Pages

Sekilas Tentang Pewayangan di Bali

Sekilas Tentang Pewayangan di Bali

Wayang kulit Sebagai sebuah karya seni klasik, termasuk karya seni yang bermutu tinggi dan hidup terus sepanjang zaman. Kata Wayang artinya “bayang-bayang atau bayangan”. Oleh karena variasi fonem awal /w/ dan /b/ seperti yang terdapat pada “Wayang dan bayangan”. Pada bahasa-bahasa nusantara kita dapati juga pada kata “wesi” dan “besi”, “wintang dan bintang” (Monograii Bali,1976:111).
Gusti Bagus Sugriwa (1971:1) mengatakan “pewayangan” asal katanya “Wayang” yang artinya sama dengan bayang-bayang, mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang mengandung pengertian perihal dan seluk-beluk wayang terutama diantaranya pertunjukan wayang yang dibuat dengan kulit sapi dipahat, ditatah, yang merupakan bentuk-bentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa binatang pohon-pohonan dan sebagainya. Dilihat oleh penonton adalah bayangannya semua ini disebut “pewayangan”.
Wayang juga berarti :
  1. bayangan : Wayangan-bayangan,
  2. Pertunjukan Wayang ‘’mewayang’’ memainkan (Pertunjukan) wayang; Pewayangan Pe(r)wayangan atau pertunjukan wayang (Mardiwarsito,1990:670). 
Wayang dapat juga berarti :
  1. Wayang; ngwayang memainkan wayang; 
  2. mapawayangan (bhs. Bali alus) menjelma (Warna dkk,1991:795). 
Selain itu kata wayang di Bali sering juga disebut ringgit  dan dalam konteks ilmu astronomi (wariga) khususnya dalam perhitungan pawukon menurut kalender Bali kata Wayang juga disebut sebagai nama wuku yang ke-27 dari 30 wuku.

Menurut perhitungan hari raya keagamaan di Bali, pada hari Sabtu (Saniscara) keliwon, wuku wayang disebut tumpek ringgil atau tumpek wayang. Pada hari itu para dalang mengadakan upacara penghormatan terhadap wayang atau istilah Bali weton wayang. Iambat laun kata wayang menjadi nama suatu pertunjukan bayang-bayang, dan kemudian menjadi nama atau istilah bagi suatu cabang seni pertunjukan misalnya: orang berbicara tentang wayang topeng, Wayang golek, wayang beber, Wayang wong, semuanya itu tidak ada hubungannya dengan bayang-bayang atau bayangan (Hari Yanto,1981;10).  

Menurut James Brandon, seorang ahli teater dari USA. Memberi tafsiran wayang sebagai berikut wayang literally means “shadow " althougth to day it has come to mean a dramatic performance a play, shadow, whether the actor be puppets or human beings (Wayang secara harafiah berarti “bayangan” meskipun untuk sekarang ia (Wayang) dapat berarti sebuah pertunjukan drama, sebuah permainan, sesosok bayangan, yang ditokohi baik oleh aktor-aktor yang berupa boneka maupun orang (Bandem,1972:6). Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Miquel Covarrubias (1972:236) “the shadow plays-a performance by marionettes (wayang) that cast there shadows on a screen and are manipulated by a mystic story teller, the dalang“ (permainan Wayang kulit adalah sebuah pertunjukan dengan para pelakunya adalah Wayang pada sebuah layar atau kelir dan mereka digerakkan oleh tukang cerita yang memiliki kekuatan batin yang disebut dalang).
Berbagai pengertian wayang telah dikemukakan di atas, namun pada zaman sekarang pengertian wayang yang mengacu pada arti bayangan atau bayang-bayang telah “bergeser”. Demikian juga jika kita amati penonton sebuah penunjukan wayang kenyataannya banyak yang menonton dari belakang, sehingga yang disaksikan bukan bayangannya tetapi wayangnya secara langsung. Mungkin bayangan itu sendiri dapat diberi makna secara lebih luas dalam hubungannya dengan “makrokosmos dan mikrokosmos” atau bhuwana agung dan bhuwana alit yaitu dalam hubungan dengan alam makro adalah apa yang digambarkan dalam pertunjukan wayang adalah bayangan dari kehidupan alam ini, sedangkan dalam hubungannya dengan alam mikro (manusia) menggabarkan sifat-sifat manusia itu sendiri (Duija,1995:3).

Sejarah Seni Pewayangan di Bali

J.L.A Brandes mengatakan sesungguhnya jauh sebelum masuknya agama Hindu ke Nusantara, para leluhur kita telah memiliki 10 unsur kebudayaan asli. Kesepuluh unsur kebudayaan itu adalah:
  1. Wayang, 
  2. gamelan, 
  3. ilmu irama sajak, 
  4. membatik, 
  5. mengerjakan logam,
  6. sistem mata uang, 
  7. ilmu pelayaran, 
  8. astronomi, 
  9. bercocok tanam, 
  10. birokrasi pemerintahan yang teratur (Rata 1996:85).
Berdasarkan pendapat Brandes tersebut dapat diperkirakan bahwa “kebudayaan wayang” di Indonesia telah berkembang sejak zaman prasejarah. 
Catatan yang paling tua yang menyebutkan adanya pertujukan wayang di Jawa Tengah terdapat dalam prasasti Jaha yang berangka 840 M, pertunjukan wayang pada waktu itu disebut dengan “aringgit” (Monografi Bali, 1976:112). = “ringgit” = “ringgi” bahasa Jawa Kuno artinya gerak, “haringgit” artinya permainan wayang. 
Kemudian pada zaman Raja Dyah Balitung ada batu bertulis yang menyebutkan kata “mawayang” yang berarti pertunjukan wayang. Batu bertulis ini berangka tahun 907 M, Bagaimana dengan perkembangan wayang di Bali, menurut prasasti tertua yang menyebutkan adanya pertunjukan wayang di Bali terdapat pada prasasti Bebetin AI berangka tahun 818 caka atau 896 M, baris 5: 
".... pande mas, pande besi, pande tembaga, pemukul (tukang gamelan), pagending (biduan), perpadaha (tukang kendang, pabangsi (juru rebab), patapukan (topeng), parbwayang (wayang), prasasti ini dibuat pada zaman pemerintahan Ugrasena.." (Goris,1954:54). 
Pada prasasti Tengkulak A tahun caka 945 yang menyebut nama Raja Sri Dharmawangsawardhana Marakatha Pangkajastanottunggadewa. Pada baris 7A.5. ada disebutkan kata 
".... pirus ménménatapukan abanwal aringgita...."
 Artinya pemain badut, sandiwara, topeng, dagelan, wayang. 
Kemudian pada prasasti Blantih/Sangsil A. Tahun caka 980 yang menyebut nama raja Anak Wungsu, pada bagian Vb ada disebutkan:
"...hana banwa, atapukan, aringgit, pirusménmén...",
artinya ada pemain dagelan, pemain topeng, wayang, badut, pemain sandiwara. 
Masih dalam pemerintahan Anak Wungsu pada prasasti Manikliu AII. Pada bagian III A.4 disebutkan 
".... yan atapukan abanwal, aringgit..."
artinya kalau pemain topeng, pelawak, wayang. 
Kemudian Pada prasasti Manikliu BII tanpa tahun pada bagian Iib.6 ada disebutkan
"...yan atapukan, abanwal, aringgit..."
Artinya kalau pemain topeng, pelawak, wayang (Sedyawati dkk,1977:149-163).
Dr. Van Callenfels, dalam buku Efigraphia Balica I bagian Vbl-Vb2, menyebutkan bahwa, berdasarkan turunan dari Prasasti Gurun Pai Desa Pandak Badung yang antara lain berbunyi :
"...yan amukul (juru tabuh), sinuling (suling), atapukan (topeng), abanwol (banyol), pirus (badut), menmen (tontonan), aringgil (Wayang)..."
prasasti ini dibuat pada zaman pemerintahan raja Anak Wungsu tahun Caka 993 atau 1045 M (Callenfels, 1926:17, Wayan Simpen, l974:3). 
Pada Prasasti Sawan A II = Bila II, berangka tahun Caka 995 yang menyebutkan nama raja Anak Wungsu, pada bagian Vb.5. ada disebutkan 
"....._awayang atalitalyanjuran I haji ku 2 pawehnya..."
Artinya Pemain wayang (wayang orang), “tali-tali bangjuran” istana supaya diberi 2 ku (Op. cit, 1977:169-170).
Berdasarkan beberapa prasasti di atas, maka sementara dapat diduga bahwa pertunjukan wayang di Bali telah ada sejak abad ke - 8 akhir atau abad ke - 9 awal. Sedangkan Brandes dan Van Der Tuuk menyimpulkan berdasarkan kalimat “hanabanwal atapukan aringgit” yang terdapat pada sebuah prasasti tembaga yang ditemukan di Bali, bahwa di Bali sudah ada pertunjukan wayang pada tahun 980 Caka atau 1085 M (Haryanto, l99l:l0). Perkiraan adanya wayang berdasarkan prasasti dapat kita telusuri secara pasti, namun sampai di sini kita belum mendapat gambaran mengenai bentuk, sumber lakon, dan fungsi dari pertunjukan wayang itu sendiri.

Jenis-Jenis Wayang di Bali
Wayang Bali secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua golongan yaitu :
  1. Wayang Sakral (sacred shadow play)
  2. Wayang Profan (secural shadow play)
Wayang Sakral (sacred shadow play) dapat dibedakan berdasarkan sumber lakon menjadi:
  1. Wayang Sapuleger : sumber lakon dari cerita “Sapuleger atau dari karya sastra gegurilan Sapuleger”.  Cerita ini merupakan cerita ruwat untuk orang yang lahir pada wuku wayang.
  2. Wayang lemah : sumber lakonya dikutip dan kitab Mahabrata Ramayana Mitologi dan kitab atau kakawin Jawa Kuno yang lainnya.
  3. Wayang Sudamala : sumber lakonya dikutip dari Kidung Sudamala atau hampir sama dengan lakon pada Wayang Lemah atau wayang gedod
Wayang Profan (seculer shadow play) terdiri dari :
  1. Wayang Parwa : sumber lakonya diambil dari Epos Mahabrata atau yang biasa disebut Astadasa Parwa (1 8 pam/a)
  2. Wayang Ramayana : sumber lakonya diambil dari Kitab atau kakawin Ramayana. Di Bali wayang ini dikena\ dengan nama wayang “ngrameyana”.
  3. Wayang Calonarang  : sumber lakonya diambil dari cerita/kitab Calonarang yang sangat populer di Jawa Timur dan di Bali menjadi cerita horor yang berkaitan dengan ilmu hitam (black magic).
  4. Wayang Gambuh : sumber lakonya diambil dari celita Panji Bali yaitu kitab Kidung Mala! (Malai Rasmi).
  5. Wayang Arja : sumber lakonya sama dengan wayang gambuh, oleh karena Arja itu sendiri merupakan bentuk pengembangan dari tarian gambuh. Di samping mengambil lakon Panji wayang arja juga mementaskan lakon yang diambil dari cerita cina yaitu Shan Phiek Ing Thai dan juga mengambil dari khazanahj kesusastraan Bali seperti gegurigan tamtam.
  6. Wayang Tantri : sumber lakonya diambil dari kitab kidung Tantri atau tantri kamandaka yaitu yang menceritakan perihal kehidupan binatang yang berlaku seperti manusia
  7. Wayang Cupak : sumber lakonya diambil dari cerita rakyat Bali yaitu berjudul “Cupak Granlang”.
  8. Wayang Sasak : sumber lakonya diambil dari serat menak dengan bahasa sasak/Bali. wayang ini merupakan pengaruh dari Lombok Barat dan di Bali berkembang di daerah sekitar Karangasem.
  9. Wayang Wong : sumber lakonya diambil dari Mahabrata dan Ramayana dan wayang ini satu-satunya jenis wayang yang tidak menggunakan boneka kulit (skin puppets), tetapi aktor manusia. Wayang ini sangat langka keberadaannya di Bali, hanya di daerah sekitar Singaraja dan beberapa daerah lainnya di Bali dan sudah jarang di pentaskan (Duija,l996:5;Wicaksana,2000;127)

Fungsi Pertunjukan Wayang dalam masyarakat bali

Keberadaan wayang (kulit) pada masyarakat Bali, tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Bali. semenjak datangnya pengaruh agama Hindu, makin mengukuhkan keberadaan Wayang itu sendiri yang dikaitkan dengan sistem upacar keagamaan. Di samping itu kehadiran dua epos besar Mahabrata dan Ramayana memperkaya lakon-lakon pewayangan di Bali. Pada golongan masyarakat Bali seperti itu, wayang (kulit) diyakini memiliki arti dan makna :
  1. sebagai penggugah rasa keindahan dan kesenangan,
  2. sebagai pemberian hiburan,
  3. sebagai media komunikasi,
  4. sebagai Pefsembahan simbolis,
  5. sebagai penyelenggaraan keserasian norma-norma masyarakat,
  6. Sebagai pengukuhan institusi sosial dan keagamaan, 
  7. sebagai koritribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan dan 
  8. sebagai pencipta integritas masyarakat (Bandem,1993:171).
Setiap orang dalam masyarakat di Bali memiliki alasan-alasan yang berbeda untuk nanggap wayang atau ngupah wayang (Bahasa Bali) . hal ini telah dibuktikan oleh H. I. R. Hinzler dalam penelitian yang berjudul Bina Swarga In Balinese Wayang.
Menurut Hinzler alasan-alasan orang Bali mengadakan pertunjukan wayang sebagai berikut :
  1. Vow (sesangi = kaul) ini biasanya pada saat otonan atau weton atau dewa yadnya,
  2. request (tetagihan = permintaan) khususnya untuk bayi berumur tiga bulan, kelahiran pertama atau pada saat ngaben,
  3. custom in desa or Fami1y (adat= kebiasaan) ada hubungannya dengan upacara yadnya,
  4. desire (demen-demen = kesenangan saja),
  5. obligation (kewajiban) misalnya ngruwat atau ngwatekin orang lahir Pada wuku wayang (1981 :20-22).
Menurut I Gusti Bagus Sugriwa, untuk umat Hindu (Bali) pewayangan itu memiliki 2 fungsi yaitu :
  • Untuk menyertai pelaksanaan upacara agama, yakni : manusa yajna (korban suci kepada manusia), Pitra yajna (korban suci kepada leluhur), Bhuta yajna (korban Suci kepada bhuta kala atau mahluk yang lebih rendah), dan Dewa yajna (korban suci kepada Tuhan) atau disebut Catur yajna.
  • Untuk pertunjukan biasa, untuk bersenang-senang dan nasihat-nasihat(1976:13)- Lebih lanjut I Gusti Bagus Sugriwa menjelaskan bahwa, pertunjukkan Wayang dalam kaitannya dalam upacara keagamaan dapat dirinci lagi menjadi 2 :
    1. Pada Manusa Yajna diadakan pertunjukan wayang pada waktu umur anak 3 bulan atau hari lahir (0tonan). Lakon-lakon yang dipentaskan diambil dari Mahabrata atau Ramayana seperti : lahir Panca Pendawa, lahirnya Sutasoma, lahirnya Rama Laksana dan sebagainya. Untuk upacara perkawinan biasanya mengambil lakon Swayembara Drupadi, Arjunawiwaha, Kresnayana, Ramayana dan sebagainya. Jika anak lahir wuku wayang, maka upacara pertunjukan wayang ini dinamai “sapuleger” dengan lakon yang khusus yakni “sapuleger” juga yang berfungsi untuk membersihkan (ngruwal) seseorang dari kekotoran bathin.
    2. Pada Pitra Yajna diadakan pertunjukan wayang pada waktu` pembakaran jenazah. Pertunjukan ini dilakukan pada malam hari. Lakon yang diambil disesuaikan dengan penyucian roh untuk dapat mencapai moksa, seperti misalnya lakon ; Cudamala, Bima swarga. Untuk upacara setelah ngaben yang disebut memukur (yaitu upacara peralihan dari Pitra Yajna ke Dewa Yajna), apabila diadakan pertunjukan wayang, maka pertunjukannya diadakan pada siang hari (lemah Iawan kata peteng = malam), sehingga dikenal dengan istilah wayang lemah. Pertunjukan wayang ini tidak memakai layar (kelir), tetapi hanya menggunakan benang yang direntangkan pada cabang pohon dap-dap yang dipancangkan pada pohon pisang (gedebong) di ujung kiri dan ujung kanan. Lakon yang diambil misalnya Dewa ruci.
    3. Dewa Yajna adalah persembahyangan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Persembahyangan ini dilakukan di sanggah, merajan, pura dan sebagainya. Pelaksanaanya sama dengan wayang pada Pitra Yajna di atas, yakni pada waktu siang hari. Lakon yang diambil misalnya ; Smaradhana, Samudramanthana.
    4. Bhuta Yajna yaitu upacara pembersihan alam semesta, biasanya pada upacara-upacara besar seperti ; Ekadasa-rudra, Pancawali-krama, Tawur Agung. Di samping itu diadakan pula pada saat upacara yang kecil, baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan desa. Pertunjukan pada waktu siang hari.
Di samping dalam kaitan dengan upacara agama, pertunjukan wayang juga untuk semata-mata sebagai hiburan rohani (1976:13-20). Biasanya. pertunjukan wayang seperti ini dikaitkan dengan hari-hari tertentu seperti ulang tahun Karang Taruna, hari besar Nasional dan sebagainya.
Di samping I Gusti Bagus Sugriwa, yang membahas fungsi pewayangan di Bali H. I. R. Hiniler juga memperkuat pendapat I Gusti Bagus Sugriwa. Menurut Hinzler, (1981:25-28) pertunjukan wayang dalam kaitanya dengan upacara keagamaan adalah sebagai berikut :
  1. Manusa Yajna (Offering of Human)
  2. Pitra Yajna (Offering of ancestors spirit)
  3. Dewa Yajna (Offering of god)
  4. Bhuta Yaj na (Offering of soft creature or “Bhutakala”)
  5. Rsi Yajna (0ffering of religion teacher)
  6. Upacara yang lain (Other Ceremonies)
sistem keagamaan secara tidak langsung sebagai pengikat kelangsungan hidup wayang itu sendiri. Antara agama dengan wayang saling menunjang dalam aktivitasnya. Wayang juga dapat digunakan sebagai media untuk mengajarkan nilai-nilai fisafat keagamaan kepada masyarakat pendukungnya.

Pertunjukan Wayang dan Perlengkapannya

Wayang kulit Bali memerlukan waktu antara 3 atau 5 jam dalam sebuah pertunjukan. Waktu pertunjukan adalah malam hari, kecuali wayang lemah yang dipentaskan pada siang hari (lemah Bhs. Bali artinya slang hari). Adapun perlengkapan yang diperlukan untuk sebuah pertunjnkan wayang kulit Bali adalah sebagai berikut :
  1. Gedebong (banana tree) pohon pisang yang tua memanjang
  2. Lelujuh (Long wood) kayu untuk membentangkan kelir
  3. Blencong (oil lamp) lampu sumbu minyak kelapa
  4. Tali Kelir (screen of string) untuk mengencangkan kelir
  5. Dua orang kelengkong (asisten of puppeteer) Asisten dalang kanan-kiri
  6. Empat orang juru gender atau pemain gamelan (wayang parwa)
  7. Dalang (puppeteer) mangku dalang yang memainkan wayang
  8. Kotak wayang (woodem box) kotak tempat menyimpan wayang
  9. Wayang (puppets) satu kotak terdiri dari 150-175 buah wayang
  10. Kelir (screen) layar yang berukuran 1.75 X 2,5 meter
  11. Racik (nail of bamboo) paku dari bambu yang diruncingkan
  12. Sesajen (offering) banten wayang
  13. sound system or (loud speaker) pengeras suara
  14. Panggung (stage) tidak harus

Makna Simbolik dari Pertunjukan Wayang Kulit di Bali

“Wayang bukan saja sekedar hiburan, tetapi juga merupakan karya seni yang mengandung fisafat yang dalam seperti yang diungkapkan oleh Mangkunogoro VII sebagai berikut : Bahwa peperangan antara ksatria putih (berdarah putih) dengan raksasa dari berbagai macam warna, pada hakikatnya bukan merupakan peperangan antara mahluk-mahluk dengan segala keaktlannya, tetapi merupakan peperangan di dalam bathin (hati) manusia itu sendiri, antara perasaan yang baik atau suci dengan yang bururk, yang selalu mengganggu kesadaran manusia, Suatu peperangan yang merupakan dinamika dari kehidupan manusia yang menimbulkan keindahan yang luar biasa (1957 :11).
Menurut “Dharma Pawayangan” yang dikutip dari lakon “Sapuleger” oleh I Gede Soerya tahun 1941 dan dikumpulkan oleh Gedong Kertiya Singaraja.
Adapun perlengkapan pertunjukan wayang kulit itu memiliki makana simbolik sebagai berikut :
  • Gedebong (pohon pisang) sebagai simbol “Siti.Pertiwi (tanah)
  • Kelir (layar) sebagai simbol kekosongan (sunya = sunyi)
  • Blencong (lampu sumbu) sebagai simbol Dewa Surya/matahari (bhuwana agung) atau alam semesta, Jiwatma (roh) manusia atau bhuwana alit. selain itu Api blencong sebagai simbol dewa Agni.
  • Sanan Kropak yang diikat di atas kelir sebagai simbol langii
  • Kropak Wayang sebagai simbol alam semesta atau Bhuwana Agung
  • Lelujuh sebagai simbol tulang
  • Racik sebagai simbol jeriji
  • Sarwa Tali sebagai simbol otot/urat
  • Dalang sebagai simbol Tuhan Yang Maha Kuasa
  • Wayang sebagai simbol mahluk Tuhan (Bhuwana Agung), nafsu pada manusia (Bhuwana Alit)
  • Gender sebagai simbol irama zaman (Bhuwana Agung) suara sukma pada manusia (Bhuwana Alit) Empat juru gender sebagai simbol saudara empat yakni :
    1. Anggapati - Yeh nyom (air ketuban) ada pada nafsu
    2. Mrajapati - Darah merah sebagai penunggu perapatan/kuburan
    3. Banaspati -ari-ari ada di hutan, sungai, batu besar
    4. Banaspati Raja ~ Klamad (lapisan kulit bayi yang tipis ada pada pohon yang besar. Itulah yang disebut saudara empat atau kanda pai sebagai benteng diri pada si Dalang itu sendiri
  • Dua orang Ketengkong sebagai simbol akasa (bapak) dan bumi (ibu).

Makna Filsafat Kiwa-Tengen dalam Wayang Bali

Kita mengetahui bahwa wayang-Wayang dalam pertunjukannya dikeluarkan ke kelir sebagai pelaku cerita dipancangkan bertimpi-timpi di kanan-kiri kelir. Yang dipancangkan di sebelah kiri adalah golongan Kurawa dan Raksasa dan yang dipancangkan di sebelah kanan adalah golongan Pandawa, Dwarawati, Pancala dari Dewa-dewa. Yang keluar dari kiri adalah para Kurawa, dan yang keluar dari kanan adalah para Pandawa sedangkan para Dewa-dewa keluar dari bagian kanan atas.

Secara filosofis dalam kebudayaan Bali dikenal dengan istilah “pengiwa-penengen” atau kiri-kanan, atau dharma-adharma, dewa-asura dan sebagainya. Yang kanan termasuk ‘penengen” (tengen=kanan) memiliki semangat, karakter kebathinan putih (white magic) menaruh sifat-sifat dharma (kebenaran) percaya pada Tuhan, berperikemanusiaan, setia, jujur dan adil serta pelindung kebenaran. Sedangkan yang kiri termasuk ‘'pengiwa” (kiwa = kiri), mempunyai semangat, karakter atau spirit kawicesan hitam (black magic), bersifat adharma (jelek), atheis, kejam, bengis, pemarah, pengacau kadilan dan kebenaran. Sedangkan yang keluar dari atas kanan adalah sebagai penengah, seimbang tidak cenderung ke kanan dan tidak cenderung ke kiri (Sugriwa, 1971 :224).

Dua kekuatan hitam-putih (black and white magic) yang Secara umum disebut dengan “rwa-bhineda” yaitu dua sifat yang berbeda yang selalu kontradiksi tetapi tidak pernah akan hilang salah satunya dan menjadi satu dalam kehidupan manusiai Ada laki-perempuan, siang-malam, baik-buruk dan sebagaianya. ‘

I Wayan Karji mengatakan konsep “kiwa-lengen” dalam budaya Bali menyatakan; pengiwa berasal dari kata kiwa (kiri) yang mengandung arti buruk, kasar. Sedangkan tengen (kanan) berarti kebaikan, halus dan semacamnya. Konsep ini mengacu pada prinsip bipolar (dua kutub) yang disebut rwa-bhineda; setiap hal memiliki sisi baik-buruk, positif-negatif. Gambaran visual tentang ajaran ini nampak pada kain poleng yang sering terampir pada patung-patung di Bali (1993:13). Yang dimaksud kain poleng di Sini adalah kain kotak-kotak hitam putih, bukan merah-putih atau warna lainnya. Putih sebagai simbol kesucian, kebajikan sedangkan hitam sebagai simbol kekotoran, kejahatan

Nilai Estetika Gender (Musik) Wayang Bali

Pada umumnya Wayang kulit Bali menggunakan iringan musik gamelan berupa “gender” yang memiliki nada selendro. Setiap pertunjukan Wayang umumnya terdiri dari empat buah “gender”, 2 buah gender “pengumbang" dan 2 buah gender “pengisep”. Namun pada beberapa jenis wayang yang lain mempunyai kekhususan seperti : Wayang Ramayana menggunakan 4 buah "gender", 2 buah kendang lanang-wadon, sebuah cengceng, kelenang, kajar, kempur dun suling. Wayang Gambuh menggunakan gamelan ; suling besar, kendang, rehab, cengceng, kajar, kelenang, kempur. Wayang Calonarang menggunakan gamelan ; 4 buah gender, dua buah kendang, cengceng, kelenang dan kempur.

Gending-gending yang umum digunakan dalam pewayangan di Bali adalah :
  • Pemungkah yaitu tabuh gender waktu mulai membuka “gedog”, tutup “gedog” ditebah-tebah dengan tapak tangan si dalang 3 kali.
  • Paguneman pada waktu para tokoh Wayang mengadakan musyawarah
  • Pamahbah pada saat ini Ki dalang tidak menyanyi tapi mengucapkan kata-kata yang isinya mohon ijin kepada Tuhan
  • Tampak Silir pada saat Ki dalang mengucapkan kalimat-kalimat dalam rangka persiapan musyawarah dengan bahasa Kawi
  • Babaluran selesai nyanyian tampak silir Ki dalang mengucapkan wayang musyawarah yang isinya apa maksud diadakan musyawarah
  • Angkalan setelah selesai musyawarah para tokoh Wayang berangkat melaksanakan tugas masing-masing. Tabuh ini terdiri dari :
    1. Cakra gelar, lebah sepasar, abhimanyu, sekarginotan untuk goiongan kanan yang bemata segitiga.
    2. srikandi, Bima Krodha untuk golongan kanan yang bermata bulat dan golongan kurawa.
    3. Patra rubuh untuk golongan raksasa
    4. Lor-loran untuk mengeluarkan wayang wanita ksatria.
    5. Tunjang untuk durgha dan kalika.
    6. Mesem untuk tetangisan.
    7. Batel untuk perang.
    8. Rundah untuk musyawarah kedua.
    9. Pamempen untuk memasukan wayang ke dalam peti.
    10. Penganteb.

Nilai Seni dan Nilai Agama Hindu

Seni adalah merupakan penciptaan dari segala macam bentuk atau benda yang karena keindahan bentukuya/suaranya, orang akan senang melihat atau mendengarnya (Musium Bali,l979:1). Orang yang menghasilkan karya seni disebut seniman. Gaya yang nampak pada ciptaan Seorang seniman berhubungan erat dengan dunia kebudayaan yang berkembang dalam lingkungan hidupnya dan seni mampu berkembang dengan baik jika seorang seniman mampu memenuhi kepuasan bathin penikmat seni. Mutu seni dapat menggambarkan taraf kehidupan suatu bangsa dan melalui seni dapat diketahui keperibadian bangsa. `

Fungsi kesenian sebagai alat komunikasi adalah memperkuat keyakinan, nilai-nilai, norma-norma yang membawa masyarakat kesuatu kemungkinan untukberkomunikasi dengan hakekat tertinggi secara lebih tenang dan tepat (daeng, 1992:198).

Nilai-nilai yang terkandung dalam seni pertunjukan di Bali adalah nilai agama, nilai logika, nilai estetika dan nilai etika (Atmaja, 1988:25). Nilai-nilai ini diolah oleh para pencipta seni pertunjukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bali dibidang upacara, seperti misalnya pementasan Wayang Sapuleger bersifat religius, magis, dan spiritual.

Seni merupakan pengungkapan cita, rasa dan karsa manusia sehingga menimbulkan rasa indah, senang dan kagum. Seorang seniman mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian orang lain dengan mempergunakan keahliannya dibidang seni. Kreativitas masyarakat Bali dibidang seni tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. yang bernafaskan agama, karena untuk memuja Tuhan didominasi oleh seni. Seni direalisasikan dalam pelaksanaan agama pada umumnya bersifat religius sebagai penunjang semangat keagamaan yang dapat mendorong pikiran ke arah keindahan, ketenangan dan akhimya menuju pada kesucian.

Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Aesthetis'’ yang berarti perasaan atau sensitivitas. Keindahan sangat erat hubungannya dengan selera dan perasaan, akan tetapi saat ini diartikan sebagai segala pemikiran filosofis tentang “seni” (Wadjiz Anwar, 1980:9).

Aktivitas estetis masyarakat Bali pada mulanya berfungsi untuk memenuhikebutuhannya dalam upaya memelihara keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan lingkungan hidupnya, dam manusia dengan sesamanya sehingga terwujud kesejahteraan yang seimbang antara material spritual yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana (Geriya, 1993:93). Atas dasar konsep tersebut muncul kreativitasnya di bidang kesenian sebagai pendukung upacara seperti seni ukir diwujudkan dalam membuat patung-patung sebagai sesembahan, seni suara yang diwujudkan dalam tembang-tembang yang disebut dengan kekawin, seni tabuh sebagai pengiring upacara, seni pertunjukan dengan dipentaskannya Wayang Gedog sebagai pengiring upacara dan berbagai macam perlengkapan upacara sebagai alat persembahan.

Nilai estetika atau keindahan merupakan perwujudan dari cita, rasa, dan karsa manusia, sehingga tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Bagi masyarakat Bali nilai estetika yang dimilikinya dituangkan pada aktivitas untuk memuja Tuhan, karena disadaria bahwa segala sesuatu yang didapat untuk pendukung hidupnya merupakan karunia Tuhan dan manusia diberikan kemampuan untuk mengolah unsur-unsur alam yang tersedia, Penataan banten mulai dari reringgitan, anyam-anyaman, bentuk jajan, buah-buahan ditata sedemikian rupa untuk dipersembahkan merupakan perwujudan rasa seni. Selain dari persembahan banten juga dipersembahkan berbagai macam seni seperti seni tari, Seni tabuh, seni pewayangan dan seni suara.

The Liang Gie, (1996:43) mengutip pendapat Beardsley yang menyatakan bahwa ada tiga unsur sifat-sifat yang membuat suatu karya disebut estetis yaitu pertama, Kesatuan yaitu suatu karya itu tersusun Secara baik atau sempurna bentuknya, kedua, Kerumitan adalah suatu karya yang rumit dan mengandung perbedaan-perbedaan yang halus, ketiga, Kesungguhan, adalah suatu karya yang mempunyai kualitas tertentu yang menonjol. Pementasan Wayang Gedog dalam upacara Bhuta Yadnya dan pembuatan alat-alat upacaranya jika diruntut dari pembuatannya mengandung ketiga unsur tersebut seperti, unsur Kesatuan, pembuatan banten yang ditata sedemikian rupa untuk dipersembahkan merupakan satu kesatuan antara berbagai macam jenis bahan seperti daun-daunan, buah-buahan, dan berbagai jajan yang ditata dengan rapi, sehingga terbentuk, dan tersusun secara sempurna. Kerumitan, membuat seperangkat sarana upacaranya merupakan suatu karya yang sangat rumit dan merangkai sampai penataannya sehingga selesai dengan sempurna. Kesungguhan, suatu yang menonjol dalam pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya dan alat-alat upacaranya adalah kerapian dan keunikan penataan bahan-bahan sesaji, sehingga menjadi satu kesatuan bentuk yang khasa.

Setiap orang mempunyai rasa keindahan terhadap sesuatu yang dilihatnya, Alam dengan aneka ragam isinya mempunyai nilai keindahan tergantung pada cara manusia memandangnya dan tergantung pada budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat.

Rasa seni yang dimiliki oleh masyarakat Bali dituangkan dalam berbagai bentuk seni sebagai sesembahan dan alat-alat upacara sebagai persembahan untuk mewujudkan rasa baktinya kepada Tuhan (Raka, 1996:104).

Masyarakat Bali dalam menuangkan rasa bakti kepada Tuhan tidak akan puas hanya dengan sembahyang, tanpa ada wujud baktinya untuk mengungkapkan semua perasaannya (wawancara tanggal 8 Mei 2001). Segala perasaan baktinya diwujudkan dalam bentuk banten (sesaji) yang bahannya berasal dari alam, sebagai wujud sesembahannya, sehingga perasaan dan pikiran yang abstrak dapat dikonkritkan. Aliran naturalisme berpendapat bahwa watak etis dan estetis manusia berakar dari fenomena alam sehingga manusia dapat hidup Secara koperatif dan bahagia (Tim Penulis Rosda,1995:219-220).

Pelaksanaan berbagai macam upacara merupaka perwujudan rasa seni, sehingga setiap aktivitas keagamaan menghasilkan suatu seni tersendiri yang bertujuan untuk menghibur sesembahnya agar memberikan keselamatan baik lahir mapun bathin. Seni dari segi mitologi diciptakan oleh Dewa Brahma yang pada suatu saat sedang menciptakan patung-pagatung wanita terbuat dari tanah liat. Karena rasa kagumnya terhadap ciptaannya, akhirnya patung itu dihidupkan menjadi Bidadari. Pada suatu hari dimana matahari baru muncul dari upuk timur para bidadari beterbangan di atas laut sambil menari-nari sehingga menambah kekaguman Dewa Brahma yang kemudian menciptakan berbagai macam kesenian untuk hiburan di sorga. Para raja yang ada di dunia mengetahui hal itu dengan bathinnya kemudian menciptakan juga berbagai macam kesenian sebagai persembahan Sujud baktinya kepada Tuhan (Pandji, 1971:2). Mitologi ini menjelaskan bahwa setiap kegiatan memuja Tuhan untuk mendapatkan keselamatan baik lahir mapun bathin diwujudkan dengan seni.
  Seni dan agama khususnya di Bali tidak dapat dipisahkan seperti senipewayangan yang bersumber dari ajaran agama Hindu merupakan tradisi yang dipertahankan sebagai pelengkap dalam suatu upacara atas dasar kepercayaan yangmendalam yang beraspirasikan rasa keagamaan. Pertunjukan wayang Sapuleger di satu sisi sebagai curahan rasa seni, dan disisi lain untuk memenuhi rasa baktinya yang méndalam demi keselamatan umat manusia itu sendiri.

Pelaksanaan upacara-upacara dengan dipentaskannya Wayang Sapuleger tidak seperti yang disebutkan oleh aliran utilitarianisme, karena dalam melaksanakan upacara tersebut masyarakat Bali tidak menghitung-hitung kesusahan baik material maupun fisik dan mental dalam melaksanakan sujud baktinya kepada Tuhan. Kebahagiaan yang ingin dicapai dalam melaksanakan upcara Bhuta Yadnya adalah kebahagiaan spiritual yang bersifat batiniah dikenal dengan islilah eudamonisme yaitu kebahagiaan batin merupakan tujuan utama manusia.

Nilai etis dari segi upacara lebih mengarah pada nilai eudamonisme karena upacara yang dilaksanakan lebih menekankan kepuasan batin dari pada kepuasan lahir sedangkan nilai etis dalam pementasan Wayang Sapuleger lebih bersifat ketaatan terhadap Orang tua dalam menanamkan sifat kesucian dan ketakutan terhadap hokum alam. Panugrahan yang muncul dari Batara Kala kepada si dalang mendorong pikirannya untuk selalu waspada dan taat pada putaran hukum alam atau hukum waktu (Kala).

Upacara-upacara di Bali di samping bertujuan mengadakan keselarasan hubungan dengan Tuhan juga bertujuan untuk mengadakan keselarasan hubungan dengan alam, seperti yang disebutkan dalam Lontar Puja Gebogan berupa mantra (doa) pada Saat melakukan upacara Macaru (upacara yang dilaksanakan untuk keseimbangan alam semesta) :
Pakulun paduka Bhatara, sunggana mrtabhumi ningulun, luwaraken sarwamarana ring jagal, nugraha sarwa jagat. Paripurna sarwa tinandurpahalabungkah, pahalaganlung, anandhihaken tahun, wiryaning sarwa tumuruh ring jagat. Om, siddhirastu ya namah (Lonlar Puja Gebogan:5).
Terjemahan:
Ya Tuhan, anugrahilah hamba sumber hidup, enyahkanlah segala penyakit yang mengganggu dunia. Anugrahkanlah segala yang ada di dunia, sempurnakanlah hidup segala yang ditanam: buah-buahan, padi, semoga atas rahmat-Mu segala yang tumbuh di dunia hidup subur. Semoga berhasil atas berkat-Mu.
Puja mantra (doa) di atas menunjukan betapa pentingnya pelestarian terhadap alam bagi kelangsungan hidup manusia di bidang estetis, yang dalam hal ini masyarakat Bali menggunakan upacara ngruwat (nglukat=anyupat) sebagai media untuk melestarikannya.

Nilai estetik dalam hal ini lebih ditekankan pada pembuatan alat-alat upacara Caru Balik Sumpah sebagai persembahan yang bertujuan mengadakan keselarasan hubungan dengan alam.

Rasa estetis masyarakat Bali Iebih banyak digunakan untuk memenuhi rasabaktinya kepada Tuhan, yang diwujudkan dalam membuat alat-alat upacara, patung-patung, dan segala bentuk seni sebagai curahan rasa baktinya yang mendalam kepada sesembahannya.

demikian sekilas tentang Sekilas Tentang Istilah Pewayangan di Bali, semoga beranfaat.

1 komentar: