Pages

Mpu ( Danghyang ) Nirartha, di masa pemerintaran Dalem Waturenggong

Kitab perpustakaan kuna di Bali yang berjudul “Babad Brahana Kemenuh” dan kitab “Brahmana Purana” menceritakan kisah perjalanan Pendeta tersebut selengkapnya. Antara lain kitab tersebut menceritakan sebagai berikut :

Tersebutlah seorang Pendeta yang bernama “Mpu Nirartha, semasa mudanya beliau adalah memeluk Agama Buddha, akan tetapi kemudian beliau mengalih keagama Siwa. Pergantian Agamanya itu disebabkan karena perkawinannya dengan Diah Komala di negeri Daha, yang memeluk Agama Siwa. Dari perkawinannya dengan Diah Komala, beliau mempunyai 2 orang anak, seorang perempuan dan seorang laki-laki yang kemudian megnadakan keturunan “Brahmana Watek Kemenuh” di Bali. Berkembangnya Agama Islam sampai ke Daha, memaksa Mpu Nirartha bersama keluarganya meninggalkan Negeri Daha untuk pergi kerajaan pasuruhan. Disitu beliau mendapatkan keluarganya yang bernama : Mpu Panawasikan, dan kemudian anak Mpu tersebut lalu dikawinya. Dari perkawinan tersebut, lahirlah 4 orqng anak laki-laki yang kemudian mengadakan keturuan “Brahmana Watek Manuhaba”.


Meluasnya Agama Islam sampai pula ke negeri Pasuruan, yang menyebabkan Mpu Nirartha bersama keluarganya pindah lagi menuju kekerajaan Blambangan. Di situ beliau kawin lagi dengan adik Sri Juru, yang menjadi raja di kerajaan tersebut. Dari perkawinan itu beliau mempunyai 3 orang anak, seorang perempuan dan 2 orang laki-laki. Anak-anaknya inilah kemudian yang mengadakan keturunan “Brahmana Watek Kaniten” di Bali. Ternyata perkawinannya dengan putri bangsawan itu, menimbulkan akibat buruk Bagi Mpu Nirartha. Baginda raja Sri Juru amat murka atas periwtiwa perkawinan itu, dan amat benci terhadap Mpu Nirartha. Baginda menuduh Mpu Nirartha memasang guna-guna sehingga adinda Baginda yang masih gadis itu suka kawin dengan seorang Pendeta yang sudah tua.

Memperhatikan suasana di kerajaan Blambangan yang tiada menguntungkan dirinya, bahkan mungkin akan mengancam keselamatannya, maka terpaksalah Mpu Nirartha sekeluarga melarikan dirinya pergi ke Bali. Beliau mempergunakan sebuah perahu bocor dan akhirnya mendarat di pantai Perancak. Dari sana beliau melanjutkan perjalanannya arah ke Timur melalui hutan rimba yang lebat. Konon di dalam perjalanan, Mpu Nirartha menemui seekor ular besar yang sedang ternganga. Dengan ketabahan hati beliau memasuki mulut ular besar itu. Akan tetapi ketika beliau keluar dari mulut ular itu, roman beliau berubah menjadi amat dahsyat dan kulit beliau kelihatan hitam. Melihat keadaan yang sangat menakutkan itu, anak-anak Mpu Nirartha segera melarikan diri, bersembunyi kedalam semak-semak di tengah hutan itu. Berkat ketinggianilmunya, akhirnya Mpu Nirartha kembali kepada wujudnya semula, dan segera mencari anak-anaknya yang telah menghilang itu. Dengan susah payah beliau mencarinya, dan akhirnya seorang anaknya yang perempuan bernama Ida Ayu tetap hilang tak berbekas. Mpu Nirartha amat marah melihat hal itu lalu tempat itu dikutuknya agar hilang lenyap dari muka bumi ini.

Demikianlah suatu kisah dari perjalanan Mpu Nirartha bersama keluarganya, setelah meninggalkan pantai perancak menuju arah ke Timur. Adanya sebuah pura yang bernama Pura Pulaki, adalah tempat memuja arwah Ida Ayu melanting yang hilang disekitar tempat itu. Demikian pula sebuah desa besar yang bernama : Pegametan, ikut lenyap bersama penduduknya, karena kutukanMpu Nirartha ketika itu. Sekalian penduduk disitu telah menjadi orang-orang halus, dan bisa pula berubah menjadi harimau daden-daden, yang sampai kini kadang-kadang masih tampak berkeliaran.

Lanjut diceritakan, bahwa ketika Mpu Nirartha sampai pada sebuah desa yang bernama : Gading Wani, ternyata penduduk disitu sedag diserang oleh suatu penyakit yang menular. Banyak pula diantara penduduk disitu yang telahmeninggal dunia, karena tiada seorang dukunpun yang sanggup menolongnya. Suatu kesempatan yang amat baik bagi Mpu Nirartha untuk memberi pertolongan kepada penduduk Gading Wani yang sedang menderita itu. Berkat kesaktian dan ketinggian ilmunya, maka didalam waktu yang amat singkat, sekalian penduduk yang sakit itu telah sembuh kembali. Dengan demikian nama Mpu Nirartha menjadi mashyur dan terpuji, serta beliau dihormati oleh sekalian orang-orang desa Gading Wani. Disitulah Mpu Nirartha mendapat gelar “Pendeta Wawu Rawuh”, suatu panggilan kehormatan dari penduduk desa yang pernah ditolongnya. Kemudian datang pula seorang kepala desa menghadap kepada beliau, untuk diperkenankan memperoleh ajaran ilmu kabathinan. Permohonannya itupun diperkenankan, dan Mpu Nirartha menyatakan bahwa ia adalah murid yang setia.

Pertolongan Mpu Nirartha terhadap orang-orang desa Gading Wani yang sangat besar itu, menimbulkan keinginan penduduk di desa itu untuk bermohon agar beliau suka tetap bertempat tinggal disitu. Mereka bangga memiliki seorang Mpu yang demikian tinggi ilmunya, disamping ingin menunjukkan setia baktinya terhadap beliau. Akan tetapi perohonan penduduk itu terpaksa ditolak, dan pada suatu ketika Mpu Nirartha meninggalkan desa itu. Sekedar memenuhi keinginan penduduk di situ beliau lalu mencabut sehelai rambutnya, dan kemudian diserahkannya selaku kenangan-kenangan. Penduduk itu menganggap bahwa rambut itu amat bertuah, karenanya kemudian dibuatkan sebuah pura yang terletak di pinggir pantai terkenal namanya dengan “Rambut Siwi”. Disamping itu juga Mpu Nirartha membuat sebuah karangan yang berjudul “ Sebun Bangkung”, sebagai suatu kenang-kenangan terhadap penduduk di desa Gading Wani.

Dari desa Gading Wani beliau meneruskan perjalanan, melalui hutan-hutan yang lebat, maka akhirnya beliau tiba pada sebuah desa bernama : Desa Mas (Gianyar). Disana beliau disambut oleh kepala desa, yakni seorang Bendesa yang terpandang ditempat itu. Atas permohonan kepala Desa itu, maka Mpu Nirartha lalu menunggang dirumahnya sambil memberikan pelajaran ilmu kebahinan. Setelah Bendesa itu menamatkan pelajarannya, ia lalu menyerahkan seorang anak gadisnya, untuk dijadikan istri oleh Mpu Nirartha. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki, yang kemudian  mengadakan keturunan “Brahmana Watak Mas”. Kecuali dengan anak gadis Bendesa itu, Mpu Nirartha yang sudah berusia lanjut itu jatuh cinta pula kepada seorang perempuan yang menjadi budak di rumah itu. Dari percintaan dengan budak itu lahir pula kemudian seorang anak laki-laki. Anak laki-laki inilah yang mengadakan keturunan keluarga Watek Antapan atau disebut pula watek petapan, yang kini dari keluarga tersebut masih banyak terdapat di Bali.

Sebuah pura besar dan megah, yang masih dimuliakan di desa itu, membuktikan bahwa Mpu Nirartha pernah tinggal di desa itu dalam waktu yang lama. Pura itu disebut pura Taman Pule yang melambangkan kebesaran dan ketinggian ilmu beliau, disamping membuktikan luasnya pengaruh Mpu Nirartha pada masa itu di desa Mas.

Adanya Mpu Nirartha di desa Mas, akhirnya terdengar pula sampai ke kota Gelgel. Baginda Sri Batur Enggong berkenan memanggil pendeta itu, lalu mengurus Kiyai Penulisan Dawuh Bale Agung untuk menjemputnya. Dari nama utusan itu sudah dapat diduga, bahwa ia adalah seorang pegawai kerajaan yang mengurus bagian administrasi pemerintahan serta bertempat tinggal disebelah Barat Pura Bale Agung di kota Gelgel. Disamping itu ia juga ahli dibidang kesusastraan dan filsafat. Pagi-pagi benar Kiyai Penulisan Dawuh Bale Agung selalu utusan Baginda raja dikerajaan Gelgel, Disamping itu ia juga ahli dibidang kesusastraan dan filsafat. Pagi-pagi benar Kiyai Panulisan Dawuh Bale Agung selaku utusan Baginda raja dikerajaan Gelgel berangkat menuju ke Desa Mas. Ia menunggangi seekor kuda putih, dengan mengenakan pakaian kebesaran selaku pegawai kerajaan. Sampai di desa Mas, dari jauh ia sudah turun dari kudanya, karena melihat Mpu Nirartha bersama Bendesa Mas yang kebetulan sedang duduk di muka rumahnya. Dengan sangat hormat ia lalu memperkenalkan dirinya, serta menyampaikan maksud kedatangannya pada hari itu. Sambil bercakap-cakap ia lalu mengajukan bermacam-macam pertanyaan kepada Mpu Nirartha, seolah-oleh ingin menguji akan ketinggian ilmunya. Diantara pertanyaan-pertanyaannya itu terdapatlah soal Negara Krawa (ilmu kemasyarakatan), Dharmayudha (ilmu peperangan), Tjumbrana krama (ilmu bersuami istri) dan Mahasradha (Pemujaan arwah leluhur). 

Semua pertanyaan Kiyai Panulisan Dawun Bale Agung, mendapat jawaban yang sangat merusakan. Yakinlah Kiyai panulisan Dawuh pale Agung, kalau Mpu Nirartha telah memiliki ilmu yang sudah tinggi. Karenanya ia lalu sujud diohadapan pendeta besar itu, agar diterima menjadi muridnya. Permohonannya itu lalu diluluskan oleh Mpu Nirartha, serta dengan upacara keagamaan ia disyahkan menjadi muridnya. Upacara pelantikan Kiyai Panulisan Dawuh Bale Agung itu menyebabkan terlambatnya Mpu Nirartha tibga di kota Gelgel. Ketika mereka tiba di ibu kota ternyata Baginda raja Sri Batur Enggong sedang bercengkerama di pantai Teluk Padang, diiringkan oleh para Menteri dan Anglurah. Perjalanan Baginda raja itu disusul pula oleh Kiyai panulisan Dawuh Bale Agung bersama-sama denan Pendeta besar itu. Ketika telah sampai dipantai desa Padang, Mpu Nirartha menyaksikan orang sedang ramainya menangkap ikan di laut. Diantara orangt yang banyak itu, ternyata ikut pula Baginda raja Sri Batur Enggong disitu. Melihat kedatangan pendeta itu, Baginda mempersilahkan Mpu Nirartha untuk menunggu sambil mengaso pada suatu tempat yang agak tinggi letaknya yakni di pura Silayikti. Disitulah Mpu Nirartha bermalam beberapa hari, selama Baginda raja Sri Batur Enggong sedang diasikan oleh pekerjaan menangkap ikan dan berburu. Baginda sangat merasakan perubahannya semenjak Pendeta besar itu turut berada disitu, bahwa hasil penangkapan ika maupun hasil perburuan kian hari bertambah banyak jumlahnya. Baginda yakin terjadinya perubahan itu adalah berkat ketinggian ilmunya Mpu Nirartha.

Tersebutlah Mpu Nirartha yang telah beberapa hari bermalam di pura Silayikti. Beliau amat mengagumi tempat itu. Tanahnya agak tinggi, lagi pula menjorok ke laut dan diapit oleh dua buah teluk yang tenang. Tiupan angin dan desiran ombak yang terjadi sepanjang hari, menimbulkan ketenangan pikiran Mpu Nirartha yang sedang mengaso di tempat yang suci itu. Terkenanglah Mpu Nirartha kepada leluhurnya sendiri yakniMpu Kuturan seorang Guru besar Agama Buddha, yang datang ke Bali pada jamannya Gunapryadharmapatni berkuasa. Setelah beberapa hari Baginda raja Sri Batur Enggong bercengkerama di teluh desa Padang, maka kembalilah Baginda bersama-sama dengan Mpu Nirartha diiringkan oleh sekalian para Menteri dan Anglurah menuju ke kota Gelgel. Sampai di singai Unda yang terletak disebelah Timur kota Gelgel, tampaklah sungai itu sedang banjir dengan derasnya. Disitulah Mpu Nirartha memperlihatkan ketinggian ilmunya, sehingga Baginda bersama-sama rombongannya bisa menyeberang di atas permukaan air yang sedang besar dan deras itu. Setelah beberapa hari Mpu Nirartha berada di kota Gelgel, lalu Baginda raja Sri Batur Enggong berkenan mengangkat beliau menjadi guru Agama di Bali. Maka semenjak itu berkembanglah Agama Siwa dengan pesatnya dibawah pimpinan Mpu Nirartha dengan mendapat perlindungan dan bantuan sepenuhnya dari Baginda raja Sri Batur Enggong.

Pada suatu ketika datanglah Mpu Nirartha menghadap Baginda raja Sri Batur Enggong diistana. Beliau mengemukakan, bahwa sudah sepantasnyalah kalau Sri Batur Enggong suka segera menjatuhkan pilihannya untuk seorang permaisuri. Jika mendapat perkenan, beliau menganjurkan agar Baginda meminang Ni Bas, seorang putri cantik di kerajaan Belangbangan. Demikianlah anjuran Mpu Nirartha, yang akhirnya dapat diterima oleh Baginda raja Sri Batur Enggong. Tiada antara luma berangkatlah beberapa orang utusan dari Bali menghadap Baginda raja Sri Juru di Blangbangan. Setelah sampai disana, lalu utusan itu mengemukakan maksud kedatangannya, yakni untuk meminang Ni Bas, guna dijadikan permaisuri Baginda raja Sri Batur Enggong di Bali. Mendengar uraian utusan itu, Sri Juru belum dapat memberikan suatu keputusan dengan segera., sebelum dapat merundingkan hal itu lebihjauh. Akhirnya utusan itu kembali ke Gelgel dan segera melaporkan jawaban Baginda Sri Juru kehadapan Baginda raja Sri Batur Enggong. Baginda raja Sri Batur Enggong yakin, bahwa lamaran Baginda itu pasti diterima. Akan terapi setelah datang jawaban dari kerajaan Blangbangan, Baginda Sri Batur Enggong amat murka karena pinangan beliau ditolak. Penolakan itu amat menusuk hati Baginda, karena hal itu dipandang sebagai suatu penghinaan terhadap martabat Baginda selaku raja besar di Bali. Maka dititahkanlah pasukan pengawal istana yang bernama Dulang Mangap untuk menggempur negeri Blangbangan. Kepada Ki Ularan yang memimpin penyerangan itu diperingatkan, agar jangan sekali-kali membunuh Sri Juru di dalam pertempuran. Karena penyerangan ini bersifat sekedar peringatan, hendaklah Sri Juru diserahkan hidup-hidup ke Gelgel untuk mendapat hukuman yang setimpal.

Tersebutlah Baginda raja Sri Juru sedang bercengkerama di pesisir pantai laut Balngbangan. Baginda diiringkan oleh para pembesar-pembesar kerajaan, ditambah pula dengan ratusan hamba saya yang diantarkan oleh pemimpinnya masing-masing. Mereka sekaliannya bersukaria, memandang keindahan alam di pantai, sambil mengawal Baginda sesuai dengan adat istiadat kebesaran seorang raja. Tiba-tiba mendaratlah pasukan Dulang Mangap yang besar jumlahnya dibawah pimpinan Panglima perang Ki Ularan. Pasukan itu segera menyerbu rombongan Baginda Raja Sri Juru yang sedang berlengh-lengah di tepi pantai. Pertempuran terjadilah denan sengitnya, masing-masing pihak memperlihatka ketangkasan serta ketangguhannya. Selama pertempuran terjadi tidak sedikit korban yang jatuh dari kedua belah pihak, namun akhirnya pasukan Blangbangan dapat dihancurkan. Sementara itu Baginda raja Sri Juru menghadapi Ki Ularan dalam perang tanding. Ternyata didalam perang tanding itu Ki Ularanlebih mahir melakukan serangan maupun mengadakan penangkisan, sehingga pada akhirnya batang leher Sri Juru dapat dipenggalnya. Walaupun demikian badan Ki Ularan penuh denna darah berluuran, karena luka yang dideritanya amat banyak. Peristiwa itu terjadi di dalam tahun 1569, maka semenjak itu Daerah Jawa Timur yang terletak di sebelah timur Puger jatuh dibawah kekuasaan keraton Gelgel. Melihat kemangkatan Sri Juru itu, maka pasukan Blangbangan yang masih sedikit jumlahnya lalu melarikan diri ke ibu kota. Sementara itu Ni Bas beserta dengan sekalian keluarganya telah terlebih dahulu mengungsi ke Pasuruan. Demi untuk keselamatannya.

Kemenangan Ki Ularan di Blangbangan menyebabkan kegembiraan penduduk ibu kota di Gelgel. Lebih-lebihMpu Nirartha sendiri, karena beliau masih terkenang akan kebencian Sri Juru, ketika beliau kawin dengan adiknya. Akan tetapi tatkala Ki Ularan memperlihatkan kepala Sri Juru yang dibawanya itu, Baginda raja Sri ?Batur Enggong menjadi amat murka. Dituduhnya Ki Ularan tiada sanggup menjunjung tinggi titakh Baginda didalam menunaikan tuasnya sebagai seorang kesatrya. Karenanya lalu Baginda melarang Ki Ularan berdiam di Gelgel untuk selama-lamanya. Baginda diberikah kekuasaan di Denbukit, beserta dengan sawah ladang seluas 200 cutak. Sebagai kenang-kenangan dalam pertempuran di Blangbangan itu, Baginda berkenan memberikan gelar kepada Ki Ularan yakni : Ki Lampor.

Demikianlah ketegasan Baginda raja Sri Batur Enggong di dalam mengambil suatu keputusan dengan berpegang teguh pada semboyan “UNIT WESI UJAR PISAN”. Artinya : sekali sudah diamanatkan, tidak dapat dibatalkan lagi. Maka semenjak itulah Ki Ularan yang telah digelario Ki Lampor pindah dari kota Gelgel ke Denbukit (Bali Utara) untuk mentaati perintah rajanya.

Beberapa tahun kemudian, terjadilah pendaratan besar-besaran di pantai desa Kelahan (Bali Selatan), yang dilakukan oleh angkatan perang dari kerajaan Mataram dan Pasuruhan. Mungkin penyerangannya itu dimaksudkan sebagai pembalasan dari kerajaan Pasuruan, disamping kerajaan Mataram yang sedang giat memperluas daerahnya. Pendaratan pasukan dari kedua kerajaan itu disambut dengan gigih oleh tentara kerajaan Gelgel yang dipimpin langsung oleh Baginda raja Sri Batur Enggong. Setelah 7hari lamanya pasukanitu bertempur mati-matian, akhirnya angkatan perang Mataram dan pasuruan terpaksa meninggalkan pulau Bali untuk kembali ke Jawa.

Kekalahan yang diderita oleh kerajaan Mataram dan Pasuruan itu, membangkitkan keberanian rakyat Blangbangan yang dapat diduduki oleh tentara dari kedua kerajaan itu, sebelum melakukan pendaratannya ke Bali. Segenap penduduk Blangbangan lalu menyatakan kesetiaannya berlindung dibawah kekuasaankerajaan Gelgel. Dibawah seorang pemimpinnya yang bernama Santa Guna, mereka lalu megnadakan penyerbuan ke Penarukan yang terletak dibawah kekuasaan Pasuruan. Dalam penyerbuan itu tidaklah terjadi banyak korban yang jatuh, karena rakyat Penarukan tidak mengadakan perlawanan. Peristiwa itu terjadi didalam tahun 1575, dan sejak itu Santa Guna diangkat oleh pemerintah di Gelgel untuk menajdi yang dipertuan, sebagai wakil dari pemerintah kerajaan. Lebih lanjut seorang sarjana bangsa Belanda yang bernama : Dr. H. de Graaf menceritakan tentang kekuasaan Baginda raja Sri Batur Enggong dipulau Lombok dan Sumbawa, antara lain sebagai berikut :

Pada suatu ketika di dalam pertengahan abad ke XVI, Baginda raja Sri Batur Enggong mengutus Ghuru besar Agas Siwa yakni : Mpu Nirartha pergi ke pulau Lombok. Beliau diiringkan oleh 40 orang selaku pengawal didalam perjalannya. Kebetulan pada waktu itu rakyat di Lombok Barat sedang diserang oleh suatu penyakit, yang menular. Kedatangan Mpu Nirartha di Lombok Barat sangat dihargai oleh sekalian penduduko di daerah itu, karena Mpu Nirartha dapat menyembuhkan rakyat yang sedang ditimpa mala petaka.

Penghormatan rakyat makkin bertambah-tambah, semenjak Mpu Nirartha dapat membangkitkan kesadaran rakyat didalam memuliakan Agamanya semula. Karenanya terciptalah Agama “WAKTU-TELU”, yang berpokok pada ajaran Agama Islam dengan mempergunakan adat istiadat kuna peninggalan leluhurnya. Mpu Nirartha terkenal namanya di pulau Lombok dengan sebutan Tuan Smeru. Dan pengikut beliau yang berjumlah 40 orang itu, tetapmenjadi penduduk di desa itu yang bernama kampung Kareng Medain dan Sweta.

Bangkitnya Agama waktu Telu di Lombok Barat, menyebabkan penganut-penganut Agama Islam yang disebut “WAKTULIMA” mengalih ke daerah lombok Timur. Para pemimpin Agama itu yang disebut Tuan Haji, kemudian meninggalkan daerah Lombok Timur dan menuju ke pulau Sumbawa. Hingga kini sebuah pelabuhan dipantai Lombok Timur disebut Labuhan Haji, mengengkan Tuan-tuan Haji dari tempat itu, ketika berkembangnya Agama waktu Telu di pulau Lombok. Dalam pada itu sebuah kitab kuna yang bernama : “Brahmana Purana” dapat menambahkan tentang perjalanan Tuan semeru kepulau Sumbawa.; Beliau diiringkan juga oleh seorang cucunya yang bernama : Ida Buruan. Di opulau sumbawa beliau disambut oleh orang-orang bangsawan serta mendapat peladenan yang sangat memuaskan. Akhirnya Ida Buruan kawin dengan seorang gadis dari salah satu golongan orang bangsawan disana yang mempergunaan gelar Raden. Sebab itulah kemudian anaknya disebut Ida Raden Kebenangkatan, yang kini banyak mengadakan keturunan di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar