Pages

Seluk Beluk Caru dan Tawur

Seluk Beluk Caru dan Tawur

Dalam Bahasa Sanskerta, caru artinya cantik, indah, harmonis; dalam Bahasa Kawi, caru artinya kurban. Sebagai kata kerja, mecaru artinya menghaturkan kurban untuk memperindah dan mengharmoniskan sesuatu. Dalam arti yang lebih tegas, mecaru adalah suatu upacara kurban yang bertujuan untuk mengharmoniskan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari.

Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri hita karana budaya bali, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan dalam:

  1. hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widhi (Parhyangan), 
  2. hubungan antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan),
  3. hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan).
Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma.


Jenis-jenis Caru dan Tawur

Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan Tawur sebagai berikut:

  1. Yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
  2. Yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
  3. Yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
  4. Mengikuti upacara pokok Panca Yadnya.

Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru dan Tawur. 
Yang termasuk Caru: 
  • Ekasata, 
  • Pancawarna, 
  • Pancasata, 
  • Pancasanak, 
  • Pancanak-madurga, 
  • Ngeresigana. 
Yang termasuk Tawur: 
  • Manca Kelud, 
  • Balik Sumpah, 
  • Tawur Gentuh, 
  • Mancawalikrama, 
  • Ekabhuwana, 
  • Tribhuwana, 
  • Ekadasarudra.

Mitologi Bhutakala menurut Lontar Bhumi Kemulan dan Lontar Siwa Gama

Sebelum membahas seluk beluk upacara Pecaruan dan upacara Tawur, terlebih dahulu perlu diketahui asal mula keberadaan Bhutakala, karena upacara Pecaruan dan upacara Tawur bertujuan untuk nyomia (mensucikan) bhuta.

  • Bhuta, artinya sesuatu yang sudah ada; 
  • Kala, artinya kekuatan atau energi. 

Penggunaan istilah sering disatukan sebagai Bhutakala, ada juga hanya Bhuta, dan ada juga hanya Kala. Namun esensi ketiganya sama.

Keberadaan Bhutakala awalnya karena Bhatara Siwa ingin mencipta alam semesta. Dalam hal ini Bhatara Siwa mempunyai lima putra, yang disebut Panca Korsika. Mula-mula Ia mengutus keempat putra-Nya yaitu: Sang Korsika, Sang Garga, Sang Maitri dan Sang Kurusya, namun mereka gagal menjalankan tugas. Karena gagal, keempat putra Bhatara Siwa itu dikutuk menjadi Bhutakala.

Kemudian Bhatara Siwa meminta putra-Nya yang kelima bernama Sang Pretanjala untuk mengambil alih tugas saudara-saudara-Nya itu. Sang Pretanjala mohon agar Ia dibantu oleh Ibu-Nya: Dewi Uma. Permintaan ini dikabulkan oleh Bhatara Siwa. Maka Dewi Uma dan Sang Pretanjala berhasil menciptakan Bhuwana Agung: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa, yang disebut Panca Mahabhuta, dan mahluk-mahluk halus.

Mahluk-mahluk halus ini ada tiga jenis, yakni yang baik misalnya: widyadara-widyadari, gandarwa, dan kinara. Yang tidak baik misalnya: raksasa, denawa, pisaca, daitya. Yang ketiga adalah mahluk halus yang derajatnya rendah misalnya: tonya, memedi, bregala-bregali.

Dewi Uma kemudian menjelma menjadi Bhatari Durgha dan memecah diri-Nya menjadi lima yakni:
  1. Sri-Durgha, berkedudukan di timur. Ia menciptakan: Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Bhuta Dengen.
  2. Dhari-Durgha, berkedudukan di selatan. Ia menciptakan: Bhuta Kapragan.
  3. Suksmi-Durgha, berkedudukan di barat. Ia menciptakan: Kamala-Kamali, Kala Sweta.
  4. Raji-Durgha, berkedududkan di utara. Ia menciptakan: Bregala-Bregali, Bebai.
  5. Durgha, berkedudukan di tengah-tengah. 
Ia menciptakan: 
  1. Bhuta Janggitan di timur, 
  2. Bhuta Langkir di selatan, 
  3. Bhuta Lembu Kania di barat, 
  4. Bhuta Taruna di utara, 
  5. Bhuta Tiga Sakti di tengah-tengah, 
  6. Bhuta Lambukan di tenggara, 
  7. Bhuta Hulu-Kuda dan Bhuta Jingga di barat daya, 
  8. Bhuta Ijo di barat laut
  9. Bhuta ireng di timur laut.

Melihat Dewi Uma menjadi Bhatari Durgha, maka Sang Pretanjala ikut berubah menjadi Mahakala. Ia berkedudukan di tengah-tengah bersama Ibu-Nya dan ciptaan awal mereka: Panca Mahabhuta
Ia mengajak keempat saudara-Nya yang sudah di kutuk menjadi Bhutakala dan memberikan kedudukan kepada mereka masing-masing sebagai berikut: 
  • Sang Korsika di timur, 
  • Sang Garga di selatan, 
  • Sang Maitri di barat, 
  • Sang Kurusya di utara.

Bhutakala yang diciptakan oleh Bhatara Siwa sehubungan dengan kelahiran manusia, menurut Lontar Tutur Kandapat

Ketika terjadi pertemuan antara kama bang dengan kama petak (pembuahan) didalam rahim wanita, embrio (jabang bayi) ditemani oleh Kandapat yang bertugas memelihara dan membesarkan bayi. Kandapat itu bernama Kandapat Rare, terdiri dari Karen, Bra, Angdian dan Lembana. 

Setelah embrio berusia 20 hari Kandapat itu bernama Anta, Preta, Kala, Dengen. 

Setelah bayi berusia 40 minggu dalam kandungan, Kandapat bernama: Ari-Ari, Getih, Lamas, Yehnyom. 

Setelah bayi lahir dan setelah talipusarnya putus, Kandapat bernama: Mekair, Salabir, Mokair, Selair.

Ketika bayi mulai belajar berbicara, Kandapat Rare berubah menjadi Kandapat Bhuta, bernama: Anggapati, Mrajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja. 

  • Anggapati yang berasal dari pertiwi (tanah) berkedudukan di timur, 
  • Mrajapati yang berasal dari apah (air) berkedudukan di selatan, 
  • Banaspati yang berasal dari teja (matahari) berkedudukan di barat,
  • Banaspati Raja yang berasal dari bhayu (angin) berkedudukan di utara.

Bhutakala yang diciptakan oleh Bhatara Siwa untuk menguji manusia dalam menghadapi Hari Raya Galungan, menurut Lontar Sri Jayakasunu


  • Pada hari Redite, Paing, Dungulan, diturunkan Bhuta Amangkurat. 
  • Pada Soma, Pon, Dungulan, Bhuta Dungulan, 
  • Pada Anggara Wage, Dungulan, Bhuta Galungan.

Bhutakala yang menguasai sasih (bulan), menurut Lontar Bhumi Kemulan, Lontar Siwa Gama, dan Lontar Tutur Lebur Gangsa

Ke:Nama SanskritNama BaliBhutakala yg menguasai
1SrawanaKasaBhuta Bregala
2BhadrawadaKaroBhuta Amangkurat
3AsujiKatigaKala Prayogi
4KartikaKapatKala Wigraha Bhumi
5MargasiraKalimaKala Mangsa
6PosyaKanemKala Semayapati
7MaghaKapituKala Ngadang Semaya
8PalgunaKawoluKala Dengen
9CaitraKasangaKala Rogha
10WaisakaKadasaKala Wijaya
11DyesthaMalaKala Solog
12AsadhaMalaKala Banaspati

Catus Pata (Lontar Dewa Tattwa dan Lontar Eka Pratama)

Trimurti menugaskan para Sulinggih-Sulinggih berpaham Siwa, Waisnawa, dan Bodha untuk “nyomia” Bhutakala melalui upacara/upakara Caru atau Tawur.

Sebelum nyomia para Bhutakala para Sulinggih memohon agar Bhatari Durga berkenan kembali menjadi Dewi Uma dan Mahakala kembali menjadi Pretanjala. Untuk ini dihaturkan banten jangkep yang ada di panggungan.

Catus Pata dipilih sebagai tempat pelaksanaan Tawur (terutama pada Tawur Kesanga) karena di Catus Pata – lah mula pertama Dewi Uma berubah menjadi Bhatari Durga serta mencipta wateking Bhutakala tersebut, dan di Catus Pata pula Sang Pretanjala berubah menjadi Mahakala

Di zaman lampau Catus Pata ditetapkan oleh Raja atas saran Bhagawanta. Kini bagi Desa-Desa Pakraman yang baru, penetapan Catus Pata dilakukan oleh perarem Desa Pakraman setelah mendapat saran dari seorang Sulinggih.

Mepepada (Manawa Dharmasastra V.31, Lontar Dharma Caruban, Lontar Tutur Lebur Gangsa)

Yajnaya jagdhir mamsasye, tyesa daivo vidhih smrtah, ato ‘nyatha pravrttistu raksaso vidhir ucyate
Pemakaian daging adalah wajar untuk upacara kurban, hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang dibuat oleh Dewa, tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain adalah peraturan yang cocok untuk para raksasa.

“Peraturan yang dibuat oleh Dewa” dituangkan dalam Lontar Dharma Caruban dan Lontar Tutur Lebur Gangsa dalam bentuk upacara mepepada, yang diadakan di Pura Desa setempat sebagai linggih Bhatara Brahma.

Semua beburon sebelum diupacarai dimandikan terlebih dahulu kemudian dikenakan kain menurut warna pengider disertai kalungan uang kepeng manut urip.

Alat-alat yang ikut diupacarai: blakas, golok, taledan, lumpyan, pane, lesung, tungku, talenan, payuk, ilih, siut, sendok, katikan sate, cubek. Juga disertai lakar base genep.

Penggunaan hewan dalam Caru dan Tawur (Lontar Sudamala dan Lontar Kala Tattwa)

  1. Ayam manca warna, masing-masing untuk: putih – Bhuta Janggitan, biying – Bhuta Langkir, siungan – Bhuta Lembu Kania, hitam – Bhuta Taruna, brunbun – Bhuta Tiga Sakti
  2. Ayam biying kuning, untuk Bhuta Jingga **)
  3. Ayam ijo, untuk Bregala-Bregali, Bebai
  4. Ayam Ijo, untuk Bhuta Ijo ***)
  5. Ayam klawu, untuk Bhuta Ireng ****)
  6. Ayam wangkas, untuk Bhuta Lambukan *)
  7. Angsa putih, untuk Korsika
  8. Asu bang bungkem, untuk Bhuta Hulu Kuda
  9. Banteng, untuk Bhuta Ijo ***)
  10. Bawi palen,untuk Mahakala
  11. Bebek belang kalung, untuk Panca Mahabhuta
  12. Bebek bulu sikep, untuk Bhuta Lambukan *)
  13. Godel, untuk: Gargha, Kapragan, Mrajapati.
  14. Kambing coklat/kuning, untuk Maitri, Kamala-Kamali, Kala Sweta, Banaspati
  15. Kambing coklat, untuk Bhuta Jingga **)
  16. Kambing selem, untuk Kurusya, Bnaspati Raja
  17. Kambing sewarna, untuk tapakan Bhatara Di Sanggar Tawang
  18. Kebo yusmerana, untuk Bhuta Ireng ****)
  19. Kidang, untuk Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Dengen, Anggapati
  20. Manjangan, untuk Bhuta Ijo ***)
  21. Penyu (punggalan), sampelan kebo, sampelan kambing, untuk pelengkap catur niri 

NB: (Tanda bintang artinya ada Bhuta yang sama memerlukan beberapa binatang kurban untuk di-“somya”)

Olahan hewan (beburon) menurut Lontar Dharma Caruban

  1. Kinelet melayang-layang: kepala, kaki, ekor, dan kulit utuh
  2. Winangun urip: letak hewan tertelungkup dan ada unsur-unsur tulang rusuk, tulang punggung, tulang kaki dan tulang ekor
  3. Urab/Reramesan barak dan putih: berisi daging, lidah, hati, lemak, kulit, darah (kalau reramesan barak)
  4. Getih matah: darah segar yang ditampung di sebuah kau ketika menyembelih hewan, diiisi lontar nama hewannya
  5. Sate (jejatah) lembat, asem, dan calon disebut Trinayaka sebagai persembahan tubuh hewan termaksud yang suci dengan aksara Ang – Ung – Mang
  6. Gayah: punggalan bawi, winangun urip, mejatah katikan sanjata Dewata Nawa Sanggha, ditambah mejatah katikan-katikan: bagia, orti, surya, candra, tunjung, cempaka, pidpid, sapudaki, konta, japit dumi, oret-oret, satuh, don, jerimpen, ancak, penyeneng, sandat, endongan, satuh, bingin.


Bahan-bahan Upakara dalam Pecaruan (Lontar Sudamala)

Bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis: Mataya, Mantiga dan Maharya. Ephos Mahabharata menyebutkan, Mataya, Mantiga dan Maharya sebagai penganti kurban (caru) manusia. Ketika itu Duryodana menginginkan kurban kepala Panca Kumara (putra-putra Pandawa) tetapi oleh Aswatama Panca Kumara diganti dengan Mataya, Mantiga dan Maharya. Pengganti tulang-belulang manusia adalah anyaman “sengkui” 
  • Mataya adalah bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian, umbi-umbian, arak, tuak, berem.
  • Mantiga adalah hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
  • Maharya adalah hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing

Penempatan hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.

Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa Tattwa)

Warna-warna: bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider: sweta (putih), dumbra (merah muda), rakta (merah), rajata (oranye), pita (kuning), syama (hijau), kresna (hitam), biru (abu-abu), dan sarwa suwarna (campuran)

Warna-warna itu selain sebagai identitas Dewa-Dewa yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia: putih: suci; merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan; merah: marah; oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi; kuning: nafsu; hijau: serakah; hitam: iri-hati; abu-abu: iri-hati yang terselubung.

Dari 9 warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai simbol sifat baik yang bisa dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan. Oleh karena itu warna putih dibanyakkan dengan tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana.

Dengan demikian sifat-sifat buruk manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad (sifat kedewataan)

Urip/Neptu dalam pe-caruan/tawur (Lontar Warigha Bhagawan Gargha)

Urip/neptu artinya: hidup, baik, lancar mencapai tujuan. Berkaitan dengan dewasa atau waktu yang mempunyai pengaruh besar pada alam semesta (bhuwana agung) serta menuntun manusia menuju hidup yang harmonis, bahagia, sejahtera.

Penggunaan urip/neptu pada caru dasarnya adalah panca wara, karena sesuai dengan mitologi panca korsika, yakni:

  • umanis urip 5 di timur, 
  • paing urip 9 di selatan, 
  • pon urip 7 di barat, 
  • wage urip 4 di utara, dan 
  • kliwon urip 8 di tengah.

Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan jumlah Dewa menurut Sathapatabrahmana dimana para Dewa diyakini berperan menjaga keselamatan bhuwana agung.

Penggunaan urip/neptu pada tawur dasarnya membentuk padma bhuwana (lingkup bhuwana agung menurut pengider-ider) maka digunakan astawara, dimana urip panca wara diatas ditambah dengan:

  • guru urip 8 di tenggara, 
  • rudra urip 3 di barat daya, 
  • kala urip 1 di barat laut dan 
  • sri urip 6 di timur laut. 

Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit: 1 + 8 = 9 (jumlah pengider-ider dewata nawa sanga)

Urip/neptu tersebut digunakan dalam banten caru/tawur untuk antara lain jumlah: tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll.

Tabuh Rah (Lontar Siwa Tattwa Purana)

“…..mwah ring tileming kesanga, hulun megawe yoga, teka wang ing madyapada magawe tawur kasowangan, den hana pranging sata, wenang nyepi sadina ika labain sang Kala Dasa Bhumi; yanora samangkana rug ikang ning madhyapada………”

Syarat-syarat tabuh rah menurut kesimpulan komisi 2 seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu tahun 1976 di Denpasar:
  1. Diadakan sekitar area caru/tawur, bertepatan dengan upacara.
  2. Sabungan ayam 3 seet (ronde) semuanya setelah itu disambleh
  3. Diikuti dengan adu buah kelapa, telur bebek dan tingkih 3 kali
  4. Ada “toh” namun tanpa unsur judi, artinya kemenangan toh di dana-puniakan kepada penyelenggara caru/tawur

Maka sebaiknya dalam Banten Pecaruan atau Tawur diadakan tabuh rah berdekatan dengan arena tawur, namun diawasi agar tidak berubah menjadi tajen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar