Pages

dvaita dari lakulisa pasupata

Dvaita dari lakulisa pasupata

Sistem filsafat Lakulisa Pasupata berbeda dengan Pasupata yang bersifat Dualis, walaupun keduanya mengakui adanya 5 kategori utama, yaitu:
  1. Karana,
  2. Karya,
  3. Yoga,
  4. Viddhi, dan
  5. Duhkhanta. 
Perbedaan system ini dengan Pasupata dualis tempaknya telah di tunjukkan dalam ulasannya yang disebut Ratna Tika pada Gana Karika dari Bhasarvajna, ketika ia membahas tentang perbedaan Lakulisa Pasupata dengan sistem filsafat lainnya (Sastrantare).Pernyataan tentang gambaran yang berbeda itu kelihatannya menjadi sangat perlu, karena hal itu di kutip oleh Madhava dalam Sarva Darsana Samgraha-nya. Hal ini dapat di nyatakan sebagai berikut:
  1. Pada sistem filsafat lain, masalah pembebasan tiada lain merupakan akhir dari segala kesengsaraan, tetapi menurut filsafat Lakulisa Pasupata, pembebasan merupakan pencapaian keunggulan atau kesempurnaaan ILahi.
  2. Di sini perbedaan Lakulisa Pasupata dengan Pasupata dualis dinyatakan; karena Lakulisa tampaknya mengawali Pasupata Sutra-nya dengan objek tentang pernyataan perbedaan dari sistem filsafatnya dengan Pasupata yang lebih awal, karena tujuan karya tersebut, seperti yang di nyatakan dalam sutra pertamanya, adalah untuk menghadirkan disiplin spiritual yang berguna dalam penyatuan dengan Tuhan, seperti yang di kemukakan oleh Tuhan sendiri (athatah pasupateh pasupatam yogavidhim vyakhyasyamah).
    Kita mengetahui bahwa konsepsi pasupata tentang pembebasan di pakai oleh Nyaya dan Vaisesika, karena Nyaya sutra dari rsi Gautama secara jelas menunjukkannya dalam sutra yang ke dua dan rsi Vatsyayana dalam ulasannya memperjelas hal itu ketika ia mengatakan :
    katham buddhiman sarva duhkhocchedam sarvaduhkha samvidam apavargam na rocayet
    yang artinya
    Bagaimana seorang bijak dapat tidak menyukai pembebasan (apavarga) ini, yang di cirikan dengan penghentian total dari segala kesengsaraan”.
  3. Sistem filsafat lain mengakui bahwa akibat (Karya) tak akan terjadi sebelum terjadi, tetapi menurut sistem filasafat Lakulisa Pasupata, akibat (Karya) yang terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: Kala, Vidya, dan Pasu, adalah abadi. Pada keadaan kehadiran pengetahuan kita tentang sistem Pasupata yang kita peroleh dari referensi tentang hal tersebut oleh sankara dan para pengulasnya, kita tak dapat mengatakan secara tegas sejauh mana masalah ini menyebutkan tentang sistem Pasupata. Tetapi apabila kita mengakui bahwa pandangan Vaisesika tentang ketiadaan akibat sebelum ada kejadian (asat karyavada) di ambil dari Pasupata, seperti konsepsi tentang pembebasan sebagai akhir dari segala kesengsaraan, kita dapat mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah perbedaan lain dari Lakulisa Pasupata terhadap Pasupata Dualis; karena yang pertama berpendapat bahwa semua akibat ada dan sepertinya sama dengan daya (sakti ) Tuhan, darimana ia mewujudkannya seketika.
  4. Menurut sistem filsafat lain, Isvara dan Pradhana, yang merupakan 2 penyebab, yaitu penyebab efisien dan penyebab material, tidak bebas, karena penciptaan tak akan dapat mulai dengan ketidakhadiran salah satunya. Tetapi menurut Lakulisa Pasupata, Tuhan adalah bebas, karena seperti yang akan kita saksikan secara metafisika sistem ini merupakan kebebasan yang rasionalistik. Masalah ini secara jelas di tunjukkan dalam sistem Pasupata, karena seperti yang kita nyatakan sebelumnya mengenai authoritas dari Ratna Prabha, Pasupata mengakui 2 penyebab, yaitu Isvara dan Pradhana. Dua titik perbedaan yang di nyatakan di sana tampaknya untuk menunjukkannya terhadap sistem Yoga dan Mimamsa.

Tradisi tentang sistem filsafat Lakulisa Pasupata,tidak hanya di ketemukan dalam berjenis-jenis bagian dari Taittriya Aranyaka pada anuvakah 5, sloka 17 sampai 21, tetapi juga dalam bagian terbesar dri buku tersebut, pada anuvakah 5 dari sloka 43 sampai sloka 47. Mantra-mantra yang menyusun naskah anuvakah ini, telah diambil oleh Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya, dengan sedikit sekali perubahan untuk menggambarkan Brahman atau Siva, karena ia di renungkan pada berbagai tahap dari jalan pembebasan. Sayana, dalam ulasannya tentang Taittiriya Aranyaka menunjukkan hal-hal berikut, yang merupakan gambaran yang penting tentang sistem filsafat Lakulisa Pasupata, Tampaknya bahwa pada saat munculnya sistem filsafat Lakulisa Pasupata, kata “Brahman” tidak secara ekslusif berarti realita tertinggi dari konsep Vedantin, karena dalam Pasupata Sutra dari Lakulisa, kita menemukan kata “Brahman” di pergunakan untuk realitas sebagai objek perenungan pada tingkatan yang berbeda. Apabila kita membaca ulasan Sayana, kita menemukan bahwa apa yang di katakan tentang Brahman, kebanyakan seperti yang di nyatakan pada sistem Lakulisa Pasupata, sebagai Pati, yaitu kategori pertama.

Jadi dengan demikian Taittiriya Aranyaka, menurut Sayana mengakui hal-hal berikut:
  1. Bahwa Brahman merupakan penyebab dari dunia objektif dan yang merupakan penyebab material sepanjang sebagai Maya yang merupakan daya yang tak terpisahkan dengan Brahman. Oleh karena itu, ia merupakan Mayin yang Saguna dan Mayavisista.
  2. Bahwa seperti sifat dari Nirguna Brahman yang menjadi kesatuan dari Saccidananda, demikianlah ia merupakan Saguna Brahman untuk menciptakan, memelihara dan menghancurkan alam semesta ini (svabhava).
  3. Bahwa Isvara lah yang memberikan buah kegiatan dan bukan Karma itu sendiri.
  4. Bahwa, dunia objektif dan sang diri yang terbatas merupakan akibat dari Brahman yang di batasi oleh Maya.
  5. Bahwa akibat tak dapat terjadi di luar dari penyebab, karena itu Brahman merupakan penyerap segalanya dan Ananta.
  6. Bahwa Brahman adalah Sat, yang meciptakan dunia dan kemudian memasukinya, seperti seseorang yang membangun sebuah rumah, kemudian masuk ke dalamnya dan berdiam di sana. Brahman sebelah menciptakan semuanya, dari Akasa sampai Purusa, masuk ke dalamnya, karena ia di dapatkan sebagai yang meneriman dan yang mengetahui di dalam Buddhi, dalam teratai hati.
  7. Bahwa Brahman menjadi segala sesuatu yang dapat dan yang takiamati, yang tetap dan yang tidak tetap, yang berjiwa dan yang tak berjiwa, yang benar dan yang tidak benar.
  8. Bahwa Brahman adalah Sukrta, karena ia menciptakan segala sesuatu secara bebas. Pemikiran ini di nyatakan melalui kata “Svatantra” dalam Pasupata Sutra.
  9. Bahwa Rudra adalah segala sesuatu; Ia merupakan diri dari semua makhluk hidup; Ia adalah “keberadaan”; Ia adalah yang mengatasi segalanya; Ia adalah semua yang telah ada, yang sekarang ada dan yang bakal ada nantinya; Ia adalah Umapati, yaitu penguasa ajaran.
  10. Bahwa Brahman adalah penyebab sumber, pemantap dan kehancuran dari dunia objektif.
  11. Bahwa Brahman berbeda dengan kelima Kosa, yaitu Anna, Prana, Manas, Vijnana, dan Ananda.
  12. Bahwa Brahman memiliki bermacam-macam wujud Jyestha, dsb yang jumlahnya 9 dan penguasa dari 9 daya, Vama dsb.
  13. Bahwa Brahman memiliki 3 wujud sehubungan dengan 3 sifat dari Sattva, Rajas, dan Tamas, yaitu 
    • yang lebih banyak sattvamnya menjadi tenang (santa) di sebut Aghora; 
    • yang lebih banyak rajasnya menjadi menakutkan, di sebut dengan Ghora; 
    • yang lebih banyak tamasnya, menjadi sunggug-sungguh mengerikan, di sebut Ghoratara.
Konsepsi tentang Moksa, menurut Sayana,Taittiriya Aranyaka mengakui hal-hal sebagai berikut:
  1. Bahwa Moksa terkandung dalam jiva yang memiliki Pratistha dalam Brahman yang tak dapat di amati.
  2. Bahwa Pratistha tersebut artinya kemantapan pemikiran mengenai identitas pribadi dan yang semesta atau realisasi bahwa Brahman merupakan diri sejati dari diri seseorang.
  3. Bahwa seseorang yang mengetahui identitas dari Ananda yang merupakan perseorangan dengan yang ada pada Brahman, secara perlahan-lahan mendapatkan penyatuan dengan Brahman (upasankramati), tenpa meninggalkan kepribadiannya. Yang bebas temasuk kategori tertinggi, sehingga pembebasan terkandung dalam perembesan Jiva ke dalam Brahman sehingga daya Brahman lolos ke dalamnya, persis seperti darah dari suatu organism hidup yang lolos ke dalam perut seekor lintah. Naskah-naskah ini tampaknya telah menjadi dasar dari persepsi tentang Sayujya Moksa dalam sistem filsafat Lakulisa Pasupata, tetapi beberapa authoritas yang lebih awal di bawah pengaruh Vedanta monistik, seperti yang di nyatakan oleh Sayana berpendapat bahwa kata “Sankramati” di dalam naskah di pergunakan dalam pengertian yang ke dua dari buah pengetahuan, yang menghancurkan khayalan.
  4. Bahwa yang terbebas (mukta) pergi ke dunia Brahman.
  5. Bahwa objek perenungan mungkin Brahman atau suatu aspek dari pada-nya, yang dapat membuat perenungan menjadi kuat atau lemah. Karena itu, apabila perenungan menjadi kuat dan objeknya menjadi Brahman, sang perenung mendapatkan penyatuan (sayujya) dengan Brahman. Tetapi apabila menjadi lemah, ia mendapatkan dunia Brahman (Salokata). Demikian pula objek perenungan menjadi suatu aspek dari Brahman dan perenungan menjadi kuat, menengah atau lemah, si perenung mendapatkan penyatuan dengan daya yang sama (sarstikata-samanaisvaryata) atau dunia ke illahian (samalokata).
  6. Bahwa pembebasan akhir di capai melalui bermacam-macam tahapan dan pada tahapan akhir Yang terbebas mencapai keagungan Brahman (mahima).
Beberapa hal yang senada bagi filsafat Lakulisa Pasupata dari Taittiriya Aranyaka, menurut penafsiran Sayana, adalah sebagai berikut:
  1. Bahwa sang diri di dalam guha, terbuat dari 5 kosa, yang utamanya identik dengan Brahman dan orang yang mewujudkan hal ini, mengalami keseluruhan objektifitas secara terus menerus.
  2. Bahwa purusa merupakan suatu akibat (annat purusah).
  3. Bahwa Akasa adalah ruang dan bahan, di mana suara ada di dalam atau bersamanya.
  4. Bahwa penciptaan memungkinkan bagi subjek yang terbatas untuk menikmati dan menderita buah karma.
  5. Bahwa tak ada pertentangan yang mendasar antara identitas dan perbedaan; di mana identitas menunjukkan intisari, yaitu Brahman dan perbedaan terhadap wujud saja (akara) brahmakarena advaitam, bhoktrbhogyakarena dvaitam.
Jadi dengan demikian Taittiriya Aranyaka menghadirkan dasar-dasar pengertian Dvaitadvaita atau Bhedabheda.

Kita telah merujuk pada 5 anuvakah dalam Taittiriya Aranyaka,yang merupakan dasar dari sistem filsafat Lakulisa Pasupata. Sayana dalam penafsirannya tentang naskah ini setuju bahwa mereka mengemukakan tentang Saivaisme secara umum, baik sebagai sebuah agama (aliran) maupun sebagai sebuah filsafat. Jadi, ia menyatakan bahwa 5 mantra yaitu: Sadyojatamm, Vamadevaya, Aghorebhyah, Tatpurusaya dan Isanah, menghadirkan 5 muka (vaktra) dari mahadeva atau siva, di mana empat yang pertama, menghadap ke empat arah dan yang ke lima menghadap ke atas (urdhva)

Penafsiran dapat di ketengahkan sebagai berikut:
  1. Hamba mendekati Sadyojata, yang mengarah ke barat, penguasa dalam wujud tersebut; hamba bersujud pada Sadyojata. Ya Tuhan! Doronglah hamba, bukan kepada keberadaan yang berpindah-pindah, tetapi untuk mengatasinya. Hamba bersujud kepada mereka yang bebas dari siklus kelahiran dan kematian.
  2. Hamba bersujud kepada Vamadeva yang menghadap ke utara, yang memiliki 9 aspek, yang di lengkapi 9 daya, yaitu: 1. Jyestha, 2. Srestha, 3. Rudra, 4. Kala, 5. Kalavikarana, 6. Balavikarana, 7. Balapramathana, 8. Sarvabhutadamana, 9. Manonmana.
  3. Hamba bersujud kepada Aghora, yang menghadap ke selatan, yang memiliki 3 macam wujud, sesuai dengan Guna yang lebih banyak mempengaruhinya.
  4. Hamba bersujud kepada Tatpurusa, yang menghadap ke timur, hamba merenungkan Tuhan yang agung (Mahadeva); semoga Rudra mendorong hamba untuk mengetahui pengetahuan dan perenungan.
  5. Isana, yang mengahadap ke atas (urdhva-vaktra) merupakan penguasa pengetahuan, pengendali semua makhluk, pelindung Veda. Sang diri yang mengatasi segalanya lebih tinggi dari pada Hiranyagarbha Brahman sekalipun; semoga ia berkenan mewujudkan aspek yang penuh kedamaian kepada hamba. Hamba adalah Sadasiva.
Kita akan menunjukkan perbedaan antara penafsiran dari Sayana mengenai mantra ini dengan yang di berikan Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya dan perbedaan antara teks-teks (naskah) dari mantra ini, seperti yang di jumpai dalam Taittiriya Aranyaka, dengan yang di pergunakan oleh Lakulisa.

Menurut Lakulisa Pasupata, Moksa tak terkandung dalam penghentian dari semua kemalangan (duhkhanta) saja, seperti yang di nyatakan oleh Nyaya, tetapi juga dalam pencapaian daya-daya pengetahuan dan kegiatan.

Akibat, menurut beberapa sistem lain, misalnya Vaisesika adalah yang tidak ada sebelu hal itu terjadi (asatkaryavada); tetapi menurut sistem ini, akibat tersebut sifatnya abadi, seingga Kala, Vidya, dan Pasu semuanya abadi.

Menurut beberapa sistem lain, penyebab efisien tergantung pada sesuatu di luar, berkenan dengan masalah penciptaan dan akibat. Misalnya Nyaya dan Vaisesika tentang Isvara yang tergantung pada atom dan karma, tetapi menurut sistem ini, penyebab itu selamanya bebas sama sekali.

Upacara-upacara, yang di uraikan oleh beberapa sistem lain membawa menuju surga,dsb, dari mana dapat di pastikan akan jatuh kembali setelah habis menikmati pahala; tetapi upacara Pasupata, membawa pada tahap Samipya, di mana mereka yang telah mencapai tahapan ini tak akan kembali ke dalam keberadaan yang berpindah-pindah.

Lakulisa Pasupata menolak konsepsi Moksa seperti yang di kemukakan oleh Ramanuja dan Ananda Tirtha, yang secara teknis di sebut “perbudakan“ (dasatva), karena perbudakan bukanlah akhir dari segala kesengsaraan. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa pembebasan adalah pencapaian atribut dari yang tertinggi.

Perbedaan antara Saiva Dualis dengan Lakulisa Pasupata adalah sebagai berikut:
  1. Menurut Lakulisa Pasupata, Tuhan terlepas (bebas) dari karma dalam kegiatan penciptaan-nya, tetapi menurut Saiva Dualis, dia tergantung pada karma.
  2. Menurut Lakulisa Pasupata, daya pengetahuan dan kegiatan lolos ke dalam pembebasan (sankranti), tetapi menurut Saiva Dualis daya-daya tersebut berwujud (abhivyakti). Yang satu berpendapat bahwa daya-daya tersebut bukan milik dari pasu, sedang yag lain berpendapat bahwa daya-daya tersebut adalah milik Pasu,tetapi di selubungi (di kaburkan).
  3. Saiva Dualis mengakui siva sebagai pencipta berdasarkan penyimpulan, sehingga argumentasinya merupakan kosmologi. Ia berpendapat bahwa ketergantungan pada cara, seperti karma misalnya, tidak bertentangan dengan kebebasan si pencipta, karena kebebasan sseorang raja member hadiah tak terpengaruh walaupun ia melakukannya lewat harta benda. Kebebasan si pencipta terkandung dan tak membiarkannya untuk mendorongnya berbuat serta dalam penggunaan peralatan dan bukan menjadi bebas dari padanya. Namun Lakulisa Pasupata berpendapat bahwa Tuhan bebas dari karma pada kegiatan penciptaannya dan bahwa objek penciptaan terjadi dalam dirinya sebagai daya-dayanya. Karena itu, dia terbebas dari segala sesuatu secara abadi dalam kegiatan penciptaan (svatantra). Ia mewujudkan akibat atas kehendak-nya.

Lakulisa Pasupata tidak mengakui materi yang menjadi hakekat pikiran, menjadi sifat dari pemikiran, tetapi bukan pemikiran yang tetap di dalam diri apa yang sesungguhnya merupakan sifat dari pikiran (cit). Materi terjadi dalam kemampuan (sakti) dari Tuhan, yang tidak berbeda dari-nya dan merupakan aspek dari pada-nya seperti panas yang merupakan aspek dari api. Dengan demikian ia merupakan dvaitadvaita (BHEDABHEDAVADA); karena walaupun ia mengakui perbedaan pokok antara pikiran dan materi, antara yang pribadi dan yang semesta, namun ia berpendapat bahwamateri bukan berada di luar cit, atau Tuhan, tetapi di dalamnya, yang merupakan Saguna Brahmavada, ia mengakui bahwa para dewa dan makhluk-makhluk surgawi juga merupakan keberadaan yang berasal dari daya Rudra sebagai objek kegiatan penciptaan dan penghancuran-nya.

Komentar atau ulasan agama, mengenai Pasupata Sutra-nya Lakulisa oleh Kaundiya disebut Pancartha Bhasya, karena ia berkaitan dengan lima kategori utama dari sistem filsafat Lakulisa Pasupata,di mana dua kategori bersifat metafisika dan tiga kategori bersifat agamis, sehingga dalam sistem ini tak di kenal pencabangan antara filsafat dan agama. Kelima kategori tersebut adalah:
  1. Karana (pati),
  2. Karya (pasu),
  3. Yoga,
  4. Viddhi, dan
  5. Duhkhanta, atau Tuhan (penyebab), akibat penyatuan, ritual, dan pebebasan.
Tampak bahwa ketika filsafat Lakulisa Pasupata muncul, tak banyak pertentangannya dengan sistem Vedanda. Dalam Pasupata Sutra, perkataan Brahman di pergunakan sebagai objek perenungan dan kata Pati, Karana dan Brahman artinya sama; karena Sutra “Atredam Brahma Japet” di ulang-ulang lima kali pada permulaan pengenalan Brahman atau Pati pada dasar dari setiap mantra dari kelima mantra, “Sadyojatam” dsb.

Pati atau Brahman adalah sat (keberadaan), yang berbeda dengan Asat (bukan keberadaan). Sifatnya yang abadi berbeda dengan pembebasan, karena Lakulisa Pasupata berpendapat bahwa ke abadiaan ada dua jenis, yaitu: yang tidak memiliki awal dan akhir, serta yang memiliki awal tetapi tidak memiliki akhir. Dan jenis yang pertama merupakan milik dari penyebab atau pati dan jenis yang ke dua merupakan milik dari yang terbebaskan atau Moksa, karena ia memiliki awal tetapi tidak memiliki akhir. Pati merupakan penyebab tanpa sebab yang abadi, yang tanpa awal-nya berbeda dengan purusa, seperti yang di nyatakan oleh Samkhya dan yoga. Purusa merupaka subjek kelahiran dan kematian, tetapi Pati bebas dari ahl-hal semacam itu.

Uraian di atas tadi merupakan penafsiaran Kaundiya tentang kata “Sadyojatam”. Tetapi, menurut Sayana, kata ini hanya merupakan satu nama dari Siva yang menghadap ke barat, yang secara artistic di terima oleh pikiran ke agamaan sebagai lima muka (Pancavaktra).

Sadyojata ini harus di capai secara mental untuk pengecualian dari segala sesuatu lainnya dan si perenung harus mempersembahkan seluruh keberadaannya kepada-nya. Objek persembahan ini melampaui ciptaan,akibat, yang merupakan landasan di bawah kategori yang secara teknis di sebut Karya dan yang patut mendapat anugerah.

Pati meresapi diri pribadi melalui daya pengetahuan (jnana sakti) dan karena kehendaknya lah maka pribadi di hubungkan dengan kepribadian dan hubungan pribadi dengan badan, kegiatan dengan tanpa kegiatan dsb, bergantung kepada kehendaknya.

Pati bertanggung jawab terhadap perceraian serta penggabungan alam dunia, yang terdiri dari 14 macam keberadaan, objek-objek serta tempat kediamannya. Ia mengendalikan semua daya dan bertanggung jawab terhadap keterikatan yang timbul terhadap badan, indria, objek-objeknya serta rumah, dalam segala makhluk yang terbatas, kecuali para Siddha. Ia tidak di batasi oleh manas, yaitu semua yang berada di bawah Kala, seperti 13 indriya, 5 tanmatra, dan 5 unsur. Ia merupakan si pengendali, si pengarah dari semua akibat dan cara (Karya dan Karana dalam pengertian Samkhya).Oleh karena itu ia di katakan sebagai Sakala, hanya oleh pemindahan dari sifat; tetapi sesungguhnya ia melampaui dan mengatasi segalanya, sehingga di katakana sebagai Akala atau Amanas. Ia merupakan penyebab dari berbagai-bagai objek dari sifat yang berlawanan, oleh Karena itu ia di gambarkan menjadi berbagai-bagai wujud, baik yang menakutkan maupun yang penuh dengan kedamaian dan merupakan tempat bagi semua yang berada di bawah kategori “ Karya”, yaitu: Vidya, Kala dan Pasu.

Pati juga di nyatakan sebagai Mahadeva, penguasa para dewa dan kejenakaan merupakan sifat utama-nya. Ia lebih tinggi dan jauh lebih kuasa dari pada makhluk apapun. Ia berbeda dengan diri-diri pribadi dan ia menciptakan semua sifat dari akibat, yaitu Kala, Vidya, Pasu, karena kejenakaannya. Ia merupakan penyebab penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran, pengaburan serta anugerah. Ia hanya satu-satunya walaupun secara berbeda di katakan sebagai Pati dan Adya, karena berbagai atribut dan fungsinya. Ia di sebut Pati, karena ia memiliki daya-daya pengetahuan dan kegiatan yang mengatasi segalanya (niratisaya drkkriyasaktimattvam), yang tanpa awal dan tanpa akhir.

Daya-dayan-nya terwujud dalam semua yang terbatas, yang tak terbatas atau terbatas pada satu aspek dan tak terbatas pada aspek lainnya, baik yang indah maupun yang buruk. Ia merupakan dewa Rudra,lautan matahari, ether, sang diri,Brahman dan tak satupun yang dapat di pandang sebagai berbeda dengan-nya (na sakyam bhedadarsanam). Tuhan di katakan sebagai tanpa awal dan tanpa penyebab yang menyebabkan, yang pada pokoknya merupakan sifat ( hakekat ) dari “keberadaan”, dalam bab pertama sutra 58,40,44. Ia juga di katakana sebagai banyak, karena keberadaannya yang memiliki banyak atribut dan melakukan fungsi yang bermacam-macam seperti yang di nyatakan dalam bab 2, sutra 1,4,5,20,23, sampai 27. Ia juga di akui memiliki sifat-sifat yang berlawanan seperti Ghora,Aghora dan Ghoratara.

Karena itu timbul suatu pertanyaan:
Apakah menurut sistem ini Realitas terakhir merupakan kejamakan”?
jawabannya adalah Tuhan itu satu dengan wujud yang banyak, yaitu realitas terakhir itu merupakan kesatuan dalam kejamakan (tatpurusa). Ia di katakan rsi karena ia mengendalikan semua yang merupakan sifat dari akibat (karya). Ia di sebut dengan Vipra, karena ia maha tau. Daya pengetahuannya berlanjut mengatasi segenap medan pengetahuan. Ia merupakan yang agung ( mahan ) karena daya-daya pengetahuan dan kegiatannya alamiah dan tak terjangkau serta jauh melampaui yang di miliki keberadaan lainnya, yang merupakan miliknya sebagai sifat-sifatnya. Dalam kenyataannya Ia di sebut Isvara, karena sifat-sifat ini berada di dalamnya (aisvaryam tad gunasadbhavah). Ia mengatasi sesuatu yang dapat di amati dan lebih tinggi dari purusa. Ialah yang menjadi sasaran meditasi yang berasal dari perkataan dan Manas. Ia adalah Niaskala, namun berbeda dengan Pralayakala. Walaupun Niskala, ia memiliki sifat mahatau dan maha kuasa.

Ia adalah penguasa segala ajaran yang membawa pada pencapaian empat tujuan umat manusia yang di kenal. Ia merupakan penguasa semua makhluk hidup kecuali para Siddha dan Isvara. Ia di sebut Brahman karena ia bertanggung jawab terhadap pengkasaran dari Vidya, Kala dan Bhuta, namun ia tetap mengatasinya. Ia adalah penguasa dari brahma, makhluk pertama yang berbeda dengan semua subjek yang terbatas yang di katakan sebagai Virinci. Ia di sebut Siva karena ia bebas dari segala kemalangan dan dengan demikian menyatakan pengalaman bebas akhir yang abadi (nitya).

Konsepsi tentang akibat atau Karya, menurut Lakulisa Pasupata, sangat berbeda dengan sistem filsafat lainnya. Ia bukanlah Vikrti, sebagai lawan dari Prakrti menurut sistem Samkhya, karena di dalamnya bukan saja “vikrti” tetapi juga purusa atau subjek, yang bukan prakrti ( penyebab ) maupun vikrti (perubahan). Selanjutnya, ia tidak mengakui teori evolusi bahwa mahan berasal dari prakrti dsb, sebaliknya ia berpendapat bahwa segala sesuatunya ada dalam sakti (daya) Tuhan dan penciptaan tidak lebih dari pengkasaran dari apa yang ada dan penyelenggaraan dari apa yang terpisah adanya menjadi keseluruhan ini, sesuai dengan kehendak-nya.

Akibat juga bukanlah hanya sifat dari “pemikiran” dalam pikiran universal, seperti pandangan dari Monistik Kasmir, karena Lakulisa Pasupata menemukan perbedaan antara yang berjiwa dengan yang tak berjiwa (cit dan acit) walaupun mereka ada dalam daya Tuhan. Akibajuga bukan hanya hayalan seperti yang di kemukakan oleh para Vedantin, karena lakulisa pasupata bukanlah monistik, tetapi Dualisme yang monistik. Ia mengakui bahwa realitas bukanlah kesatuan yang murni tetapi kesatuan dalam kejamakan, sehingga menurutnya kejamakan ada dalam kesatuan seperti yang di lakukan binatang-binatang di surga. Akibat juga bukannya tak terjadi sebelum sesuatunya terjadi seperti asatkaryavadin-nya Nyaya dan Vaisesika, karena akibat sebagai sebuah kategori menurut Pasupata Lakulisa, adalah abadi.

Tampak bahwa Lakulisa Pasupata di pengaruhi dalam konsepsi tentang kategori utam yang kedua, yaitu akibat , oleh konssepsinya tentang kategori utama yang pertama yaitu pati, yang kemungkinan hanya pada suatu tahapan berikutnya dalam pengembangan sistem, yang di sebut penyebab (Karana) karena Pati hanya kata yang di pergunakan sebagai kategori pertama dalam pasupata Sutra, pada sutra pertama; demikian pula kata “Pasu” di pergunakan untuk kategori kedua yang tampaknya menjadi apa yang di kendalikan oleh Tuhan ( pasanat pasuh).Dan kemudian dua yang pertama, yang hanya merupakan kategori metafisika d beri nama yang lebih bersifat filsafat yaitu penyebab (karana) dan akibat (karya). Kata karya sebagai nama dari kategori yang ke dua dalam filsafat ini,bukan berarti “ yang di akibatkan atau hasil yang belu ada sebelum di hasilkan”; tetapi yang merupakan objek dari kehendak Tuhan yang bebas yaitu yang tidak bebas (asvantantra) sebagai lawan dari Tuhan (PATI) yang bebas, karena sistem ini menyatakan bahwa “pati” (penguasa) tak berarti tanpa pasu. Akhirnya sistem ini menyertakan 3 kategori yang tidak bebas, yaitu Vidya (subjek yang terbatas), Kala (materi), dan pasu (subjek pribadi).

Vidya merupakan yang pertama dari 3 kategori akibat (karya) yang bergantung (tidak bebas) dn merupakan atribut dari subjek pribadi.Hal ini merupakan dasar dari Lakulisa Pasupata tentang teori pengetahuan dan etika. Ia merupakan daya perasa, yang sebagai atribut subjek yang terbatas, membedakannya dari Kala yang tak berjiwa, yaitu materi, sebagai kategori kedua yang bergantung pada akibat (karya). Sebagai dasar teori pengetahuan, ia bersinar sendiri dan mencerahi apa yang berada di luarnya, yaitu objek seperti sebuah lampu. Ia memperlihatkan makna yang tersembunyi dari naskah-naskah suci dan membawa pada pengetahuan tentang sifat-sifat pokokdari ketidakmurnian (mala), cara (upaya) untuk mendapatkan pelepasan darinya dan perolehan (laba) akibat mengenai kebebasan dari ketidakmurnian tersebut. Hal itu merupakan sinarpengajaran yang di wujudkan oleh Tuhan dan menuntun pada pencapaian empat tujuan umat manusia, yang di kenal sebagai Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Menurut Lakulisa Pasupata, hal ini merupakan perolehan pertama sebagai akibat dari disiplin kehidupan, dan hal semacam itu di sebut dengan pengetahuan (jnana), yaitu pengetahuan yang benar sebagai lawan dari pengetahuan yang salah (mithyajnana) yang di sebabkan oleh cara pengetahuan yang salah (pramanabhasajam jnanam) termasuk keragu-raguan, kesalahan, keterikatan, keengganan kemarahan bersama-sama dengan akar penyebabnya. Jadi kata “Vidya”, dalam konteks yang berbeda menyatakan :
  1. atribut dari subjek pribadi;
  2. pengetahuan yang di dapat melaluinya, dan
  3. adat istiadat lama yang di wujudkan oleh Tuhan, Karena itu merupakan objek pengetahuan.
Vidya, sebagai sebuah kategori yang bergantung, di gambarkan dalam hubungannya dengan subjek pribadi, sebagai kondisi terbatasnya, yaitu atribut atau sifat. Pembagian di bawahnya menghadirkan atribut ini karena ia tampak dan berfungsi dalam situasi yang berbeda, dimana pribadi menemukan dirinya. Dalam suatu situasi ke agamaan, di mana seorang penyembah mendengarkan dengan penuh perhatian kepada suatu pelajaran mengenai reliatas terakhir, yaitu Vidya, tampak hanya sebagai kesadarn tentang realitas terakhir tersebut, seperti yang di nyatakan oleh guru. Terhadap kesadaran semacam itu, caranya hanya dengan perintah-perintah spiritual (upadesa) dan hal ini di sebut “Vivekavrtti”.

Madhava dalam Sarva Darsana Samgraha-nya mempergunakan istilah “Pravrtti” sebagai pengganti “vrtti” seperti yang di jumpai dalam ulasan pada Gana Karika, oleh penyusun yang tak di kenal.Kata Pravrtti biasanya berarti gerakan, tetapi vrtti biasanya berarti keadaan pikiran yang terpengaruhi, yang artinya bahwa keadaan pikiran dimana pengaruh objek luar tampak,yang kebanyakan seperti pantulan objek pada sebuah cermin.
Karena itu timbul pertanyaan:
"apa arti dari “pravrtti” dalam konteks yang sekarang ini"?
Tampaknya Pravrtti menyatakan keadaan pikiran yang terpengaruh dan juga kegiatan pengamatan dari pikiran.

Apabila Vidya mencerahi suatu objek, ia di sebut “Bhodasvabhaa” yang bersifat mencerahi (menjelaskan); tetapi apabila ia tidak mencerahi suatu objek tetapi hanya merupakan pencerahan diri, ia di sebut “Abodhasvabhava”, yang tak bersifat mencerahi, yang merupakan bagian (kelompok) akibat dari perbuatan yang di lakukan, baik yang bijak maupun yang berdosa, pada aspek pusat dari kepribadian umat manusia dan akibat ini di sebut sebagai Dharma dan Adharma. Vidya semacam itu merupakan dasar etika dari Lakulisa Pasupata.
Pembagian menurun ketiga dari VidyaAbodhasvabhava, adalah Samskara, yang merupakan akibat, bukan dari perbuatan yang di lakukan tetapi dari objek yang di ketahui. Hal ini berkaitan bukan pada teori etika tetapi pada teori pengetahuan; yang bertanggung jawab atas ingatan, semua factor yang sangat penting dalam pemunculan dari pengetahuan yang pasti; karena penentuan pengetahuan terkadang dalam hubungan objek, yang di ketahui dengan suatu kata, yaitu ingatan.

Sekarang coba kita perhatikan pembagian lain di bawah Vidya yang bersifat mencerahi (bodhasvabhava), yang selanjutnya di bagi menjadi Vivekavrtti atau Vivekapravrtti dan Sadharanavrtti atau Avivekapravrtti perlu di tekankan di sini bahwa tedapat perbedaan pandangan antara pengulas pada Gana Karika dan Madhava tentang masalah ini; karena sementara yang pertama menyebutnya sebagai Samayavrtti” yang belakangan menamakannya sebagai “Avivekapravrtti”. Kita telah sependapat dengan Vivekavrtti, yaitu suatu keadaan terpengaruh dari pengamatan, di mana realitas terakhir tampak dalam kesadaran dari seorang pemuja dalam mendengarkan ajaran tersebut dengan penuh perhatian.Samanyavrtti atau Avivekapravrtti merupakan dasar dari teori pengetahuan empiris dari Lakulisa Pasupata seperti yang di nyatakan di depan.

Lakulisa Pasupata menjelaskan tentang persepsi dalam istilah Citta,tetapi citta disini bukanlah salah satu dari indra dalam (antahkarana), seperti yang dikenal oleh para Vedantin. Ia merupakan kegiatan pencerahan diri dan mencerahi pengamatan (Vidya bhodha svabhava samanyavrtti), yang merupakan suatu atribut dari subjek pribadi. Kegiatan ini terkandung dalam gerakan dari sinar, yang berlangsung dari aspek penyinaran (bodhassvabhava) dari pengamatan vidya. Ia mencerahi objek pengetahuan seperti sinar dari sebuah lampu.
Akibatnya, indra-indra dalam dan luar bekerja da suatu kecendrungan pengamatan oleh objek mengikutinya. Inilah yang di sebut dengan persepsi yang terdiri atas dua jenis yaitu yang pasti dan yang tidak pasti. Apabila ingatan, yang tiada lain adalah penghidupan kembali bekas-bekas jejak (samskara), bekerja sama dalam mempertunjukkan pada kesadaran kata yang membantu objek yang di ketahui sebagai kaitan terhadap kecenderungan, maka persepsi itu adalah pasti. Tetapi apabila ingatan tidak bekerja sama , persepsi itu adalah tidak pasti. Dalam kasus yang pertama kita memiliki pengetahuan yang pasti dan pada kasus yang kedua kita memiliki pengetahuan yang tidak pasti.

Lakulisa Pasupata mengakui 3 cara pengetahuan, yaitu:
  1. Persepsi,
  2. Penyimpulan,
  3. Pengujian verbal. 
Ia berpendapat bahwa semua cara yang lain, yang di akui oleh sistem filsafat lainnya, seperti Arthapatti,Sambhava, Abhava,Aitihya dan Pratibha termasuk di dalamnya.

Persepsi ada 2 jenis, yaitu:
  1. persepsi indriyani (indriya praktyaksa), dan
  2. persepsi spiritual (atma praktyaksa). 
Persepsi indriyani yang sah di sebabkan oleh kontak indra dengan objek, yang tergantungpada perangkat penyebab pencerahan dan kerjasama dari faedah dan tidaknya, sinar, waktu, tempat dan kehendak-nya. Persepsi spiritual di sebabkan oleh kontak dari citta dan indra dalam (antahkarana).

Penyimpulan di sebabkan oleh kontak citta dan indra dalam (antahkarana), yang penyebab utamanya adalah ingatan yang muncul karena faedah, kekurangan,waktu, tempat dan kehendaknya. Penyimpulan ini ada 2 jenis, yaitu yang berkaitan dengan apa yang di terima sebelumnya dalam bentuk khusus (drsta) dan apa yang di terima sebelumnya dalam bentuk umum (samanyatodrsta). Yang pertama selanjutnya terbagi menjadi: Purvavat dan Sesavat.

Hal ini sangat mirip dengan pandangan penyimpulan dari Samkhya, yang menyebut pembagian utamanya sebagai vita dan avita. Dan kemiripannya dengan Nyaya pada masalah ini adalah sama antara Samkhya dan Nyaya, karena Nyaya secara pokok membagi penyimpulan menjadi 3.

Agama sebagai pembuktian verbal sebagai suatu cara pengetahuan, adalah naskah-naskah suci yang berasal dari Tuhan yang sampai kepada para pengikut agama atau para filsuf melalui garis perguruan yang tak terputus.
Kala, yang merupakan kategori kedua dari akibat yang bergantung, sifatnya adalah jada, yang kebanyakan mirip dengan pradhana dari sistem Samkhya, yang sedemikian jauh terdiri dari 23 kategori, yang menyusun kondisi dari subjek pribadi dan tergantung pada pengendalian dari yang merasakan seperti kereta dengan kuda-kudanya di bawah pengendalian kusirnya.

Subjek yang dapat merasakan, yaitupasu merupakan kategori ketiga dari akibat (karya) yang tidak bebas dan di kelompokkan di bawah akibat karena ia juga merupakan buatan Tuhan. Setiap makhluk hidup bernyawa kecuali para Siddha dan Isvara adalah Pasu, yang di sebut demikian karena ia berada dalam ikatan dan tidak bebas (svatantra); karena daya untuk menyebabkan, yang menjadi miliknya terbatas (karanasakti sannirodha). Belenggunya tanpa awal dan ia memiliki keterbatasan, yang tersusun oleh Kala dan 23 kategori seperti pada sistem Samkhya.

Suatu mahkluk yang terbatas( pasu) tak berhenti di batasi walaupun pembatasan dari kala lenyap; karena pemisahan dari diri terbatas dari badan menggantikan pada saat penghancuran dunia ini. Tetapi mahkluk yang terbatas yang memperoleh pemisahan dengan badannya, akan lahir kembali. (Di sini merupakan asal mula konsepsi tentang pralayaka, seperti yang di jumpai dalam monistik kasmir) Ia di sebut patu karena walaupun pada dasarnya ia meresapi dan meraskan, namun ia masih mempersamakan dirinya dengan badan (ini merupakan dasar konsepsi tentang Dehapramata dari Saiva Monistik Kasmir). Ia di sebut pasu juga karena setelah ia terpisah dengan badan dalam peleburan universal, ia tidak bebas mengenakan suatu badan baru, karena hal itu tergantung pada habis tidaknya pahala dan ganjaran, waktu dan ruang serta kehendak Tuhan.

Menurut Lakulisa Pasupata, sang diri atau Atman adalah yang menegetahui badan, termasuk indra-indra dalam dan luar , yang di kenal juga sebagai Ksetrajna dan merupakan kesadaran diri (cetana). Ia di sebut demikian karena ia secaraterus menerus aktif, mengetahui objek-objek dengan mencerahinya dengan sinarnya sendiri;yang di simpulkan dari pengalaman tentang kesenangan, kesedihan, keinginan, keengganan, dan usaha yang sadar. Hal ini sesuai dengan yang di nyatakan oleh Nyaya, yaitu: “iccha dvesa prayatna sukha dukha jnanani atmano lingam”.

Pasu berbeda dengan Pati walaupun keduanya meresapi segalanya,tetapi pengetahuan dri yang pertama terbatas, sedang yang ke dua (pati) mahatau. Perbedaan ini hanya ada apabila pasu ada dalam tingkatan empiris. Tetapi apabila ia mendapatkan tingkatan spiritual yang lebih tinggi, ia memperoleh penggabungan dengan daya pengetahuan dan kegiatan, serta menjadi mahatau serta mampu untuk menciptakan serta menghancurkan sesuatu atas kemauannya sendiri.
Lakulisa Pasupata mengakui 5 ketidak murnian (mala), yaitu
  1. pengetahuan yang salah,
  2. adharma (tidak benar),
  3. keteikatan dan penyebabnya,
  4. kemerosotan pikiran,
  5. kepribadian subjektif. 
Konsepsi dari 5 ketidak murnian ini berbeda sedikit dengan yang di pakai oleh Saiva Dualis. Uraian dari masing-masing Mala tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Pengetahuan yang salah (mithyajnana), adalah pengetahuan yang di sebabkan oleh cara pengetahuan yang cacat, seperti kebimbangan, kesalahan dsb. Juga semua sifat kecemaran terhadap pikiran, seperti mencintai objek-objek duniawi, kemarahan, ketamakan, kesombongan dan permusuhan.
  2. Adharma merupakan timbunan akibat dari perbuatan yang berdosa pada subjek pribadi.
  3. Penyebab keterikatan bersama-sama dengan keterikatan terhadap objek duniawi (saktihetu) merupakan kecenderungan, karena hal itu menyebabkan subjek pribadi mempersamakan dirinya dengan badan, udara vital dan kecerdasan serta merasakan terikat pada objek-objek yang di senanginya. Hal ini di sebabkan I oleh timbunan akibat dari pelaksanaan ritual yang di uraikan oleh sistem lain.
  4. Kemerosotan (cyuti) adalah yang menyebabkan pikiran penyembah menjauh dari objek pemujaan dan cenderung menuju objek-objek empiris, walaupun tak terjamah olehnya.
  5. Kepribadian subjektif adalah ketidak murnian yang menyebabkan pasu (subjek pribadi) berlawanan dengan pati (Tuhan).
Ia memiliki 14 ciri yang membedakan Pasu dari seorang siddha(roh terbatas, yaitu:
  1. Absennya sifatnya ke mahatahuan dan
  2. kemahakuasaannya. Ini yang membedakan konsepsi Lakulisa Pasupata dengan Samkhya karena Samkhya berpendapat bahwa sang diri terbebas segera setelah ia memperoleh pembebasan dari Prakrti dan 23 evolusinya. Ini di sebut “Pemisahan” atau Kaivalya dan di peroleh melalui merekahnya fajar pengetahuan tentang perbedaan antara Purusa Prakrti. Tetapi Lakulisa Pasupata menyatakan bahwa pencapaian Kaivalya bukian berarti pembebasan, karena ketidak murnian yang disebut Pasutva, yang di cirikan dengan absennya ke mahatahuan dan kemahakuasaan masih tetap ada, sehingga roh yang mencapai Kaivalya saja, akan lahir kembali dan tak ada kemerdekaan yag sebenarnya selama tak ada penyatuan (sayujya) dengan Tuhan, yang di cirikan dengan lolosnya daya-daya Tuhan seperti mahatau dan mahakuasa, ke dalam pasu.
  3. Absennya daya kehendak,
  4. berkaitan dengan cara pengetahuan terbatas;
  5. Absennya kemampuan untuk mengetahui dan melakukan semuanya, walaupun tanpa suatu kaitan dengan “cara” dan “akibat”;
  6. Absennya kemampuan untuk mengendalikan semuanya;
  7. Absennya kemampuan untuk memasuki segalanya;
  8. Absennya kemampuan untuk memisahkan badan dari prinsip kehidupan;
  9. Penaklukkan akan katakutan;
  10. terhadap kemerosotan;
  11. terhadap usia tua;
  12. terhadap keberadaan yang berpindah-pindah;
  13. gerak yang terbatas;
  14. Absennya daya untuk menguasai.
Konsepsi tentang 5 ketidak murnian yang di bicarakan di depan, tampaknya telah membawa Lakulisa Pasupata untuk berpikir dalam pandangan “petads” (pancaka), yaitu hal-hal yang mengandung 5 masalah atau 5 bagian. Ada 8 pancaka, termasuk yang pertama tadi yang mengandung 5 ketidak murnian,sedang sisanya sebanyak 7 pancaka, adalah sebagai berikut:
  • Lima cara untuk membebaskan diri dari 5 ketidak murnian, yaitu:
    1. Basa, yang merupakan kemampuan intelektual untuk meraih dan mempersamakan makna sebenarnya dari bacaan-bacaan yang di berikan oleh guru (basa)
    2. Carya, yang merupakan cara pencapaian pahala keagamaan, yaitu Dharma menurut sistem ini, termasuk ragam kehidupan dan pemujaan. Hal ini tercantum dalam pasupata Sutra, dari sutra ke-2 bab I sampai sutra ke-8 bab IV. Dapat di kemukakan di sini bahwa Carya sebagai cara perolehan pahala ke agamaan sering di artikan secara lebih luas, termasuk cara penyatuan dengan Tuhan seperti japa-dhyana (termasuk pratyahara dharana dan semadhi). Snana= mandi dalam abu; Sayana= tidur dalam abu; Upahara=identifikasi melalui kegiatan di pura; Japa= konsentrasi mental; Pratyaharaphala= konsentrasi sukarela;Samadhiphala=Konsentrasi dengan tidak sadar, yang merupakan tahapan terakhir (kelima) di mana konsentrasi di tujukan kepada Isana; sedang Japa, konsentrasi pada Sadyojata (tahap pertama) dan pradaksina merupakan tahapan kedua, yaitu kosentrasi pada vamadeva; Japapurvaka merupakan tahap ketiga yang di tujukan pada Aghora dan Dharanapurvaka merupakan tahap keempat yang di tujukan pada Tatpurusa. Dhyana sendiri merupakan konsentrasi yang terus menerus; Apara dengan pertalian objektif dalam Para, tanpa pertalian dengan objektif dalam.
    3. Japa-dhyana yang di dalam tabel berhubungan dengan carya dan bedanya hanya pada di siplin fisik pada carya dan disiplin mental pada japa-dhyana. Japa harus di sertai dengan penarikan pikiran dari objek-objek luar (pratyahara), dan hal itu mungkin di sebabkan oleh usaha tanpa sengaja dari indra dalam ( a tat karana purvakah), dan yang demikian itu disebut Apara (yang lebh rendah). Tetapi apabila pikiran secara otomatis tertarik dan secara tak terputus-putus di hubungkan dengan objek meditasi, akibat dari konsentrasi yang terus-menerus, yaitu ketika tak ada jarak dalam kegiatan mental dalam kaitannya dengan suatu objek luar, sepertinya tak ada sesuatupun dalam lingkaran sinar, ketika suatu api unggun di gerakkan melingkar dengan sangat cepat (alatacakravat), maka Pratyahara lebih tinggi (para). Konsentrasi yang lebih tinggi menghancurkan timbunan akibat dari karma dan menyatukan pikiran pada objek meditasi, seperti sebatang paku pada kayu. Dhyana merupakan aliran kegiatan mental yang terus menerus terhadap objekkonsentrasi, yang jenisnya ada 2 yaitu:Japapurvaka dan Dharanapurvaka.
    4. Sadarudrasmrti, yaitu cara pokok untuk menyatukan pikiran pada objek meditasi dan menjaga pikiran dari menjauhi objek meditasi.
    5. Prasada (anugerah), yang merupakan cara untuk membebaskan dari ketidak murnian, yang secara teknis di sebut “pasutva”.
  • Desa, yang merupakan pancake yang ke dua. Tempat (desa), di mana seseorang berusaha untuk mencapai pembebasan akhir, hendaknya hidup dalam 5 tahapan, pada 5 tempat yaitu:
    1. kuil (pura)
    2. Tempat, dimana para pemuja berkumpul;
    3. Gua;
    4. Tempat pembakaran mayat, dan
    5. Rudra.

  • Avastha, yang merupakan Pancaka ketiga, yaitu keadaan yang juga berjumlah 5 yaitu:
    1. Vyakta, yang merupakan keadaan di mana para calon spiritual di perintahkan untuk memiliki semua tanda yang menunjukkan seorang pengikut Pasupata, menuju pembebasan akhir.
    2. Avyakta, yaitu keadaan di mana tanda-tanda luar di buang.
    3. Jaya yaitu keadaan di mana para calon spiritual telah dapat mengendalikan indra-indranya (indriyajaya).
    4. Cheda yaitu keadaan penolakan penuh terhadap duniawi yang juga di sebut Dana, karena berarti pelepasan semua hak milik(sarvasvatyaga)
    5. Nistha merupakan penghentian kegiatan secara total.

  • Suddhi yang merupakan pancake ke empat yang terdiri dari 5 macam cara pemurnian (suddhi) yaitu:
    1. Melenyapkan ketidaktahuan,
    2. Dari adharma,
    3. Dari keterikatan,
    4. Dari perginya pikiran dari objek konsentrasi dan
    5. Dari ketidakmurnian yang di sebut dengan Pasutva.

  • Bala, yang merupakan pancake kelima, yaitu daya dari subjek pribadi yaitu:
    1. bhakti kepada guru,
    2. membebaskan pikiran dari nafsu yang mengganggu,
    3. penenangan pikiran di tengah-tengan penderitaan dan kesakitan segala bentuk,
    4. pahala keagamaan,
    5. pengetahuan yang sebenarnya.

  • Diksakari, yang merupakan pancake ke enam yaitu suatu cara inisiasi spiritual yaitu:
    1. Materi (dravya), yang artinya vidya atau ajaran yang di miliki para murid dan guru;Kusa dsb.Dan murid brahmana yang akan di inisiasi (di lantik).
    2. Waktu (kala), yang diuraikan dalam kitab suci untuk pelantikan
    3. Upacara seperti yang di uraikan dalam Samskara Karika
    4. Gambaran Devata dan
    5. Guru.
  • Labha, yang merupakan pancake ke tujuh, yaitu pencapaian (labha) yang di peroleh melalui inisiasi (diksa) yang jumlahnya 5 macam yaitu:
    1. penguasaan terhadap sistem filsafat Lakulisa Pasupata (jnana),
    2. Pahala keagamaan yang berasal dari pelaksanaan upacara sehari-hari (tapas),
    3. Kemampuan untuk berkonsentrasi terhadap objek meditasi, tanpa selang-seling (nityatva),
    4. pemusatan pikiran pada rudra, karena lenyapnya factor pengganggu (shtiti), 
    5. Daya pembebasan (siddhi) yang karenanya seseorang disebut dengan “siddhat”
Sistem filsafat Pasupata pada awalnya di kaitkan dengan pernyataan disiplin spiritual yang secara perlahan-lahan menuntun pada penyatuan dengan Tuhan; tetapi dalam membujuk para siswa untuk mengalami disiplin, daya seorang siddha, manusia yang telah mencapai penyatuan di nyatakan.

Seorang siddha memperoleh daya pengetahuan dan kegiatan di mana daya pengetahuan itu sesungguhnya satu tetapi disebut dengan nama-nama yang berbeda seperti daya melihat objek yang sangat jauh (duradarsana), karena kaitannya dengan jenis objek yang berbeda-beda.

Daya kegiatan terkandung di dalam kecepatan pikiran di dalam menghasilkan kegiatan, sehingga tak ada jurang pemisah antara gagasan dengan hasil dari gagasan tersebut,seperti pada kakus Prajapati yang di katakan melakuka tapah setelah munculnya gagasan untuk memproduksi, sebelum mereka benar-benar dapat menghasilkan. Ia menghasilkan semua wujud seketika, sehingga ia dapat berfikir pada semua mahkluk yang berjiwa, yang dapat berfikir. Ia adalah satu dan tak berbeda dengan Mahesvara, karea ia meresapi segalanya, ini merupakan satu pemahaman dari “Rudrasayujya”.

Pada semua kasus terdapat suatu kesadaran tentang trika (tiga serangkai) yang jelas antara subjek, objek dan cara. Pemikiran oleh Nagarjuna tampaknya menjadi salah dalam Madhyamika Karika-nya.

Ia juga mampu menghilangkan semua yang di ciptakannya. Ia bukan seperti Visvamitra yang dapat menciptakan tetapi tak dapat menghancurkannya. Peleburan berlangsung hanya dengan pemunculan di atas tingkatan cara (vikarana), yaitu peleburan ciptaan tiada lain adalah peleburan gagasan penciptaan, yang bersamaan waktunya dengan pemunculan pada tingkatan kesadaran murni (kaivalya).

Seorang Yogin adalah siddha, apabila ia memperoleh kemampuan untuk melihat yang tersamar dsb, dan orang semacam itu tak terpengaruh oleh karma yang di lakukan sebagai akibat hubungannya dengan badan, indra dan objek-objeknya.

Perkataan “yoga” dalam sistem filsafat ini di pergunakan bukan dalam pengertiann yang di pergunakan oleh Patanjali dalam yoga sutra-nya yaitu, Mengekang munculnya keterikatan mental” (yogascittavrtti nirodhah), tetapi dalam pengertian: ‘Penyatuan dengan Tuan’. Jadi menurut patanjali, yoga semata-mata hanya cara untuk mencapai Kaivalya, namun menurut sistem ini yoga adalah akhir atau tujuan.

Yoga, yaitu penyatuan dengan siva atau isvara, bukan di sebabkan oleh kegiatan dari subjek yang terbatas saja, seperti kontak antara seekor burung dengan sebongkah karang, tetapi di sebabkan oleh kegiatan dari keduanya, yaitu sang diriyang terbatas dan Isvara, seperti dua ekor kambing yang berkelahi, yang berarti bahwa bagaimanapun kerasnya seorang pribadi mencoba untuk mencapai penyatuan tidak akan dapat di capai tanpa anugerah-nya.

Roh pribadi di akui oleh Lakulisa Pasupata seperti Nyaya dan Vaisesika,yaitu meresapi segalanya (vibhu). Oleh karena itu, dalam kenyataannya, sang roh senantiasa dalam penyatuan dengan Isvara, keterpisahannya terkandung dalam ketidak beroperasinya daya pengetahuan dan kegiatan, akibat dari belenggu yang tak berawal. Penyatuan membutuhkan kebebasan dari belenggu, yaitu pembatasankondisi yang memisahkan sang pribadi Tuhan dan hal itu dapat di capai melalui disiplin spiritual, termasuk Samadhi seperti yang di nyatakan oleh Pasupata sastra.

Lakuisa pasupata mengakui 8 cara penyatuan dengan Tuhan, yang di kenal sebagai 8 bagian dari yoga (astangga yoga) yaitu:
  1. Melakukan tugas wajib sehari-hari (yama),
  2. Menghindari perbuatan yang di larang (niyama), 
  3. Sikap badan (asana),
  4. Pengendalian nafas (Pranayama), 
  5. Penarikan pikiran dari objek luar (pratyahara), 
  6. Konsentrasi pikiran (dharana),
  7. Meditasi (dhyana), dan
  8. Samadhi.
Sistem ini mengakui daya supra normal dari seorang yogi dan menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan, akan muncul daya penglihatan jauh dalam diri seorang yogin yang berdiam dalam sebuah gua dan telah memusatkan pikirannya secara mantap kepada Tuhan.

Menurut Lakulisa Pasupata, yoga pada awalnya ada 2 macam, yaitu:
  1. Kriyalaksana, yang di cirikan dengan kegiatan fisik dan lakulisa pasupata mengakui kegiatan dari 4 macam, tari-tarian dan music vocal, sebagai cara menuju penyatuan spiritual dengan Tuhan. Ia juga mengakui bahwa terdapat 5 tahapan penyatuan, yang sama dengan 5 tahapan kegiatan dalam sebuah drama. Tahap pertama dari yoga di mulai, dimana dari calon spiritual harus melakukan kehidupan pertapa, mandi dalam abu suci, tidur di abu, menaruh rangkaian bunga yang di persembahkan kepada para devata di kuil; mengenakan tanda-tanda luar dari seorang penganut sekta Lakulisa Pasupata; hanya mengenakan satu potong pakaian; berdiam di sekeliling kuil siva, berpantang, melakukan kekerasan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; membujang, melaksanakan kebenaran, tidak mencuri dsb. Jadi apabila para calon spiritual mendapat pembebasan dari segala nafsu, ia harus melaksanakan pengendalian nafas (pranayama) dan mengkonsetrasikan pikirannya pada makna dari mantra pertama dari kelima mantra dalam Taittriya Aranyaka, seperti “Sadyojjatam prapadyami” dsb, duduk di sebelah selatan dari para devata dalam kuil.Pada akhir perenungan, ia harus berusaha untuk bergabung, berserah diri atupun mempersamakan dirinya dengan Tuhan melalui gerak-gerak Siva, mengenai ketawanya yang keras (attahasa), atau melalui lembunya, tentang menguaknya (dundukara). Ia juga harus berusaha untuk berbuat yang sama dengan cara menari dan olah suara.
  2. Apabila pengetahuan yang sebenarnya muncul pada dirinya, sebagai hasil dari disiplin pada tahapan pertama dan ia bebas sepenuhnya dari nafsu, ia harus masuk ke dalam tahap ke dua untuk menguji bahwa ia tidak memiliki bekas-bekas nafsu yang tertinggal dalam dirinya. Pada tahapan ini, di dalam masyarakat, ia harus melakukan tidur lelap (krathana), gemeteran (spandana), gerakan perlahan-lahan dan tidak teratur seperti orang yang kakinya pincang (mandana) berbuat seperti seorang pecinta saat memandang gadis cantik (srngarana); melakukan sesuatu yang tercela, seperti orang yang tidak memperdulikan perbuatan benar dan salah (apitatkarana) dan berbicara tidak karuan ujung pangkalnya (apitanhasana). Semuanya ini harus dilakukannya agar ia dapat menjadi objek celaan dan kebencian dan memastikan dirinya bahwa tak ada nafsu yang muncul dalam dirinya, dalam berhadapan dengan hinaan dan ketidak adilan.
    Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya, mencatat suatu tradisi yang mengatakan bahwa indra mengikuti cara Pasupata dalam mencari timbunan pahala dari para setan (indro va agre asuresu pasupatamacarat). Hal ini menyusun tahapan kedua di mana para calon spiritual harus mengkonsentrasikan pikirannya pada mantra kedua dari lima mantra “Vamadevaya namah”. Pada tahapan ini si calon spiritual mencapai tingkatan spiritual yang lebih tinggi dari pada mereka yang mengikuti sistem Samkhya dan Yoga. Disini pikiran si calon spiritual mendapatkan penggabungan dengan Tuhan (Yoga), yang secara teknis di sebut Samipiya (kedekatan dengan Tuhan). Hal ini tampaknya telah memberikan gambaran tentang konsep samipiya Moksa.
    Jadi penyatuan yang di cirikan dengan kegiatan, merupakan jenis pertama dari penyatuan yang secara teknis di sebut Kriyalaksana Yoga,

  3. Kriyoparamalaksana, yang merupakan penyatuan (yoga) jenis yang kedua, yang tidak memerlukan kegiatan fisik seperti di atas dan yang di perlukan tiada lain dari konsentrasi mental dan tiga tahapan Yoga yang tersisa, merupakan cara pelaksanaan dari yoga ini, yaitu melalui dharana, dhyana, semadhi.
  4. Tahapan terakhir merupakan peresapan ke dalam Tuhan, di mana daya tuhan lolos kedalam pribadi, yang di peroleh melalui Samadhi pada Tuhan seperti yang di nyatakan dalam mantra kelima yaitu: :isanah sarvavidyanam”, yang secara teknis di sebut “sayujya”. Sang pribadi menjadi Siva selamanya. Gagasan ini tampaknya telah menjadi dasar dari kategori Sadasivadalam Saiva Monistik Kasmir.
    Viddhi, merupakan katagori awal yang ke empat dari sistem filsafat ini; termasuk kehidupan pertapaan, upacara bhakti dan pengendalian indra-indra. Lakulisa lebih banyak menekankan pada penakklukan indra-indra guna pemahaman spiritual dan penyatuan dengan Tuhan atau Mahesvara. Ia berpendapat bahwa pengetahuan intelektual semata tentang perbedaan antara prakrti dan purusa tidak cukup bagi pencapaian Kaivalya dan bahwa disiplin yang di uraikan dalam sistem Lakulisa Pasupata harus di alami guna realisasinya.
    Duhkhanta, yaitu akhir dari segala kesengsaraan, merupakan katagori awal yang pertama dan terakhir dari sistem ini. Lakulisa menyatakan bahwa akhirnya hal ini tergantung pada anugerah-Nya dan tidak dapat di peroleh melalui pengetahuan dan penolakan duniawi saja (jnana-vairagya) secara berdiri sendiri dan duhkhanta ini ada 2 macam yaitu; (1). Anatmaka, (2). Satmaka.
    Anatmaka terkandung Cuma penghentian dari segala kesengsaraan dan ini tampaknya menggambarkan konsepsi Moksa seperti yang di nyatakan oleh Gautama dalam Nyaya Sutra-nya dan hal ini memberikan dukungan terhadap pandangan bahwa Gautam adalah seorang Pasupata, karena konsepsinya tentang MOKSA seperti yang di berikannya dalam “duhkhanhajanmapravrtti” adalah; apa yang di nyatakan di sinisebagai Niratmaka. Hal yang sama mungkin dapat di katakana tentang Vaisesika.
    Satmaka terkandung tidak hanya kebebasan dari segala kesengsaraan, tetapi juga dalam pencapaian daya pengetahuan dan kegiatan yang mencirikan seorang siddha. Hal ini di capai apabila sang pribadi meresap ke dalam tuhan, sehingga daya-daya tersebut lolos ke dalamnya ketika ia mencapai yoga yang secara teknis di sebut sayujya tadi.

Pembebasan menurut Lakulisa Pasupata bukan hanya bebas dari belenggu saja tetapi juga penyatuan (yoga). Kenyataannya, penyatuan sangat di tekankan dalam sistem ini untuk memberikan perbedaan dengan yoga,samkhya, bauddha dan Vedanta, menurut mana pembebasan hanya merupakan pembebasan dari pembatasan kondisi; dalam hilangnya kepribadian; lenyapnya keberadaan yang terpisah, sama seperti ether di dalam kendi (ghatakasa) ketika kendi di pecahkan. Ia menyatakan bahwa pemahaman spiritual (darsana) dari samkhya dan yoga, tidak sempurna, seperti persepsi tentang bulan oleh orang dengan pandangan samar-samar.

Lakilisa Pasupata mengakui pembatasan kesadaran diri natau kepribadian hanya suatu bentuk terbatas dari pikiran (vrtyakarasya). Diiringi oleh manas, ia terbang pada objek-objek dan berhenti di sana seperti seekor burung pada sebatang pohon. Bila bentuk terbatas ini, yang di pengaruhi pikiran (citta) yang menyusun kepribadian lenyap dan pikiran tidak lagi mengejar objek dan tinggal di sana, namun sebaliknya tinggal pada Mahesvara, di katakana menjadi Yukta atau kesatuan.

Sang diri yang terbatas mendapat penyatuan dengan Tuhan, apabila ia memperoleh pembebasan dari kondisinya yang terbatas; di murnikan dari ketidakmurnian (dosa); tidak lagi tertarik oleh dunia objektif; melepaskan pemikiran tentang objek-objek kesenangan; apabila kegiatannya secara terus-menerus diarahkan kepada Tuhan; apabila ia muncul mengatasi segala yang di dapat dengan indra-indra dalam dan luar (aja); dan apabila ia bebas dari segala keinginan dank e engganan dan memiliki citta yang secara mantap di pusatkan pada Tuhan (maitra). Kondisi ini muncul segera setelah citta mendapat pemusatan pada Tuhan,walaupun tetap berhubungan dengan badan dan indra-indra.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
ALL ABOUT HINDUISM, Oleh Swami Sivananda
Sari filsafat INDIA, Oleh DR Harun Hadiwiyono
SIVA SUTRA, the Yoga of supreme identity, oleh Jaideva Singh
LORD SIVA and His worship, oleh Sri Svami Sivananda
AN OUTLINE OF HISTORY OF SAIVA PHILOSOPHY, oleh E.C.Pandey
SPANDA-KARIKA, The Divine Creative Pulsation, oleh Jaideva Singh
AHANDBOOK OF VIRA SAIVISM, oleh S.C.Nandimath

1 komentar: