Pages

Mangku dan Kepemangkuan

Mangku dan Kepemangkuan

Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai rokhaniawan. Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai rokhaniawan, seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

  • Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan Sulinggih.
  • Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dan lain-lain

Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam tingkatan Dwijati.


Rokhaniawan Tingkat Dwijati

Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati .
Dvi berarti dua dan Jati berasal dari akar kata Ja yang berarti lahir.
Dengan demikian Dwijati berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama adalah kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan yang ke dua merupakan kelahiran dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah memperoleh Ilmu Pengetahuan Suci dan kerokhaniawan.

Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron (berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan bijaksana atau orang yang arif lagi bijaksana.

Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan kerokhanian) meliputi :

  1. Amari Aran : Yang bersangkutan wajib merubah namanya sebagai walaka dengan nama baru sebagaimana diberikan oleh Nabenya.
  2. Amari Sesana : Yang bersangkutan harus maninggalkan tugas kewajibannya semula dan menggantikannya dengan sasana kawikon. Dalam hal ini seorang Sulinggih dibebaskan dari tugas kewajiban selaku warga masyarakat biasa.
  3. Amari Wesa : Yang bersangkutan harus mengganti identitas dirinya dengan identitas Pendeta, misalnya tidak boleh lagi bercukur. Juga harus mengikuti disiplin penggunaan pakaian waktu upacara dan penggunaan pakain sehari-hari.
  4. Umulahaken Kaguru Susrusan : Yang bersangkutan harus melaksanakan dengan ketat, taat, dan patuh serta brdisiplin mengenai ajaran Nabenya.

Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca Yajna. Kewenangan ini tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi juga untuk upacara yang bersifat pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain-lain.

Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda.
Untuk dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga, seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang disebut sebagai Apasang Lingga.
Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu atas Kitab Suci Weda.
Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok Sulinggih adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain. Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap hari.

Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak melaksanakan tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya berorientasi kepada “ngetut yasa” dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.

B. Rokhaniawan Tingkat Ekajati

Sebagaimana kata Dwijati, kata Ekajati juga berasal dari bahasa sanskerta eka dan jati.
Eka berarti satu dan jati seperti sudah dijelaskan diatas, berasal dari akar kata ja yang berarti lahir.
Jadi Ekajati berarti lahir sekali, yakni lahir hanya dari ibu kandungnya sendiri. Rokhaniawan yang tergolong dalam kelompok Ekajati antara lain adalah adalah Pemangku atau Pinandita.
Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 menetapkan bahwa Pemangku atau Pinandita adalah “pembantu yang mewakili Pendeta” ini merupakan istilah resmi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Pemangku perlu belajar atau berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajarinya tidaklah setinggi Sulinggih. Kitab Suci Weda yang perlu dipelajari sangat terbatas, yakni hanya yang berhubungan dengan pengastawa saja. Sedangkan upacaara penyuciannya menjadi Pemangku cukup hanya dengan upacara pawintenan.

Upacara Pewintenan Pemangku dapat dilakuakan berulang kali, jadi berbeda dengan upacara padiksaan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan mengikuti upacara pewintenan, seorang Pemangku tidak berubah statusnya sebagaimana halnya dengan Sulinggih. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, boleh berpakaian sebagaimana layaknya anggota masyarakat biasa, masih mempunyai tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tetap dan tidak diganti. Hanya nama panggilannya saja sering ditambah dengan Mangku atau Jero Mangku atau Jero Gede atau sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat kepemangkuannya.

Seorang Pemangku tidak dibenarkan mempergunakan alat pemujaan seperti halnya seorang Sulinggih. Juga tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau petanganan dalam mepuja. Seorang Pemangku memiliki sasana khusus yang tertuang dalam Lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih, Gegelaran Pemangku, Agem-Ageman Pemangku, dan lain-lain. Sedangkan Pemangku Dalang sasananya tertuang dalam Dharmaning Pedalangan, Panyudamalan, dan Nyapu Leger.

PENGERTIAN PEMANGKU

Menurut keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke 2 tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yadnya pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa ditapak dan amari aran.

Kata Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang disamakan artinya dengan “Nampa”, “Menyangga” atau “ Memikul Beban” atau Memikul tanggung jawab”.
Dalam hal ini memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan. Dengan kata lain, orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan Pemangku.

Berdasarkan fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:

  1. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan, Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain.
  2. Pemangku Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis.

Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura, sedangkan Pemangku Dalang, Pemangku Tukang dan lain-lain (yang tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini) adalah orang memikul beban atas tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.

Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat. Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang berkaitan dengan Pura yang diemongnya.

Pemangku harus selalu menjaga kesucian dirinya, harus selalu “mepeningan “ atau “asuci laksana” dengan selalu menjaga kebersihan dan kesucian jasmani maupun rokhaninya.

Disamping itu Pemangku juga harus menjaga “Kelingsirannya” meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).

NAMA PANGGILAN SEORANG PEMANGKU

Nama panggilan seorang Pemangku dibedakan sbb. :

  • Bapa Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku, dll. adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Sari
  • Jero Mangku adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Mepedamel
  • Jero Gede adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Samkara Ekajati

Dalam prektek seorang Pemangku dinamakan pula Jan Banggul Ida Bhatara. Ada juga yang menyebutnya Jero Tapakan. Di luar Bali seorang Pemangku ada yang menamakannya Wasi. Tetapi ketiganya bukanlah nama panggilan, tetapi sebagai padanan dari kata Pemangku. Dalam Maha Sabha II PHDI tahun 1968, rokhaniawan Pemangku dinamakan Pinandita. Hal ini untuk menyamakan persepsi umat Hindu di Indonesia. Ketetapan itu untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Pinandita tentu berbeda dengan Pandita atau atau Pendeta. Tegasnya Pinandita adalah Pemangku, sedangkan Pandita atau Pendeta adalah Sulinggih.

Tetapi baik Sulinggih maupun Pinanadita sangat diperlukan oleh umat Hindu. Hal ini karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin kompleks. Karena itu umat Hindu memerlukan Pinandita dan atau Pendeta, bukan saja pada waktu bersembahyang atau melaksanakan upacara yajna. Dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan lainnya pun umat memerlukan pula tuntunan dari Pendeta dan atau Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan, dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.

Itulah sebabnya mengapa seorang Pemangku perlu terus belajar dan belajar lagi. Agar benar-benar dapat menjadi seorang pelayan umat sekaligus pelayan Ida Sang Hyang Widhi, maka seorang Pemangku atau Pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk menghafal Puja Stawa saja. Janganlah berbangga diri, apalagi bersikap arogan dan merasa lebih dari orang lain, hanya karena sudah merasa lancer dan pandai mengucapkan Puja Stawa atau Mantram, yang barangkali juga belum diketahui maknanya. Sekali lagi, seorang Pemangku hendaklah tidak menutup diri dari ilmu, khususnya ilmu agama. Seorang Pemangku hendaknya juga menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan lain yang menyangkut berbagai persoalan tentang hidup dan kehidupan masyarakat.

Yang lebih penting lagi adalah bahwa seorang Pemangku atau calon Pemangku wajib membekali dirinya dengan moral dan mental yang luhur serta tangguh. Semua itu untuk dapat menegakkan swadharma dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi manusia panutan.

PAKAIAN PEMANGKU

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pemangku, pakaian Pemangku dibedakan untuk Pemangku dengan sebutan Jero Mangku dan dengan nama panggilan Jero Gede.
Pakaian Pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuan adalah :

  • Destar (udeng) petak (putih)
  • Kwaca (baju) petak (putih)
  • Kampuh (saput) petak (putih atau kuning)
  • Wastra (kain) petak (putih)
  • Dandanan rambut magelung anyondong yang ditutup destar bongkos nangka

Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugas sebagai Pemangku adalah :

  • Dandanan rambut panjang magelung anyodong rapi, rambut meperucut menghadap ke belakang yang selalu ditutup destar putih
  • Baju putih berbentuk jas tertutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang
  • Kampuh kuning
  • Wastra putih, melelancingan

TINGKAT-TINGKATAN PEMANGKU

Berdasarkan besar kecilnya Pura yang diemong, Pemangku dapat dibedakan sbb. :

  • Pemangku Sanggah/Merajan adalah Pemangku yang bertugas di Sanggah atau Merajan keluarga
  • Pemangku Pura Paibon adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Paibon, yang disungsung oleh sekitar 20 keluarga yang masing-masing telah memiliki Sanggah/Merajan tersendiri. Pemangku untuk Pura Paibon ini biasanya bergelar Jero Mangku
  • Pemangku Pura Dadia/Pura Panti/Pura Batur merupakan Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Dadia yang dinamakan pula Pura Panti atau ada juga yang menyebutnya sebagai Mangku Agung atau Mangku Gede, sama dengan gelar Pemangku di Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem (Kahyangan Tiga Desa)
  • Pemangku Pura Kawitan adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Kawitan. Pemangku ini bergelar Jero Gede atau ada juga yang menamakannya Ida Gede, sama dengan gelar untuk Pemangku di Pura Sad Kahyangan Jagad

Pemangku juga dapat dibedakan berdasarkan jenis Pura yang diemongnya, yaitu :

  • Pemangku Pura Sad Kahyangan
  • Pemangku Pura Dang Kahyangan
  • Pemangku Pura Kahyangan Tiga
  • Pemangku Sanggah/Merajan, Pemangku Pura Paibon, Pemangku Pura Dadia (Pura Panti atau Pura Batur), Pemangku Pura Kawitan, sebagaimana sudah dijelaskan diatas

HAK-HAK PEMANGKU

Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat, seorang Pemangku sudah selayaknya diberikan kebebasan dari kewajiban tertentu disamping juga hak-hak yang sepatutnya, sebagai imbalan atas pengabdiannya yang tulus dan ikhlas untuk ngayah tanpa pamrih :

  • Pemangku dibebaskan dari ayahan desa, sesuai dengan tingkat kepemangkuannya
  • Pemangku dapat menerima bagian sesari ataupun aturan sesangi dari Pura yang diemongnya. Pembagiannya adalah sebagai berikut :


  1. Sepertiga bagian untuk Pura, yang dapat dipergunakan untuk membeli perlengkapan Pura
  2. Sepertiga bagian untuk dibagikan untuk para Pemangku yang bertugas di Pura tersebut
  3. Sepertiga bagian untuk Pengurus Pura termasuk penjaga Pura dan petugas lainnya jika ada


  • Pemangku dapat menerima bagian hasil pelaba Pura, sepanjang Pura yang diemongnya memiliki pelaba Pura. Mengenai bagian yang dapat diberikan kepada Pemangku ditentukan oleh Pengurus Pura berdasarkan kesepakatan Krama Dadia

WEWENANG, TUGAS, DAN KEWAJIBAN PEMANGKU

Setiap umat manusia memiliki swadharma atau tugas kewajiban tersendiri. Demikian pula halnya dengan Pemangku. Adapun kewenangan Pemangku dapat diuraikan sebagai berikut :

  • Menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan sampai tingkat piodalan pada Pura yang diemongnya
  • Apabila Pemangku menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau upacara yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara yajna tersebut bersifat rutin, seperti pujawali atau piodalan, Manusia Yajna dan Bhuta Yajna, yang seharusnya memepergunakan tirtha Sulinggih, maka Pemangku diperkenankan nganteb banten upacara termaksud dengan menggunakan tirtha Sulinggih
  • Pemangku berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura yang diemongnya dengan cara mepuja atau mesa termasuk mohon tirtha kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut, termasuk yajna membayar kaul dan lain-lain
  • Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yajna atau Caru, Pemangku diberi wewenang menyelesaikan upacara Bhuta Yajna maksimal sampai dengan tingkat panca sata dengan mempergunakan tirtha Sulinggih
  • Delam berhubungan dengan menyelesaikan upacara Manusia Yajna, Pemangku diberi wewenang mulai dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha Sulinggih
  • Dalam hubungan dengan menyelesaikan upacara Pitra Yadnya, Pemangku diberi wewenang sampai mendem sawa sesuai dengan catur dresta

Dengan demikian Pemangku mempunyai wewenang untuk :

  • Nganteb Upakara/Upacara di Pura atau Kahyangan yang diemongnya
  • Dapat “ngeloka pala sraya”sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat pawintenannya


PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN NGANTEB UPAKARA

Pada saat akan nganteb baten, Pemangku terlebih dahulu katuran panguleman (pemberitahuan) berupa canangsari yaitu sebagai permakluman kehadapan Hyang Taksu (susuhanannya) bahwa Pemangku akan melaksanakan tugasnya untuk nganteb upakara (banten). Hal ini tentu tergantung dari desa kala patra atau kebiasaan atau tradisi setempat.

Selanjutnya penggunaan sarana bagi seorang Pemangku juga tidak sama di suatu daerah dengan daerah lainnya. Di daerah tertentu ada yang menggunakan sarana seperti di bawah ini :

  • Di suatu upacara (di tempat nganteb banten) disiapkan sebuah Daksina Pelinggih, peras, ajuman, lengawangi, buratwangi, dan canangsari berisi sesari, dengan jinah bolong 550 kepeng
  • Banten yang di tempatkan di Sanggar Surya (Sanggar Tawang) adalah banten suci lengkap, dan canangsari serta daksina
  • Untuk pengastawan tirtha dipergunakan sangku atau payuk anyar
  • Selesai nganteb banten, di rumah Pemangku disediakan labaan (pengluar) dan Daksina Pelinggih, untuk dihaturkan kehadapan Hyang Taksu sebagai pertanda bahwa upacara telah selesai
  • Banten upacara untuk nganteb terdiri dari :


  1. Daksina Pejati, meruntun peras, ajuman, dan canangsari dengan sesantun 4000 kepeng jinah bolong
  2. Dalam upacara pedudusan dilengkapi dengan banten bebangkit, pulegembal, gelarsanga, dan pasipatan
  3. Suci alit, lengewangi, buratwangi, banyu awing
  4. Bunga yang harum
  5. Kalpika 33 biji
  • Piranti pemujaan terdiri atas :
  1. Sebuah dulang kuningan atau dulang kayu yang dipergunakan khusus untuk itu
  2. Sagku tempat tirtha
  3. Pedupaan
  4. Bajra/Genta
  5. Tempat bija
  6. Tempat bunga

Artikel yang terkait dengan Mangku dan Kepemangkuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar