Pages

Dalem Sidakarya atau Brahmana Keling

Dalam sumber tertulis yang mengungkap sejarah Dalem Sidakarya adalah "Lontar Bebali Sidakarya" yang merupakan koleksi dari Ida Pedanda Gede Nyoman Gunung dari Biau, Desa Muncan, Karangasem. Dalam Babad Sidakarya yang disusun I Nyoman Kantun, S.H., M.H. dan Drs. I Ketut Yadnya dinyatakan, Brahmana Keling merupakan sebutan salah seorang pendeta dari Jawa Timur.

Secara ringkas dituturkan bahwa Ida Dalem Sidakarya adalah seorang Brahmana wulaka keturunan sakya dari Keling atau disebut dengan Brahmana Keling. Disebut Brahmana Keling karena berasal dari daerah Keling, Jawa Timur. Brahmana Keling adalah putra Dang Hyang Kayumanis, cucu dari Mpu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Sampai saat ini belum ada yang tahu nama asli Brahmana Keling. Karena berasal dari Keling maka beliau disebut Brahmana Keling.


Brahmana Keling ini merupakan putra dari Dang Hyang Kayu Manis yang merupakan nabe dari Ida Dalem Waturenggong yang menjadi raja di Bali yang berkedudukan di Gelgel, Klungkung.

Sebelum pergi ke Bali, Brahmana Keling pernah memimpin upacara selamatan dengan sukses di Madura. Sekembalinya ke Jawa, ketika beliau sedang asyik menikmati panorama Selat Bali, datanglah ayah beliau (Dang Hyang Kayu Manis) yang baru datang dari Gelgel, Bali, dimana Keraton Gelgel Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong. Mendengarkan hal itu, maka Brahmana Keling segera pergi ke Bali.

Dikisahkan, Brahmana Keling pergi ke Bali. Tak diceritakan perjalanan dari Jawa ke Bali, sampailah beliau di Keraton Gelgel, Klungkung untuk menemui sang raja. Sesampai di Keraton Gelgel, Keraton Gelgel sangat sepi karena Raja Waturenggong sedang berada di Pura Besakih mempersiapkan pelaksanaan upacara. Brahmana Keling langsung menuju Pura Besakih ingin bertemu dengan saudaranya, Dalem Waturenggong.

Sesampai di Pura Besakih, Brahmana Keling disapa para pengayah dan ditanyakan mau bertemu siapa. Brahmana Keling menjawab ia ingin menemui saudaranya Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Para pengayah ragu atas pengakuan Brahmana Keling, sehingga kedatangannya belum berani disampaikan kepada Raja.

Namun, karena segera ingin bertemu, Brahmana Keling masuk ke dalam Pura Besakih tanpa dilihat orang. Karena saking lelahnya, beliau menuju pelinggih dan beristirahat sejenak. Tak berselang lama datang Dalem Waturenggong dan melihat bahwa ada orang dengan pakaian lusuh. Raja akhirnya memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang tersebut. Prajurit pun melaporlan bahwa orang itu tiada lain Brahmana Keling.

Sayang sekali Brahmana ini tidak diakui sebagai saudara karena melihat pakaiannya yang compang-camping dikira orang gila, bahkan diusir dengan paksa. Raja kemudian memerintahkan prajurit mengeluarkan Brahmana Keling dari lingkungan pura. Brahmana Keling yang tidak diakui sebagai saudara akhirnya meninggalkan Pura Besakih.

Pada saat itu, Brahmana Keling sempat mengucapkan Kutuk Pastu yang isinya: Wastu tata astu, karya yang dilaksanakan tan sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan, sarwa gumatat-gumitit ngrubeda. Setelah mengucapkan kutuk tersebut, beliau menuju Desa Sidakarya.

Tak berselang lama, kutuk itu terbukti.  Akhirnya Pulau Bali diserang wabah dan hama. Berkenaan dengan bencana ini, Dang Hyang Nirartha menghaturkan upakara untuk memohon keselamatan, tapi permohonan ini tidak berhasil.

Pada suatu malam, Dalem Waturenggong bersemadi di Pura Besakih dan mendapatkan petunjuk Ida Batara bahwa beliau telah berdosa mengusir saudara sendirinya. Untuk mengembalikan keadaan semula, hanya Brahmana Keling yang mampu melakukannya.

Kemudian Dalem Waturenggong mengutus rakyatnya mencari Brahmana Keling sampai ketemu. Berangkatlah rombongan penjemput Brahama Keling untuk dimohon bersedia menemui Dalem Waturenggong. akhirnya Brahmana Keling dijumpai di Bandanda Negara yang sekarang disebut Desa Sidakarya dimana Pura Mutering Jagat Sidakarya berada. Brahmana Keling bersedia mengembalikan keadaan seperti sedia kala.

Dalem Waturenggong di hadapan para menteri/patih/pre arya, Dang Hyang Nirarta dan Dalem Sidakarya bersabda: Mulai saat ini dan selajutnya, bagi setiap umat Hindu melaksanakan karya wajib nunas tirta penyida karya, supaya karya menjadi sidakarya. Untuk mengenang jasa Dalem Sidakarya seterusnya dan demi adanya parahyangan tempat nunas tirta sidakarya bagi umat Hindu, sekitar tahun 1518 M Dalem Waturenggong memerintahkan agar mendirikan Pura Dalem Sidakarya.

Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, Dalem Waturenggong memohon belas kasihannya agar Pulau Bali dikembalikan seperti semula, tidak ada bencana dan hama. Begitu pula karya atau upacara agama dapat berlangsung dengan baik, dengan janji akan menerima Brahmana Keling sebagai saudara.

Brahmana Keling lantas minta kesaksian yang membenarkan segala yang diucapkan misalnya ayam hitam dikatakan putih maka ayam hitam menjadi benar-benar putih, pohon kelapa yang tadinya tidak berbuah dikatakan berbuah maka benar-benar berbuah. Hama dan wabah pun seketika lenyap sehingga upacara atau karya yang dilaksanakan itu dapat dilanjutkan dan berjalan dengan sidakarya atau sukses.

Setelah semua keadaan dapat dikembalikan sesuai dengan yang diharapkan, maka Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya yang diberi gelar Brahmana Sidakarya atau Dalem Sidakarya. Ini terjadi pada tahun 1615 €aka.

Dalem Waturenggong di hadapan para menteri/patih/pre arya, Dang Hyang Nirarta dan Dalem Sidakarya bersabda: Mulai saat ini dan selajutnya, bagi setiap umat Hindu melaksanakan karya wajib nunas tirta penyida karya, supaya karya menjadi sidakarya. Untuk mengenang jasa Dalem Sidakarya seterusnya dan demi adanya parahyangan tempat nunas tirta sidakarya bagi umat Hindu, sekitar tahun 1518 M Dalem Waturenggong memerintahkan agar mendirikan Pura Dalem Sidakarya.

Mulai saat itu Dalem Waturenggong memerintahkan seluruh rakyat Bali, untuk suksesnya karya atau upacara yang akan dilaksanakan, agar memohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya tempat Brahmana Sidakarya). Di samping itu, pada setiap upacara keagamaan supaya diadakan pertunjukan Topeng Sidakarya -- menghaturkan wali Sidakarya -- sebagai pelengkap upacara penting umat Hindu.

Topeng Dalem Sidakarya Mengandung Arti

Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih besar, wali Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten sesayut Sidakarya. Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap dalam upacara mengandung arti sebagai berikut;
  1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau upacara berlangsung serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik mengandung arti bahwa upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara. Selamat mengandung arti upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa kengerian. 
  2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang digelar.
  3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh pendeta (sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan suksesnya serta sempurnanya sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura).
Demikian pentingnya pertunjukan Topeng Sidakarya keterkaitannya dengan upacara keagamaan dalam segala yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar perlu kiranya disikapi dengan arif sehingga tujuan inti ber-yadnya lebih meningkatkan kemantapan pencapaian spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama Hindu, Topeng Sidakrya adalah seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar