Pages

Bhisama Pande 1

Tentang Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih



Bhisama pertama, berupa bhisama agar Warga Pande tidak lupa menyungsung Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih. Bhisama ini dipesankan dengan tegas oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala di Pura Bukit Indrakila sebagai berikut : ”Mangke hiyun ira turun ing Besaki. Didine ane Penataran Pande. Kita aywa lupa bakti ring kawitan ring Besakih”. (Sekarang kupesankan kepadamu, pergilah engkau ke Besakih. Disana ada Penataran Pande. Jangan lupa sujud bakti kepada kawitanmu di Besakih).

Apa akibatnya kalau Warga pande lupa nyungsung Ida Betara Kawitan yang berstana di Pura Ida Ratu Bagus Pande di Besakih ? marilah kita resapkan dan camkan Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala berikut : ”Warahakena katekeng mahagotranta, ri wekas inget-inget aja lali. Yan kita lipya ngaturanga panganjali ring Bhatara Kawitan, tan wun kita kabajrawisa de paduka Bhatara, sugih gawe kurang pangan”. (sebarluaskanlah kepada keluarga besarmu, sampai keturunanmu dikemudian hari kelak. Ingatlah selalu, jangan sampai lupa. Kalau engkau sampai lupa menyembah (nyungsung) Bhatara Kawitan, engkau akan disalahkan oleh Ida Bhatara. Kedati usahamu sukses engkau akan selalu kekurangan pangan).

Warga pande harus menyadari bahwa Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Besakih memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih. Gelar abhiseka Ida Bhatara di Penataran Pande di Besakih justru diketemukan dalam Raja Purana Pura Besakih dan di dalam Babad Dalem Tarukan.

Dalam Raja Purana Pura Besakih dijelaskan bahwa nama abhiseka Ida Bhatara di Pura Penataran Pande di Besakih adalah Ida Ratu Bagus Pande. Dalam Raja Purana Pura Besakih terdapat uraian yang jelas mengenai abhiseka itu, demikian pula mengenai keterkaitan antara Pura Penataran Pande dengan Pura Penataran Agung, karena Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Pura Besakih merupakan salah satu catur lawa yang merupakan satu kesatuan dengan Penataran Agung Pura Besakih.

Lebih jauh dalam Raja Purana Pura Besakih dengan jelas dikemukakan sebagaia berikut : ”Iki pengerecah kalaning sampun mange ring pamargin Ida Bhatara Kabeh. Manke kacritan pamargin Bhatara, ngaran 10 warsa ka Klotok ring dina purnamaning kapat. Pamargin ka yeh sah ngalimang warsa ring purnamaning kadasa, pamargin ka Tegal Suci Ngapetang warsa, ring dina purnamaning kalima”. Maksudnya : inilah tata cara yang sudah baku mengenai perjalanan Ida Bhatara semua. Sekarang diceritakan perjalanan Ida Bhatara, setiap 10 tahun ke Klotok pada saat purnama kapat (sekitar bulan Oktober). Perjalanan ke Yeh Sah setiap 5 tahun sekali, pada saat purnama ka dasa (sekitar bulan bulan Juni). Perjalanan ke Tegal suci setiap 4 tahun sekali, pada saat purnama ka kalima (sekitar bulan November).

Selanjutnya ditegaskan : ”dening sampun puput pangrawose sami, mangke caritan pamargin Ida Bhatara, ring pamargi; (karena sudah rampung pembicaraannya, sekarang diceritakan perjalanan Ida Bhatara. Dalam perjalanan itu).
Tata urutan perjalanan Ida Bhatara adalah sebagaia berikut :
Ida Ratu Bagus pande, pamargine pinih riin, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu Dukuh Segening, pungkuran ring Ida;
Ida Ratu pasek, pungkuran ring Ida;
Ida Bahtara Gde Pemeneh, pungkurang ring Ida;
Ida Bhatara ring Dalem Puri, Ida mamargi paling ungkur pisan.

Dalam Babad Tarukan, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Bali, yang keotentikannya telah disahkan oleh Pengurus Pusat Para Gotra Sentana Dalem Tarukan pada tanggal 5 Juli 1982, terdapat pula gelar abhiseka Ida Bhatara Penataran pande di Besakih yang sama dengan gelar yang termuat dalam Raja Purana Pura Besakih.

Gelar itu termaktub dalam Bhisama Dalem Gelgel, pada waktu putra-purti Dalem Tarukanmenghadap beliau Dalem Gelgel. Dalam pertemuan itu dibhisamakan oleh Dalem Sri Semara Kepakisan, bahwa apabila para sentana Dalem Tarukan tetap ingin ngamanggehang (menegakkan) pamancangah (prasasti)-nya, sebagaia bukti bahwa mereka adalaha keturunan Dalem Gelgel, mereka harus memohon pengampunan (nunas lugra) ke Pura Besakih. Dalam Babad Dalem Tarukan dimuat bhisama Dalem, yang memberi petunjuk kemana mereka harus nunas lugra dan apa sarana penuntun nunas lugra itu, sebagaia berikut : ”muwah yan kita padha amaplagem pamencangah, nunas lugra kita ka Gunung Agung, ring Penataran Agung, makadi ring I Ratu Bagus Pande, ring Iratu Gedhe Panyarikan. Maka panuntun Ida, benang tridatu tlung tukel, daksina arta 700, paripih emas maka palinggihan Ida. Wija dena jangkep, kukus menyan-asatanggi, asep, canang tubungan, katipat kelanan limang kelan, sekar setaman”. Maksudnya: Demikian pula kalau engkau sama sama berniat menegakkan prasatimu, mohon ampulah engkau ke Gunung Agung, di Penataran Agung, juga ke Penataran I Ratu Bagus Pande, kepada I Ratu Gedhe Penyarikan. Sebagai sarana upacara itu adalah benang tridatu (tiga warna: merah, putih, hitam) tiga tukel (gulungan), daksina uang 700 kepeng. Peripih (lempengan) emas sebagai dasar tempat duduk Beliau. Wija yang lengkap, kukus menyan setanggi, asep (dupa), canang tubungan, tipat kelan 5 kelan (1 kelan=6 buah dalam satu kumpulan).

Gelar abhiseka sengaja dikemukakan agar warga Pande mengetahuinya, karena dalam babad-babad Pande gelar itu tidak pernah disebutkan. Warga Pande hendaknya mempergunakan gelar itu secara sadar, karena gelar itulah yang benar menurut sumber yang layak dipercaya. Oleh karena itu gelar abhiseka itu mutlak harus disosialisasikan kepada seluruh warga Pande agar mereka lebih mendalami jati dirinya guna memperkuat tekad ngayah, sebagaiman yang dibhisama kepada Brahmana Dwala oleh Mpu Siwa Saguna.

Eratnya keterkaitan antara Penataran Ida Ratu Bagus Pande dan warga Pande dengan Pura Besakih dikemukakan pula oleh peneliti Prancis, Jean Francois Guerpmonprez dalam desertasi doktoralnya yang berjudul ”Les Pande De Bali” (1987) yang dikutipnya dari tulisan C.Hooykaas, seorang pakar sejarah dan budaya Bali asal Belanda. Berikut kutipan pendapatnya sebagaia berikut: tidak ada warga di Bali yang mempunyai tempat pemujaan yang jelas untuk menyembah leluhurnya yang suci pada pura penyembahan leluhur di Pura Besakih di kaki Gunung Agung, sebagaimana dimiliki oleh warga Pande. Juga tidak ada warga yang telah menyebarluaskan sejumlah naskah-naskahnya (maksudnya: babad-babad) mengenai diri mereka dan lelintihan atau silsilahnya seperti halnya dengan warga Pande. Bersama-sama dengan warga Pasek, mereka merupakan satu-satunya kelompok atau soroh yang menulis aturan-aturannya dalam bentuk buku (lontar), sebagaimana saya temui pada kunjungan saya ke Bali pada tahun 1959.

Apa yang kemukakan oleh C.Hooykaas yang dikutif Jean Francois Guerpmonprez tidaklah jauh berbeda dengan yang termuat dalam Raja Purana Pura Pasar Agung. Eratnya kaitan warga Pande dengan warga Pasek dengan Pura Besakih tersurat dengan jelas pada Raja Purana Pura Pasar Agung, yang juga merupakan kesatuan dengan Pura Besakih kendati letaknya berjauhan dengan Pura Besakih. Dalam Raja Purana itu ditegaskan sebagai berikut: ”Sangkan apengaran Pasar Agung, mapan papasaran Bhatara kabeh saking Kadewatan. Dini sira manusa pada. Aja kita langgana ring Dewa, mangencak aci-aci, manguwugang Khayangan, kena kita sapadrawa Bhatara ring pucaking Gunung Agung, rusak kita wong Bali, sarang kos boros, sapi pada arang, kurang pangan kinum ira, masuduk kalawan rwang. Yan kita eling ring khayangan jagat kabeh, anyanyapuh balik sumpah maring khayangan, pada angelingin panembahan Ida Pada Sang Ratu ring Gunung Agung, muah kita punggawa, muah kita Pasek, kita Pande sane wenang ngelah panyembahan ring Besakih, stata tindih saking Majapahit sane ngutpeti linggih Ida Bhatara ring Gunung Agung, apang pada eling, aja ya pada predo kita wong Bali. Yannya predo, matemahan rusak, anging rusake meganti gumi, geledug, ktug, gejor sadina-dina, gunung uwug pacaloscos, gumi rengat dahata mapanes, sing tanur pada mati pasedsed, terak maka Bali, aharig pada mangemasin pejah. Ida Bhatara pada mantuk maring gunung Mahameru, norana Bhatara tumurun malingga maring khayangan, gumi tulus rusak, manusa tandruh maring dewa”. (Mengapa bernama Pasar Agung, karena pura itu merupakan pasar para Dewata semua. Di pura itu semua manusia sama/sederajat. Janganlah kalian lupa kepada para Dewa, dengan menghentikan upacara-upacara, merusak kahyangan karena hal itu akan menyebabkan engkau mendapat marah dari Ida Bhatara di Gunung Agung, rusaklah semua wong Bali kalau berbuat begitu, dan kamu semua menjadi pemboros, sapi-sapi berkurang, kamu menjadi kurang makan dan minum, kamu akan berkelahi sesamamu.

Kalau engkau ingat akan semua kahyangan jagat, selalu melakukan upacara malik sumpah pada kahyangan, semuanya ingat pada Bhatara Sesuhunan di Gunung Agung. Demikian pula para Punggawa (penguasa jaman dulu) engkau para Pasek, para Pande, yang berhak mempunyai pelinggih (parahyangan atau pura penataran) di Pura Besakih, karena selalu taat sejak semasih di Majapahit, engkaulah yang bertugas memelihara pelinggih-pelinggih Ida Bhatara di Gunung Agung. Engkau semuanya agar selalu ingat, janganlah hendaknya kamu bertengkar dengan sesamamu, semuanya akan menjadi rusak, akan tetapi kerusakan itu adalah bergantinya jaman (maksudnya: Bali dijajah ?) gempa bumi tidak berkeputusan setiap hari, gunung meletus tidak henti-hentinya, bumi belah karena panas yang tak tertahankan, atau hujan tidak berkeputusan, segala yang ditanam mati semuanya, Bali paceklik, kurus kering menunggu ajal. Akibatnya Ida Bhatara pergi dari Bali, kembali ke Gunung Mahameru, tidak akan ada lagi Ida, kembali ke Kahyangan, bumi Bali terus terusan rusak, manusia menyangsikan keagungan para Dewa.

sumber :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Prov. Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar