Pages

Kemuliaan Seorang Wanita, Istri dalam Agama Hindu

Kemuliaan Seorang Wanita, Istri dalam Agama Hindu

kemuliaan wanita dan seorang istri dalam ayat - ayat suci hindu

Sifat sifatnya wanita yang patut ditumbuh kembangkan adalah yang menjalankan dharma sebagai ibu pertiwi yang sopan, cerdas, maadiri, percaya diri dan sebagai pengayom keluarga dan lingkungannya.

Wanita berasal dari Bahasa Sanskrit, yaitu Svanittha,

di mana kata:
  • Sva artinya “sendiri”, dan 
  • Nittha artinya “suci”.
Jadi Svanittha artinya “mensucikan sendiri” kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas dalam Dharma atau “pengamal Dharma”. 
Dari sini juga berkembang perkataan Sukla Svanittha yang artinya “bibit” atau janin yang dikandung oleh manusia, dalam hal ini, peranan perempuan. 

Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus “sarana” terwujudnya Punarbhava atau re-inkarnasi, sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu. wanita mulia adalah yang menarik perhatian, unggul, baik hati, bercahaya, dan lain-lain. Ada pula yang mengatakan bahwa wanita mulia terlihat dan berbagai warna, mulia, berseri, jernih, indah, sedap, sebagai gambar, rupa, sosok. Mengacu pada pemikiran diatas, menurut analisis penulis, bahwa yang dimaksud dengan wanita mulia adalah penggambaran sosok wanita yang unggul secara pribadi, cantik, menarik secara phisik, wanita ideal yang didambakan oleh semua manusia.


Dalam masyarakat Bali yang mayoritas Hindu, nilai-nilai luhur ajaran Hindu menata sikap hidup masyarakat, wanita Hindu khususnya di Bali. Dalam masyarakat Bali yang mayoritas Hindu, nilai-nilai luhur ajaran Hindu menata sikap hidup masyarakat, wanita Hindu khususnya di Bali. Dalam ajaran Hindu yang diteraplikasi ajaran weda tersirat dalam kakawin Ramayana, tipe wanita juga tersirat dalam kitab Suci Bhagawadgita. Kecenderungan wanita yang ideal tersebut termasuk kelompok manusia Daivi Sampat/kecendrungan mempunyai sifat kedewataan. Salah situ petikan yang relevan dengan ciri-ciri wanita tersebut tertera pada salah satu Sloka pada kitab suci Bhagwadgita, yaitu:
Abhyam Sattva Samsuddhir

Jnayoga Vyavasthitih
Dhanam Damasca Yajnca
Scadhyasyas Tapa Arjavam (Bhagawadgita XVI-1.3)
Artinya :

Tak gentar, suci hati, bijaksana, mendalami yoga, dan ilmu pengetahuan, dermawan menguasai indriya, berupacara, kebhatinan, mempelajari kitab-kitab sastra, hidup sederhana, dan berbuat dengan jujur.

Mengacu pada sloka Bhagawadgita diatas mengandung makna bahwa beberapa ciri-ciri manusia Sattwika (Daivi sampat) termasuk wanita ideal sebagai wanita Hindu Bali khususnya sewajarnya mempunyai unsur seperti itu.

Di dalam kitab-kitab Purāṇa dapat dijumpai nama seorang wanita ideal, yaitu: Devahūtī (ibu dari maharṣi Kapila, seorang tokoh dan pendiri dari filsafat Saṁkhya atau Saṁkhya atau Saṁkhya Darśana / Rajendra Chandra Hazra, 1982: 229). Hal yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang populer disebut dengan nama Smarastava, Panca Kanyam
Mantram ini terdiri dari satu bait mantram yang biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yang meninggal tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. 
Menurut informant pandita Śiva, mantram ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat seorang istri hamil) dan pada saat bayi berumur tiga bulan (C.Hooykaas, 1971: 38). Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Pañca Kanyam, sebagai berikut:
Ahalyā Draupadī Sitā,

Tārā Mandodarī tathā,
Pañca-kanyam smaren nityam,
Mahā-pātaka-nāśanam.
(Seseorang hendaknya bermeditasi kepada 5 wanita mulia, yaitu: Ahalyā, Draupadī , Sitā, Tārā dan Mandodarī . Mereka yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dilenyapkan).
Terhadap mantram di atas, Prof.Dr. C. Hooykaas memberikan penjelasan tentang ke lima wanita mulia itu, sebagai berikut:

  1. "Ahalyā" populer dikenal sebagai istri dari maharṣi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan kemudian dihukum dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan oleh Śrī Rāma. 
  2. "Draupadī" dan "Sitā" adalah masing-masing pahlawan wanita dalam Mahābhārata dan Rāmāyaṇa. 
  3. "Tārā" adalah istri Bŗhaspati yang dilarikan oleh Soma, dan 
  4. "Mandodarī" tercatat sebagai yang paling favorit dari para istri Rāvaṇa. 
Ke lima orang wanita mulia itu digambarkan secara tradisional sebagai wanita yang sangat cantik dan menawan (1970: 38).


Ucapan “sorga ada ditangan wanita” bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam Manawa Dharmasastra III.56:
Yatra Naryastu Pujyante,

Ramante Tatra Devatah,
Yatraitastu Na Pujyante,
Sarvastatraphalah Kriyah (Manawa Dharmasastra III.56)
artinya :

Dimana wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugerahnya. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia.
Lebih tegas lagi dalam Manawa Dharmasastra III 57:
Socanti Jamayo Yatra,

Vinasyatyacu Tatkulam,
Na Socanti Tu Yatraita,
Vardhate Taddhi Sarvada (Manawa Dharmasastra III.57)
artinya :

Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.

Dan Manawa Dharmasastra III 58 mangatakan bahwa:
Jamayo Yani Gehani,

Capantya Patri Pujitah,
Tani Krtyahataneva,
Vinasyanti Samantarah (Manawa Dharmasastra III.58)
artinya :

Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Dalam adat Bali pun yang menganut patriarki perbedaan perlakuan terhadap perempuan sungguh sangat kentara. Adat Bali menempatkan perempuan sebagai subordinasi karena ada pengertian yang keliru terhadap konsep purusa dan pradana. Sejatinya purusa dan pradana ada pada setiap laki-laki termasuk pula pada diri perempuan. "Purusa adalah jiwa dan pradana adalah raga". Akan tetapi dalam realisasi purusa memang tetap dimaknai sebagai jiwa, hanya pradana diartikan sebagai benda. Kalau jiwa tidak pernah mati alias akan hidup terus sedangkan benda itu adalah barang mati sehingga tidak perlu diperlakukan secara manusiawi. Pendapat keliru inilah yang terus berlangsung dalam kehidupan keseharian perempuan Hindu di Bali. Adanya laki-laki dan perempuan adalah bukan untuk dipertentangkan, tetapi adalah saling melengkapi demi terlaksananya dampati dalam kehidupan.

Oleh karena laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan melalui yadnya, maka sudah sewajarnyalah manusia saling beryadnya dalam menggerakkan cakra yadnya Kalau hal tersebut dapat terlaksana, itu menandakan bahwa Hindu sangat berpihak pada gender bahkan kesetaraan karena perempuan tidak dilahirkan dari tulang rusuk kanan adam. 

Dalam Padma Purana disebutkan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya dalam menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya setengah badan tetapi juga adalah setengah jiwanya. Hal inilah yang dimaksud dengan konsep "Ardanariswari" dalam Hindu. 

Wanita dalam theologi Hindu bukanlah merupakan serbitan kecil dari personifikasi lelaki, tetapi merupakan suatu bagian yang sama besar, sama kuat, sama menentukan dalam perwujudan kehidupan yang utuh. Istilah theologisnya ialah “Ardhanareswari”. 
Ardha artinya setengah, belahan yang sama.

Nara artinya (manusia) laki-laki. 
Iswari artinya (manusia) wanita. 
Tanpa unsur kewanitaan, suatu penjelmaan tidak akan terjadi secara utuh dan dalam agama Hindu unsur ini mendapatkan porsi yang sama sebagaiman belahan kanan dan kiri pada manusia. Sebagaimana belahan bumi atas yaitu langit dengan belahan bumi bawah yaitu bumi yang kedua-duanya mempunyai tugas, kekuatan yang seimbang guna tercapainya keharmonisan dalam alam dan kehidupan manusia di alam ini. 

Dalam Siwatattwa dikenal konsep Ardhanareswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa sedangkan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminim. Tiada suatu apa pun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada. Makna simbolis dari konsep Ardhanareswari, kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi dengan laki-laki bahkan sangat dimuliakan. Tidak ada alasan serta dan argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itulah sebabnya di dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.
Dalam Manawa Dharmasastra I.32 disebutkan
Dwidha kartwatmanodeham

Ardhena purusa bhawat
Ardhena nari tasyam sa
Wirayama smrjat prabhuh (Manawa Dharmasastra I.32)
Terjemahannya:

Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi perempuan (ardha nari). Darinya terciptalah viraja.

Sloka di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Laki-laki dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan karena keduanya tercipta dari Tuhan. Dengan demikian, maka perempuan dalam Hindu bukan merupakan subordinasi dari laki-laki. Demikian pula sebaliknya. Kedua makhluk yang berbeda jenis kelamin ini memang tidak sama. Perbedaan tersebut adalah untuk saling melengkapi.

Mengapa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan?

dalam Kitab Manawa Dharmasastra IX.96 menyebutkan sebagai berikut:
Prajanartha striyah srtah

Samtanartam ca manawah
Tasmat saharano dharmah
Srutao patnya sahaditah (Manawa Dharmasastra IX.96)
Terjemahannya:

Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu. Laki-laki diciptakan untuk menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga untuk melangsungkan upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Veda.

Dari konsep Ardhanariswari tersebut mengisyaratkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perempuan dalam teologi Hindu bukanlah tanpa arti. Malahan dia dianggap sangat berarti dan mulia sebagai dasar kebahagiaan rumah tangga. 

Di dalam Yayurveda XIV.21 dijelaskan bahwa perempuan adalah perintis, orang yang senantiasa menganjurkan tentang pentingnya aturan dan dia sendiri melaksanakan aturan itu. Perempuan adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan, sebagaimana tertera pada Yajurveda, XIV. 21 berikut:
Murdha asi rad dhuva asi, Daruna dhartri asi dharani, 

Ayusa twa varcase tva krsyai tva ksemaya twa (Yajurveda, XIV. 21)
Terjemahannya

Oh perempuan engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan pertanian, dan kesejahteraan.

Perempuan adalah ciptaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pradana. Ia juga disimbolkan dengan yoni, sumber kesuburan dan kearifan. Laki-laki ciptaan Tuhan dalam fungsi sebagai purusa yang disimbolkan dengan lingga. Oleh karena perempuan juga, maka berbagai bentuk persembahan akan terlaksana, karena perempuan pula ketenangan dan ketentraman akan terwujud. Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera seyogyanya menghormati perempuan, terlebih dalam hari raya dengan memberinya hadiah berupa perhiasan, pakaian, dan makanan sebagaimana tersurat dalam kutipan Manawa Dharmasastra III.59 berikut:
Tasmadetah sada pujya

Busanaccha dana sanaih
Buthi kamair narair mityam
Satkaresutsa vesu ca (Manawa Dharmasastra III.59)
Terjemahan :

Hal yang dapat dimaknai dari uraian di atas adalah perempuan adalah mahluk Tuhan yang memiliki kompleksitas peran dan kemuliaannya sendiri ( religius, estetis, ekonomi, maupun sosial). Sebagai makhluk religius, dia menjadi sempurna di hadapan Tuhan, dia juga sekaligus pengatur detail aspek-aspek kerumahtanggaan, sekaligus sebagai kasir yang jujur untuk keluarga mereka.

Dalam konsep purusa-pradana ini, maka pertemuan unsur Purusa dengan Pradhana menimbulkan terciptanya kesuburan.
"Memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai Purusa untuk memohon kekuatan untuk dapat mengembangkan hidup yang bahagia secara rohaniah, sedangkan memuja Tuhan sebagai Pradhana adalah untuk mendapatkan kekuatan rokhani dalam membangun kehidupan jasmani yang sehat dan makmur."
Padahal kesetaraan wanita dan laki itu terdapat juga dalam ceritra Lontar Medang Kamulan. Dalam lontar tersebut ada mitology tentang terciptanya laki dan perempuan. Dalam mitology itu diceritrakan Dewa Brahma menciptakan secara langsung laki dan perempuan. Pada awalnya Dewa Brahma atas kerjasama dengan Dewa Wisnu dan Dewa Siwa membuat manusia dari tanah, air, udara, api dan akasa. Selanjutnya Dewa Bayu memberikan napas dan tenaga, Dewa Iswara memberikan suara dan kemampuan berbahasa. Sang Hyang Acintya memberikan idep sehingga manusia bisa berpikir.

Setelah tugas membuat manusia itu selesai ternyata manusia yang diciptakan oleh Dewa Brahma atas penugasan Hyang Widhi itu tidak memiliki kelamin. Jadinya tidak laki dan tidak perempuan. Karena itu Dewa Brahma masuk dalam diri manusia ciptaanNya itu. Kemudian menghadap dan mencipta ke timur laut. Dari ciptaan itu munculah manusia laki dari timur laut. Kemudian menghadap ke tenggara untuk mencipta terus munculah manusia perempuan dari arah tenggara.

Dari konsepsi terciptanya manusia ini sudah tergambar bahwa laki dan perempuan secara azasi harkat dan martabat serta gendernya adalah sejajar. Perbedaan laki dan perempuan itu adalah perbedaan yang komplementatif artinya perbedaan yang saling lengkap melengkapi. Artinya tanpa perempuan laki-laki itu tidak lengkap. Demikian juga sebaliknya tanpa laki-laki perempuan itu disebut tidak lengkap.

Karena itu dalam Rgveda laki dan perempuan yang sudah menjadi suami istri disebut dengan satu istilah yaitu Dampati artinya tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa Bali disebut ''dempet''. Karena itu dalam Manawa Dharmasastra IX.45 dinyatakan bahwa suami istri itu adalah tunggal. Demikian juga adanya istilah suami dan istri. Kalau orang disebut istri sudah termasuk didalamnya pengertian suami. Kalau ada perempuan yang sudah disebut sebagai istri sudah dapat dipastikan ada suaminya. Karena kalau ada perempuan yang belum bersuami tidak mungkin dia disebut istri.

Demikian juga kalau ada laki-laki disebut sebagai suami sudah dapat dipastikan ada istrinya. Tidak ada laki-laki yang bujangan disebut suami. Mereka disebut suami dan istri karena mereka sejajar tetapi beda fungsi dalam rumah tangga. Kata suami dalam bahasa sansekerta artinya master, lord, dominion atau pemimpin. Sedangkan kata istri berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata ''str'' artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata wanita juga berasal dari bahasa sansekerta dari asal kata ''van'' artinya to be love (yang dikasihi).

Hal itulah yang menyebabkan wanita setelah menjadi istri kewajibannya menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarga. Dalam Mahabharata Resi Bisma menyatakan bahwa dimana wanita dihormati disanalah bertahta kebahagiaan. Karena itu Rahvana yang menghina Dewi Sita dan Duryudana yang menghina Dewi Drupadi, kedua-duanya menjadi raja yang terhina. Dalam Manawa Dharmasastra III.56 seperti yang dikutif di atas dinyatakan bahwa dimana wanita itu dihormati disanalah para Dewa akan melimpahkan karunia kebahagiaan dengan senang hati. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada Upacara Yadnya apapun yang memberi pahala kemuliaan.

Manawa Dharmasastra IX.132 menyatakan bahwa anak wanita boleh diangkat sebagai akhli waris orang tuanya. Dalam sloka 133 berikutnya dinyatakan tidak ada perbedaan antara putra laki dan perempuan yang diangkat statusnya sebagai akhli waris. Dalam hal pembagian harta waris menurut Manawa Dharmasastra IX.118 menyatakan bahwa wanita mendapatkan minimal seperempat bagian dari masing-masing pembagian saudara lakinya. Kalau saudara lakinya banyak bisa saudara wanitanya lebih banyak mendapat dari saudara lakinya. Meskipun setelah ia bersuami wanita itu tidak memiliki beban kewajiban formal pada keluarga asalnya, namun ia memiliki hak waris. Itu menurut pandangan kitab suci.

Tetapi dalam adat istiadat Hindu di Bali wanita itu tidak dapat waris apa lagi ia kawin keluar lingkungan keluarganya. Di samping wanita mendapatkan artha warisan juga mendapatkan pemberian artha jiwa dana dari ayahnya. Jumlahnya tergantung kerelaan orang tuanya. Sebagai ibu atau pitri matta menurut istilah dalam Manawa Dharma III.145 seribu kali lebih terhormat dari pada ayah. Sedangkan sebagai istri ia setara dengan suaminya.

Dalam hal karier menurut Manawa Dharmasastra IX.29 wanita dapat memilih sebagai sadwi atau sebagai brahmawadini. Kalau sebagai sadwi artinya wanita itu memilih berkarier dalam rumah tangga sebagai pendidik putra-putrinya dan pendamping suami. Karena dalam Vana Parwa 27.214 ibu dan ayah (Mata ca Pita) tergolong guru yang setara. Dalam Manawa Dharmasastra IX.27 dan 28 ada dinyatakan bahwa: melahirkan anak, memelihara dan telah lahir, lanjutnya peredaran dunia wanitalah sumbernya. Demikian juga pendidikan anak-anak, melangsungkan upacara Yadnya, kebahagiaan rumah tangga, sorga untuk leluhur dan dirinya semuanya itu atas dukungan istri bersama suaminya.

Wanita yang berkarier di luar rumah tangga disebut brahma vadini. Ia bisa sebagai ilmuwan, politisi, birokrasi, kemiliteran maupun berkarier dalam bidang bisnis. Semuanya itu mulia dan tidak terlarang bagi wanita. Itu semua konsep normatifnya kedudukan perempuan menurut pandangan Hindu. Tetapi sayangnya dalam tradisi empirisnya konsepsi normatif itu belum terlaksana betapa mestinya.

untuk lebih memahami tentang Kemuliaan Seorang Wanita, Istri dalam Agama Hindu, silahkan simak artikel berikut ini:

demikianlah sekilas tentang Kemuliaan Seorang Wanita, Istri dalam Agama Hindu, yang termuat dalam Kitab Suci Weda Hindu. semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar