Pages

Kenapa Orang Bali memuja Pretima?

Kenapa Orang Bali memuja Pretima?

inilah pertanyaan "maut" yang sering kita dengar, disaat kita bergaul di lingkungan non-hindu. sebuah pertanyaan yang sangat simple terkesan mudah dijawab, tetapi bilah salah ucap makan kita orang bali akan di-CAP BERHALA.
untuk membantu semeton bali menjawab petanyaan tersebut, saya akan coba menjelaskan pemahaman singkat tentang jawaban untuk pertanyaan tersebut.

apa itu Pratima atau Arca?

Pratima atau Arca merupakan "simbol" Dewa/Bhatara yang dipergunakan sebagai alat untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa. Penggunaan Pratima atau arca sebagai alat memuja Tuhan berlangsung sebelum kerajaan Singasari dan Majapahit. Kini penggunaan pratima sudah jarang dilakukan, pratima dan arca saat ini merupakan sebagai pusaka yang dikeramatkan.

Kata arca asalnya dari bahasa sansekerta yang sudah diserap kedalam bahasa indonesia. Nama lain arca adalah murti atau pratima. Dalam bukunya Darshan : Seeing the Divine Image in India, Professor Diana Eck dari Harvard University, Amerika menuliskan sbb:
“just as the term icon conveys the sense of a ‘likeness’ so do the Sanskrit word pratikriti and pratima suggest the ‘likeness’ of the image of the deity it represents. The common word for such image, however, is murti, wich is defined in Sanskrit as ‘anything which has difinite shape and limit, ‘ ‘a form, body, figure,’ ‘an embodiment, incarnation, manifestation. ‘Thus the muti is more than a likeness;it is the deity itself taken ‘form’… The uses of the word murti in the upanisads and the ‘Bhagavad-gita’ suggest thet the form is its essence. The flame is the murti of fire, (etc)…”
Artinya :
“Seperti halnya istilah ikon menunjukkan makna ‘kesurupan’ begitu pula kata-kata pratikrti dan pratima dalam bahasa Sansekerta mengandung makna ‘kesurupan’ antara gambar atau patung dengan dewata yang dilambangkannya. Namun, kata yang umum digunakan untuk menyebut patung seperti itu adalah murti yang didefinisikan sebagai ‘segala sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu,’ ‘suatu bentuk, badan, atau figur,’ ‘sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejawantahan.’ Jadi murti lebih dari sekedar ‘kesurupan’, melainkan dewata sendiri yang telah mewujud. …Pemakaian kata murti dalam berbagai Upanisad dan ‘Bhavad-gita’ menunjukkan bahwa bentuk atau wujud itu adalah hakekat atau esensinya. Nyala api adalah murti dari api, dan sebagainya…
Sayangnya setelah diserap ke dalam bahasa indonesia, kata arca kemudian dimaknai identik dengan kata patung atau berhala, dan sering berkonotasi negatif.

mengapa melakukan pemujaan pretima?

mengapa seseorang menaruh keyakinan pada kepingan logam, kayu atau batu yang dicetak atau diukir atau dipahat sebagai dewa?
semua itu tidak lebih dari sekedar benda-benda tak bernyawa.

sebenarnya ada logika mendalam dibalik semua itu.
Tuhan adalah kekuatan Tertinggi yang ada dimana-mana di seluruh alam semesta ini. walaupun Tuhan adalah sesuatu kekuatan yang abstrak dan tidak bermanifestasikan namun Beliau hadir di dalam setiap benda, setiap mahluk, setiap tempat dan pada setiap kesempatan. dengan bukti seperti ini beliau juga hadir di dalam pretima. dengan alasan ini juga, sebuah pretima bukanlah tidak ber-Tuhan. beliau ada disana sesuai dengan prinsip dasar kehadiran beliau dimana-mana.

bagi masyarakat awam tidaklah mudah untuk mengarahkan pikiran dan rasa bhakti mereka pada sesuatu yang abstrak. sebuah pretima sebagai representasi Tuhan menghadirkan sebuah poin dimana para bhakta dapat memusatkan bhakti mereka pada pikiran yang senantiasa mengalami gangguan. pretima tersebut menjadi sebuah titik fokus spiritual melalui mana seorang bhakta dapat mengarahkan pikirannya kepada Tuhan yang abstrak.

rasa bhakti umat, keyakinan, pemujaan dan penghormatan membuat pretima sebagai representasi dewata menjadi, memiliki makna Tuhan. seorang manusia hanyalah sebuah percikan kehidupan kecil dengan segala keterbatasan kemampuan spiritual dan fisik yang dimilikinya. kekuatan utama adalah sebuah pikiran yang tak terbatas menakjubkan yang tidak pernah hadir dalam imajinasi manusia manapun juga. Tuhan dalam wujud dewata adalah sebuah percikan dimana seorang manusia dapat merasa puas berhubungan dan memberi manifestasi pada keyakinanya dalam cara manusiawi kecilNya.

pertima dewata seharusnya diperlakukan, dihormati dan dipuja sebagaimana dianjurkan oleh sastra, guna menciptakan suatu tradisi religius bagi pelaksanaan ajaran yang sistematis. sebuah sistem menjadi tradisi karena disucikan melalui proses waktu.

kenapa melakukan pemujaan pratima sebagai simbolis, abstrak dan spiritual?

pemula harus memulai dengan pemujaan pratima. orang dapat dengan mudah memusatkan bhakti mereka kepada dewata yang kasat mata yang kenyataannya hanyalah merupakan representasi Kekuatan Utama Tuhan yang abstrak. lebih dari seperiode waktu, pikiran para bhakta menjadi sedikit lebih terdidik secara spiritual. mereka dapat menggambarkan dan merasakan kehadiran dewata walau tanpa melihatnya. bahkan ketika mereka tidak sedang duduk di hadapan pratima dewata, mereka mendapatkannya melalui mata pikiran mereka. dengan sedikit latihan lagi, akan membawa mereka kepada suatu tahapan demana bisa melihat Tuhan dibalik dewata yang mereka puja.

dengan beberapa kemajuan lagi, akan memungkinkan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan secara spiritual. pretima simbol dewata, sekarang telah bertransformasi menjadi sebuah jendela dalam pikiran, dimana para bhakta dapat "melihat merasakan" Tuhan.

demikian pula pada saat permulaan orang mengucapkan doa atau mantra-mantra dengan keras. setelah beberapa lama, suaranya berkurang hingga menjadi sayup-sayup atau nyaris tak terdengar. kemudian bibir hanya bergerak tanpa suara. sedikit kemajuan lagi membawa mereka kepada tahapan dimana mengulang mantra atau kidung hanya di dalam pikiran. satu tahapan lagi akan sampai pada tingkat dimana kata-kata tidak dibutuhkan lagi. pikiran sama sekali tertuju kepada  dewata. kemudian mantra berfungsi sebagai pengangkat lebih lanjut menuju Tuhan dan cahaya pencerahan ternyalakan. penyatuan akhir dengan sang Pencipta menjadi hanya menunggu waktu.

sampai pada tingkat mana seseorang mencapainya bergantung pada kualitas bhakti dan kemampuan spiritualnya.
Sastra  mendefinisikan berbagai tingkatan ini sebagai Murti Puja, Parthiwi Puja, Manas Puja dan Satwiki Murti Puja.
Parthiwi Puja adalah pemujaan simbol-simbol. disini dewata berupa simbolis seperti linggam yangmerupakan simbolis siwa, sriyantara adalah simbolis dewi laksmi. dalam pemujaan jenis ini kekuatan yang berhubungan dengan pikiran merupakan hal yang utama.

apakah ada dasar pemujaan pretima?

Dalam ajaran agama Hindu terdapat 4 (empat) jalan untuk mencapati kesempurnaan hidup atau jalan menuju Tuhan yang disebut Catur Marga. Salah satu dari 4(empat) jalan untuk menuju Tuhan adalah Bhakti Marga.

Bhakti Marga merupakan jalan yang paling mudah untuk dilakukan untuk semua umat Hindu, Bhakti Marga sering juga disebut sebagai ajaran yang alamiah. Dalam kenyataannya Bhakti Marga terdiri dari:

  1. Apara Bhakti, adalah Cinta kasih dari seseorang yang belum mempunyai tingkat kesucian yang tinggi.
  2. Para Bhakti, adalah cinta kasih dari seorang yang sudah memiliki tingkat kesucian yang tinggi.

Bagi seorang Bhakta tidak pernah berpikir bagaimana Tuhan itu, namun seorang Bhakta senantiasa memiliki iman yang teguh percaya bahwa Hyang Widhi ada dan Tunggal(esa).

Dalam mewujudkan cinta kasih seorang Apara Bhakti memerlukan sebuah objek sebagai alat untuk memuja Hyang Widhi. Dan dari sinilah dikenal Pratima sebagai alat perwujudan atau gambaran agar pikiran seorang Apara Bhakti dapat terpusat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pratima yang digunakan hanya sebagai alat untuk memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi, bukan sebagai benda yang disembah seperti dugaan agama-agama lain. Seorang Apara Bhakti pun hendaknya menyadari bahwa Pratima atau Arca bukanlah Dewa atau Tuhan. Hindu bukanlah politheisme tidak juga penyembah batu, patung, dll.
Dalam Kitab suci dinyatakan: Ekam Ewa Adwityam Brahman. Artinya: Hanya ada satu Tuhan, Tidak ada duanya.
lebih lanjut tentang Bhakti Marga, silahkan baca: "Bhakti Marga Yoga".
Penggunaan Pratima diperkirakan sudah berkembang sejak abad ke IX dan berakhir sampai abad ke XIII. Pada jaman kerajaan singasari dan Majapahit penggunaan pratima/objek pemujaan sudah banyak berkurang. Sedangkan yang kita jumpai saat ini hanya merupakan alat kelengkapan Pura/Sanggah.

Seseorang disamping memuja langsung hasil ciptaan-Nya, dalam mengungkapkan perasaan isi hati, baik berupa harapan, permohonan dan tujuan kepada-Nya, juga menggunakan nyasa/simbol-simbol tertentu. Bagi umat awam simbolisme mendapat tempat yang sangat penting dalam penghayatan, dalam proses pendekatan diri kepada Tuhan/Hyang Widhi. Simbolisme religius akan menghasilkan kreatifitas seni dan budaya yang religius pula. Benda-benda alam sebagai manifestasi perwujudan-Nya, yang disucikan, diupacarai, dan dipuja-puji, diyakini bisa menghasilkan nilai magis/gaib yang tidak bisa dipecahkan oleh akal sehat dari pikiran manusia.

Para Maha Rsi Hindu zaman dahulu bersifat konsisten melakoni kehidupan wanaprasta, yaitu menjalani kehidupan dengan melepaskan keterikatan-keterikatan pemuasan jasmani dalam proses pencaharian jati diri terhadap Tuhan. Sehingga hasil perenungan para resi zaman dahulu, diwujud-nyatakan ke dalam bentuk seni dan diaplikasikan sifat dan fungsi Tuhan dalam bentuk; arca, gambar, pratima, upakara, bahasa, tari wali. Yang mempunyai nilai estetis, nilai simbolis, dan nilai spiritual. Seperti apa yang telah diwariskan oleh para leluhur kita terdahulu, misalnya; sifat dan fungsi Tuhan sebagai pembasmi kejahatan tampak tangan arca disimbolkan membawa kapak, fungsi Tuhan sebagai asal ilmu pengetahuan tampak tangan arca disimbolkan membawa lontar, sifat Tuhan sebagai penyejuk tampak tangan arca membawa sibuh (tempat tirta), serta diwujudkan dan digambarkan dengan banyak tangan sesuai fungsi dan kebesaran-Nya.

Demikian pula simbol-simbol yang terdapat dalam upakara bebantenan misalnya; daksina lambang stana Ida Hyang Widhi/Tuhan. Sedangkan banten guru piduka adalah mengandung nilai permohonan maaf umatnya. Banten porosan yang terdiri dari pinang yang berwarna merah simbol Dewa Brahma, daun sirih yang berwarna hijau simbol Dewa Wisnu, dan kapur yang berwarna putih simbol Dewa Siwa. Dengan demikian alam semesta sebagai hasil ciptaan-Nya adalah sakti-Nya dari pada Tuhan. Melalui ajaran agama atau sekte dijabarkan tentang hakikat ketuhanan tersebut. Kata sekte/agama adalah kelompok orang yang mempunyai kepercayaan akan pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lazim diterima oleh para penganut agama tersebut, misalnya: sekte siwa, sekte bhuda, sekte waisnawa, sekte sakta, sekte indra, sekte bhairawa, sekte surya dan lain-lain.Yang mempunyai jalan dan identitas diri masing-masing, yaitu; ada istadewata (dewa pujaan), ada kitab suci, tempat ibadah, orang-orang suci, hari-hari suci, sarana yang dipakai, dan ada pengikutnya.

Dengan demikian seseorang yang ingin mengetahui hakikat dan kebesaran Tuhan ialah dengan jalan menjadi pengikut dari salah satu sekte/agama yang dianggap resmi oleh pemerintahan disaat itu yang diyakini menjadi penuntun dalam kehidupan ini. Dimana para Brahmana dari sekte tersebut dipercaya sebagai penerima wahyu atau sebagai penghubung dari alam niskala ke sekala begitu pun sebaliknya. Disamping sebagai pengajar dan menyebarkan agama Hindu dalam rangka pembinaan mental spiritual, juga peranan tokoh agama dalam bidang pemerintahan khususnya sebagai guru spiritual yang memberikan nasehat kepada raja, baik tentang ilmu pemerintahan, ilmu dialektika, ilmu tentang atman dan lain-lain

Di dalam Wedalah di ungkapkan segalanya,apakah nama Tuhan, tempat Tuhan, bagaimana berhubungan dengan Tuhan, termasuk pemujaan kepada Tuhan, dalam bentuk arca/pratima, kitab suci Weda secara khusus bagian Silpha sastra menjelaskan bagaimana caranya membuat arca-arca, dari bahan-bahan apa saja,siapa saja yang berhak membuat arca, dan siapa yang berhak menstanakan arca tersebut.

Cara pemujaan dan pelayanan terhadap arca yng sudah di stanakan di dalam Kitab Suci weda di jelaskan secara mendetail. Dengan demikian jika kita bertindak di luar dari yang diajarkan dalam kitab suci Weda maka itulah yang disebut berhala.

Dalam hal ini sebagai umat hindu yang harus di pegang adalah Kitab Suci Weda, jika kita berspekulasi dalam hal ini akan sangat berbahaya, baik secara niskala, maupun sekala. 
Ketika ada orang bilang pemujaan arca itu berhala, umat sedarma dari berbagai kalangan, seringkali menyatakan itu sebagai simbol kiblat saja seperti bendera merah putih.
baca lebih lanjut di "Orang Bali Memuja Batu Berhala"
Ini cara menjawab pertanyaan yang sangat menyakitkan hati, bagi mereka yang memperdalam Weda. Harusnya Wedalah yang harus di perdalam terlebih dahulu, sebelum menyampaikan sesuatu agar tidak berspekulasi seperti ayat berikut menjelaskan
Yasya Visnu Para Bhaktir Yatha Visnu Tatha Gurau

Sa Eva Stapako Jeneyah Satyam Etad Vadami Tu
Artinya:
Tuhan Hayagriva bersabda: Jika seorang penyembah memiliki bhakti yang tidak pernah menyimpang kepada Tuhan dan kepada Gurunya Aku dengan ssesungguhnya menyatakan bahwa dia secara alami memiliki kualifikasi untuk memuja arca.

Khandite Sphutite Dagdhe Bhrarte Mana Vivarjite

Yagahine Pasusprste Patite Duste Bhumisu

Anya Mantrarecite Caiva Patite Sparsa Dusite

Dadasu Etesu No Cakruh Sannidhanam Dikaukasah
Iti Sarvagato Visnoh Paribhasancakara Ha
Artinya :
Jika arca itu retak, atau terbakar, jika terjatuh, tidak di puja dengan tepat dalam setiap upacara, di sentuh oleh binatang, telah jatuh ke tempat yang kotor, dan di puja dengan mantra arca yang lain, atau tidak murni karena di sentuh oleh orang yang merosot. Di sembah dengan cara yang berbeda – beda kepribadian arca tidak tinggal di dalam arca. (Hari Bhakti Vilasa 19.1025.10.26)

Yatra Kutrapi Pratimam Veda Dharma Samanvitam

Na Pasyanti Jana Gatra te Dandye Yama Kinkaraih
Artinya:
Jika arca telah diletakan sesuai dengan proses penempatan Veda yang tepat dan seorang Grhasta (yang sudah menikah) tidak pergi untuk melihat arca itu, dia pasti di hukum oleh YamaRaja dan para pengawalnya. (Hari Bhakti Vilasa 11.63)

Di dalam Padma Purana disebutkan bahwa 
Tuhan bertanya kepada Dewa Rsi Narada, oh Rsi ! Siapakah yang memuja bentuk arcaKu dengan sikap bhakti secara sistematis dan dengan keyakinan, tetap tiada gangguan, bahkan di dalam mimpi dan dalam keadaan apapun, Seorang penyembah tidak mengalami rasa takut. 
Kemudian di dalam Brihad Narada Purana di jelaskan :
Akala Mrtyu Samanam Sarva Vyadhi Vinasanam

Sarva Duhkha Upasamanam Hari Pada Udakam Subham
Artinya:
Air suci yang telah digunakan untuk membasuh kaki padma Sri Hari akan menghindarkan kematian yang tidak pada waktunya dan menghancurkan segala jenis penyakit dan penderitaan. demikian juga menghancurkan segala jenis dosa (Brihad Naradya Purana)
Demikian di jelaskan dalam Padma Purana, Brahma Kanda, bahwa seseorang minum Caranamrita (Susu, yogurt, ghe, gula, madu yang dipakai memandikan arca Sri Wisnu), segala dosa- dosa tidak diragukan lagi akan dihapuskan. 
Kemudian di dalam Wisnu Purana di jelaskan :
Akala Mrtyu Haranam Sarva Tapa Vinasanam

Visnu Padodakam Pitva,Punar Janma Na Vidyate 
Artinya:
Siapapun yang meminum air yang telah dipakai membasuh kaki padma Tuhan dalam wujud Sri Wisnu akan dibebaskan dari kematian yang tidak pada waktunya dan dari segala dosa. Dan tidak akan dillahirkan lagi di alam material ini.

Jadi air cuci kaki ini adalah sama dengan Wangsupada air cuci kaki artinya kita telah mencuci kaki padma Tuhan dalam bentuk arca. Dimana di tempat pemujaan ada arca dan kemudian secara nyata mencuci kaki padma arca bukan hanya sekedar simbol. Jadi agama adalah realitas, Tuhan merealitaskan diri dalam bentuk arca agar umat manusia mendapat berkat dan kemudahan secara realitas atas kehendak Tuhan sendiri berhubungan dengan umatnya melalui Arca seperti di dunia rohani dan seperti ketika Tuhan turun ke bumi ber- Avatara. Berkat yang dimaksud adalah agar umat manusia bebas dari segala jenis dosa dan tidak dilahirkan di alam material ini,melainkan pulang ke dunia rohani. Demikianlah untungnya menjadi umat Hindu yang memuja arca. Jadi kalau dengan memuja arca seseorang bisa mendapatkan Tirta Wangsupada, dengan mendapatkan Wangsupada bisa membebaskan manusia dari dosa dan tidak dilahirkan lagi di dunia material ini. Dan yang sanggup memberikan itu hanya Tuhan sendiri, itu artinya memuja arca bukan berhala. Dan arca adalah Tuhan itu sendiri yang dalam perwujudan beliau secara nyata, yang dapat kita lihat ketika kita bersembahyang kepada Tuhan yang dapat kita sentuh. Dan kita dapat tirta Wangsupada. Dengan demikian arca itu juga bukan simbol,tapi Tuhan sendiri dalam penjelmaan beliau dalam wujud arca.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Mahabharata Shanti Parwa bahwa dengan bersujud di hadapan arca, orang akan mendapatkan hasil dari pelaksanaan korban kuda, orang yang melaksanakan korban itu akan pergi ke Surga, selanjutnya kembali ke bumi dan seorang brahmana yang berkualifikasi akan pergi ke dunia rohani dan tidak akan kembali lagi ke dunia material ini. Di dalam kitab Nawa Rahasya III dijelaskan:
Smaranam Kirtanam Vapi Darsanam Srarsanam Tatha

Sambhasanam Ca Kurute Raja Suya Dhikam Phalam
Artinya:
Dengan mengingat, memuji, melihat, menyentuh, dan mendiskusikan arca dari Tuhan seseorang akan mencapai hasil dari pelaksanaan Yadnya Raja Suya .

Dengan demikian jika kita bisa mengambil keuntungan dengan bertepuk tangan di depan arca maka dosa-dosa nya akan terbang seperti ayat ini:
Nityanan Sripater Agte Talika Vodanair Bhrsam

Uddiyante Savirasthah Sarveh Pataka Paksinah
Artinya:
Narada Muni bersabda jika siapapun dia yang menyanyi dan bertepuk tangan di hadapan Sri Krishna demi keberuntungan.Dosa- dosanya akan lari dari badannya bagaikan segerombolan burung-burung terbang menjauh karena mendengar suara tepuk tangan. (Wisnu Dharmottara)

Kesimpulannya bahwa Umat Hindu yang menyembah arca adalah karena petunjuk dari kitab suci itu adalah kebenaran dan itulah Dia tiada berbeda dengan Tuhan sendiri, beliau atas karunia Tuhan muncul dalam bentuk arca dan berkarunia pada manusia agar dapat melayani beliau. Dan hasil melayani arca sama dengan melayani Tuhan sendiri Pemujaan dengan arca tidak boleh di samakan dengan penghormatan pada bendera, pemujaan pada arca dijamin mencapai pembebasan, tapi menghormati bendera tidak ada yang menjamin, tentu kita sebagai warga Negara wajib menghormati bendera sebagai rasa hormat dan kecintaan kita yang dalam pada Negara dan para pahlawan.

baca juga artikel yang terkait dengan orang bali berikut ini:
Semoga umat Hindu semakin percaya dan mencintai Tuhan dalam Hindu yang berdasarkan Weda. Semoga seluruh umat manusia ada dalam cinta kasih kepada Tuhan. Siapapun yang menyelam dan meneguk air dari lautan rohani ajaran weda dia pasti memiliki cinta kasih kepada Tuhan dan kepada semua mahluk dan kerajaan Tuhan yang damai dan abadi menantinya.

1 komentar:

  1. Saya jual pis bolong/uang kepeng asli
    Lokasi di denpasar bali

    Minat hub 081936102209 (whatapp/sms)
    Line: bempz

    BalasHapus