serta perlambang lingga sarira dari mendiang atau PUSPA LINGGA atau SEKAH merupakan sesuatu yang belum mapan atau masih labil sama halnya masa pancaroba dari proses peningkatan mendiang dari pitra menjadi bhetara-bhetari.

NGERORAS > RORAS > 12

Setelah hari ke-12 dari hari Pengabenan, dianggap sudah tidak sebel/cuntaka. Ini bisa dijelaskan bahwa buana alit dari badan manusia yang gampang dilanda sebel adalah 11 yang terdiri dari 10 “dasendria” dan 1 “manah” sebagai “Rajendria”. Masing-masing mendapat jatah cuntaka 1 hari. Demikian juga Bhuana Agung yang terdiri 8 arah mataangin yang horizontal dan 3 yang vertical yaitu bawah, tengah dan atas yang mendapat imbas kecunatakan selama 1 hari. Jadi pada hari ke-12 sebel atau cuntaka dianggap sudah habis/selesai. Sehingga proses pengelupasan lingga sarira dari suksma sarira yaitu bayu,teja dan akasa memerlukan suasana yang sacral dan suci.

NGANGSEN

Jika sekiranya dalam 42 hari setelah Ngaben tidak memungkinkan melaksanakan Atma Wedana maka dilakukan upacara darurat sebagai pengganti disebut Ngangsen. Acara pengganti ini tidak merubah kedudukandari mendiang tetap berupa pitra tidak berubah menjadi bhetara-bhetari yang setelahnya tetap dipuja diplangkiran bale. Upacara ini ng merupakan upacara petangguh kehadapan mendiang. Adalah merupakan penyucian sementara bagi sang pitra yang barusan lepas pertalian dengan stula-sarira karena pengabenan supaya suksma-sarira tidak masih dilekati badan-badan kasarnya. Juga sebagai “pengenteg linggih”(menstabilkan kedudukan) Sang Pitara di Pitraloka. Bukankah dia menjadi warga baru disana, sejak bebasnya dari ikatan stula sarira karena pengabenan,  kedudukannya masih perlu dibina supaya mantap betapa mestinya.
Maka dilakukan upacara pemarisuda (penyucian) bagi diri para keluarga mendiang, rumah dan alat-alat yang dulunya digunakan pada saat pembakaran jenazah. Penyucian ini bertujuan mengakhiri suasana cuntaka secara relegius. Dengan upacara diuskamiligi, prayascita serta diiringi caru sederhana, semua orang dan barang-barang diperciki tirta selaku sarana penyucian.
Pitra mendiang yang merupakan sarana upacara  dibuatkan perlambang disebut Sekah-Kangsen. Benda sacral itu dibuat dari daun beringin sebagai bahan pokok dirangkai  sedemikian rupa dengna klatkat  (anyaman bilah-bilah bambo halus) sebagai kerangkanya.
Kemudian benda itu dibungkus kain putih, dihias rapi, sehingga tampak indah dan syahdu sesuai dengan kedudukannya selaku lambang pitra bersama suksma-sariranya. Biasanya seluruh upacara ini hanya menggunakan sebuah rong (balai-balai permanen) rumah adat saja selaku arenanya. Pendetapun biasanya tidak dimohon memuja atau menuntunupacara secara langsung melainkan hanya cukup dengan memohon tirt saja dari beliau untuk menuntaskan upacara tersebut
Dulang dipakai singgasana Sekah-Kangsen dan ditata sesajennya lengkap dengan rantasan, pedupaan, cicipan, dan alat-alat upacara lainnya.
Ngangsen adalah suatu upacara Atma Wedana titipan artinya yangt diaben masih tetap selaku pitra serta di puja di plangkiran rumah adat bukan di pemerajan rong tiga karena belum berstatus bhatara-bhatari.

DON BINGIN

Pada ngeroras sasaran pokok yadnya adalah pitra yaitu jiwa mendiang yang berbadan suksma-sarira yang sangat halus dan bersifat gaib. SEKAH atau PUSPA LINGGA sebagai perlambang pitra dibuat seperti patung dari daun beringin, bunga ratna putih, meduri dll.  Karena daun beringin memiliki nilai magis yang tinggi diharapkan unsure-unsur badan halus mendiang beserta karma-phalanya melekat padanya yang sebagai bahan pokok sekah. Jumlah yang dipakai 108 / 54 lembar, karena tubuh manusia terdiri dari 108 kerat tulang atau sebanyak 54 pasang, demikian juga suksma-sarira mendiang.

NGAJUM DAN PENGUTPETIAN

Ngajum sekah adalah proses menbuat sekah lengkap dengan pipil namanya. Disamping sekah tadi dibuat juga sekah SANGGE atau LINGGA. Sekah atau puspalingga sebagai tempat roh mendiang, sekah sangge sebagai tempat bhetara-bethari leluhur seperti pendeta, raja atau orang yang terkemuka di keluarga tersebut yang turun yang akan mengantarkan mendiang ke alam yang lebih tinggi. Pada prosesi ini ada istilah MENDAK LINGGA.

BUKUR

Adalah menara usungan untuk mengarak abu mendiang dikala menghanyutkan ke laut.

BALIGIA

Adalah sanggah surya dengan tiga buah ruang. Bukur dan baligia ditaruh di peyadnyan agar mendapat ayaban upakara dan sembah bakti dari pretisentana.

PRADAKSINA

Pertama-tama diletakkan pancadatu di peyadnyan, diarah timur perak, selatan tembaga, barat emas dan utara besi, di tengah-tengah mirah. Sekah atau puspalingga dan sangge atau lingga diarak, dipayungi dilengkapi dengan tulup (sumpitan) sebagai pelopor yang dirangkai dengan benang tridatu sebagai penuntunnya. Yang paling depan adalah seekor LEMBU simbul utusan Hyang Siwa yang dihias indah, dari balai pewedan berarak-arakan mengelilingi peyadnyan sebanyak 3 kali searah jarum jam.

MEPULANG LINGGA

Adalah prosesi Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Adi Buddha masuk ke dalam raga seorang pendeta, setelah itu baru pendeta memancarkan sinar sucinya dengan berbagai pujanya, sehingga balai pewedan sama artinya dengan Siwa loka.
  • Balai pewedan secara relegius berarti SIWALOKA dan peyadnyan berarti PITRALOKA. Jadi predaksina adalah prosesi turunnya sang pitra dari siwaloka ke pitraloka diantar sinar suci siwa dan panca dewata yang disimbulkan dengan pancadatu
  • LINGGIH Adalah sesaji yang dihaturkan pertama kali setelah Sang Pitara duduk rapi di peyadnyan
  • NGEKEB Adalah upacara mesekeb/mengurung diri bagi yang ngedapin/metatah.
  • NGEDAPIN / METATAH / MAPETIK Dilakukan atas dorongan rasa spiritual pretisentana agar disakksikan langsung oleh Sang Pitara
  • MIDERGITA Nyanyian berkeliling oleh sejumlah orang secara estafet dan duduk melingkar
  • BAWA Menghaturkan santapan istimewa kepada sang sulinggih, tukang banten dan tamu terhormat lainnya. Juga dihaturka punia berupa BUSANA, TIKAR BANTAL, PAYUNG, PIRING, CANGKIR DAN ALAT-ALAT RUMAH TANGGA LAINNYA. Memberi santapan ke pada umum hendaknya setelah midergita dan bawa
  • SAJI TARPANA Diawali dengan MANAH TIRTA ENING dan dilanjutkan dengan PERSEMBAHYANGAN dilanjutkan dengan tari pendet, wayang, sidakarya dan pertunjukan semi wali.
  • PANJAYA-JAYA Setelah saji tarpana sang sulinggih memberikan ayaban sesayut kepada putra-putri yang telah potong gigi / metatah. Ini merupakan acara yang meriah, menggembirakan, hening, suci,syahdu dan mengharukan.
  • PRALINA Dilakukan pada pukul 03.00 – 04.00, adalah saat puncak keheningan alam. Dengan puja sang sulinggih dilakukan PUJA AMARIARAN / pencabutan nama, penghapusan peribadi dan keakuan sang pitara dan puja melepaskan suksma-sarira mendiang. Suksma-sarira walaupun sangat halus, tapi masih dalam bentuk materi dan tetap melekat pada material puspalingga (daun beringin dan sebagainya). Benda inilah yang akan dibakar serta di anyut nantinya.
  • NGLIWET Dilakukan di depan Sanggar surya dengan sebuah tungku dan periuk tanah yang keduanya serba kecil. Acara ini membuat bubur beras yang dicampur dengan BAEM WARAK (serbuk darah badak yang mengental). Masih di dalam periuk liwet ini dihaturkan kehadapan SANG HYANG ATMA yang mengawali kedudukannya sebagai bhatara-bhatari.
  • NGUYEG Adalah proses menghaluskan don bingin simbul suksma-sarira yang dilekati noda-noda karma-pala mendiang untuk nanti dikembalikan kepada Sang Panca Maha bhuta terutama unsure teja-bayu-akasa. Abu yang halus dimasukkan ke klungah nyuh gading yang selanjutnya disebut suku tunggal, sesajen soda putih kuning diayabkan, selanjutnya diarak MAPRADAKSINA selanjutnya DI-ANYUT.

NGAJAR-AJAR DAN NYEGARA GUNUNG

Ngajar-ajar adalah parama-suksmaning idep alias ucapan terima kasih dari pihak sang mayadnya kepada para penuntun (para ajar) yang telah memberikan jasa-jasanya masing-masing hingga yadnya dapat diselesaikan dengan tuntas betapa mestinya.
Nyegara gunung adalah upacara ungkapan terima kasih kehadapan Sang Hyang Siwa/Sang hyang girinatha selaku penguasa gunung serta Sang hyang baruna penguasa lautan karena atas karunianya dengan berbagai isi alam yang kita pakai beryadnya telah berjalan sukses. Dalam acara ini disamping penyelenggara yadnya sebagai subyek juga bhetari-bhetari yang diprosesi selama acara nyekah juga ikut menyertai memedek tangkil ke pura-pura. Maka untuk beliau dibuat DAKSINA TAPAKAN.  Daksina tapakan tidak pakai nama, berapapun dalam satu pemerajan ada yang diaben cukup buat 2 daksina tapakan yaitu untuk bhetara dan bhetari.
Sarana upacara yang pokok adalah KETIPAT BANTAL lambang lingga yoni atau purusa predana disamping juga “pras daksina” sebagai pengantar persembahyangan.
Sekembalinya dari me-ajar-ajar dan nyegara gunung daksina tapakan dibakar di natar pemerajan dan abunya ditanam dibelakang sanggah kemulan. Sedang pipil tapakan disimpan di rong tiga, yang utara untuk Bhetara yang kiri untuk Bhetari. Kemudian prosesi diakhiri dengan menghaturkan soda putih kuning dan melakukan persembayangan keluarga. Dengan demikian berakhirlah acara NYEKAH.

Jadi pada proses NGABEN yang dikembalikan unsur PANCA MAHA BHUTA mendiang berupa pertiwi (tanah) dan apah (air). Sedang pada NYEKAH yang dikembalikan adalah unsur bayu, teja dan akasa.

2 komentar: