Pages

Bhairawa, Tantra dan Tantrayana

Bhairawa, Tantra dan Tantrayana

Photobucket

Sekarang bayangkan contoh ini:
Suatu Arca dengan sikap dahsyat berwajah wajah kejam yaitu dengan mimik yang berada di puncak kemarahan, garang dan sedang menari-nari di atas mayat manusia, di suatu tempat penimbun mayat sebelum dibakar.
Pada tangan kanannya terdapat wajra atau petir, pada tangan kirinya memegang mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak, Kadang Lidahnya digunakan sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang dibawanya.
Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan sebagainya menekan pada badannya, seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak.
Telinganya menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula., tertawa-tawa ria yang melampui batas, mengeluarkan bunyi mendengus seperti suara banteng.
Melaksanakan Panca Ma itu:


  1. Mada, (mabuk-mabuka),
  2. Mamsa (makan daging bagaikan hewan buas),
  3. Matsya (Makan Ikan),
  4. Mudra (melakukan gerak-gerik tangan seperti menari dalam ilmu hitam) dan
  5. Maituna (melakukan hubungan seks secara erotis.
Photobucket

Yang diatas adalah gambaran yang ditemukan dalam upacara dari sekte Bhairawa tantrayana, atau biasanya disebutkan sebagai Tantrayana kiri. Setelah membaca dan membayangkan hampir dipastikan anda akan mengatakan: “Sangat menjijikan!, pemujaan berbau Iblis dan tidak berperikemanusiaan!!!!”.

Seperti telah dikemukakan pada pengantar bahwa contoh diatas merupakan akibat dari yang bukan ahlinya dan memang tidak menguasai sepenuhnya Veda melakukan penafsiran dan bahkan parahnya tidak memakai alat-alat bantu yang harus digunakan. Makanya telah disebutkan Sudra (Yang pekerjaan sehari-harinya jauh dari alat tulis menulis dan lebih menggunakan tenaga kasar daripada pikiran) tidak diperkenankan untuk melihat, mendengar dan membaca dan bukan cuma itu saja.,golongan Sudra bahkan akan dikenakan hukuman apabila melanggar karena untuk dapat memahami membutuhkan kedalaman pengertian dan kompilasi dari berbagai sumber dan bahan di Veda. Akibat dari ketidakpahaman ini adalah tidak tercapailah maksud Veda yaitu untuk mencapai pencerahan namun malah menjauhkan dan menenggelamkannya dari kebenaran itu sendiri.

Bhairawa adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari mazhab Tantrayana yang termasuk kedalam Sekta Sakta atau Saktiisme, dari mazab Siva (Siva Paksa).

Photobucket

Disebut Saktiisme, karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah Sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi, sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of bala or strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain Sakti juga disamakan dengan energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as “Kala” or time). (Das Gupta, ibid).

Dasar-Dasar paham Tantra timbul di India sebelum bangsa Arya datang di India dan merupakan kepercayaan India Kuno. Pada peradaban Lembah Sungai Sindu, dasar-dasar paham Tantra ini telah terlihat, yaitu dalam bentuk pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada salah satu sloka lagu pujaan, sakti digambarkan sebagai penjelmaan kekuatan, penyokong alam semesta. Dengan demikian Saktiisme sama dengan Kalaisme.

Sekte keagamaan “Kalaisme” disebut juga “Kalamukha” atau “Kalikas” dan disebut juga “Kapalikas”. Sekte ini sejenis dengan aliran “Bhairawa”. Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari pendekatan Anthropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut Dynamisme.

Orang-orang Arya masuk ke Barat Daya Benua India melalui Pegunungan Indukus sampai di Lembah Sungai Sindu di wilayah Harappa dan Mahenjo Daro, pada tahun 3000 - 1500 SM.

Pemujaan terhadap dewi atau sakti didapati juga pada pendahuluan pustaka suci Rg Weda. Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka jadi juga disebut “Sudra kapalikas”.

Pengikut ini tidak mengikuti sistem dan aturan yang berlaku mengenai “kasta” dan Canon Veda. Dalam melaksanakan ajarannya pengikut melaksanakan “Panca Ma” yang berubah arti dan pemahamannya menjadi bersifat bersifat pemuasan nafsu dan akhirnya aliran ini dikucilkan dari Veda. Aliran ini pada prinsipnya memuja Devi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga ataupun Kali) yaitu “Super matrial power”.

Beberapa orang Indoloog beranggapan, bahwa ada hubungan antara kosepsi - DEWI ( Mother Goddes). Dari Konsepsi - Dewi itu munculah saktiisme, yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada Sakti, yang merupakan suatu kekuatan dari pada Dewa. Para pemuja sakti ini disebut dengan "Sakta" yang bukti buktinya terdapat didalam suatu zeal di lembah Sindhu di India, dengan konsepsi maha Nirwana Tantra, yang berpangkal kepada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sadaciwa, yang kemudian membentangkan turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan prilaku.

Dalam beberapa sumber, Dewi Durga juga disebut Candi. Dari sinilah pada mulanya timbul istilah candi (Candikagrha) Untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja Dewa dan Arwah yang telah dianggap suci.

Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran dari moral dan Prilaku disebut "KALIMOSADA" ( Kali - Maha - Husada ) yang artinya Dewi Durga adalah Obat yang paling Mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan prilaku, sedangkan misi beliau turun ke Bumi disebut "KALIKA DHARMA"

Tetapi dalam bentuk sekarang, paham Tantra terkenal di daerah Assam dan Bengal Timur, di ujung timur buana India. Walaupun dasar-dasarnya sudah ada di barat laut buana India tahun 3000-1500 SM, ternyata dasar itu tidak lenyap dan muncul di tenggara buana India pada abad ke-5 Masehi itu, sekaligus memengaruhi ajaran Siwa dan Buddha, terlihat dalam bentuk pemujaan terhadap Dewi Durga atau Kali sebagai sakti Dewa Siwa atau Mahakala.

Dalam masa peperangan antara suku bangsa Arya dan non-Arya(Dravida), lahirlah seorang agung. Namanya Sadashiva, artinya "dia yang selalu terserap dalam kesadaran" dan "dia yang sumpah satu-satunya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua kehidupan". Sadashiva, dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang Guru rohani yang istimewa. Meskipun Tantra sudah dipraktekkan sejak sebelum kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara rohani secara sistimatis bagi umat manusia.

Bukan saja beliau adalah seorang guru spiritual, namun beliau juga pelopor sistim musik dan tari India, dari sebab itu beliau terkadang dikenal pula sebagai Nataraj (Tuhan Penata Tari). Shiva juga merupakan pelopor ilmu pengobatan India, dan menurunkan suatu sistim yang terkenal dengan nama Vaedya Shastra.

Dalam bidang sosial Shiva juga memainkan peranan penting. Beliau memelopori sistim pernikahan, yaitu kedua mempelai menerima saling tanggung jawab demi keberhasilan perkawinan, tanpa memandang kasta atau suku. Shiva sendiri melakukan perkawinan campur, dan dengan mengawini seorang putri Arya beliau membantu menyatukan berbagai pihak di India yang sedang saling berperang dan memberikan bagi mereka suatu sudut pandang sosial yang lebih universal. Karena kepeloporan sosial ini Shiva dikenal juga sebagai "Bapa peradaban manusia".

Sumbangan terbesar dari Shiva pada kelahiran peradaban yang baru adalah pengenalan konsep dharma. Dharma adalah suatu kata Sansekerta yang berarti "sifat dari sananya" milik sesuatu hal.

Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan manusia?

Shiva menerangkan bahwa manusia selalu menginginkan lebih, lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan inderawi. Beliau mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman atau binatang karena apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu adalah tujuan hidup manusia, dan ajaran rohani Shiva ditujukan untuk memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu.

Seperti halnya dengan berbagai ajaran kuno lainnya, ajaran Shiva disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru kemudian dituliskan ke dalam buku. Isteri Shiva, Parvati, sering bertanya pada beliau mengenai berbagai pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya, dan kumpulan tanya jawab ini dikenal sebagai Tantra Shastra (kitab suci Tantra). Ada dua macam buku. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktek-prakteknya dalam buku Agama.

Photobucket

Sebagian buku-buku kono itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi, Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali kurang lebih ada 64 macam antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb

Dalam berbagai ulasan mengenai Tantra Shastra dan dalam bukunya mengenai kehidupan dan ajaran Shiva, Shrii Shrii Anandmurti mengemukakan beberapa pemikiran dasar bersumber dari ajaran-ajaran kuno itu. Salah satu unsur utama dalam Tantra adalah hubungan antara Guru dan murid. Guru berarti "seseorang yang dapat menyingkirkan kegelapan" dan Shiva menjelaskan bahwa agar diperolehnya keberhasilan rohani harus ada seorang guru yang baik dan seorang murid yang baik.

Shiva menjelaskan bahwa ada tiga jenis Guru.
  • Golongan pertama adalah guru yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindaklanjuti pengajarannya. Jadi mereka pergi dan meninggalkan murid tanpa pengarahan.
  • Kelompok kedua atau tingkat menengah adalah mereka yang mengajar dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa yang diperlukan murid untuk mencapai tujuan akhirnya.
  • Jenis guru yang paling baik menurut Tantra adalah yang memberikan pengajaran dan kemudian mengupayakan terus menerus agar muridnya mengikuti semua petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.

Ciri guru yang istimewa ini lebih jauh diperinci dalam Tantra Shastra.
Guru adalah yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati, dan berpakaian sederhana. Dia memperoleh penghidupannya secara layak, dan berkeluarga. Dia fasih dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni meditasi. Dia juga tahu teori dan praktik pengajaran meditasi. Dia mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang demikian disebut Mahakoala.

Namun meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada sesorang yang dapat menyerap pelajarannya. Tantra Shastra menguraikan tiga kelompok murid. Jenis pertama dapat dibandingkan dengan sebuah gelas yang dibenamkan ke air dengan mulut kebawah. Meskipun berada di dalam air dan tampak penuh, namun bila dikeluarkan dari air akan tetap kosong. Ini seolah seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak dapat menerapkan pelajarannya dalam keseharian.

Kelompok murid kedua adalah seperti gelas yang dicelupkan miring ke dalam air. Tampaknya memang penuh saat terbenam namun ketika diangkat akan kehilangan banyak air. Murid seperti ini adalah yang tekun saat kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan meninggalkan latihannya sama sekali.

Kelompok murid yang terbaik dilambangkan dengan gelas yang dibenamkan dalam air dengan posisi tegak. Saat dalam air gelas itu penuh dan saat diangkat keluar air tetap penuh. Murid seperti ini tekun berlatih di hadirat gurunya dan terus bertekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari gurunya.

Hubungan guru murid sangat penting dan merupakan ciri kunci dalam Tantra. Jalan rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si murid pada setiap tahap upayanya.

Shiva adalah Mahakoala, namun sejak kematiannya tak ada guru yang sepadan lagi dengannya dan Tantra mengalami surut. Berbagai ajarannya hilang dan sebagian lagi terpelintir. Dalam perkembanganya lebi lanjut daripada saktiisme ini, maka munculah Tantriisme, yaitu suatu paham yang memuja sakti secara ekstrim, para penganut paham ini disebut dengan "TANTRAYANA". Kini Tantra terselubung misteri dan banyak sekali salah pengertian mengenainya.

Setelah abad ke-5 paham Tantrayana ini muncul di Tenggara Benua India di daerah Bengal dan Assam. Ajaran Tantrayana itu bergerak ke timur menuju Nepal dan Tibet, dan akhirnya sampai ke Indonesia, masuk ke Sumatera, Jawa, dan Bali.

Di Indonesia masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana diberikan pesaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan tibet.

Dalam perkembangan agama Buddha selanjutnya, pengaruh paham Tantra ini terlihat dalam pemujaan sakti dari Boddhisatwa dan pemujaan terhadap kekuatan gaib dari Dhyani Buddha. Pada perkembangan Buddhisme, ini biasanya dilukiskan dalam bentuk Vajrayana yang terdapat di Tibet dan Nepal, kemudian ke Indonesia sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi.

Pemujaan yang dilakukan oleh para sadhaka/bhakta terdiri atas dua tingkat. Tingkat ini disesuikan dengan tingkat evolusi kesadaran yang dimiliki, mulai dari eksternal (lahiriah, eksoteris) menuju pemujaan yang lebih tinggi, enternal atau esoteris.

Praktik pemujaan yang bergerak ke luar disebut nivertimarga, sedangkan yang mengarah ke dalam disebut prawertimarga. Fase transisional antara pemujaan eksternal menuju pemujaan yang lebih tinggi, yaitu esoteris yaitu Tantra sadhaka (pengikut Tantra) yang berada pada level ini mulai melatih konsentrasi dan meditasi, fase kedua yaitu Prawetimarga dimulai dengan Wamacara dengan melakukan latasadhana, yang diawali dengan ritual mada, matsya, mangsa, mudra, dan mathuna (lima M)…Inilah yang sering menyebabkan jatuhnya para pencari kesadaran tersebut sehingga dalam pelatihannya harus didampingi seorang seorang guru atau yang mengerti betul tentang agama. Kitab Nitya Tantra menentang ritual ini dan menggantinya dengan alternatif lima M lain kemudian Siddhantacara adalah hasil akhir setelah sadhaka mahir dalam seluruh rangkaian pemujaan (eksternal dan internal) yang diringkas ke dalam praktik astanggayoga di mana rahasia yoga telah diungkap melalui yogadiksa, maka samadi akhirnya tercapai. Dualisme pun berakhir sudah. Tingkatan ini disebut Kaulacara.

Ajaran Tantrayana pada hakikatnya berdasarkan pada bhakti marga yoga yang memberikan penghormatan utama pada karma marga yoga dan jnana marga yoga. Dalam ajarannya menerima filsafat sankhya dan yoga dengan teori purusa dan prakerti, menekankan pada ilmu gaib raja marga yoga. Ajaran Tantrayana asas wanita diwujudkan dan sangat diutamakan pemujaannya sebagai dewi, sedangkan kedudukan dewa-dewa lebih di bawah.

sumber: http:/ /wirajhana-eka.blogspot.c om
diposkan kembali di http://cakepane.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar