Dalem Shri Aji Batur Enggong
Kemangkatan Gajah Mada pada tahun 1364,
yang disusul pula kemudian dengan kemangkatannya Sri
Hayam Wuruk pada tahun 1389, ternyatalah kedua peristiwa itu membuka jalan bagi
runtuhnya kerajaan Majapahit dikemudian hari.
Sejak itu sebenarnya kerajaan Majapahit
sudahmulai mengalami kemunduran, karena tanpa adanya lagi muncul
pemimpin-pemimpin baru yang cakap dan bijaksana untuk menggantikan Gajah Mada
sebagai patih Mangkubumi. Adanya usaha Baginda raja Sri Haya Wuruk
ketika itu untuk mengadakan musyawah besar di istana Majapahit, ternyata tiada
memberi hasil yang diharapkan. Malah sebaliknya, kemunduran yang dialami oleh
kerajaan Majapahit ketika itu, dipergunakan oleh para Adipati di Daerah-daerah
untuk memperkuat kedudukannya, terbukti dengan tindakan Sri Smara Kepakisan
yang menjadi Adipati di Bali. Beliau menobatkan dirinya sebagai raja Rsi,
dengan suatu upacara besar yang disebut Abhiseka. Walaupun demikian suatu perubahan yang
terjadi, namun kerajaan Majapahit pernah menguasai Bali yang lamanya tiada
kurang kira-kira dari 60 tahun.
Hal itu diperkirakan dari mulai jatuhnya
kerajaan Bedaulu pada tahun 1343 dan kemudian dengan terdapatnya 2 buah
prasasti, yang kini sebuah masih disimpan di pura Abang di desa Batur bertahun
1384 M, dan yang sebuah lagi disimpan di pura Batur di desa Gobleg bertahun
1398 M. Agama Islam dikerajaan Pasuruan pada tahun
1546, penyerangan tentara kerajaan Gelgel ke Blangbangan pada tahun 1569 dan
lain sebagainya. Selanjutnya kitab perpustakaan kuna yang
berjudul “BABAD DALEM” dan "KIDUNG PAMANCANGAN” menyebutkan antara lain bahwa
Sri Batur Enggong adalah putra Sri Smara Kapakisan.
Pada Masa Pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir
telah dinobatkan putra beliau yaitu Dalem Waturenggong sebagai Raja Muda tahun
caka 1380 atau tahun 1458 M. Dengan wafatnya ayah beliau pada tahun 1460
maka Dalem Waturenggonglah yang menggantikan kedudukan beliau sebagai Raja di
Kerajaan Gelgel dengan kekuasaan penuh terhadap Pulau Bali.
Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI
(sekitar tahun 1550 M) merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit
terhadap kerajaan Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Kerajaan Islam
Demak. Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang merupakan pemerintahan Pusat
pada tahun 1478 yang dicandra sengkala Sirna Hilang Kertaning Bhumi atau caka
1400, maka Bali melepaskan diri dan menjadi wilayah yang merdeka. Kerajaan Gelgel kemudian memperluas wilayah
kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan Blambangan pada tahun 1512 M dan
menguasai Pulau Lombok tahun 1520 M.
Dalem Waturenggong menggantikan kedudukan ayahnya di Bali,
mengemudikan sebuah kerajaan besar, yang luas wilayahnya meliputi dari barat
Puger, Pasuruhan, Belambangan, hampir seluruh Jawa Timur dan sebelah Timur
yaitu Sasak, Sambawa, Gurun dan Gowa. Dalem Waturenggong adalah raja yang
sangat ditakuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram.Baginda Dhalem Baturenggong sangat mahir
dalam keagamaan dan sangat sakti, bisa berjalan di atas air dan kalau menaiki
pedati, hanya tenggelam sampai mata kuku pedati tersebut.
Untuk menjaga wilayah timur, Baginda
menempatkan putra-putranya menjadi raja yaitu
- I Dewa Mas Pakel menjadi raja di Sambawa
- I Dewa Mas Panji menjadi raja di Gowa,
- sedangkan putra-putranya di Bali yang terlahir dari Wini Ayu Midar masih sangat kecil yaitu Ida I Dewa Pemayun dan Ida I Dewa Dimade Sagening.
- Dari istri baginda yang bernama Ni Ayu Tengenan melahirkan Ida Tebuwana, d
- Dari istrinya Ni Gusti Ayu Ularan melahirkan putra bernama I Dewa Ularan.
Dalem Waturenggong mewarisi keris pusaka Ki Lobar , Si tandang langlang dan Si
begawan Canggu yang diberikan oleh Patih Gajahmada kepada Kakek beliau Dalem
Sri Kresna Kepakisan pada saat pertama kali memegang pemerintahan di Pulau Bali
yang mana keberadaan senjata sakti tersebut sangat ditakuti oleh musuh musuh
beliau karena dapat mencari sasarannya sendiri atas perintah si empunya. Kebangkitan sebuah kerajaan besar di Bali
dibawah kekuasaan Sri Batur Enggong,dapat menunjukkan bahwa beliau adalah
seorang raja yang cakap dan bijaksana di dalam mengemudikan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong Kerajaan Bali mencapai masa keemasannya hal tersebut tercapai berkat kebijaksanaan beliau dalam mengatur pemerintahan dan penegakan hukum serta perhatian beliau terhadap kesejahteraan rakyat. Begitu juga orang orang Bali aga (asli) diberikan kedudukan dalam pemerintahan dan diperlakukan secara adil.
Menteri Mentri pada Jaman pemerintahan
ayahnya yang sudah berusia lanjut digantikan oleh putra putranya diantaranya Ki
Gusti Batan Jeruk sebagai patih Agung digantikan oleh oleh putranya yaitu
Rakyan petandakan juga Ki Gusti Abian Tubuh dan Ki Gusti Pinatih telah
menunjukkan rasa baktinya menuruti jejak orang tuanya masing masing kehadapan
Dalem Waturenggong. Sedagkan para arya lainnya menduduki jabatan Menteri dengan
sebutan Anglurah.
Ketertiban dan keamanan dapat dijada dengan
baik. Pencuri dan perampok dijatuhi hukuman yang berat, sedangkan orang miskin
mendapat bantuan dari pemerintah. Apabila terdapat pengemis berkeliaran pada suatu
daerah, maka kepala di daerah itu yang bersalah karena tiada sanggup
menciptakan kemakmuran di daerahnya sendiri. Ketegasan Baginda Sri Batur
Enggong bertindak di dalam menegakkan keadilan dankebenaran, dimungkinkan
dengan adanya sepasukan tentara pengawal kuat.
Pasukan pengawal itu disebut “Dulang
Mangap”, beranggautakan 1600 orang dibawah pimpinan Ki Ularan sebagai panglima
Perangnya yang merupakan warga Bali Aga (Bali Asli) keturunan Ki Pasung Grigis
yang merupakan patih Kerajaan Bedulu sebelum dikalahkan Majapahit.
Sri Batur Enggong ketika masih muda pernah
kedatangan seorang pemuka Agama Islam, yang megnaku dirinya adalah utusan dari
Mekka. Pemuka Agama itu mendesak Baginda agar suka memeluk Agama Islam. Akan tetapi desakan pemuka Agama Islam itu
ditolak mentah-mentah oleh Baginda. Kiranya pemuka Agama Islam yang datang itu
tiada lain dari Pelatehan atau Fatahillah yang kemudian disebut Sunan Gunung
Jati. Dugaan itu didaarkan atas perkembangan Agama Islam kira-kira pada tahun
1546 yang terjadi di Jawa Timur, pada jamannya Sultan Trenggono menjadi Sultan
di kerajaan Demak. Pada waktu itulah banyak orang-orang Jawa yang masih
memuliakan Agama Siwa maupun Buddha, terpaksa mengadakan perpindahan
besar-besaran ke Bali. Diantaranya ada pula yang mengungsi ke pegunungan
Tengger dan daerah-daerah pegunungan lainnya di Jawa Timur. Kisah perjalanan
seorang Pendeta yang kemudian amat masyur namanya di Bali, terjadi pula pada
masa itu.
Akibat jatuhnya Majapahit maka banyak para
arya dan Brahmana dari Majapahit yang datang ke Bali diantaranya Dang Hyang Nirarta yang di Bali terkenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rauh / Dang Hyang
Dwijendra dan di Lombok terkenal dengan sebutan Sangupati dan di Pulau Sumbawa
beliau disebut dengan Tuan Semeru.
Kedatangan Dang Hyang Nirarta ke Bali disambut oleh I Gusti Dauh Bale Agung. Beliau kemudian diangkat sebagai Bagawanta Kerajaan Gelgel. Peranan belaiu sebagai Bagawanta sangat besar dalam bidang keagamaan, arsitektur dan kesusatraan sehingga Kerajaan Gelgel pada abad ke 6 tersebut mencapai puncak kejayaannya. Beliau selalu memberikan petunjuk dan nasehat kepada Dalem Waturenggong dalam menjalankan pemerintahan, dan salah satu ajaran beliau yang diwarisi sampai sekarang adalah konsep TRI PURUSA (Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa yaitu :
- Parama Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai Brahma yang merupakan sumber dari segala sumber di alam semesta
- Sada Siwa yaitu sifat Tuhan sebagai Asta Iswara dan Cadu Sakti
- Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai jiwa alam semesta.
Dalam wujud tempat persembahyangan
dinamakan Padmasana yang memadukan ajaran Tri Murti dari Mpu Kuturan dan Konsep
Tri Purusa dari Dang Hyang Nirarta yang dipergunakan hingga saat ini.
Baginda raja Sri Batur Enggong sesudah
berusia lanjut, lalu menjadi raja Rsi denan suatu upacara penobatan yang
disebut Abhiseka. Bertindaklah Mpu Nirartha dalam memimpin upacara perayaan
besar itu sebagai pendeta Siwa Budha, karena Mpu Angsoka seorang Pendeta Buddha
yang diundangnya pada waktu itu tidak hadir. Beliau mempersilahkan Mpu Nirartha
untuk merangkapnya. Karena itulah Mpu Nirartha dapat bertindak sebagai Pendeta
Siwa-Buddha sebagai diterangkan diatas. Dan mulai saat itulah Mpu Nirartha baru
diangkat menjadi “Purohito” (Pendeta kerajaan) dari Baginda raja Sri Batur
Enggong yang sudah menjadi raja Rsi.
Tiada lama berselang sesudah Baginda Sri
Batur Enggong menjadi Raja Rsi, datanglah dari Jawa ke Bali seorang Pendeta
Agama Buiddha yang bernama Mpu Asthapaka, yakni anak dari Mpu Angsoka. Keberangkatan beliau ke Bali, disebabkan
karena desakan Agama Islam yang makin meluas di Jawa Timur.
Akhirnya beliau menetap pada suatu tempat
yang kini disebut Buddha Keling (Karangasem). Nama itu mengesankan bahwa Mpu Asthapaka
mengikuti ajaran Agama Buddha yang bersal dari Kalingga (India Timur). Semenjak itu berkembanglah lagi Agama
Buddha di Bali, disamping Agama Siwa yang dipimpin oleh Mpu Nirartha.
Perkembangan Agama Siwa dan Buddha di Bali
pada waktu itu mengalami kemajuan yang pesat, lebih-lebih setelah Baginda Sri
Batur Enggong megndakan suatu upacara keagamaan yang disebut “Homa”, yakni
suatu upacara pemujaan terhadap Desa Api atau Hyang Agni.
Setelah selesai upacara Boma itu
dilangsungkan, maka makurlah keadaan di pulau Bali sejak itu. Pohon kelapa dan
padi berbuah lebat sepanjang masa, tiada pernah suatu hama penyakit yang
menyerangnya.
Pama masa itu sekalian penduduk pulau Bali
mengalami jaman keemasan, hidup berbhagia dibawah pemerintahan Baginda raja Sri
Batur Enggong, yang selalu bertindak tegas, adil dan bijaksana.
Dalam keadaan yang demikian itulah Mpu
Nirartha dan Mpu Asthapaka, dapat meneruskan usaha leluhurnya dimasa lampau,
untuk menanamkan kesadaran rakyat dibidang beragama. Hingga kini nama Mpu Nirartha yang lebih
terkenal dengan sebutan Padanda Wawu Rawuh sangat masyur di Bali.
Beliau banyak menulis karanganyang
mengandung filsafat dan ajaran-ajaran Agama Siwa, seperti tersebut didalam
kitab Karangannya yang berjudul : Gugutuk Menur, Sarakusua, ampik, Ewer,
Legarang, Dharmatatwa, mahesa-Langit, kasisthasraya, Anjang Nirartha,
Mahisamegat Kung, dan Kewidharma Putus.
Sedangkan Kiyai Panulisa Dawuh Bale Agung
yang menjadi muridnya mengikuti juga jejak Maha gurunya. Diantara Karanganya
yang bernilai ialah : Wukir Opadelengan, Tan Dhirga, Pupuh Sumaguna, Rareng
Canggu, Wilet Majura, Anting-anting Timah, Karas Negara, Sagara Gunung dan
Jagul Tuha.
Berkat keahliannya Kiyai panulisan Dawuh
Bale Agung didalam karang mengarang, lalu pemerintah di kerajaan Gelgel memberi
gelar kehormatan dnean sebutan “Rakryan Manguri”. Demikianlah keadaan pulau
Bali dibawah kekusaan Baginda Raja Sri Batur Enggong, yang dialam menjalankan
pemerintahannya beliau dibantu oleh seorang Patih Agung Yakni Kiyai Batan
Jeruk. Patih Agung inilah yang keudian mengadakan pemberontakan, setelah
keraton Gelgel dipimpin oleh sebuah Badan peraakilan, karena putra Mahkota yang
akan dinobatkan masih kecil. Baginda raja Sri Batur Enggong yang masyhur
namanya itu, mangkat kira-kira tiada antara lama sebelum tahun 1586).
Pada Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong
wafatlah Ida Shri Aji Tegal Besung yang merupakan Paman beliau atau anak dari
Dalem Kresna Kepakisan Raja Bali I setelah ekspedisi Majapahit tahun 1343 M. Pemerintahan Dhalem Baturenggong, dibantu oleh
saudara sepupunya putra dari Ida Shri Aji Tegal Besung, dengan jabatan Manca
Agung atau Dewan Penasehat Raja: yaitu Ida I Dewa Anggungan, Ida I Dewa Gedong
Artha, Ida I Dewa Pagedangan, Ida I Dewa Nusa dan Ida I Dewa Bangli.
Putra putra beliau senantiasa mengabdikan
diri kepada Dalem Waturenggong karena masih bersepupu dengan beliau dan oleh
Dalem Waturenggong ke lima saudara sepupunya masing masing diberikan tempat
tinggal dan sandang pangan secukupnya.
Pembangunan Pura di Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong
Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :
- Pura Purancak di Jembrana
- Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra,
- Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
- Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan
- Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih)
- Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi.
Akhir Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong
Dalem Baturenggong Berpulang ke Sunyaloka pada sangkala ” Saparenge Sang
Pandita muang catur jadma yaitu caka 1472 atau 1550 Masehi, dengan meninggalkan
putra yang masih kecil-kecil,yaitu :
- Raden Pangharsa/ Dalem Bekung
- Raden Anom Sagening/ Dalem Sagening
- Seorang putri tidak diceritakan
Setelah Dalem Watur Enggong Wafat maka
putra tertua yaitu Raden Pangharsa dinobatkan sebagai Raja Gelgel tahun 1560
dengan Gelar Sri Aji Pamahyun / Dalem Bekung karena beliau tidak mempunyai
keturunan.
apakah anda punya buku tentang babad dalem. kalau ada tolong info ke saya di ratdwiyanaputra@gmail.com
BalasHapusdi gramed cari dewa.. dsn ada banyk, tp usahakan pengarangnya yang berbeda2.. dsn akan kelihatan fatanisme keluarganya... 1 sumber akan rancu...
HapusSaya punya sepenggal lelintian yang tersimpan di gedong panyimpenan yang menyebutkan dalem waturenggong .saya orang nusa penida. Tapi tidak ada penjelasan keturunannya yang mana tinggal di nusa penida
BalasHapus/memerintah di nusa penida. Mohon imponya suksme
Banyak sekali perjalanan bliau ( IDA BETARA DALEM BATUR ENGGONG) yg menarik , salah satunya dari prasasti yg saat ini saya sungsung, diceritakan beliau sblm madeg natha jadi raja , bliau mengadakan perjalanan menuju giri tohlangkir untuk nangun tapa dn meyasa, setibanya bliau sampai di daerah penelokan dekat gunung abang, bliau mendengar suara gong yg sangat merdu, karna penasaran akan suara gong tersebut bliau menelusuri suara itu sampai ke daerah trunyan tpi tidak kunjung diketemukan asal suara gong tersebut, sampai akhirnya bliau bertemu dgn ki tapakan seorang bali aga ( keturunan kayu selem) di desa abang
BalasHapusairawang , ki tapakan sangat senang menerima kehadiran i dewa anom ( nama julukan ida dalem sblm madeg natha) disambutlah bliau dgn rasa hormat dn bakti bersama penduduk yg lain, hingga akhirnya ida dalem bertanya tentang suara gong tersebut asalnya dari mana, ki tapakan pun menjawab, itu adalah gong madusari pejenengan didesa tersebut, karna ida dalem sangat menyukai gong tersebut krna suaranya yg merdu, ida dalem kemudian mengkehendaki ging tersebut agar bisa di tunas dn dibawa ke puri gelgel, tpi ki tapakan menjelaskan keberadaan gong tersebut yg sangat sakral dn harus tetap disungsung didesa tersebut, ida dalem pun mengerti penjelasan ki yapakan dn mengurungkan keinginannya untuk membawa gong tersebut, setelah beberapa hari ida dalem berada di kediaman ki tapakan tanpa ad yg menyangka ida dalem menaruh hati pd putri ki tapakan yg bernama ni luh kayuan,
perasaan bliau pun disampaikan kepada ki tapakan, dgn rasa bahagia ki tapakan menyambut keinginan ida dalem untuk memperistri ni luh kayuan. Singkat cerita nama ni luh kayuan pun di ganti menjadi jro madu sari, sama dengan nama gong yg diinginkan bliau, hingga akhirnya bliau mempunyai 1 putri ( tidak diceritakan) dn dua putra,
1 : Jro made gde dalem gelgel, yg kini keturunannya berada di desa songan dn pelinggihnya bernama pura kawitan pelepasan jro made gde dalem gelgel.
2 : jro gde dalem songan yg kini keturunannya berada di desa abang, suter, dn br.abang menanga
Semoga berguna dn menambah wawasan qt terhadap perjalanan leluhur yg qt hormati... dn menyadarkan kita agar tetap berbakti kepada leluhur 🙏🙏🙏 rahayu