Pangaksama dengan memuja Çiwa dan Buda memohon restu dan
memohon ampun untuk membicarakan cerita lama, dengan tujuan menyediakan bacaan
pada para keturunannya.
Diceritakan secara singkat kekuasaan seorang raja raksasa
garang yang berhasil dikalahkan oleh Sang Hyang Puruhitakantep (Wisnu).
Dilanjutkan dengan pemerintahan Sri Masula Masuli, Beliau setelah moksa
digantikan oleh Tapo Ulung hingga pemerintahan Sri Gajah Wahana dengan patihnya
Ki Pasung Grigis.
Juga diceritakan pada saat itu pemerintahan di Bedahulu,
dan pemerintahan di Majalangu, yang atas daya upaya dari Patih Gajah Mada untuk
menyelidiki kekuatan dari Sang Raja Bedahulu. Keadaan Bali pada saat
pemerintahan Bedahulu mengalami kegoncangan, maka Kryan Pasung Grigis
mengadakan peperangan.
Ekspedisi Majapahit (Gajah Mada) ke Bali. Bali diserang
dari tiga penjuru. Dari sebelah Timur dipimpin oleh Gajah Mada. Dari sebelah
Utara dipimpin oleh Arya Damar, Arya Sentong, dan Arya Kutawaringin. Dari
sebelah selatan dipimpin oleh Arya Kenceng dan Arya Belog. Pertempuran terjadi
di seluruh penjuru, para patih Bali di desa-desa semua berguguran.
Dengan siasat yang licin Gajah Mada berhasil menangkap Ki
Pasung Grigis di Tengkulak, dengan demikian pulau Bali ditundukkan oleh
Majapahit.
Pada saat-saat pasukan Majapahit memperoleh kemenangan,
datang utusan Raja Majapahit bernama Ki Kuda Pangasih, mencari Patih Gajah Mada
agar segera kembali. Gajah Mada dan Arya Damar kembali ke Majapahit setelah selesai
menetapkan tempat para Arya di Bali untuk menjaga dan mengatur pemerintahan.
Diceritakan pada jaman dahulu Sanghyang Dimaharaja Manu
yang bergelar Sri Jaya Langit mempunyai seorang putra yang bernama Sri Wretti
Kandhyun bergelar Sri Kameswara Para Dewasikan.
Sri Kameswara Para Dewasikan, yang melahirkan Sri
Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Kemudian juga Sri Kameswara
mempunyai putra bernama
- Sri Kreta Dharma, beliau yang wafat di Jirah.
- Sri Tunggul Ametung, beliau wafat di Tumapel,
- Dewi Ghori Puspatha, disunting oleh Mpu Widha, saudara dari Medhawati, telah menyatu ke alam baka, berkedudukan di kuburan.
- Sri Airlangga, yang diangkat dari Sri Udayana Warmadewa, raja Bali, beserta Sri Guna Priya Dharmapatni, keturunan dari Mpu Sendok.
Adapun Sri Airlangga menjadi raja penguasa berkedudukan
di negara Daha. Memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di
luar istana. Putra yang lahir dari ibu permaisuri bernama
- Sri Jayabhaya,
- Sri Jayashaba, Semuanya keturunan Wisnuwangsa Kediri.
Adapun yang di luar istana (puspa capa), bergelar
- Sri Arya Buru, sama-sama keturunan orang dusun, cikal bakal lurah Tutwan, Si Gunaraksa yang datang ke Bali.
Raja Sri Jayabhaya, berputra tiga orang laki-laki, yang
tertua bernama
- Sri Dandang Gendis, bergelar Sri Jayakatong (sri jayakarta). Sri Jaya Katong berputra Sri Jaya Kata
- Sri Siwa Wandhira berputra Sri Jaya Waringin, Sri Jaya Waringin berputra Sri Kuta Wandhira berputra bernama Arya Kutawaringin, dia pergi ke Bali, diutus oleh beliau Patih Mada, berkembang keturunannya menjadi keluarga Kubon Tubuh, Kuta Waringin.
- Sri Jaya Kusuma, memiliki keturunan Sri Wira Kusuma, tidak mengikuti aturan kata krama keluarga, melahirkan keturunan berada di Pulau Jawa yang bernarma Raden Patah.
Sri Jayasabha memiliki keturunan seorang laki-laki,
bernama Sirarya Kediri, memiliki keturunan bernama Arya Kapakisan, beliau
memiliki dua putranya yaitu beliau Pangeran Nyuhaya, dan
Pangeran Asak, sama-sama mengembangkan keturunan di Bali.
Pada tahun Çaka yang lalu 1144 ( 1222 M ), bulan Palguna
(sekitar Pebruari), hari ketiga belas setelah bulan Purnama, hari sepekan Watu
Gunung, pada saat itu perintah beliau raja Ken Angrok, beliau yang bertahta di
Tumapel, menyerang kerajaan Galuh, atas desakan beliau para pendeta Çiwa maupun
golongan Budha. Bahwasanya raja Sri Dangdang Gendis, durhaka pada para pendeta,
menghina kewajiban sang Brahmana, ibaratnya seperti maharaja Nahusa, yang
berkeinginan menguasai Surga. Demikian perbuatan raja Sri Dangdang Gendis,
menyebabkan semua pendeta menjadi bingung mengungsi ke Tumapel, sekarang
kerajaan Daha, ibaratnya seperti segunung rumput kering, hancur lebur terbakar
oleh api, siap dibakar?, itulah kemarahan sang pertapa, berkobar dalam
pikirannya, ditiup angin tak henti-hentinya Raja Sri Ken Angrok menghembus,
semakin menyala tak ada tandingnya. sehingga terjadilah pertempuran yang sengit
antara Ken Arok dan pasukan Kediri dimana pasukan Kediri berhasil dikalahkan
dalam pertempuran.
Pada akhirnya menyerah Sri Aji Dangdang Gendis, sadar
akan ajalnya tiba, karena raja Sri Ken Angrok sungguh seorang keturunan
Brahmana dari Waisnawa, beliau juga dijuluki Hyang Guru, nah itu sebabnya Sri
Raja Dangdang Gendis, memusatkan pikiran, menggelar rahasia batin, segera moksa
tanpa jasad turut pula kandang kuda beserta pembawa puan, payung, terlihat
samar bayangan beliau, melambai di angkasa, menuju Wisnuloka. Demikian jelas
Sri raja telah menyatu di alam sana.
Ada lagi yang diceritakan yaitu para prajurit dan menteri
lebih-lebih para keluarga utama ( dekat ), rakyat yang masih hidup, semua
cerai-berai, mencari tempat berlindung, mencari tempat persembunyian, agar
selamat, sebab pemimpin perang adalah Siwa Wandhira, beserta Misawalungan,
Semuanya telah gugur, dengan penuh keberanian.
Maka tersebut dua orang perwira yang sangat gagah berani
yang masih ada hubungan darah keturunan utama, dengan Jaya Katong dan Ciwa
Waringin yaitu Jaya Katha dan Jaya Waringin.
Mereka berdua dendam, atas tewas ayahnya dalam
pertempuran, maju menyerang seperti harimau galak, lalu ditangkap bersama-sama
oleh empat orang gagah berani yang masing-masing bernama , Arya Wang Bang, Misa
Rangdi, Bango Samparan, Cucupu Rantya, di sana Jaya Katha dan Jaya Waringin,
keduanya ditangkap. Tidak mampu melawan ikut pula istri Jaya Katha dibawa
berlari beliau sedang hamil, sedang mengidam. Adapun Jaya Waringin, masih
perjaka, belum mempunyai istri. Keempat menteri tersebut semua belas kasihan
terhadap beliau Jaya Katha, dan pula terhadap Siwa Wandhira, itulah sebabnya
lepas tidak terkena senjata.
Adapun setibanya beliau di Tumapel, disayang oleh yang
mendirikan memerintah Tumapel, diasuh oleh orang Japara, masih merupakan
keturunan istri Mpu Sendok, dan Kebo ljo, di sana dipelihara, tidak mendapat
kekuasaan. Sri Jaya Waringin menurunkan Arya Kuta waringin.
Di daerah Tumapel beliau lama disana yang akhimya beliau
melahirkan putra 3 ( tiga ) orang seperti tersebut dalam Babad Arya Kanuruhan
sebagai berikut :
”Pira kunang Suwenira hanengkana marek pawekang kala, ri
wekasan Jaya Katha awangsa jaiu tatiga; Jyesta abhiseka Arya Wayahnn Dalem
Manyeneng. Panghulu apanagaran Arya Katanggaran, Pamungsu Arya Nuddhata, tan
waneh ibu sira katiga sangkana Wangsan sira Jaya Katha."
Terjemahannya :
Setelah sedemikian lama beliau berada di sana ( Tumapei )
maka akhirnya Jaya Katha melahirkan 3 orang putra yang bernama Arya Wayahan
Dalem. Yang ke dua, Arya katanggaran, dan ketiga yang terkecil bernama Arya
Nuddhata, oleh karena ibu mereka berjumlah 3 (tiga ) orang, demikianlah
keturunan Jaya Katta
Sri Jayakatha mempunyai tiga orang putra yaitu:
- Arya Wayahan Dalem Manyeneng, ketika ibunya dibawa lari janin itu berada dengan selamat di rahim ibunya, itulah sebabnya diberi nama Dalem Manyeneng. yang nantinya menurunkan Arya Gajah Para, Sirarya Getas.
- Sirarya Katanggaran mengambil istri putra I Kebo Ijo yang menurunkan Sira Kebo Anabrang. Kemudian beliau mengambil istri dari Singasari yang nantinya menurunkan Kebo Taruna atau Sirarya Singha Sarddhula. Sirarya Singha Sarddhula ini yang datang ke Bali menjadi Kanuruhan. mengembangkan keturunan, yaitu Arya Brangsinga, Tangkas, Pagatepan
- Arya Nuddhata, seorang Arya yang menetap berdiam di Tumapel mengembangkan keturunan di kerajaan di Jawa, tidak diceritakan lebih lanjut.
suksma ceritanya..becik banget
BalasHapustyang suka cerita babd bali..suksma nggih
BalasHapus