Raja Purana Sejarah Desa Adat Semate
Dalam sejarahnya, dahulu kala tersebutlah di pulau Bali dipimpin oleh seorang raja Shri Watu Renggong, yang bertakhta pada tahun saka 1382 atau 1460 masehi dengan kedudukan di Gelgel, beliau ini tiada lain putra dari Kreshna Kapakisan.
Dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan di Bali, beliau Shri Watu Renggong dibantu oleh para punggawa dan tanda mantri. Namun yang paling memegang peran penting tatkala itu adalah keturunan dari Mpu Withadharma, yang lebih dikenal dengan sebutan Pasek.
Kisahnya sebagai berikut :
Sesungguhnya putra-putra dari I Gusti Pasek Gelgel mempunyai tugas dan kewajiban yang berbeda-beda.
- Putranya yang menginventarisir kekayaan raja disebut Pasek Gelgel.
- Yang mengemban tugas sebagai juru bicara raja bergelar Pasek Bandesa.
- Yang bertugas pada Kahyangan Desa seperti Pura Puseh dan Pura Desa termasuk Bale Agung bergelar Pasek Kubayan.
- Dan yang bertugas mengurusi di bidang pitra yadnya bergelar Ki Pasek Prateka.
Dikisahkan Shri Watu Renggong mempunyai empat orang putra antara lain:
- Yang tertua bernama I Dewa Pamayun,
- Adiknya perempuan bernama I Dewa Ayu Laksmi,
- Yang ketiga bernama I Dewa Sagening dan
- Yang terkecil bernama I Dewa Ularan.
Setelah cukup dewasa keempat putra raja itu mohon bimbingan kerohanian (sebagai murid), dengan memohon pengajaran ilmu pengetahuan kehadapan beliau sang trini (Siwa, Bodha, Bhujangga).
I Dewa Pemayun dan I Dewa Sagening belajar kepada Padanda Siwa, I Dewa Ayu Laksmi berguru kepada Ida Padanda Bodha dan I Dewa Ularan mohon berguru kepada Bhujangga Waisnawa.
Setelah sekian lamanya putra-putri raja berguru kepada sang trini, semakin ganteng dan cantik parasnya, serta menginjak usia remaja dan mulai saat itulah api asmaranya mulai tumbuh.
I Dewa Ayu Laksmi sangat cantik sangat tergila-gila orang memandangnya, lantaran demikian itu akhirnya dipersunting oleh sang Bhujangga Waisnawa sebagai istrinya.
Setelah demikian perilaku sang Bhujangga terhadap putra raja, beliau Raja Dalem Watu Renggong yang tiada lain ayah kandung I Dewa Ayu Laksmi, sedih dan sangat marah sampai beliau mengambil pusaka dengan maksud untuk membunuh sang Bhujangga.
Melihat situasi yang demikian itu sang bhujangga menghilang dari Gelgel dan beliau mengungsi bersama I Dewa Ayu Laksmi menuju Gunung Sari (wilayah Jati Luwih). Karena ini adalah tanda-tanda munculnya kali sangara, sehingga sering terjadi pertengkaran antar sanak keluarga.
Dengan munculnya pertanda itu sanak Ki Pasek meninggalkan Gelgel menuju desa-desa di bali.
- Ki Pasek Bandesa, ada yang menuju ke desa Mas, ada yang menuju desa Sibang,
- Ki Pasek Kubayan menuju desa Bendul Wangaya,
- Ki Pasek Gaduh menuju desa Blahbatuh, demikian warga pasek lainnya juga banyak meninggalkan Gelgel.
Setelah sekian lama tinggal pada wilayah yang baru didiami, lagi meninggalkan wilayah itu dan tibalah beliau di bagian tenggara kramani Jong Jarem (sekarang disebut desa Kapal), wilayah yang didatangi itu sangat angker, banyak ditumbuhi oleh pepohonan kayu putih, itu sebabnya disebut dengan dengan hutan Kayu Putih.
Orang-orang pasek itu meninggalkan Gelgel, karena tidak ingin ditindas oleh kaum/golongan lainnya.
Sekarang dikisahkan seorang Rsi Mpu Bantas
***
Beliau melakukan perjalanan suci. Pada suatu tempat beliau membangun Pura Dalem Tembau. Setelah selesai pura dibangun lalu melanjutkan perjalanan, tidak dikisahkan dalam perjalanan, akhirnya tibalah beliau di sebuah hutan yaitu hutan kayu Putih.
Setibanya beliau disana, berjumpa dengan sanak keturunan Mpu Gnijaya.
Om, anak sekalian, kenapa kalian semua ada pada wilayah ini, jelaskanlah kepada hamba.
Ia sang pandita, adanya kami disini, tiada lain karena lantaran kami sekalian tidak sependapat dengan tindakan raja melaksanakan upaya pembunuhan, untuk itu hamba telah berketetapan hati termasuk nantinya sanak keturunan hamba untuk menetap di wilayah ini.
Hai kalian semua jika demikian, karena wilayah hutan ini sangatlah angker, aku sarankan untuk membangun / membuat tempat pemujaan kehadapan Hyang Bhatara, agar kalian selamat dan panjang umur mohon wara nugraha Hyang Bhatara.
Atas saran itu, sekalian orang-orang itu mengadakan musyawarah. Setelah kata mufakat, segera membangun tempat pemujaan. Tidak dikisahkan entah berapa lamanya, kahyangan itu telah selesai dibangun. Selanjutnya orang-orang itu lagi mengadakan musyawarah, tiada lain yang dibicarakan tentang nama kahyangan yang baru selesai dibangun.
Dalam pertemuan itu lama memang tidak menemui titik temu, terjadi tarik ulur pembicaraan. Melihat situasi yang demikian itu lalu sang pandhya segera berujar:
Wahai anak-anakku sekalian, janganlah demikian, berilah nama kahyangan ini Putih Semate.
Apa sebabnya dinamakan demikian ?
Karena pada wilayah ini banyak ditumbuhi oleh kayu putih dan wilayah ini namailah Semate, demikianlah saranku kepada kalian semua.
Apa sebabnya pula wilayahmu ini aku beri nama Semate ?
Karena kalian telah bersatu dalam pikiran tidak mau tunduk dengan orang lain dan berketetapan untuk tinggal di wilayah ini. (terj bebas = sehidup semati )
Setelah itu, akhirnya pura dan desa itu dibuatkan upacara sebagaimana layaknya pada tahun saka 1396 atau 1474 masehi. Entah berapa bulan berikutnya barulah orang-orang yang tinggal di desa Semate membangun pura kahyangan tiga sebagaimana lazimnya desa-desa di Bali.
Ada pula masyarakat Semate pindah tempat tinggal, yang berlokasi disebelah barat daya Semate, wilayah itu disebut Ceceha (sekarang Cica) dan Gunung, disana iapun membuat tempat pemujaan Hyang Bhatara.
Disebutkan wilayah paling selatan Desa Semate berbatasan dengan sungai (bagian utara sungai). Di bagian selatan desa itu terdapat hutan sirih.
Dikisahkan beliau sang Rsi Mpu Bantas, berkata / mengucapkan bhisama;
Hai kalian anak-anakku sekalian, karena kalian dalam mengadakan musyawarah terjadi pembicaraan tarik ulur dalam mengambil suatu keputusan, sebagai tanda peringatan wajib kalian melaksanakan upacara Mbed-mbedan itu setiap tahun yaitu pada sasih kedasa, tanggal pisan (sehari setelah Nyepi), mohon keselamatan dan anugrah Tuhan / Hyang Bhatara, dengan menghaturkan upakara daksina suci pada pura yang menjadi sesungsungan kalian lengkap dengan segehan, demikian harus diingat jangan sampai dilupakan.
Setelah beliau Sang Rsi Mpu Bantas berpesan demikian, lalu meninggalkan Desa Semate melanjutkan perjalanan ke utara dan tiba akhirnya di desa Gagelang.
Dikisahkan tatkala kerajaan Mengwi diserang oleh raja Badung, Tabanan dan Bangli, dimana dalam peperangan itu pihak Mengwi mengalami kekalahan yaitu pada tahun saka 1813 atau 1891 masehi, menyebabkan ada diantara penduduk desa Semate pergi meninggalkan desa itu menuju ke desa-desa lainnya di pulau Bali, demikian kisahnya desa Semate, berakhir //o//
RAJA PURANA DESA ADAT SEMATE
- Nama lontar :Bhuwana tattwa
- Ukuran : 3,5 x 35 Cm.
- Ditranslate oleh : K. Sudarsana
- Pemilik naskah : K. Sudarsana, Br. Basangtamiang – Kapal .
- Ditranslate tanggal : 30 Juli 2008.
Demikian dijelaskan kisah sejarah dari sebuah desa yang sampai saat ini dinakaman "Desa Adat Semate" yang terletak di kelurahan Abianbase Mengwi Mangupura Badung Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar