merupakan putra ke dua Raja bali I, Sri KresnaKepakisan. Untuk menghindari konflik dengan saudara beliau Dalem AgraSamprangan, beliau memilih untuk keluar dari Puri Samprangan dan menetap di
Daerah Tarukan di sebelah utara Puri bedahulu (istana Sri Arta Sura Bumi
Banten).
Setelah selesai
membangun Puri, Dalem Tarukan menikahi seorang gadis dari Gunung Lempuyang.
Karena belum mempunyai putra, beliau mengajak kemenakannya, yaitu cucu Dalem
Wayan, Raja Blambangan, bernama: Kuda Penandang Kajar untuk tinggal
bersama-sama di Puri Tarukan. Kuda Penandang Kajar adalah seorang pemuda yang
tampan, gagah, dan mempunyai kekuatan batin yang tinggi, khusus untuk meneliti
apakah tanah ada kandungan emasnya atau tidak. Karena itulah Puri Tarukan
sangat mewah dan terkesan kaya raya karena dipenuhi ornamen emas murni. Dalem
Tarukan sangat menyayangi kemenakannya.
Pemerintahan Samprangan di ambang kehancuran, karena tidak
adanya dukungan dari para Menteri dan pembantu Raja. Dalem Wayan merasa perlu
memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut untuk diajak kembali tinggal di Puri
Samprangan. Maksudnya agar Dalem Ketut turut membantu beliau menyelenggarakan
pemerintahan. Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke
Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa belum mampu
memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan telah dipenuhi oleh para
menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah beliau akan dapat memimpin
dengan baik ?
Sementara Dalem Ketut
mencari jalan keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda Penandang Kajar
sebagai utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan
Samprangan. Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena beliau
lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan Kuda
Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan
menggunakan istana Tarukan. Walaupun penjemputan kali ini penuh penghormatan
dan kemewahan, misalnya dengan kuda tunggangan istimewa bernama I Gagak dan
sebuah keris milik Dalem Tarukan yang bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut
tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali lagi dengan alasan belum mampu
memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena
tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu.
Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh. Sesampainya
di gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal. Hanya Kuda
Penandang Kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya tidak
melihat puncak gelung kuri itu terpenggal. Pertanda buruk ini terkesan mendalam
di hati Kuda Penandang Kajar, sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem Tarukan
prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Kehancuran Puri Tarukan
Sementara itu tersiar
berita yang mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan merencanakan
memerangi Kerajaan Blambangan. Dalem Tarukan tidak setuju dengan rencana itu,
mengingat bahwa Dalem Blambangan, yaitu ayah Kuda Penandang Kajar, masih
saudara sepupu beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu mempunyai
latar lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila prajurit
dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan. Dalem Tarukan
cepat mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan antara Samprangan
dengan Blambangan, yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar dengan putri
Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter. Dengan ikatan tali persaudaraan itu,
perang dapat dicegah. Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi suatu jalan untuk
memohon restu para Dewata. Jika Dewata mengijinkan pernikahan ini, kesembuhan
Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan
melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan dari gelagat
sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter.
Terucaplah tegur sapa
Dalem Tarukan kepada Kuda Penandang Kajar: "Duhai anakku,
segeralah sembuh; ayah berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter"
Ternyata permohonan
Dalem Tarukan kepada para Dewata terkabul. Kuda Penandang Kajar segera sembuh
dan sehat seperti semula. Tentu saja Dalem Tarukan sangat bergembira. Kini
beliau merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi itu. Untuk meminang
tentu saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan sangat lemah. Beliau hampir
tidak dapat memutuskan sesuatu. Semua keputusan diambil oleh para Menteri.
Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari. Awalnya perkawinan
itu berjalan lancar, sampai pada malam hari terjadi hal yang merupakan akhir
dari keberadaan Puri Tarukan. Kedua mempelai yang sedang berbulan madu di
peraduan, tewas berbarengan tertusuk senjata keris. Seorang abdi perempuan
pengasuh I Dewa Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa
kepada Dalem Wayan bahwa putri beliau satu-satunya , yaitu I Dewa Ayu Muter,
semalam telah tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda Langlang. Dalem
Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera memanggil para menterinya. Seorang
panglima perang menyampaikan ceritra yang lengkap, serta memperkuat keyakinan
Dalem Wayan bahwa putri beliau bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah
tewas ditikam Ki Tanda Langlang.
Betapa murkanya Dalem Wayan setelah mendapat penjelasan para Menterinya itu. Segera disuruhlah
memukul kentongan dengan suara "bulus" sehingga para prajurit segera
berkumpul di halaman istana. Di saat itu Dalem Wayan memerintahkan pasukan
Dulang Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan
Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati. Dengan bersorak
gegap gempita pasukan itu bergegas menuju Puri Tarukan.Kini diceritakan Ide
Bethara Dalem Tarukan di Puri Tarukan. Betapa sedih dan terkejutnya beliau
menyaksikan nasib yang tragis menimpa putra kesayangannya bersama menantunya
yang meninggal di kamar pengantin justru pada malam pertama yang seharusnya
berkesan sangat bahagia. Beliau sadar bahwa kejadian ini adalah puncak upaya
yang sangat keji dari orang-orang yang ingin menguasai kerajaan Samprangan.
Beliau ingin menyelesaikan masalah ini melalui pembicaraan
dengan kakak beliau, tetapi nampaknya keadaan sudah tidak memungkinkan lagi
karena Dalem Wayan sudah termakan fitnah. Terdengar pula berita bahwa pasukan
Dulang Mangap sedang menuju Puri Tarukan untuk menangkap beliau dan
menghancurkan Puri Tarukan. Di saat yang berbahaya itu beliau cepat berpikir
dan kemudian dikumpulkanlah semua prajurit Tarukan. Beliau meminta agar bila
pasukan Dulang Mangap datang, prajurit Tarukan menyerah, tidak melawan, dengan
cara membuang senjata dan duduk bersila di tanah dengan posisi kedua tangan
memeluk tengkuk (leher bagian belakang). Beliau juga meminta agar permaisuri
tetap tinggal di istana dan menyerah kepada Dalem Wayan. Betapa sedih dan pilu
hati permaisuri tiada terperikan. Ingin beliau menyertai Dalem Tarukan pergi ke
mana saja, tetapi itu tidak mungkin karena beliau sedang hamil besar.
Prajurit Tarukan juga
tidak mau menyerah begitu saja. Mereka sangat mencintai Dalem Tarukan dan
meminta diijinkan menghadapi pasukan Dulang Mangap sampai habis-habisan (perang
puputan). Dalem Tarukan tidak mengijinkan. Beliau mengingatkan bahwa masalah
ini adalah masalah pertikaian antar keluarga, yaitu beliau dengan kakak beliau,
Dalem Wayan. Beliau tidak ingin karena pertikaian keluarga ini lalu rakyat yang
menjadi korban sia-sia. Dengan berat hati beliau juga berpesan kepada
permaisuri agar baik-baik menjaga putranya yang masih di kandungan. Permaisuri
tetap berlutut meratapi keputusan Dalem Tarukan.
Dalem Tarukan berusaha menenangkan permaisuri dengan
mengatakan bahwa kejadian ini sudah kehendak Dewata. Kita sebagai manusia tiada
daya menolak kehendak Yang Maha Kuasa. Karena itu pasrahlah; serahkanlah hidup
mati kita kepada-Nya. Setelah itu beliau segera berangkat seorang diri ke arah
utara. Pasukan Dulang Mangap di bawah Panglimanya Kiyai Parembu dengan
teriakan-teriakan histeris bagaikan serigala haus darah, tiba di Puri Tarukan.
Mereka terheran-heran karena melihat semua pasukan dan rakyat Tarukan menyerah
total tanpa perlawanan, bahkan duduk bersila dengan pandangan menunduk
memandang tanah. Sesuai aturan perang, seorang kesatria tidak akan membunuh
pasukan yang sudah menyerah apalagi tanpa senjata.
Mereka masuk ke
istana, memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai jejak Dalem Tarukan.
Mereka hanya menemukan permaisuri beliau yang bersimpuh berurai air mata.
Pasukan Dulang Mangap lalu menjarah isi Puri Tarukan dan membakar sampai habis
Puri Tarukan. Para tawanan digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan
ini terjadi pada tahun 1377 M atau 1299 isaka. Kiyai Parembu menghadap DalemWayan di Puri Samprangan, dan melaporkan bahwa Dalem Tarukan telah melarikan
diri ke arah utara. Segala hasil jarahan Puri Tarukan diserahkan, dan
permaisuri Dalem Tarukan ditawan di Puri Samprangan. Dalem Wayan memerintahkan
Kiyai Parembu untuk meneruskan pengejaran esok harinya. Kiyai Parembu
menyiapkan pasukan bersenjata sebanyak 2000 orang.
Perjalanan Ide Bethara Dalem Tarukan sejak dari Puri Tarukan, secara berurut adalah sebagai berikut:
Desa TARO
Di desa ini beliau
tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena dikejar terus oleh pasukan Dulang
Mangap, beliau memutar kembali menuju desa
Tampuwagan
Desa TAMPUWAGAN
Di suatu tanah
persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada seorang petani
yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan di tepi
sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu beliau turut
serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan Dulang Mangap
yang mengagetkan para petani. Kiyai Parembu bertanya, apakah para petani
melihat Dalem Tarukan di sekitar situ. Para petani serentak menjawab, tidak
melihat siapa-siapa apalagi Dalem Tarukan. Pasukan Dulang Mangap memeriksa
sekali lagi dan meneruskan pengejaran ke utara. Beberapa saat kemudian si
petani yang selesai membuang kotoran itu bangkit dari sungai, mencari bajunya
namun tidak ditemukan.
Dalem Tarukan berdiri
sambil membuka penyamarannya. Seketika para petani terkesima karena baru kali
itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan yang tinggi besar, gagah perkasa, dengan
raut wajah yang sangat tampan namun berwibawa. Kulit kehitaman dan rambut
berombak yang panjangnya sebatas bahu menambah kewibawaan beliau. Para petani
sujud menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui kehadiran beliau di
antara mereka.
Beliau, Dalem Tarukan
menjelaskan secara singkat halangan yang menimpa, serta berpesan : "wahai
kamu sekalian rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-"cokor I
Dewa" terhadapku. Kamu boleh menyapaku dengan "I Ratu, Gusti atau
Jero", karena aku akan tetap menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di
sini sehingga bebas dari pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan".
Walaupun tidak rela, para petani itu serempak menyembah beliau dan merasa iba
dengan nasib malang yang menimpa junjungan mereka itu. Dari Tampuwagan Dalem
Tarukan meneruskan perjalanan ke desa
Pantunan
Desa PANTUNAN
Para pengejar yang
mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan ada di Desa Pantunan, segera ke sana.
Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ide Bethara Dalem
Tarukan telah diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu bersembunyi
di bawah pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur. Ada sepasang
burung perkutut hinggap di atas pohon Jawa tepat di atas persembunyian beliau
seraya berkicau amat merdunya. Ada pula seekor burung puyuh berkeliaran dekat
kaki beliau sambil berkicau. Para pengejar sudah berada dekat sekali ke pohon
Jawa dan Jali tempat persembunyian beliau. Hampir saja mereka menguakkan
semak-semak itu, namun tiba-tiba seorang pengejar mencegah. "Mana mungkin
ada orang di situ, lihatlah burung-burung itu bertengger dan berkicau dengan
tenang; jika ada manusia mereka sudah pasti terbang menghindar".
Pengejar yang lain
membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan. Terhindarlah Ide Bethara Dalem
Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu keluar dari semak-semak. Alangkah besar
perlindungan Ide Sanghyang Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan
burung-burung itulah yang diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau. Di saat
itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak dan
burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan beliau tidak
membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung perkutut dan burung puyuh. Di
malam hari beliau meneruskan perjalanan ke desa:Desa Poh Tegeh
Desa POH TEGEH
Di ini (kini bernama Desa Suter) bermukimlah seorang kesatria bernama I Gusti Ngurah
Poh Tegeh. Kesatria ini mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti Ngurah Poh
Landung, atau Kiyai Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan dari Sri
Jayakata, Raja Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong. Datang ke
Bali pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ide Bethara
Dalem Sri Kresna Kepakisan. Sudah beberapa hari beliau mendengar berita bahwa
Dalem Tarukan sedang berselisih dengan Dalem Wayan. Tiba-tiba di keremangan
sinar bulan malam itu Kiyai Poh Tegeh terkejut menerima kedatangan Dalem
Tarukan. Sang Kiyai segera menyambut dan bertanya meminta ketegasan, kenapa
Dalem Tarukan datang mendadak, seorang diri tanpa pengiring. Dalem Tarukan
kemudian menjelaskan duduk persoalan selengkapnya dari awal hingga akhir. Kiyai
mendengarkan dengan seksama, kemudian timbullah rasa ibanya. Kiyai memohon agar
Dalem Tarukan tidak ke mana-mana lagi. Ia mempunyai suatu tempat yang dinamakan
pedukuhan Bunga. Tempat itu dikitari hutan lebat dan jauh dari jalan yang biasa
dilalui manusia. Dalem Tarukan menyetujui dan keesokan harinya beliau ke sana
diiringi Kiyai Poh Landung.
PEDUKUHAN BUNGA
Di Pedukuhan Bunga
beliau disambut oleh Dukuh Bunga yang juga menyediakan pondoknya untuk
ditinggali Dalem Tarukan. Dalem Tarukan sangat terharu atas kesetiaan dan
keramah tamahan Kiyai Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga dan seluruh
rakyatnya. Keberadaan beliau di pedukuhan dirahasiakan sehingga Dalem Tarukan
menetap dalam waktu lama dengan tenang. Di sini beliau memperdalam ilmu
kependetaan bersama-sama Dukuh Bunga. Di suatu hari Dalem Tarukan merasa sedih
karena mengenang peristiwa hancurnya Puri Tarukan. Beliau belum tahu bagaimana
nasib permaisuri yang ketika ditinggalkan sedang hamil tua. Lama beliau
termenung. Hal ini diperhatikan oleh Kiyai Poh Landung.
Kiyai turut prihatin dan memikirkan bagaimana cara menghibur
Dalem Tarukan. Kiyai menemukan jalan dan merencanakan menghaturkan putrinya
yang bernama Ni Gusti Luh Puaji sebagai istri Dalem Tarukan. Beberapa hari
kemudian Kiyai mengusulkan rencananya itu kepada Dalem Tarukan. Beliau menerima
dengan baik usul Kiyai, dengan pertimbangan perlunya menurunkan
"sentana" dan juga menghormati kesetiaan Kiyai Poh Landung.
Pertimbangan yang sama pula disampaikan ketika para pengikut setia beliau di
kemudian hari masing-masing menghaturkan putri mereka sebagai istri-istri Dalem
Tarukan.
Secara bertahap berkembanglah keluarga Ide Bethara Dalem
Tarukan sebagai berikut :
NAMA MERTUA
NAMA ISTRI
NAMA PUTRA/PUTRI
Gusti Ngurah Poh
Landung
Gusti Luh Puaji
Gusti Gede Sekar,
Gusti Gede Pulasari
Dukuh Bunga
Jero Sekar
Gusti Gede Bandem
Dukuh Darmaji
Jero Dangin
Gusti Gede Dangin
Jero Mekel Belayu
Jero Belayu
Gusti Gede Belayu
Gusti Gede Bekung
Gusti Luh Balangan
Gusti Gede Balangan
Gusti Luh Wanagiri
Di pedukuhan Bunga
beliau sekeluarga hidup aman, tenteram, dan berbahagia. Di waktu-waktu senggang
beliau menanam berbagai macam kembang, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran.
Dengan kelima istri dan ketujuh putra/putrinya beliau hidup rukun dan damai;
bercengkrama, bersenda gurau, bermain-main di hutan dan mandi-mandi di sungai diselingi
gelak tawa riang putri, si bungsu Gusti Luh Wanagiri. Ide Sanghyang Parama Kawi
yang maha kuasa, telah mengaruniai beliau putra-putra yang tampan, gagah dengan
ciri-ciri khas wibawa kebangsawanan. Tak kalah dengan si mungil, putri beliau
satu-satunya, tanda-tanda kecantikan yang masih tersembunyi menunggu saat
menyembul di kemudian hari.
Dari pedukuhan Bunga. kini diceritakan
keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan. Sudah sekian lama Kiyai Parembu
mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan, tiada kabar
berita, membuat Dalem Wayan resah. Dalam hati kecilnya beliau menyesal telah
mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun sebagai seorang Raja tidak
mungkin beliau menarik kembali perintah itu. Kini beliau mengharap semoga adik
kandung beliau itu selamat dan untuk bisa selamat selamanya, diperkirakan Dalem
Tarukan telah berhasil menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang terbaik
adalah melalui Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari Marwadewa,
yaitu di Pura Penyusuan.
Rasa kesepian karena tiada saudara sekandung,
perasaan bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari para Menteri yang
tiada hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan
Kerajaan Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah
istri Dalem Tarukan yaitu putri dari Lempuyang meninggal ketika putra yang
dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus
Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda seperti orang yang
sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin menghadap tidak
berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda pemerintahan tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini mengkhawatirkan beberapa menteri
karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi
kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus berusaha menggulingkan
kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh mengambil inisiatif
berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut Ngulesir untuk memohon
beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena
sabungan ayam sedang berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh. Kiyai
melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa
menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan. Sejenak Dalem Ketut termenung
membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga bersaudara. Kiyai melanjutkan
permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin
kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan,
beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai
Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda
pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ? Pemikiran
Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan
agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata
lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui
Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302
isaka).
Pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir di Gelgel
Dalem Ketut Ngulesir bertahta di Gelgel tahun 1383 M bergelar Dalem Ketut
Semara Kepakisan, Beliau membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik
Kriyan Kalapa Diana putra Arya Kutawaringin. Dalem Ketut Ngulesir mempersunting
anak Arya Kebon Tubuh dan menurunkan putra : I Dewa Enggong (
Dalem Batur Enggong)
Berita pengankatan Dalem ini didengar oleh
Dalem Wayan namun tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup.
Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke Gelgel
atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem Ketut.
Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama menjadi
Suwecapura. Sebagai ibukota Kerajaan Gelgel disebut Linggarsa Pura.
Demikian pula Kyai Agung Nyuhaya yang menjabat
sebagai patih Agung Samprangan turut pindah ke Gelgel diikuti oleh putra
tertuanya yaitu Kyai Petandakan dan menetap di Karang Kepatihan
Para Manca yang tinggal di pedesaan dan
pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan
kepada Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Ngulesir pernah diundang oleh Raja
majapahit yaitu Hayam Wuruk ke Magetan (Madura). Semua raja raja bawahan
mendapat penghargaan dari Raja hayam Wuruk, sedangkan raja Bali dianugrahkan
keris “Begawan Canggu” dan pada waktu itu pula Dalem Ketut Ngulesir mengutus
seseorang untuk mencari seorang Brahmana dari Keling yang konon sangat sakti
dan termasyur.
Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya
dan akhirnya beliau meninggal pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem
Wayan meninggal barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja
(biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan. Segera setelah
Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak beliau, Dalem
Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk meminta Dalem
Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura.
Permintaan ini
ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain: jika kembali ke Tarukan,
istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang dialami
beberapa tahun lampau. Istri beliau yang dicintai, yaitu Putri Lempuyang-pun
(dijuluki : Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik
beliau Dalem Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan
lain mau juga menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di
pedukuhan Bunga.
Kiyai Kebon Tubuh
kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem
Ketut kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan,
namun beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang
menduga bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan
telah mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk
meninggalkan pedukuhan Bunga. Berangkatlah rombongan keluarga besar itu
diiringi oleh Dukuh Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju desa Sekahan
SEKAHAN
hanya semalam
beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa
SEKARDADI
di
sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji
selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa
KINTAMANI
hanya lewat
saja, lalu terus menuju desa
PANARAJON
di sini rombongan beliau dihembus angin
topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia. Setelah topan reda,
rombongan meneruskan perjalanan ke desa
BALINGKANG
merasa aman, di sini beliau
tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju desa
SUKAWANA
dalam
perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh
Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh
Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya
beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu
kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian
putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong.
Putri yang
dicintainya meninggal dunia. Betapa sedih beliau dan terucaplah kata-kata
beliau: "Ya, Tuhan betapa besar cobaan yang kami terima, sangat besarlah
penyesalan kami karena seolah-olah memberi jalan kematian putriku. Nah agar hal
ini tidak terulang lagi, wahai semua putra dan semua keturunanku, kelak di
kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan beras mentah"
Setelah itu Dalem
Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan mengubur jenazah putrinya. Karena letak
desa Sukawana di sebelah timur bukit Penulisan, maka agar prabu layon berada di
"hulu" dikuburlah jenazah putrinya dengan kepala di arah barat. Di
saat ini terucaplah bisama beliau agar seketurunan beliau bila meninggal atau
di-aben agar kepala berada di arah barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa
menyedihkan ini. Dari Sukawana beliau menuju ke desa
SIKAWAN
di desa ini
beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu. Beliau sempat
beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa
PENEK
tidak menetap,
hanya memintas saja, lalu terus ke desa:
BAN (EBAN)
Juga tidak menetap, terus
ke desa:
TEMANGKUNG
tidak menetap, terus ke desa:
CARUCUT
perjalanan menelusuri
pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak. Sudah sekian
jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat beliau mengatakan
bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu
membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau: Dukuh
Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki
Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.
Di situlah beliau
membuka perkebunan kelapa dan tanaman palawija, dibantu oleh ratusan rakyat
pegunungan yang setia kepada Dalem Tarukan. Lama-kelamaan makin banyak rakyat
dan pemekel dari pulau Bali pesisir utara yang berdatangan menghaturkan sembah
sujud kehadapan beliau dan tetap menjunjung beliau sebagai Dalem. Dalem Tarukan
lalu bersabda: "kamu semua
rakyat pegunungan dan pesisir, aku menerima penghormatan dan kesetiaanmu,
tetapi janganlah kamu me-"cokor I Dewa" kepadaku, karena kini aku
bukanlah seorang Dalem lagi"
Walaupun demikian,
rakyat tetap saja menghormati beliau dengan hatur: "cokor I Dewa"
karena tak seorang pun berani mengubah kebiasaan sebutan. Terkenallah beliau
sampai ke perbatasan di arah barat: Desa Tejakula, di arah selatan: Desa Poh
Tegeh, di arah Timur: Desa Ban, (arah utara : Laut Bali). Berkat asung kerta
nugraha Ide Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan beliau melimpah, sehingga
lama kelamaan keluarga dan pengiring beliau kaya raya dan selalu bersuka ria.
Maka tempat itu dinamakan Sukadana.
SUKADANA
disini Ide Bethara
Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati kebahagiaan hidup
di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri beliau, yaitu
Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana. Atas usul para
pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek
Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh
Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau
secara megah dan besar-besaran. Lokasi upacara dipilih di Bukit Mangun; pada
saat pembakaran, prabu layon mengarah ke barat. Pemuput upacara adalah: Dukuh
Bunga, Dukuh Pantunan, dan Dukuh Jatituhu. Abu jenazah dipendem di Bukit
Mangun. Selesai upacara pelebon, mereka kembali pulang ke Sukadana. Beberapa
lama kemudian para pengiring beliau menyarankan agar rombongan kembali ke desa
Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan tempat menetap.
POH TEGEH
Betapa gembiranya I
Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide Bethara Dalem Tarukan setelah
sekian lama berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba
timbul keinginan Ide Bethara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke
selatan karena seperti ada firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu
dedari Lempuyang masih hidup dan kini berada entah di mana.
Hal itu disampaikan
kepada Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah rencana beliau itu; namun melihat
beliau sangat bersemangat, Kiyai mendukung serta memohon agar Dalem Tarukan
sangat berhati-hati di perjalanan. Beberapa hari kemudian rombongan beliau
berangkat menuju desa:
SIDAPARNA
Di desa ini
beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi bahwa Dalem
Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara bijaksana dan
semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan
keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar
Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan
perjalanan ke:
GUNUNG PENIDA
Di suatu dataran
tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena diapit oleh dua
buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan yang penuh dengan
aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk persawahan. Lama beliau
termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu. Beliau berpikir, inilah
tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan,
belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah
lelah tinggal berpindah-pindah. Akhirnya beliau memutuskan menetap di daerah
itu. Di sini beliau membangun pondok-pondok, membuka sawah-ladang, serta
menanam padi, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan berbagai macam bunga. Tempat
itu oleh penduduk dinamakan Pulasari atau Pulasantun. Kemudian Ide Bethara
Dalem Tarukan menekuni Dharma Kepanditaan yang menjadi keinginan beliau sejak
berada di Tarukan. Keinginan ini seperti mendarah daging karena leluhur beliau
di Majapahit adalah Brahmana, abiseka Danghyang Kepakisan. Kegiatan kepanditaan
di Pulasari berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya,
misalnya Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di
sela-sela waktu pemujaan, Ide Bethara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau
di sawah sebagai selingan dan kesenangan.
Kali ini diceritakan
keadaan putra Ide Bethara Dalem Tarukan bernama Dewa Bagus Dharma yang tinggal
di Puri Samprangan. Sejak berusia 42 hari beliau ditinggal ibunda, moksah ke
kahyangan. Di saat membutuhkan air susu, datanglah seekor manjangan putih
menyusui beliau dan kemudian menghilang setelah sang bayi tertidur lelap.
Keadaan ini mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah mereka bahwa sang bayi
benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada seorang emban (pembantu) yang
sangat setia merawat sang bayi.
Setelah meningkat
usia remaja, Dewa Bagus Dharma bertanya kepada si-emban, siapa ayah dan ibu
beliau. Si-emban dengan berlinang air mata menceritakan riwayat Ide Bethara
Dalem Tarukan. Sejenak beliau tercenung lalu berucap bahwa ingin menemui
ayahanda beliau. Si-emban dengan berbisik memberitahu: "pergilah I Dewa
ke arah pegunungan di utara; jika bertemu seorang laki-laki tegap, tampan,
tinggi, berkulit hitam, rambut panjang berombak, tanpa baju, berkain hitam
dengan saput poleng tanpa ujung (seperti kain sarung), itulah ayahanda I
Dewa".
Tidak menunggu waktu
lagi, Dewa Bagus Dharma segera mengambil keris, lalu berangkat ke arah utara.
Tekad beliau sudah mantap; kerinduan bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan
"jengah" mendorong beliau segera ingin bertemu dan tinggal bersama
ayahanda baik dalam keadaan suka maupun duka. Berhari-hari beliau berjalan
sambil memperhatikan orang-orang yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan
apa yang diceritakan si-emban. Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena
perjalanan ini dirahasiakan.
Suatu siang yang
panas, tibalah Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan yang luas. Hanya ada satu
orang di situ sedang asyik membajak sawah. Beliau duduk dan kaget melihat orang
itu sesuai benar dengan ciri-ciri yang dikatakan si-emban. Hanya saja orang ini
petani; ayahanda yang dicari adalah seorang Raja. Tidak mungkin seorang Raja
membajak sawah. Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba sapi
si-"petani" panik lalu lari tunggang langgang. Peralatan bajak yang
ditariknya patah tidak karuan karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan
diri.
Si "petani"
heran, kenapa sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti ada sesuatu
sebab yang membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau. Namun tidak ada harimau
di sekitar itu. Yang ada hanya seorang lelaki remaja dengan sorot mata polos
memandang kegaduhan sapi itu. Si-"petani" yang tiada lain Ide Bethara
Dalem Tarukan, menjadi marah karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah
silaki-laki itu. Beliau mendekati remaja itu lalu menghardik: "eh, apa
kerjamu di sini, mengganggu saya serta mengacaukan sapi-sapi saya"
Sang remaja yang
disapa dengan keras itu juga marah, sehingga timbul percekcokan. Kemarahan
makin menjadi-jadi akhirnya sama-sama menghunus keris berkelahi dengan sengit,
saling pukul, saling tikam, saling cekik, saling tindih, berjam-jam lamanya
tidak ada yang terluka, sampai kehabisan tenaga, sama-sama duduk bersebelahan.
Dalem Tarukan heran karena remaja ini kebal tubuhnya, ditikam tidak tergores
apalagi luka. Beliau lalu bertanya: "hai anak muda, siapa sebenarnya anda,
dari mana, mau ke mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini seorang diri"
Dewa Bagus Dharma lalu menjawab: "saya bernama Dewa Bagus Dharma, dari
Puri Samprangan, tiba di hutan ini hendak mencari ayah saya bernama Ide Dalem
Tarukan, yang menurut informasi tinggal di sekitar daerah ini"
Mendengar itu, Ide
Bethara Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir. Dipandangnya wajah
pemuda itu; ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi, wajahnya bagaikan pinang dibelah
dua dengan anakku I Sekar. Beliau tak kuasa membendung air mata haru;
dipeluknya pemuda itu seraya mengusap kepalanya: "anakku Dewa Bagus
Dharma, Ide Sanghyang Parama Kawi maha agung dan maha pemurah, hari ini aku
dipertemukan dengan anak kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini
ayahmu yang kamu cari itu"
Sampai di situ Ide
Bethara Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga dada beliau sudah penuh
sesak dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda dengan Dewa Bagus Dharma, tak
kuasa beliau mengucapkan kata-kata; hanya perkataan: "aji, aji, aji"
seraya mengeratkan pelukannya sambil bersimbah air mata. Lama kedua insan itu
saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil menceritakan riwayat
masing-masing. Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem
Tarukan, yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput
ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan gembira
mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka lalu pulang ke
pedukuhan Pulasari dengan suka cita.
Gemparlah pedukuhan
Pulasari atas kedatangan penghuni baru yang tampan seperti kembarannya Gusti
Gede Sekar, namun usianya sedikit lebih dewasa. Malam hari pertemuan itu
dirayakan dengan meriah, makan, minum, menari, dan menyanyi. Ketujuh bersaudara
lelaki, putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan asyik berbincang sampai larut malam.
Akhirnya kantuk membawa mereka ke alam mimpi yang indah. Dewa Bagus Dharma
sudah sejak awal memutuskan tinggal menetap bersama-sama ayah, para ibu dan
saudara-saudaranya di Pulasari.
Kini dilanjutkan
dahulu kisah tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih mentaati perintah Dalem
Wayan mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan pegunungan sebelah utara. Disertai
putranya bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup
menyelidiki dan mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah
berhasil. Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau,
tetapi ternyata informasinya menyesatkan.
Arah pencarian Kiyai
menuju gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya,
Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya. Dengan perasaan kesal
dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah yang jelas. Tiba di
suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang rindang. Perasaan Kiyai tidak
menentu: kesal, malu, merasa tak berharga karena tidak dapat menunaikan tugas,
walaupun sudah diupayakan dengan sekuat tenaga. Pasukan Dulang Mangap terpecah
dua; sebagian besar sudah kembali ke Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah
bertahta di Gelgel. Kini pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah
yang masih setia mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan
kepayahan. Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyailah
dirinya sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan.
Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang menuruti
kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar, seolah-olah Dalem Wayan
sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut. Lalu untuk siapa kini ia mengabdi
? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia sudah banyak berhutang budi kepada
Dalem Wayan ? Kebingungan pikiran Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para
pengikutnya.
Seorang pembantunya
memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai berikut : "ya, paduka
Gusti, hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena tidak berhasil mencari
Dalem Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba menghaturkan pendapat bahwa Ida
Sanghyang Widhi Wasa telah melindungi Ide Bethara Dalem Tarukan sehingga beliau
terhindar dari mara bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di tangan-Nya; jika
belum diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh sesama manusia tidak
akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka menyesali diri terlampau
berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan kita lakukan sekarang"
Mendengar ucapan
pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu; segera ia bangkit berdiri
seraya berkata: "Hai kamu sekalian, memang benar seperti apa yang
dikatakan temanmu ini; tidak ada yang dapat melawan kehendak Ide Sanghyang
Widhi, hanya Beliau yang kuasa mengatur soal hidup atau mati. Perasaan kita
saat ini sama, yaitu rasa malu yang menusuk hati karena tidak dapat
menyelesaikan tugas. Karenanya aku telah memutuskan tidak kembali ke Gelgel.
Kita menetap di sini saja membuka lembaran sejarah baru; siapa yang setuju
boleh mengikuti saya; yang tidak setuju silahkan kembali ke Gelgel"
Para pengikutnya
serempak menjawab setuju. Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan
riang gembira mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah
ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.
Adanya desa baru
cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh lalu mengirim utusan
mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa khawatir, karena tahu bahwa
Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan. Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding
dengan putranya, Kiyai Wayahan Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu
atau menolak. Hingga larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur
kelelahan. Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang
cantik jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah. Keesokan
hari mimpi itu diceritakannya kepada sang ayah. "Wah itu pertanda baik,
mari kita segera berangkat ke Poh Tegeh" Menjelang sore mereka berdua tiba
di Poh Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang gadis cantik yang kebetulan
melintas di depan pemedal. Bagaikan dipukul palu godam detak jantung Kiyai
Wayahan Waringin memandang kecantikan gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari
yang diimpikan semalam berwujud persis dia.
Sedang terkesima
demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh menyadarkan Kiyai Wayahan
Kutawaringin. "Adinda Kiyai Parembu, betapa bahagianya kakanda hari ini
karena dinda bersedia memenuhi undangan" Kiyai Parembu menjawab : "ya
kakanda, maafkanlah dinda karena baru kali ini dapat berjumpa; dinda merasa
seperti manusia yang tidak berharga dan tak berguna sehingga kelahiran dinda
sia-sia belaka. Dinda tidak dapat mengemban tugas sebagai seorang kesatria
sejati. Seharusnya dinda bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung
malu"
Wajah Kiyai Parembu
sedih memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab: "dinda, Kiyai Parembu,
tidak seorang pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda, karena Ide Bethara
Dalem Tarukan dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah dinda, beliau berdua kakak
beradik bertikai karena diadu domba oleh pihak lain. Janganlah dinda turut
memihak dalam pertikaian itu karena tidak direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai
seorang kesatria, ingatlah selalu riwayat leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan
Sri Jayawaringin ketika dilarikan ke Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong.
Bukankah leluhur Ide Bethara Sri Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur
kita ? Dan kedatangan leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna
Kepakisan.
Jadi kita harus tetap
berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem
Wayan maupun Dalem Tarukan sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem
Ketut sudah memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus
memburu Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda
hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana"
Mendengar wejangan
Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai Parembu. Mereka lalu
bersantap malam dan berbincang-bincang dengan gembira sampai larut malam. Tiba
waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama putranya disilahkan menempati ruangan
yang telah disediakan. Sekali lagi Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang
dengan gadis yang sore tadi. Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa
menahan dentuman api asmara yang melesat dari kerlingan si gadis. Kiyai Poh
Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan Kutawaringin seraya
berkata : "nanak Winihayu
Luh Toya, ini masih saudara sepupumu bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin. Ini
ayahnya bernama Kiyai Parembu" Si gadis mengangguk manja terus menghilang
di balik pintu. Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai ayam berkokok
menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan anak itu
pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada henti-hentinya
berbisik di hati: "dinda Winihayu apakah dinda merasakan apa yang
terpendam di hatiku" Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug Tegeh, Kiyai
Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui oleh ayahnya.
Singkat cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh cinta
juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding, akhirnya
terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya. Dari
perkawinan ini lahir dua orang putra, yaitu:
- Kiyai Panida Waringin, meninggal dunia pada usia muda
- Kiyai Tabehan Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan keturunan warga Arya Kutawaringin.
Pernikahan antara
Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan
ber-ipar dengan Dalem Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh
Tegeh.Karena hubungan kekeluargaan inilah menambah "kemalasan" Kiyai
Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan. Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh Tegeh
yang selalu berupaya menyelamatkan Dalem Tarukan.
Kembali diceritakan
keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak ada lagi
pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman tentram.
Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi
para dukuh yang setia mengikuti beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan,
Dukuh Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek
Jatituhu, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek
Sikawan.
Kepada para putranya
beliau memberikan bisama sebagai berikut: "Putra-putraku, dengarkanlah
bisama yang aku berikan kepadamu dan segenap keturunanmu kelak di kemudian
hari: Jika kamu meninggal dunia dan diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan
kalian menggunakan busana sesuai dengan tata-cara sebagai seorang Raja beserta
dengan segala upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman berupa padma
terawang, atau bade bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan galar dari
bambu kuning, tumpang salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana, kajang
Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale silunglung, damar
kurung, serta upacara ngaskara selengkapnya. Selain itu janganlah
menerima panggilan "cai", tetapi terimalah panggilan : Jero, Gusti
dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu karena kamu adalah keturunanku,
keturunan Dalem"
Pemberian bisama itu disaksikan oleh para Dukuh dan para
Pasek yang disebutkan di atas. Mereka menyatakan akan selalu mentaati dan
menjaga terlaksananya bisama itu. Tiada berapa lama setelah memberikan bisama,
Ide Bethara Dalem Tarukan sakit selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada
hari Kamis Kliwon, wara Ukir, panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau
bila dengan kalender Masehi, pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika
diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda : Dalem
Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Samprangan) maka Ide Bethara Dalem Tarukan
meninggal dunia pada usia 47 tahun.
Upacara pelebon Ide
Bethara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing,
wuku Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih,
isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun
1399 M. Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh
Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek,
Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek
Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.
Tata laksana pelebon
sebagai Raja, yaitu: pemereman bade tumpang pitu, petulangan lembu nandaka
ireng ditempatkan dengan kepala di arah Barat, tirta pemuput dari Besakih,
sulut pembakaran memakai keloping nyuh gading, kayu bakar memakai kayu cendana.
Setelah itu abu tulang dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian
diadakan upacara meligia di mana abu "sekah" dipendem di cungkup
sebuah Pura yang dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan. Berhubung
sudah disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau
amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan Mutering
Jagat.
Setelah semua
rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia makanan, beras, uang kepeng
bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak tahan menciumnya. Para putra
lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai, sampai air sungai itu berubah
seperti bubur. Uang kepeng bolong yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber
mata air sungai. Rakyat yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai
berubah seperti bubur; banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk
diberi makan anjing atau babi.
Di sungai lainnya
rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah bergumpal-gumpal berkarat tidak
bisa digunakan lagi. Ide Bethara di sorga loka melihat dengan sedih kejadian
itu. Turunlah kutukan beliau sebagai berikut: "Wahai para
putraku, kalian telah menyia-nyiakan anugerah dewata; maka kini terimalah
kutukanku, mudah-mudahan kalian seketurunan tidak akan menjadi kaya atau
berkecukupan. Bila ada yang bisa kaya, umurnya pendek lalu kematian menjemput
sehingga keturunannya menjadi miskin kembali"
Para putra yang
mendengar kutukan itu kebingungan dan menyesali perbuatannya, namun apa hendak
dikata karena itulah kehendak Ide Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak
menentu para putra kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru. Aliran
sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke Kerajaan
Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua sungai itu
masing-masing : Tukad Bubuh dan Tukad Jinah.
Berita ini sampai ke
istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau bahwa kakak
beliau telah meninggal dunia dan di-pelebon di pegunungan. Sedih hati beliau
mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang sebahagian besar hidupnya
dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut ingin memelihara putra-putra Ide
Bethara Raja Dewata yang jelas masih kemenakannya sendiri.
Keesokan harinya
dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan menjemput para kemenakan beliau
itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50
orang, berangkatlah Kiyai Kebon Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan
berhari-hari, sampailah Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah
kepada para putra: "Mohon ampun,
paduka para putra Dalem, hamba diutus oleh Paman paduka, Sri Aji Semara
Kepakisan untuk menjemput paduka sekalian diajak pulang ke istana
Suwecapura"
Para putra yang
dipimpin oleh putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu pada kebenaran maksud baik
dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para putra menghadapi kenyataan bahwa
ayahanda beliau dimusuhi oleh saudara sekandung beserta menteri dan rakyat
kerajaan, kini tiba-tiba ada utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan
budi. Bukankah ini suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika
dapat, agar musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata. Berpikir demikian,
Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan sang Kiyai seraya menyatakan
bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan meninggalkan pedukuhan Pulasari.
Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil membujuk para putra, lalu kembali ke istana
Suwecapura. Betapa duka hati Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh;
dimintanya Kiayi mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau
pulang ke Suwecapura.
Walaupun sampai tiga
kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak mau datang ke Suwecapura.
Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut, sehingga keluarlah perintah beliau untuk
menangkap para kemenakan beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon
Tubuh lalu mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap.
Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan Dulang
Mangap. Sementara itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma
telah mengetahui gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari arah
selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I Gusti
Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban, Tembuku, dan
Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang berkecamuk dengan dahsyat, membawa
korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh Tegeh. Dapat dimaklumi karena
pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya bermodalkan semangat dan kesetiaan
yang tinggi kepada ratunya. Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir
akhirnya sampai ke perbatasan kota Gelgel. Dalem Ketut mendengar berita
banyaknya korban rakyat biasa dalam peperangan di pegunungan. Beliau lalu
memerintahkan menghentikan peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali
ke Gelgel. Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa oleh
utusan beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa. Surat itu
diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah Kubakal,
dan I Gusti Ngurah Puajang: "Wahai kamu
sekalian para Pasek di pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku
asuh di Gelgel, semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta
keinginanku untuk memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan
Dalem; peperangan hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak rakyat yang
menjadi korban"
I Gusti Poh Tegeh
berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini kepada para putra, dan
sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih dahulu ke Gelgel; mungkin
beberapa hari lagi beliau akan menyusul mengantarkan para putra ke Gelgel.
Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa
maksud Dalem Ketut sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk
meyakinkan pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai
putra tertua.
Sepulangnya Kiyai
Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan
(d.h. Ide Bethara Dalem Tarukan) seraya menyampaikan isi surat Dalem Ketut.
Para putra belum sanggup memberi persetujuan hari itu karena masih merasa
khawatir akan masa depan mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan
berbahagia tinggal di pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra
untuk berpikir beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum
mengambil keputusan.
Namun tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang
serangan yang dahsyat dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler
disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti Ngurah
Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan mengherankan para tokoh pegunungan
seperti Gusti Poh Tegeh serta para kerabatnya. Beliau cepat berpikir bahwa
gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut, melainkan gerakan para arya yang merasa
khawatir bila para putra Dalem Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi
kedudukan sebagai Manca yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser.
Jadi tujuan serangan
kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti Poh Tegeh
bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan dan
melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera
terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti
Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat
prajurit sekitar 5000 orang.
Pada suatu pagi hari
di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar terang-terang tanah
gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Para
Kakek, adik-adik beliau serta seluruh rakyat pegunungan berduka cita
sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan
sejak lahir, namun di saat fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya
kelemahan ini diketahui musuh. Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti
Gede Kaler di saat fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ
pula layon beliau diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang dibangun,
selanjutnya dinamakan Pura Siang Kangin.Sejak gugurnya Ide Bethara Siang
Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan terus-menerus dalam peperangan.
Untuk mencegah korban yang lebih banyak maka para pemimpin rakyat pegunungan
berunding lalu mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra Ide Bethara
Dalem Tampuwagan.
Cara menyelamatkan
para putra disepakati sebagai berikut :
- Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut.
- Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem).
- Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu.
- Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek Gelgel.
- Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji.
Demikianlah keenam
bersaudara itu berpisah menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati
mereka karena harus berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah
menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya Gusti Gede
Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut
Sri Semara Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan
beliau, namun terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir.
Tetapi akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung
Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah
dipertimbangkan dengan baik. Dalem Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada
para kemenakannya sebagai berikut: "Kemenakanku
semua, janganlah kalian menyamai (memadai) kedudukanku, karena kalian keturunan
Kesatria yang telah diturunkan wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem. Sebab-sebab
diturunkan wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang melibatkan kakakku
Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian dan keturunanmu
melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara seorang Raja
karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku. Cuntaka hanya tiga malam
sebagaimana halnya wangsa Brahmana, Kesatria (para Ratu). Setelah cuntaka habis
segeralah mebersih di mata air, selanjutnya ngayab banten pebersihan; setelah
itu barulah kembali kesucianmu. Jika kalian berani menyamai kedudukanku, akan
kukutuk kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat, janganlah melupakan
Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah mensia-siakan para
Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali selalu trepti. Janganlah
kalian melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan karena perbuatan itu
akan membawa kehancuran sehingga orang-orang Bali tidak lagi bersatu.
Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai ke anak cucu keturunanmu
selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan menemui bencana dalam
hidupnya"
- Warga Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan menjadi Wesia Dalem sehingga diminta untuk tidak “memada - mada” Dalem.
- Namun demikian dalam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata cara seorang Raja.
- Cuntaka kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam
- Selalu berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali
- Selalu bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci.
- Jangan melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina)
- Bila mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang Dwijati dengan gelar Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih berdarah Brahmana; karena itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana di Besakih serta pelinggih Ide Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.
- Semua warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon.
- Pedoman upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang bertingkat : 5, 7, 9 atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba.
- Jika mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan upacara ngeleb awu ke sungai atau laut.
- Dibebaskan dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan lalang, sasasrandana, pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan Punggawa agar mentaati ketentuan ini.
- Pada upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang" dari Tolangkir melalui Ki Pemangku.
- Jabatan yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan, Gusti Gede Pulasari sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem sebagai Manca di Nagasari, dan Gusti Gede Belayu sebagai Manca di Ogang.
- Kepada para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta untuk:1. Melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.2. Memahami ketentuan-ketentuan catur warna3. Memahami dan melaksanakan asta beratha4. Menghormati dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan5. Meningkatkan pengetahuan6. Menghormati dan menjunjung Pemerintah7. Menghormati dan menjunjung para Pendeta 8. Tidak melakukan perkawinan yang dilarang yaitu mengawini perempuan yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu / sekandung, anak guru, wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak Paman/Bibi, wanita yang mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.
Setelah berlalu
beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ide Bethara Hyang Genijaya dari
Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan para putranya. Beliau
mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut.
Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang memberikan penugrahan kepada para
putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti
Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti
Gede Balangan, dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan
wejangan beliau sebagai berikut:
"Wahai para
kemenakanku semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah kuberikan beberapa
waktu yang lalu sebagai berikut: Jika kalian memahami tentang kemoksan
seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian adalah seketurunan
denganku, yaitu keturunan Brahmana. Oleh karena itu pula kalian harus selalu berbakti
di Kahyangan Brahmana di Tolangkir (Besakih) jangan melewatkan upacara-upacara
di sana sekalipun. Jika kalian melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra
dan kalian tidak lagi menjadi seketurunan denganku. Demikian juga kalian harus
berbakti di Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di
Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika kalian melalaikan peringatanku
ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa kekurangan, kesasar tidak menemukan
arah hidup. Kalian adalah keturunan Brahmana, maka bila meninggal dunia, layon
harus dibungkus oleh daun muda pisang gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita
lahir beliau dialasi oleh daun muda pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian
kalian dan keturunan kalian bukan warih Dalem"
Selanjutnya beliau
Dalem Ketut bersabda :
"Apa yang aku
anugrahkan kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah wahyu dari Ide Bethara
Hyang Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para kemenakanku, janganlah
lupa memuja dan memohon anugrah kepada Ide Bethara di Penataran Agung,
Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede Penyarikan, serta nuntun para
arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat keturunanmu. Taatlah melaksanakan
kedharmaan, jangan menentang peraturan-peraturan. Diantara
keturunan-keturunanmu janganlah satu sama lain tiada mengakui bersaudara,
paling tidak mengaku memisan atau memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah
mengaku bersaudara; jika lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu
kehilangan "soda", yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman."
Beberapa waktu
kemudian, Ide Dalem Ketut kembali mengumpulkan para kemenakan beliau
(putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan) lalu meneruskan penugrahan yang
diterima dari para putra-putri Sanghyang Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa
yang berstana di Tolangkir dan adik beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana
di Danau Batur sebagai berikut:
Apabila diantara
kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada yang mampu Madwijati,
diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan padma trawang, pisang gedang
kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia),
dan 11 (utama).
Itu adalah demi
kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya 3 (tiga) malam; jika
ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar, harus dilakukan upacara
ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara ngirim; jika dilalaikan,
mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang derajatnya paling rendah karena tidak
membela kewangsaan serta tidak mengenal kawitan.
Selanjutnya Dalem
Ketut bersabda:
"Kalian
kemenakanku, walaupun kalian telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku
anugerahi hak-hak sebagai berikut: seketurunan kalian tidak kena
kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman mati),
tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan (hukuman cambuk),
tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena pepanjingan (larangan masuk
ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (iuran di Pura), tidak kena perintah.
Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan Punggawa diberitahu semua penugrahan
Ide Bethara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan diindahkan, ditambah lagi
penekanan agar mereka senantiasa menghormati para kemenakan beliau seketurunan.
Apabila ada yang berani menentang atau tidak melaksanakan, mudah-mudahan hilang
kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.
Beberapa waktu
kemudian Ide Dalem Ketut memberikan tambahan wejangan setelah mendapat wahyu
dari Ide Bethara Brahma:
"Jika kalian dan
keturunanmu meninggal, kalian harus memohon melalui Sangkulputih tirta Yeh-Tunggang
dari Gunung Agung sebagai tirta pengentas. Oleh karena itu kawitan serta semua
arwah leluhurmu berstana di Gunung Agung (Tolangkir) sehingga kamu wajib
berbakti kepada kawitan dan arwah leluhurmu di Pedarmaan Besakih. Bila ada
keturunanmu yang sudah mebersih wenang naik-turun di pelinggih-pelinggih di
Tolangkir dalam upacara yadnya. Bila ada keturunanmu yang mampu
Madwijati/Madiksa, wenang mengajarkan ilmu, sastra, dan kedharmaan kepada
saudara-saudaranya sehingga menjadi orang-orang yang terhormat serta diikuti
petunjuk-petunjuknya oleh orang lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan
dengan kokoh dan tekun, mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.
Selain memberikan
penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan
"Mantri sesana", yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan
berkedudukan sebagai berikut :
- I Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni Gusti Luh Puaji. I
- Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung, dan Manikaji.
- I Gusti Gede Bandem diberi kedudukan sebagai Manca di Nagasari, meliputi: Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang.
- I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi: Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel, dan Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel.
- I Gusti Gede Dangin kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede
Dangin, semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang
memuat penugrahan tersebut di atas ditambah dengan gambar rerajahan rurub
kajang dan rerajahan daun pisang Kaikik selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan
dan diumumkan oleh Ide Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong
ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu
diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat kedudukan
masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan menempatkannya di
pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan beliau-beliau. Bila ada yang
mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati pamancanggah itu mudah-mudahan
dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.
Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.
Sanghyang Pasupati berputra :
- Bhatara Hyang Gnijaya
- Bhatara Hyang Putranjaya
- Bhatari Dewi Danuh
- Bhatara Hyang Tugu
- Bhatara Hyang Manikgalang
- Bhatara Hyang Manikgumawang
- Bhatara Hyang Tumuwuh
Mpu Withadharma berputra :
- Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
- Mpu Dwijendra
Mpu Tanuhun berputra yang kemudian disebut Panca Tirta:
- Mpu Gnijaya - Pr. Lempuyang Madya
- Mpu Sumeru (Mpu Mahameru) - Pr. Besakih
- Mpu Ghana - Pr. Dasar Bhuana
- Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha) - Pr. Silayukti
- Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
- Mpu Siwagandu
- Ni Dyah Widawati
- Mpu Bahula
- Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
- Ni Dewi Dwararika
- Ni Dewi Adnyani
- Ni Dewi Amerthajiwa
- Ni Dewi Amerthamanggali
- Danghyang Kepakisan
- Danghyang Smaranatha
- Danghyang Sidhimantra
- Danghyang Panawasikan
Sri Soma Kepakisan berputra :
- Sri Juru (Dalem Blambangan)
- Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
- Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
- Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
- Dalem Agra Samprangan
- Dalem Tarukan
- Dewa Ayu Wana
- Dalem Sri Smara Kepakisan
- Dewa Tegal Besung
Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu: Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu
Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka. Beliau bertujuh
selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi.
Saudara
bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra
Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari.
Adanya tali
kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan di
saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di
pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka. Patutlah warga Pulasari
berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari
ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.
Di Bali
gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku)
pertama kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk
kelompok Sapta Rsi. Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu
keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan
warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan.
Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem
Tarukan.
Kesimpulannya bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan
berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah
tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh
Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja). adapun bisama untuk sentana dalem tarukan lainnya adalah:
- Tidak merabas pohon atau memakan buah: Jawa, Jali.
- Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan Perkutut.
- Tidak memakan beras mentah.
- Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
- Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
- Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
- Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
- Upacara pelebon boleh menggunakan: • Sebagaimana layaknya seorang Raja.• Pemereman Padma Terawang• Pemereman Bade Tumpang Pitu• Benusa• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning• Ulon• Jempana• Rurub Kajang Pulasari• Daun Pisang Kaikik• Bale Gumi berundak tujuh • Bale Silunglung• Damar kurung• Upacara ngaskara lengkap
- Tidak membuang atau menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar