Pages

Kerauhan (trance) dalam ritual Hindu Bali

Kerauhan (trance) dalam ritual Hindu Bali

Kerauhan merupakan tradisi yang diwariskan para leluhur masyarakat Bali sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Kerauhan berbeda dengan kesurupan, sebab Kerauhan dilaksanakan dalam sebuah ritual keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura), upacara atau upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian upacara, pelaksanaanya di tempat suci (pura), adanya Tapakan Kerauhan, dilaksanakan umat (pengempon pura), adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya. 
Berdasarkan hal tersebut kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan Kerauhan ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk manifestasi-Nya, sedangkan apabila ada orang kesurupan tanpa ada faktor-faktor diatas, patut dipertanyakan roh apa yang memasuki tubuh orang tersebut.

Dalam fenomena Kerauhan terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dalam Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena tersebut antara lain pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan. Hadirnya Tapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah keyakinan umat dalam melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan langsung pelaksanaan yajna yang benar.


Sebelum agama Hindu masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki sebuah kepercayaan, adat-istiadat dan praktek-prektek religi tersendiri yang banyak relevan dengan adat istiadat dan kebudayaan Hindu, sehingga agama Hindu sangat mudah di terima Bangsa Indonesia. Agama Hindu tidak didasarkan dogma yang dikotbahkan oleh sekelompok guru tertentu. Hinduisme terlepas dari kefanatikan agama, sehingga dikenal dengan sanatana dharma, yaitu agama yang abadi, yang akan ada selamanya (Donder, 2006: 19). Berdasarkan hal tersebut Agama Hindu juga mengajarkan kepercayaan terhadap roh, masyarakat nusantara pun memiliki kepercayaan yang sama, yaitu percaya terhadap roh-roh yang menghuni bagian-bagian tertentu dari alam yang kemudian disebut sebagai animisme. Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka masyarakat nusantara sangat mempercayai roh-roh dapat mempengaruhi pikiran manusia ataupun masuk dalam tubuh manusia.

Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, memiliki sebuah tradisi, yaitu kesurupan dalam setiap pelaksanaan ritualnya sebagai unsur yang memantapkan pelaksanaan ritual tersebut. Kesurupan berasal dari kata “surup” yang berarti masuk. Jadi kesurupan adalah fenomena masuknya roh lain ke dalam tubuh manusia, yang kemudian mengendalikan kesadarannya. Namun demikian di Bali, kesurupan disebut Kerauhan, asal katanya dari “rauh”, berarti datang. Kedatangan energi Dewa inilah, dibeberapa desa di Bali, sampai sekarang masih diwarisi, sebagai bentuk Tuhan turun ke dunia membina umatnya.

Masyarakat Indonesia memiliki ciri bersifat majemuk, ditandai dengan adanya perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan. Demikian pula dengan tradisi yang ada di daerahnya memiliki perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Fenomena yang terjadi di masyarakat memunculkan berbagai isu yang tidak jelas tentang Kerauhan. Ada yang mengatakan Kerauhan adalah orang yang kemasukan setan atau orang yang dimasuki roh jahat. Dengan munculnya isu tersebut menimulkan persepsi negatif di masyarakat atau umat lain tentang Kerauhan.

Umat Hindu meyakini, roh yang masuk pada orang Kerauhan tersebut diyakini sebagai roh yang baik atau yang suci yang akan memberikan petunjuk bagaimana melaksanakan ritual, sehingga melalui Kerauhan itu masyarakat dapat mengetahui apakah ritualnya itu lengkap, sempurna, atau kurang. Walaupun demikian masing-masing desa di Bali menafsirkan hal Kerauhan itu secara berbeda-beda, ada yang menafsirkan sebagai pertanda kurangnya sarana upacara, ada juga yang menafsirkan bahwa upacara telah sempurna. Umat Hindu khusunya di Bali melihat masalah fenomena Kerauhan yang selalu terjadi pada setiap upacara khususnya Upacara Dewa Yadnya ditafsirkan sebagai unsur yang mengesahkan proses pelaksanaan ritual. Orang Kerauhan megatur ritual mana yang didahulukan dan ritual mana yang dilakukan kemudian. Ketika orang Kerauhan sedang mengatur prosesi ritual itu, tak seorang pun berani membantahnya, karena diyakini bahwa roh yang ada pada orang Kerauhan itu adalah roh dewa.

Datangnya kekuatan roh para dewa yang memasuki tubuh manusia tidak dilakukan dengan sembarangan, tetapi dimulai dari sebuah proses yang dapat menghubungkan diri menuju Tuhan. Hindu mengajarkan, empat jalan atau cara menghubungkan diri menuju Tuhan yang disebut Catur Marga, antara lain:

  1. Jnana Marga (menghubungkan diri dengan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh dengan tidak mengharapkan balasan),
  2. Raja marga (jalan melakukan tapa, brata dengan tekun dan disiplin),
  3. Karma Marga (jalan bekerja dan berbuat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan), dan
  4. Bhakti Marga (jalan menyerahkan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih setulus-tulusnya). 
Dengan memahami Catur Marga umat Hindu mampu menghubungkan diri menuju Tuhan, sehingga tercapainya tujuan agama Hindu yaitu Moksatam Jagat Hita Ya Ca Iti Dharma

Dalam kitab suci Bhagawad Gita telah merangkum semua jalan atau cara umatnya untuk dapat membayangkan Tuhan Yang maha Esa;

  • Bagi mereka yang tinggi pengetahuan rohaninya menghayati Tuhan dengan jalan jnana marga dan raja marga, dimana Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam pikirannya sebagai Impersonal God dalam wujud pikiran maupun kata-kata.
  • Bagi mereka yang pemahamannya sederhana menghayati Tuhan Yang Maha Esa dengan jalan bhakti marga dan karma marga, digambarkan sebagai Personal God, berpribadi sebagai wujud yang agung, maha pengasih, maha besar, maha penyayang dan lain sebagainya.

Ajaran Hindu adalah ajaran yang universal dan fleksibel begitu pula dalam memahami dan menghayati keberadaan Tuhan,
Ajaran Hindu memberikan jalan Karma Marga dan Bhakti Marga kepada umat Hindu yang tingkat pemahaman terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat sederhana, dalam kerangka dasar agama Hindu kondisi umat seperti ini lebih didorong atau ditekankan untuk melaksanakan ritual dibanding dengan Jnana Marga dan Raja Marga. Hal ini sangat nyata terlihat pada tata cara keagamaan umat Hindu di Indonesia, terutama umat Hindu di Bali. Dengan pelaksanaan Upacara para dewa berwujud pratima dilinggihkan pada jempana yang diempon masyarakat. Kehadiran para dewa dalam Upacara secara sakala (nyata) bermakna menambah rasa persatuan dan persaudaraan antara masyarakat, karena dalam keseharian komunikasi masyarakat sangat kurang, hal ini disebabkan masyarakat umat Hindu khususnya generasi muda banyak merantau keluar daerah. Secara Niskala (alam gaib) hadirnya kekuatan para dewa membawa fibrasi kesucian dan kekhidmatan. Itulah yang menyebabkan ritual keagamaan penting untuk dilestarikan.

Pada upacara piodalan di masing-masing pura sejak pagi hingga malam iring-iringan pratima didatangkan terus menerus. Dengan diiringi tabuh gamelan dan pelengkap upacara lainya seperti tedung, lontek, pasepan dan lain sebagainya serta ada beberapa pura dibali dimana iring-iringan ini dituntun oleh Tapakan Kerauhan yang jumlahnya lebih dari satu orang. Orang yang Kerauhan itu membawa sarana benda-benda tajam berupa: keris, trisula, tombak dan lain sebagainya sambil menikam-nikam dadanya dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, sebagai pertanda bahwa Ida Bhatara yang merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, telah hadir diiringi oleh para rencang-Nya yang diyakini sebagai pusat kekuatan para dewa. Dalam iring-iringan itu, umat Hindu sebagai pengempon pura maupun masyarakat umum yang sedang melewati iring-iringan Ida Bhattara/Bhattari segera turun dari kendaraan dan duduk bersila ataupun jongkok sebagai wujud hormat dan bhakti kehadapan Ida Bhatara/bhatari sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa.

Pada saat Iring-iringan Ida Batara dari pura, Tapakan Kerauhan terus menerus menancapkan senjata tajam yang telah dipasupati ke dadanya. Hal ini disambut oleh para pemangku dengan ritual penyamblehan, yang dilakukan oleh Tapakan Kerauhan (rerencangan ida bhatara). Pada peristiwa itu tiba-tiba Tapakan Kerauhan melakukan perilaku di luar kemampuan manusia biasa, seperti: makan api, makan ayam hidup, makan kelapa utuh atau belum dikupas, serta gerakan-gerakan lainya yang tidak dapat dirasiokan. Tapakan Kerauhan tersebut tidak merasa takut, tubuhnya kebal dibakar api, kebal terhadap senjata tajam dan memiliki kekuatan luar biasa. Berdasarkan hal tersebut kekuatan yang dimiliki Tapakan Kerauhan, merupakan sifat-sifat kemaha kuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa, tentunya ada beberapa fenomena yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Pura Tempat Kerauhan 

untuk mengetahui lebih lanjut tentang Pura, silahkan baca artikel kami tentang "arti Pura di Bali"

Salah satu tradisi unik yang dilakukan di beberapa pura yaitu adanya tradisi Kerauhan, dimana Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di pura tersebut dihadirkan pada waktu piodalan, sebagai wujud kehadiran beliau, para dewa menunjukan kemahakuasaan dengan merasuki tubuh seseorang dengan kekuatan sucinya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak seperti manusia biasa, yaitu kebal terhadap senjata tajam yang sengaja ditancap-tancapkan ke dalam tubuhnya, atau bermain-main dengan api tanpa ada rasa sakit sedikitpun, membuka kelapa dengan gigi dan lain sebagainya.

sehingga apabila seseorang Kerauhan di pura (tempat suci), yang merasuki tubuhnya tiada lain adalah perwujudan tuhan dan manifestasi-Nya, bukan makluk lainnya, berbeda halnya jika seseorang trance diluar pura, seperti di sekolah, tempat hiburan dan lain sebagainya. Orang kerasukan tersebut perlu dipikirkan apakah yang merasuki tubuhnya adalah kekuatan dewa atau kekuatan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, dibawah ini akan dipaparkan sebuah pura yang memiliki tradisi Kerauhan dalam ritual agamanya

salah satu Pura dibali yang terkenal dengan Tradisi kerauhannya adalah di Pura Petilan Kesiman dalam ritual upacara Ngerebong, yang jatuh pada Redite Pon Medangsia, delapan hari setelah hari raya Kuningan. karena itu tradisi pangrebongan ini dijadikan sample dalam penulisan artikel ini.

Waktu Kerauhan

Secara umum waktu Kerauhan dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu:

  • pada waktu Nedunang Ida Bhattara, 
  • Nglungang Ida Bhattara, dan 
  • Ngwaliang Ida Bhattara. 

Kerauhan Waktu Nedunang Ida Bhatara

Pengertian tentang Nedunang Ida Bhatara berarti menghadirkan Ida Bhattara yang berstana di sebuah Pura. Biasanya Upacara Nedunang ini tidak sembarangan dilakukan, tentunya ada beberapa persyaratan yang dilaksanakan yaitu adanya upacara, adanya orang suci yang menghadirkan beliau, adanya sarana upacara sebagai persembahan. Tanpa syarat itu Upacara Nedunang tidak dapat dilaksanakan. Pada waktu Upacara Nedunang sangat terasa suasana yang sangat sakral, dimana upacara ini diawali dengan persiapan upacara di seluruh Pelinggih, kemudian dilaksanakan Upacara Pemendakan dengan diturunkanya jempana dan arca-arca. Pada waktu ini suasana semakin khusuk dengan suara baleganjur, suara genta, kul-kul, lelontekan, tedung, kidung dan pengempon pura seluruhnya menyiapkan perlengkapan upacaranya. Dalam keadaan yang khusuk ini secara spontan Tapakan Kerauhan berteriak secara histeris dan meminta senjata yang telah dipasupati, tentunya Tapakan Kerauhan yang hadir lebih dari satu orang.

Ketika Tapakan Kerauhan telah Trance sambil menikam-nikam dadanya dan beberapa lagi merangkak, merayap dan diam seperti seekor macan, ular dan kuda, maka upacara dilanjutkan dengan melaksanakan proses purwa daksina mengelilingi areal Pura, prosesi ini diiringi dengan gong baleganjur dan beberapa atribut seperti tedung, lelontekan, jempana dan pengiring dari pura bersangkutan. Setelah Upacara Purwa Daksina para pemangku menyiapkan Upacara Pemendakan, yang mana sarana upacara ini antara lain kelapa, api takep, dupa, arak berem, ayam hitam dan putih, serta beberapa sesayut yang dirangkai begitu rupa semua sarana tersebut dialasi dengan tikar. Sedangkan jempana dan arca-arca berdiri di depan sarana ritual tersebut, kemudian para Tapakan Kerauhan mengambil sarana dan berperilaku diluar pikiran manusia yaitu memakan api, dupa, ayam yang masih hidup dan beberapa lagi berebut kelapa yang masih utuh, tanpa rasa sakit ataupun panas. Fenomena ini terjadi selama beberapa menit dan merupakan ciri bahwa Upacara Nedunang Ida Bhattara telah berhasil dengan hadirnya kekuatan yang memasuki Tapakan Kerauhan.

Kerauhan Waktu Nglungang Ida Bhatara

Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Nglungang Ida Bhatara, pada upacara ini berlangsung setelah Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jadi ketika Ida Bhattara telah hadir diundang ke dunia, maka beliau diiring ke pesucian atau ke beji oleh pengempon pura. Dengan Ida Bhattara di istanakan di sebuah jempana yang dibuat khusus dengan kayu pilihan untuk diiring ke pesucian, prosesi inilah yang disebut Nglungang Ida Bhattara. Prosesi Nglungang ini diikuti oleh para pengempon pura, penabuh gamelan dan beberapa Tapakan Kerauhan. Prosesi ini diawali dengan membuka barisan berjajar dua, yang masing-masing membawa pecanangan, tedung, lelontekan, pasepan, diikuti suara genta dan gamelan beleganjur. Menjelang keberangkatan menuju pesucian, disinilah Fenomena karauhan terjadi lagi bahkan lebih banyak dibanding Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jarak yang ditempuh iringan ini beraneka ragam ada yang dekat dan ada pula yang jauh, tergantung tempat pesucian di masing-masing pura. Prosesi Nglungang Ida Bhattara ke tempat pesucian berlangsung dengan suasana sakral, terlebih lagi Tapakan Kerauhan berteriak-teriak sambil menikam-nikam dadanya berada di barisan terdepan, begitu pula Tapakan Kerauhan merangkak dari pura bersangkutan menuju beji/tempat pesucian tanpa rasa sakit dan payah, Ketika Upacara Nglungang berlangsung suara genta dan gamelan bertalu-talu, asap dupa mengepul dengan bau wewangian menebar ke seluruh alam semesta ini, sehingga pertanda bagi masyarakat sekitar bahwa Ida Bhattara/Bhattari telah hadir menuju beji. Mendengar iring-iringan menuju beji, masyarakat sekitar akan berkumpul di jalan yang akan dilalui, sambil duduk dan mencakupkan tangan, tanda memberi hormat. Setelah tiba di beji iring-iringan disambut dengan upacara pemendakan yang dilaksanakan oleh para pemangku di jaba (luar) Pura Beji. Upacara Pemendakan berupa Api takep atau bara api, ayam hidup, kelapa masih utuh dan minuman berupa arak berem. Dengan spontan Tapakan Kerauhan memakan dan menikmati bara api yang sangat panas dan segempok dupa, begitu pula sarana-sarana lainya. Dengan tibanya iring-iringan di Pura Beji dan menikmati sarana upacara para Tapakan Kerauhan disadarkan oleh Pemangku, dengan diperciki Tirtha (air suci) dari kekuatan Ida Bhattara/Bhattari.

Kerauhan Waktu Ngwaliang Ida Bhatara

Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Ngwaliang/Mapamit Ida Bhatara/Bhatari dari Pura Beji. prosesi ini dilaksanakan apabila Ida Bhattara/Bhattari telah menyucikan bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan diakhiri persembahyangan bersama, maka Ida Bhattara/Bhattari akan kembali ke parhyangan masing-masing. Prosesi ini pastinya diawali dengan suara genta, gemalan dan jempana dipundut serta berbagai atribut kelengkapan beriringan membentuk barisan berjajar dua. Tentunya kembali secara spontan Tapakan Kerauhan mulai menunjukkan fenomena Kerauhan dengan perilaku menuju parhyangan masing-masing. Setelah tiba di parhyangan dilaksanakan Upacara Pemendakan dan Tapakan Kerauhan pun seperti biasa menunjukkan kekuatan suci Ida Bhattara yang telah merasuki dirinya dan disadarkan dengan diperciki tirtha (air suci) dari Pura tersebut. Sedangkan Ida Bhattara/Bhattari yang telah dihadirkan akan diistanakan selama beberapa hari atau diistilahkan Nyejer, agar umat dapat melaksanakan persembahyangan.

Waktu Kerauhan dalam ritual agama Hindu di Bali dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

  • waktu umum, dan 
  • khusus. 
Sedangkan waktu khusus dapat juga dibagi menjadi 3 yaitu:


  • pada waktu kurangnya sarana upacara, 
  • pada waktu puncak upacara, dan 
  • ketika beliau memberikan nasehat atau bawos.

Waktu Kerauhan secara khusus, maksudnya secara spontan orang tiba-tiba Kerauhan, tapi konteksnya masih berpatokan pada rentetan ritual agama yang sedang berlangsung. Waktu khusus yang dimaksud, misalnya kurangnya sarana upacara atau ketika beliau ingin memberikan pewisik atau nasehat kepada para umat. Jika dalam pelaksanaan ritual agama ada sarana upacara yang kurang, maka seseorang tiba-tiba Kerauhan dan memberikan nasehat atau arahan kepada umat bahwa sarana upacara ini sangat penting dan diharapkan sarana tersebut dipenuhi segalanya. Disini umat secara langsung mendapat bimbingan dan arahan bagaimana melaksanakan bhakti agar dapat diterima langsung oleh alam, bukan asal membuat upacara saja. Orang pula Kerauhan sambil menyampaikan pewisik atau nasehatnya pada umat yang hadir dalam prosesi itu, agar jangan coba-coba mengadu ilmu dengan kekuatan alam semesta, sebab yang namanya manusia sering mengaku diri paling sakti dan kuat. Sehingga tak heran masyarakat yang merasa sakti mencoba mengadu kekuatan Ida Bhattara/Bhattari yang hadir dalam ritual keagamaan di sebuah pura.

Jenis-Jenis Kerauhan

Fenomena Kerauhan memang sangat menarik untuk disimak, karena mampu menjawab pertanyaan yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran. Sebab Manusia kadang tidak percaya tentang keberadaan Tuhan terlebih lagi di zaman Postmodern, teologi mulai tersisih karena pandangan dunia modern tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang sekaligus rasional dan bermakna. Selain itu kehausan religius masyarakat modern untuk mendapatkan keselamatan telah menciptakan pengganti teologi. Karena tidak dianggap tidak relevan dan tidak mungkin, teologi mengalami masanya yang paling sulit (Ray, 2005:17).

Menyimak pandangan seperti itu, masyarakat yang pola hidupnya semakin berubah di zaman modern memandang teologi hanya sebagai pelengkap hidup. Sebab zaman dulu teologi dipercaya membawa kesejahteraan masyarakat, tapi sekarang teologi sudah tenggelam oleh ilmu yang realitas membawa kesejahtaraan seperti, ilmu ekonomi dan teknologi. Tapi dalam ritual agama, keyakinan masyarakat justru meningkat begitu pula dengan teologi lokalnya. Karena dalam ritual agama memperlihatkan kekuatan alam semesta yang merasuk dalam tubuh manusia, sehingga orang itu Kerauhan.

Jenis-jenis Kerauhan dalam ritual upacara secara umum dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu:

  1. Kerauahn Merangkak (tubuh menyentuh tanah), yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara/Bhattari
  2. Kerauahan dengan Ngurek, yang merasuki adalah pepatih Ida Bhattara/Bhattari,
  3. Kerauhan menari-nari, merupakan fenomena kerasukan oleh widyadara/ widyadari, dan 
  4. Diam adalah Ida Bhatara/Bhatari sendiri. 

Kerauhan Merangkak

Menurut teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan disimbolkan memiliki berbagai macam manifestasi yang dipercaya berdasarkan kekuatan maupun sakti seperti para dewa, Bhatara, sesuhunan dan sebutan lain yang menjadi teologi lokal. Dalam kitab suci Weda disebutkan binatang-binatang suci tersebut ada yang merupakan gambaran perwujudannya, ada juga berfungsi sebagai wahana para dewa. Di atas binatang-binatang atau burung-burung itu para dewa dan dewi duduk mengendarainya, seperti:

  • Wisnu di atas Garuda, 
  • Brahma di atas Angsa, 
  • Dewi Durga di atas seekor singa, 
  • Kartikeya atau Kumara menggunakan burung merak sebagai kendaraan, 
  • Ganapati kendaraanya seekor tikus. 
  • Indra atau Sasta di atas gajah, 
  • Sani berupa burung merak, 
  • Yama berupa seekor kerbau, 
  • Dewi Gangga seekor buaya, 
  • Yamuna seekor kura-kura, 
  • Vayu seekor kijang, 
  • Surya keretanya ditarik tujuh ekor kuda, 
  • Dewi Candi kendaraanya seekor harimau, 
  • Nerti kendaraanya seekor anjing, 
  • Waraha seekor ular, 
  • Rati burung kakatua, 
  • Gauri seekor biawak, 
  • Kubera kendaraannya manusia, dan 
  • Hewanta seekor kuda (Titib, 2000:385).

Begitu pula Ida Bhatara/Bhatari yang berstana di sebuah Pura, hampir seluruhnya memiliki binatang suci yang disebut ancangan. Hal ini dapat kita perhatikan ketika Ida Bhatara/Bhatari melaksanakan Prosesi Ndunang, nglungan, ngwaliang ida bhattra, ada sedikit yang berbeda gerakan salah satu orang Kerauhan yaitu merangkak dari Pura menuju Pura Beji. Posisi merangkak adalah ancangan Ida Bhattara yang sifatnya lebih rendah, tapi berbeda dengan Butha, sebab ancangan lebih suci. Posisi merangkak ini selalu menyentuh ibu pertiwi (tanah) dan gerakanya seperti binatang. Fenomena Kerauhan merangkak biasanya berwujud Macan Gading, naga, ancangan kuda putih dan lain sebagainya. Fenomena tersebut bisa disimpulkan bahwa gerakan yang merangkak dan posisi seluruh tubuh menyentuh tanah dipercaya sebagai ancangan (binatang suci) yang menjaga areal suci sebuah pura.

Ketika upacara telah dipersiapkan, Tapakan Kerauhan merasakan melihat beberapa wujud binatang yang aneh, yang bentuknya tidak seperti binatang pada umumnya. Seperti ular bertanduk, kuda putih yang bersayap, macan gading, putih dan masih banyak lagi ancangan beliau. Kemudian ancangan terasa mendekat, setelah itu tidak bisa menahan kekuatan gaib masuk dalam tubuhnya, sehingga gerakan seperti binatang tidak bisa dikendalikan, tapi masih bisa melihat orang sekitar. Ketika Upacara Pemendakan, yang mempersiapkan penyamblehan, api takep dan arak berem. Pada waktu itu secara total tidak sadar, sehingga setelah diperciki air suci, di mulut sudah ada bulu-bulu ayam atau bekas bara api, tapi sama sekali tidak merasakan mual.

Kerauhan Ngurek

Selain binatang suci fenomena Kerauhan berikutnya adalah jenis ngurek. Ngurek berasal dari akar kata “urek” yang artinya melobangi atau tusuk, sehingga ngurek diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan tombak, keris dan alat lainya saat berada pada kondisi Kerauhan (trance). Namun sesunguhnya ngurek merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukan suatu keadaan terentu dari seseorang yang diyakini dirasuki roh tertentu, sehingga Kerauhan kemudian menusuk dirinya dengan keris, tombak dan alat lainya (Swadiana, 2007:2).

Menurut Swadiana ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 

  1. Ngurek yang berpola maksudnya berlangsung dengan teratur dan terkendali, karena merupakan satu kesatuan dengan pelaksanaan Upacara Piodalan. Umumnya ngurek dilakukan oleh pepatih (patapakan, iringan Ida Bhatara). 
  2. Ngurek yang tak berpola ialah ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada setiap ritual keagamaan, dalam hal ini hanya sebagai pembuktian. 
  3. Ngurek sebagai pertunjukkan maksudnya ngurek tidak hanya kebutuhan acara ritual keagamaan saja melainkan bahan tontonan dan hiburan (Swadiana, 2007: 43-47).

Tapakan Kerauhan yang ngurek menggunakan senjata yang telah diupacarai dengan upacara pemasupatian. Menurut Jro Mangku Jenar beliau menjelaskan ada pantangan bagi Tapakan Kerauhan yang biasanya ngurek ialah tidak diperkenankan makan daging sapi, sebab jika itu dilanggar senjata itu akan menembus badanya. Begitu pula senjata yang telah diupacarai itu tidak diperkenankan membunuh apapun termasuk binatang, sebab sapi merupakan binatang suci yang sangat dihormati umat Hindu dan dipercaya sebagai wahana Siwa.

Dari beberapa pengalaman Kerauhan yang terbiasa ngurek. Jro Mangku I Wayan Dana mengatakan tidak merasa sakit ketika senjata itu menikam-nikam dadanya dan kesadaran tetap ingat serta melihat manusia sangat kecil, tubuh terasa besar dan sangat terasa ada kekuatan lain yang menggerakan, sehingga tak terkendalikan. Hal ini sesuai dengan pendapat LK. Suryani bahwa orang Kerauhan itu dimana seseorang diambil alih kemampuanya oleh spirit, roh ataupun atmanya sendiri atau energi lain di luar pemikirannya, pada saat seperti itu orang tetap sadar cuma kalau tidak dilatih memang dia tidak bisa mengendalikan keadaannya. Jadi akan mungkin sekali kalau ada orang Kerauhan dengan mental tetap berfungsi hanya saja orang itu dikuasai oleh energi lain. Ia tetap ingat namun tidak bisa menguasai keadaanya. (Swadiana, 2006:28)

Tapakan Kerauhan dalam perilaku ngurek, biasanya yang memasukinya adalah kekuatan para pepatih dari Ida Bhattara yang berstana di sebuah pura. Dalam Teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan atau manifestaNya diibaratkan sebagai seorang raja yang memiliki pepatih, penasehat, menteri dan lain sebagainya untuk mengatur kehidupan umat-Nya, seperti Dewa Indra dipercaya raja dari para Dewa penghuni Sorga (Titib, 2003:176).

Kerauhan Menari-nari

Fenomena Kerauhan berikutnya adalah menari-nari. Tapakan Kerauhan ataupun orang secara spontan berteriak sambil menggerakan tanganya dan gerakanya sangat indah sambil menari-nari tapi mata tetap terpejam. Pada Upacara Nedunang Ida Bhattara/Bhattari pastilah diawali dengan Kerauhan berperilaku menari-nari, kemudian ngurek, terakhir merayap. Pada waktu Kerauhan dengan gerakan menari-nari dipercaya yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah sebuah kekuatan berwujud cantik atau tampan yang memasuki tubuhnya, terkadang dirinya berada di kabut awan. Kerauhan ini sangat berbeda dengan ngurek, dimana keadaanya sama sekali tidak melihat manusia, tapi hanya awan putih yang indah.

Keadaan Kerauhan dengan gerakan menari-nari merupakan fenomena kemasukan kekuatan gaib yang dipercaya sebagai widyadara dan widyadari yang ada di kahyangan. Pada waktu Upacara berlangsung widyadara/widyadari dihadirkan untuk menyambut kehadiran para Ida Bhattara/Bhattari. Fenomena Kerauhan ini memang sulit dikendalikan, justru jika dilawan gerakanya akan jelek atau mengada-ada. Oleh karena itu Tapakan Kerauhan jenis ini biasanya melemaskan tubuhnya dan biarkan kekuatan gaib menguasainya, sehingga orang yang sama sekali tidak bisa menari, tiba-tiba sangat anggun dan cantik bak seorang bidadari yang sedang menari-nari di kahyangan.

Menurut Agni Purana XV, disebutkan nama Kinnara yaitu dewa-dewi sebagai penari dan pemusik di kahyangan. Kinnara ini digambarkan memegang wina sejenis gitar di tangannya. Jadi fenomena Kerauhan jenis menari-nari pada ritual keagamaan, disebabkan kemasukan kekuatan gaib berwujud para Widyadara/widyadari dari kahyangan.

Kerauhan Meneng (diam)

Sedangkan fenomena Kerauhan jenis diam atau meneng, biasanya sangat dinanti-nanti oleh umat, terutamanya pada puncak upacara. Dimana Kerauhan jenis ini oleh Tapakan Kerauhan yang biasa dirasuki oleh kekuatan Beliau, Tapakan Kerauhan merasakan sungguh sangat berat dan tubuh ini terasa terinjak gajah, sehingga ketika beliau hadir walaupun singkat, tubuh ini sama sekali tidak dapat bergerak tapi merasakan kebahagiaan luar biasa.

Fenomena Kerauhan jenis ini ialah hadirnya Ida Bhattara/Bhattari sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa yang merupakan sumber kekuatan atau sakti dari sebuah Pura. Ketika beliau hadir dalam situasi apapun, seluruh aktifitas masyarakat akan berhenti dan suara gamelan, serta kul-kul bertalu-talu. Beliau hadir biasanya tidak lebih dari 5 menit dan orang yang memegang Tapakan Kerauhan akan merasakan tubuh yang sangat berat, sehingga beliau segera disadarkan dengan wangsupada Ida Bhattara.

Pengaruh Kerauhan

Kerauhan pada ritual agama di Bali merupakan sebuah fenomena yang sangat unik dan sakral, beberapa orang pasti ingin mengetahui bagaimana orang Kerauhan. Tapakan Kerauhan pada ritual agama diakibatkan karena pengaruh bunyi dan reaksi mental. Di samping itu orang yang akan Kerauhan terlebih dulu disucikan dengan upacara penyucian dan ada beberapa pantangan yang harus dilaksanakan, seperti dilarang makan daging sapi atau hewan berkaki empat lainya.

Pengaruh bunyi sangat mempengaruhi orang Kerauhan, bunyi yang biasanya disuarakan ada lima atau panca nada, yaitu : 

  1. suara gamelan,
  2. suara kul-kul,
  3. suara genta, 
  4. suara nyanyian kidung, dan
  5. suara mantra sang pamuput karya. 

Kelima suara ini yang mengantarkan prosesi ritual agama dari awal sampai akhir upacara. Apabila salah satu dari suara tersebut tidak disuarakan biasanya Tapakan Kerauhan akan memberitahu umat untuk menyuarakan panca nada ini. 
Menurut Ev.Andreas Christanday musik memiliki tiga bagian penting yaitu:

  1. beat, mempengaruhi tubuh
  2. ritme, mempengaruhi jiwa, dan
  3. harmony, mempengaruhi roh
Contoh beat mempengaruhi tubuh adalah konser musik rock, dimana orang akan menjingkrak-jingkrak, kepala berputar-putar dan tubuh mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Bukti ritme mempengaruhi jiwa ialah jika hati sedang susah atau gundah cobalah mendengar suara yang indah, yang memiliki ritme yang teratur, tentu perasaan kita akan enteng. Di luar negeri pasien di rumah sakit disembuhkan dengan lagu-lagu indah, sedangkan harmony mempengaruhi roh adalah ketika kita mendengar musik pada film horor tentu ada rasa menyayat dalam hati. Dalam ritual keagamaan juga banyak digunakan harmoni yang mampu membawa roh manusia masuk ke dalam alam persembahan (Swadiana, 2000:48-49).


Musik gamelan Bali, terutama gong memiliki rentang frekuensi yang sangat rendah dan rentang nadanya memang cukup terbatas, tetapi irama, tempo atau beat musik gamelan tidak kalah variatifnya dibandingkan musik klasik meskipun lebih condong untuk monoton. Namun monotonic beat bisa berlaku seperti pembuka jalan ke arah mental state trance bagi pendengarnya. Inilah sebabnya mengapa Kerauhan di Bali banyak berhubungan dengan aktifitas ritual keagamaan dimana didalamnya banyak diperdengarkan musik gamelan (Swadiana, 2000: 50).

Menurut Gusti Jelantik yang merupakan Tapakan Kerauhan, beliau mengatakan pada waktu menjelang Nedunang Ida Bhattra/Bhattari, dirinya sudah merasa tidak tenang, walaupun sedang duduk bersila. Tapi ketika gamelan dimulai tubuhnya merasa bergetar dan terus bergetar sampai tidak bisa dikendalikan, terlebih lagi suara gamelan iramanya sangat cepat yaitu pada gamelan baleganjur. Tiba-tiba saja badan terasa gatal sehingga tubuh tidak terasa sakit walaupun senjata tajam menikam-nikam tubuhnya

Kekuatan Ida Bhattara/Bhattari memasuki tubuh Tapakan Kerauhan tersebut merasa gembira dan sangat senang melihat umatnya melaksanakan Upacara. Sehingga ancangan, pepatih, widyadara/widyadari menari-nari dan meluapkan kebahagiannya untuk menyambut jamuan atau pesta besar yang akan dilaksanakan. Jadi suara gamelan yang begitu meriah membuat hati para penghuni sorga merasakan kesenangan dan menunjukkan kekuatan Beliau untuk menambah keyakinan umat. Dengan Beliau merasa bahagia, maka apapun yang menjadi keinginan kita pastilah terpenuhi. Tapi perlu dipertegas suara gamelan hanya sebagai sarana dalam upacara yang mengiringi proses upacara bukan membuat orang Kerauhan. Ini bisa dibuktikan ketika suara gamelan berhenti orang yang telah Kerauhan tetap saja menari-nari, menikam-nikam dada dan gerakan lainnya.

Selain karena panca nada proses Kerauhan juga diakibatkan karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orang Kerauhan dalam keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia akan Kerauhan. Hal ini diketahui melalui wahyu, pewisik atau mimpi. Menurut Gusti Jelantik mengatakan sehari sebelum ngayah Kerauhan, biasanya sudah ada petunjuk lewat mimpi, bahwa saya harus ngayah Kerauhan pada Upacara di pura. Oleh karena itu harus mempersiapkan diri seperti keramas dan melukat dengan wangsupada. Di samping itu perlu juga menjaga fisik dan stamina, karena ngayah Kerauhan memerlukan tenaga yang banyak. Jadi dengan tahu bahwa dirinya akan ngayah Kerauhan, maka pemangku di Pura harus mempersiapkan juga upacara pembersihan. Tapakan Kerauhan di sebuah Pura orangnya hanya itu-itu saja, sebab mereka yang ngayah Kerauhan tentu dipilih berdasarkan upacara khusus dan biasanya turun temurun. Dengan hadirnya Ida Bhattara yang disungsungnya lewat mimpi atau bisikan lainnya merupakan sebuah pesan agar ketika ngayah Kerauhan benar-benar siap dan mantap.

Hal seperti ini disebut intuisi yang bersifat supraintelektual yang datang dari yang mutlak yaitu Tuhan. Intuisi tumbuh pada diri seseorang tanpa didahului keterangan yang logis dan tidak tergantung pada pengamatan. Ini adalah jenis intuisi yang dapat menjunjung orang-orang yang ternama dan orang-orang sederhana, akan tetapi memiliki batin yang sangat bersih. Intuisi ini memberi kesempatan untuk memperoleh tujuan terutama bila kita tidak mengetahui bagaimana kita dapat ke tujuan itu. Cara memperoleh pengetahuan demikian adalah melalui sesuatu yang mirip dengan kewaspadaan yang terdapat pada diri orang-orang yang memiliki keahlian gaib. Yang termasuk dalam golongan intuisi yang bersifat supraintelektual adalah wahyu, pewisik, kasjf dan ilmu (Suryadipura, 1993:204).

Material Kerauhan
Material Kerauhan dimaksudkan segala senjata atau alat yang dipergunakan Tapakan Kerauhan pada ritual keagamaan di pura, sebab ketika mengalami Kerauhan pastilah ada senjata yang dipakai menikam-nikam dadanya. Senjata yang dipergunakan tentunya tidak sembarangan perlu berbagai proses untuk dipergunakan. Pada waktu dulu setiap Pura yang tergolong Pura Sakti telah dipersiapkan berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan. Adapun senjata tersebut telah dilaksanakan upacara terlebih dulu yaitu Upacara Prayascita dan Pemasupatian, diharapkan dengan upacara ini antara senjata dengan Tapakan Kerauhan dapat bersatu. Dengan bersatunya senjata dengan Tapakan Kerauhan, maka segala sesuatu yang ditakuti, seperti terluka dapat dihilangkan.

Senjata yang telah dipersiapkan bukanlah untuk menakuti umat, melainkan memiliki simbol yaitu sebagai penghancur segala kekotoran atau yang sifatnya negatif. Dalam agama Hindu para dewa juga disimbolkan membawa senjata yang disebut Ayudhadevata. Ayudha berarti “yang dibawa waktu perang”. Senjata para dewa itu pada umumnya dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:

  1. Praharana : senjata yang dipakai memukul seperti tombak dan pedang.
  2. Panimukta : Senjata yang ditembakan atau dilemparkan seperti cakram.
  3. Yantramukta : senjata yang dilemparkan menggunakan tenaga atau alat tertentu seperti panah dengan bantuan busur.

Didalam kitab Purana disebutkan pasukan dewa juga dewi membunuh asura dan raksasa yang menghancurkan kahyangan para dewata dan umat manusia. Pada kenyataan penderitaan manusia disebabkan oleh raksasa dan roh-roh jahat sebagai alasan turunya para dewa dan dewi dalam berbagai wujud. Sang Hyang Siwa dalam berbagai lilamurti, Dewa Wisnu dengan berbagai Awatara dan inkarnasi dari para sakti, semuanya ini adalah untuk menghukum yang jahat dan memberikan pahala kebaikan bagi yang saleh (Titib, 2000: 378).

Kekuatan para raksasa tersebut dihancurkan dengan senjata para dewa yang masing-masing memiliki simbol untuk menunjukan identitas dewa tersebut, seperti:

  • sankha dan cakram untuk arca Wisnu, 
  • trisula dan damaru untuk arca Siwa, 
  • parasu, ankusa dan pasa untuk Ganesha, 
  • tombak sakti (Vela) untuk Subramanyu, 
  • Vajra untuk Indra, 
  • pasa untuk Varuna, 
  • Dhanurbana (busur dan panah) untuk Sri Rama, dan 
  • Kadga (pedang) untuk Kalki Awatara.

Ayudhadewata mengandung makna simbolis kedewataan, seperti :

  • Trisula merupakan kesatuan dari Triguna. 
  • Parasu melambangkan kekuatan gaib dari Tuhan Yang Maha Esa. 
  • Pasa (tali atau jerat) melambangkan dunia atau maya yang menjerat kehidupan spiritual seseorang. 
  • Sankha (terompet kerang) melambangkan waktu (proses) penciptaan. 
  • Cakra, agni atau khadga (pedang). Menggambarkan simbol proses kehancuran jagat raya (samhara). 
  • Iksudandha (tongkat berupa batang tebu) melambangkan kemanisan spiritual yang dirasakan oleh seseorang yang mempraktekkan hal tersebut dalam gejala duniawi. 
  • Padma melambangkan karunia dan kemahakuasaan. 
  • Ankusa melambangkan prinsip dasar melepaskan ikatan pengendalian diri (Titib, 2000:381).

Pada sebuah ritual keagamaan di pura, Tapakan Kerauhan biasanya memakai senjata berupa Trisula, pedang dan pisau kecil yang terus ditancap-tancapkan pada dadanya tanpa ada rasa sakit sedikit pun. Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi, senjata yang dipergunakan pada waktu Upacara merupakan simbol dari kemahakuasaan Tuhan yang menghancurkan kekuatan jahat yang ada pada diri seseorang, agar para Butha tidak mengganggu proses yadnya yang besar ini. Disamping itu Tuhan menunjukan kepada umatnya bahwa beliau:

  • kebal terhadap senjata, 
  • tidak terbakar api, dan 
  • tidak basah oleh air. 

Berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan merupakan senjata-senjata yang sangat disakralkan, tapi senjata tersebut tidak mutlak dipergunakan pada waktu upacara, suatu ketika Tapakan Kerauhan dapat mengambil senjata di sembarang tempat.

DAFTAR PUSTAKA

  • David, Ray Grifin. 2005. Tuhan dan Agama dalam Dunia Post Modern. Yogyakarta : PT, Kanisius.
  • Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenalogi Agama. Yogyakarta : PT. Kanisius.
  • Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya : Theologi Alam Semesta. Surabaya : Paramita.
  • Metha, Vetta.____. Apa Rahasia Kesurupan Memanggil Roh?: Prousperou. An.
  • Pudja, Gede, 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya), Surabaya: Paramita
  • Surahardjo,Y.A,1983. Mistisme, Jakarta: Pradnya Paramita.
  • Swadiana, Putrawan, 2006. Kesurupan Membahas Tradisi Kerauhan Di Bali, Bali: Raditya
  • Swadiana, Putrawan, 2007. Ngurek Pengorbanan Diri Pemuja Sakti, Bali: Raditya
  • Tim Penyusun, 1995. Panca Yadnya. Bali : Provinsi Bali.
  • Titib, I Md. Dr. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Demikian Fenomena Kerauhan yang terjadi pada ritual keagamaan di Bali, yang sampai kini tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat di Bali. sumber:http://hinduresearchcenter.blogspot.com/2013/02/kerauhan-menurut-teologi-hindu-kerauhan_6546.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar