Google+

Pawintenan Pemangku

Pawintenan Pemangku

Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata “mawi” dan “inten”.

  • Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti bersinar,
  • Inten berarti intan atau permata. 

Dengan demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan.
Mengapa perlu disucikan?
Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.


Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan Banten Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan, yaitu :

  • Pawintenan Sari
  • Pawintenan Mepedamel
  • Pawintenan Samkara Ekajati

Pawintenan Sari 

Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus disaksikan oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan.
Pemangku yang diwinten dengan cara ini biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut Mangku, dan sebagainya.

Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah sebagai berikut :

  • Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun
  • Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti – Sthiti – Pralinaning Sarwa Dewa
  • Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang sering berbuat tidak baik
  • Tidak suka memperkosa ataupun memaksakan kehendak kepada orang lain

Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam praktek nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang ini dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat Sulinggih.

Pawintenan Mepedamel

Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean.
Upacara ini harus disaksikan oleh :

  1. PHDI Kecamatan dan Kabupaten
  2. Pejabat Pemerintah setempat
  3. Perangkat Desa Adat
  4. Kantor Departemen Agama Kabupaten
  5. Guru Rupaka dan keluarganya

Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai Jero Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna.
Pada waktu nganteb banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan mempergunakan genta atau bajra.

Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu berdasarkan Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku ini juga belum diperkenankan nganteb banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten bebangkit – pala gembal ke atas.

Pawintenan Samkara Ekajati

Pawintenan jenis ini merupakan Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku dengan title Jero Mangku menjadi Jero Gede selaku Pinandita.

Upacara pawintenan ini dilakukan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau yang disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru Pengajian).

Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron. Pandita – Nabe itulah yang secara langsung membina dan mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan jabatan yang akan dipangkunya.

Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa, sama seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.

Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu dan dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.

Sarana Pawintenan dan Artinya

Dalam Upacara Pawintenan Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang (calon) Pemangku akan diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista, dan Banten Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku termaksud diwajibkan menginjak Kepala Kerbau.
Mungkin timbul pertanyaan, apakah arti dari semua ini?
Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH (SARAD No. 46/2004).

Penggunaan Selempod. Dalam upacara Pawintenan Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan mengenakan selempot benang putih, sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara Ekajati harus mengenakan selempot benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih, dan hitam). Dengan memakai selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut dipandang sebagai penganut ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti bahwa calon Pemangku tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu. Sedangkan dengan memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan mempunyai tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan timur, bahkan ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam hal ini Pemangku tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat penjuru mata angin. Itulah sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati dipergunakan banten catur, sebagai simbul pemujaan kehadapan empat Dewa termasuk tadi.

Pemakaian Rajah Semara-Ratih. Pada waktu pawintenan, ke badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain putih berisi gambar wayang dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang. Setelah itu Semara Ratih tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang bahwa seorang Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan penuh rasa kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaannya, baik yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.

Banten Pedambel. Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil yang terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten pedamel itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang dimakan, seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam melaksanakan tugas kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa asin, dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan masyarakat.

pemakaian Karawista/Siwowista. Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-alang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan), sedangkan kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan bunga yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma), disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).

Kepala Kerbau. Dalam Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak kepala kerbau, yang melambangkan bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap kekuatan yang maha besar itu, maka seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Jenis Banten Pawintenan dan Maknanya

Untuk memperluas Pawintenan diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut banten yang dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :

  • Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
  • Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
  • Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur

Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pawintenan Pemangku Suami-Isteri

Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan istrinya.

Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut pawintenan masepuh.

Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri haruslah sudah disucikan.

Pengendalian Diri Melalui Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi

Mereka yang sudah mawinten wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan cara melakukan brata, tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya, maka makin ketat pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu.
Berikut adalah penjelasan secara singkat :

  • Brata adalah usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu
  • Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran agama
  • Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
  • Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan

Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang sudah mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan tertib agar tidak menjadi cemer.
Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :

  • Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran Agama
  • Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar dirinya

Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat kedua. Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri kembali sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja atau bila perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.

Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul “Dwijendra Tatwa” menjelaskan ajaran Empu Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hukum cuntaka (sebel), tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang kematian (namping watang).

Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No. 82/2004) menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika memegang jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi kembali, dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita, apalagi hanya mebanyuawangan saja.
Mebanyuawangan hanya berlaku bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan daun kelapa muda.

Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.

artikel yang terkait dengan Pawintenan Pemangku
demikianlah sekilas tentang Pawintenan Pemangku, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar