Kitab perpustakaan kuna di Bali yang
berjudul “Babad Brahana Kemenuh” dan kitab “Brahmana Purana” menceritakan kisah
perjalanan Pendeta tersebut selengkapnya. Antara lain kitab tersebut
menceritakan sebagai berikut :
Tersebutlah seorang Pendeta yang bernama
“Mpu Nirartha, semasa mudanya beliau adalah memeluk Agama Buddha, akan tetapi
kemudian beliau mengalih keagama Siwa. Pergantian Agamanya itu disebabkan
karena perkawinannya dengan Diah Komala di negeri Daha, yang memeluk Agama
Siwa. Dari perkawinannya dengan Diah Komala, beliau mempunyai 2 orang anak,
seorang perempuan dan seorang laki-laki yang kemudian megnadakan keturunan
“Brahmana Watek Kemenuh” di Bali. Berkembangnya Agama Islam sampai ke Daha,
memaksa Mpu Nirartha bersama keluarganya meninggalkan Negeri Daha untuk pergi
kerajaan pasuruhan. Disitu beliau mendapatkan keluarganya yang bernama : Mpu
Panawasikan, dan kemudian anak Mpu tersebut lalu dikawinya. Dari perkawinan
tersebut, lahirlah 4 orqng anak laki-laki yang kemudian mengadakan keturuan
“Brahmana Watek Manuhaba”.
Meluasnya Agama Islam sampai pula ke negeri
Pasuruan, yang menyebabkan Mpu Nirartha bersama keluarganya pindah lagi menuju
kekerajaan Blambangan. Di situ beliau kawin lagi dengan adik Sri Juru, yang
menjadi raja di kerajaan tersebut. Dari perkawinan itu beliau mempunyai 3 orang
anak, seorang perempuan dan 2 orang laki-laki. Anak-anaknya inilah kemudian
yang mengadakan keturunan “Brahmana Watek Kaniten” di Bali. Ternyata
perkawinannya dengan putri bangsawan itu, menimbulkan akibat buruk Bagi Mpu
Nirartha. Baginda raja Sri Juru amat murka atas periwtiwa perkawinan itu, dan
amat benci terhadap Mpu Nirartha. Baginda menuduh Mpu Nirartha memasang
guna-guna sehingga adinda Baginda yang masih gadis itu suka kawin dengan
seorang Pendeta yang sudah tua.
Memperhatikan suasana di kerajaan
Blambangan yang tiada menguntungkan dirinya, bahkan mungkin akan mengancam
keselamatannya, maka terpaksalah Mpu Nirartha sekeluarga melarikan dirinya
pergi ke Bali. Beliau mempergunakan sebuah perahu bocor dan akhirnya mendarat
di pantai Perancak. Dari sana beliau melanjutkan perjalanannya arah ke Timur
melalui hutan rimba yang lebat. Konon di dalam perjalanan, Mpu Nirartha menemui
seekor ular besar yang sedang ternganga. Dengan ketabahan hati beliau memasuki
mulut ular besar itu. Akan tetapi ketika beliau keluar dari mulut ular itu, roman
beliau berubah menjadi amat dahsyat dan kulit beliau kelihatan hitam. Melihat
keadaan yang sangat menakutkan itu, anak-anak Mpu Nirartha segera melarikan
diri, bersembunyi kedalam semak-semak di tengah hutan itu. Berkat
ketinggianilmunya, akhirnya Mpu Nirartha kembali kepada wujudnya semula, dan
segera mencari anak-anaknya yang telah menghilang itu. Dengan susah payah
beliau mencarinya, dan akhirnya seorang anaknya yang perempuan bernama Ida Ayu
tetap hilang tak berbekas. Mpu Nirartha amat marah melihat hal itu lalu tempat
itu dikutuknya agar hilang lenyap dari muka bumi ini.
Demikianlah suatu kisah dari perjalanan Mpu
Nirartha bersama keluarganya, setelah meninggalkan pantai perancak menuju arah
ke Timur. Adanya sebuah pura yang bernama Pura Pulaki, adalah tempat memuja
arwah Ida Ayu melanting yang hilang disekitar tempat itu. Demikian pula sebuah
desa besar yang bernama : Pegametan, ikut lenyap bersama penduduknya, karena
kutukanMpu Nirartha ketika itu. Sekalian penduduk disitu telah menjadi orang-orang
halus, dan bisa pula berubah menjadi harimau daden-daden, yang sampai kini
kadang-kadang masih tampak berkeliaran.
Lanjut diceritakan, bahwa ketika Mpu
Nirartha sampai pada sebuah desa yang bernama : Gading Wani, ternyata penduduk
disitu sedag diserang oleh suatu penyakit yang menular. Banyak pula diantara
penduduk disitu yang telahmeninggal dunia, karena tiada seorang dukunpun yang
sanggup menolongnya. Suatu kesempatan yang amat baik bagi Mpu Nirartha untuk
memberi pertolongan kepada penduduk Gading Wani yang sedang menderita itu.
Berkat kesaktian dan ketinggian ilmunya, maka didalam waktu yang amat singkat,
sekalian penduduk yang sakit itu telah sembuh kembali. Dengan demikian nama Mpu
Nirartha menjadi mashyur dan terpuji, serta beliau dihormati oleh sekalian
orang-orang desa Gading Wani. Disitulah Mpu Nirartha mendapat gelar “Pendeta
Wawu Rawuh”, suatu panggilan kehormatan dari penduduk desa yang pernah
ditolongnya. Kemudian datang pula seorang kepala desa menghadap kepada beliau,
untuk diperkenankan memperoleh ajaran ilmu kabathinan. Permohonannya itupun
diperkenankan, dan Mpu Nirartha menyatakan bahwa ia adalah murid yang setia.
Pertolongan Mpu Nirartha terhadap
orang-orang desa Gading Wani yang sangat besar itu, menimbulkan keinginan
penduduk di desa itu untuk bermohon agar beliau suka tetap bertempat tinggal
disitu. Mereka bangga memiliki seorang Mpu yang demikian tinggi ilmunya,
disamping ingin menunjukkan setia baktinya terhadap beliau. Akan tetapi
perohonan penduduk itu terpaksa ditolak, dan pada suatu ketika Mpu Nirartha
meninggalkan desa itu. Sekedar memenuhi keinginan penduduk di situ beliau lalu
mencabut sehelai rambutnya, dan kemudian diserahkannya selaku
kenangan-kenangan. Penduduk itu menganggap bahwa rambut itu amat bertuah,
karenanya kemudian dibuatkan sebuah pura yang terletak di pinggir pantai
terkenal namanya dengan “Rambut Siwi”. Disamping itu juga Mpu Nirartha membuat
sebuah karangan yang berjudul “ Sebun Bangkung”, sebagai suatu kenang-kenangan
terhadap penduduk di desa Gading Wani.
Dari desa Gading Wani beliau meneruskan
perjalanan, melalui hutan-hutan yang lebat, maka akhirnya beliau tiba pada
sebuah desa bernama : Desa Mas (Gianyar). Disana beliau disambut oleh kepala
desa, yakni seorang Bendesa yang terpandang ditempat itu. Atas permohonan
kepala Desa itu, maka Mpu Nirartha lalu menunggang dirumahnya sambil memberikan
pelajaran ilmu kebahinan. Setelah Bendesa itu menamatkan pelajarannya, ia lalu
menyerahkan seorang anak gadisnya, untuk dijadikan istri oleh Mpu Nirartha.
Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki, yang kemudian
mengadakan keturunan “Brahmana Watak Mas”. Kecuali dengan anak gadis Bendesa
itu, Mpu Nirartha yang sudah berusia lanjut itu jatuh cinta pula kepada seorang
perempuan yang menjadi budak di rumah itu. Dari percintaan dengan budak itu
lahir pula kemudian seorang anak laki-laki. Anak laki-laki inilah yang
mengadakan keturunan keluarga Watek Antapan atau disebut pula watek petapan,
yang kini dari keluarga tersebut masih banyak terdapat di Bali.
Sebuah pura besar dan megah, yang masih
dimuliakan di desa itu, membuktikan bahwa Mpu Nirartha pernah tinggal di desa
itu dalam waktu yang lama. Pura itu disebut pura Taman Pule yang melambangkan
kebesaran dan ketinggian ilmu beliau, disamping membuktikan luasnya pengaruh
Mpu Nirartha pada masa itu di desa Mas.
Adanya Mpu Nirartha di desa Mas, akhirnya
terdengar pula sampai ke kota Gelgel. Baginda Sri Batur Enggong berkenan
memanggil pendeta itu, lalu mengurus Kiyai Penulisan Dawuh Bale Agung untuk
menjemputnya. Dari nama utusan itu sudah dapat diduga, bahwa ia adalah seorang
pegawai kerajaan yang mengurus bagian administrasi pemerintahan serta bertempat
tinggal disebelah Barat Pura Bale Agung di kota Gelgel. Disamping itu ia juga
ahli dibidang kesusastraan dan filsafat. Pagi-pagi benar Kiyai Penulisan Dawuh
Bale Agung selalu utusan Baginda raja dikerajaan Gelgel, Disamping itu ia juga
ahli dibidang kesusastraan dan filsafat. Pagi-pagi benar Kiyai Panulisan Dawuh
Bale Agung selaku utusan Baginda raja dikerajaan Gelgel berangkat menuju ke
Desa Mas. Ia menunggangi seekor kuda putih, dengan mengenakan pakaian kebesaran
selaku pegawai kerajaan. Sampai di desa Mas, dari jauh ia sudah turun dari
kudanya, karena melihat Mpu Nirartha bersama Bendesa Mas yang kebetulan sedang
duduk di muka rumahnya. Dengan sangat hormat ia lalu memperkenalkan dirinya,
serta menyampaikan maksud kedatangannya pada hari itu. Sambil bercakap-cakap ia
lalu mengajukan bermacam-macam pertanyaan kepada Mpu Nirartha, seolah-oleh
ingin menguji akan ketinggian ilmunya. Diantara pertanyaan-pertanyaannya itu
terdapatlah soal Negara Krawa (ilmu kemasyarakatan), Dharmayudha (ilmu
peperangan), Tjumbrana krama (ilmu bersuami istri) dan Mahasradha (Pemujaan
arwah leluhur).
Semua pertanyaan Kiyai Panulisan Dawun Bale Agung, mendapat jawaban yang sangat merusakan. Yakinlah Kiyai panulisan Dawuh pale Agung, kalau Mpu Nirartha telah memiliki ilmu yang sudah tinggi. Karenanya ia lalu sujud diohadapan pendeta besar itu, agar diterima menjadi muridnya. Permohonannya itu lalu diluluskan oleh Mpu Nirartha, serta dengan upacara keagamaan ia disyahkan menjadi muridnya. Upacara pelantikan Kiyai Panulisan Dawuh Bale Agung itu menyebabkan terlambatnya Mpu Nirartha tibga di kota Gelgel. Ketika mereka tiba di ibu kota ternyata Baginda raja Sri Batur Enggong sedang bercengkerama di pantai Teluk Padang, diiringkan oleh para Menteri dan Anglurah. Perjalanan Baginda raja itu disusul pula oleh Kiyai panulisan Dawuh Bale Agung bersama-sama denan Pendeta besar itu. Ketika telah sampai dipantai desa Padang, Mpu Nirartha menyaksikan orang sedang ramainya menangkap ikan di laut. Diantara orangt yang banyak itu, ternyata ikut pula Baginda raja Sri Batur Enggong disitu. Melihat kedatangan pendeta itu, Baginda mempersilahkan Mpu Nirartha untuk menunggu sambil mengaso pada suatu tempat yang agak tinggi letaknya yakni di pura Silayikti. Disitulah Mpu Nirartha bermalam beberapa hari, selama Baginda raja Sri Batur Enggong sedang diasikan oleh pekerjaan menangkap ikan dan berburu. Baginda sangat merasakan perubahannya semenjak Pendeta besar itu turut berada disitu, bahwa hasil penangkapan ika maupun hasil perburuan kian hari bertambah banyak jumlahnya. Baginda yakin terjadinya perubahan itu adalah berkat ketinggian ilmunya Mpu Nirartha.
Semua pertanyaan Kiyai Panulisan Dawun Bale Agung, mendapat jawaban yang sangat merusakan. Yakinlah Kiyai panulisan Dawuh pale Agung, kalau Mpu Nirartha telah memiliki ilmu yang sudah tinggi. Karenanya ia lalu sujud diohadapan pendeta besar itu, agar diterima menjadi muridnya. Permohonannya itu lalu diluluskan oleh Mpu Nirartha, serta dengan upacara keagamaan ia disyahkan menjadi muridnya. Upacara pelantikan Kiyai Panulisan Dawuh Bale Agung itu menyebabkan terlambatnya Mpu Nirartha tibga di kota Gelgel. Ketika mereka tiba di ibu kota ternyata Baginda raja Sri Batur Enggong sedang bercengkerama di pantai Teluk Padang, diiringkan oleh para Menteri dan Anglurah. Perjalanan Baginda raja itu disusul pula oleh Kiyai panulisan Dawuh Bale Agung bersama-sama denan Pendeta besar itu. Ketika telah sampai dipantai desa Padang, Mpu Nirartha menyaksikan orang sedang ramainya menangkap ikan di laut. Diantara orangt yang banyak itu, ternyata ikut pula Baginda raja Sri Batur Enggong disitu. Melihat kedatangan pendeta itu, Baginda mempersilahkan Mpu Nirartha untuk menunggu sambil mengaso pada suatu tempat yang agak tinggi letaknya yakni di pura Silayikti. Disitulah Mpu Nirartha bermalam beberapa hari, selama Baginda raja Sri Batur Enggong sedang diasikan oleh pekerjaan menangkap ikan dan berburu. Baginda sangat merasakan perubahannya semenjak Pendeta besar itu turut berada disitu, bahwa hasil penangkapan ika maupun hasil perburuan kian hari bertambah banyak jumlahnya. Baginda yakin terjadinya perubahan itu adalah berkat ketinggian ilmunya Mpu Nirartha.
Tersebutlah Mpu Nirartha yang telah
beberapa hari bermalam di pura Silayikti. Beliau amat mengagumi tempat itu.
Tanahnya agak tinggi, lagi pula menjorok ke laut dan diapit oleh dua buah teluk
yang tenang. Tiupan angin dan desiran ombak yang terjadi sepanjang hari, menimbulkan
ketenangan pikiran Mpu Nirartha yang sedang mengaso di tempat yang suci itu.
Terkenanglah Mpu Nirartha kepada leluhurnya sendiri yakniMpu Kuturan seorang
Guru besar Agama Buddha, yang datang ke Bali pada jamannya Gunapryadharmapatni
berkuasa. Setelah beberapa hari Baginda raja Sri Batur Enggong bercengkerama di
teluh desa Padang, maka kembalilah Baginda bersama-sama dengan Mpu Nirartha
diiringkan oleh sekalian para Menteri dan Anglurah menuju ke kota Gelgel.
Sampai di singai Unda yang terletak disebelah Timur kota Gelgel, tampaklah
sungai itu sedang banjir dengan derasnya. Disitulah Mpu Nirartha memperlihatkan
ketinggian ilmunya, sehingga Baginda bersama-sama rombongannya bisa menyeberang
di atas permukaan air yang sedang besar dan deras itu. Setelah beberapa hari
Mpu Nirartha berada di kota Gelgel, lalu Baginda raja Sri Batur Enggong
berkenan mengangkat beliau menjadi guru Agama di Bali. Maka semenjak itu
berkembanglah Agama Siwa dengan pesatnya dibawah pimpinan Mpu Nirartha dengan
mendapat perlindungan dan bantuan sepenuhnya dari Baginda raja Sri Batur
Enggong.
Pada suatu ketika datanglah Mpu Nirartha
menghadap Baginda raja Sri Batur Enggong diistana. Beliau mengemukakan, bahwa
sudah sepantasnyalah kalau Sri Batur Enggong suka segera menjatuhkan pilihannya
untuk seorang permaisuri. Jika mendapat perkenan, beliau menganjurkan agar
Baginda meminang Ni Bas, seorang putri cantik di kerajaan Belangbangan.
Demikianlah anjuran Mpu Nirartha, yang akhirnya dapat diterima oleh Baginda
raja Sri Batur Enggong. Tiada antara luma berangkatlah beberapa orang utusan
dari Bali menghadap Baginda raja Sri Juru di Blangbangan. Setelah sampai
disana, lalu utusan itu mengemukakan maksud kedatangannya, yakni untuk meminang
Ni Bas, guna dijadikan permaisuri Baginda raja Sri Batur Enggong di Bali.
Mendengar uraian utusan itu, Sri Juru belum dapat memberikan suatu keputusan
dengan segera., sebelum dapat merundingkan hal itu lebihjauh. Akhirnya utusan
itu kembali ke Gelgel dan segera melaporkan jawaban Baginda Sri Juru kehadapan
Baginda raja Sri Batur Enggong. Baginda raja Sri Batur Enggong yakin, bahwa
lamaran Baginda itu pasti diterima. Akan terapi setelah datang jawaban dari
kerajaan Blangbangan, Baginda Sri Batur Enggong amat murka karena pinangan
beliau ditolak. Penolakan itu amat menusuk hati Baginda, karena hal itu
dipandang sebagai suatu penghinaan terhadap martabat Baginda selaku raja besar
di Bali. Maka dititahkanlah pasukan pengawal istana yang bernama Dulang Mangap
untuk menggempur negeri Blangbangan. Kepada Ki Ularan yang memimpin penyerangan
itu diperingatkan, agar jangan sekali-kali membunuh Sri Juru di dalam
pertempuran. Karena penyerangan ini bersifat sekedar peringatan, hendaklah Sri
Juru diserahkan hidup-hidup ke Gelgel untuk mendapat hukuman yang setimpal.
Tersebutlah Baginda raja Sri Juru sedang
bercengkerama di pesisir pantai laut Balngbangan. Baginda diiringkan oleh para
pembesar-pembesar kerajaan, ditambah pula dengan ratusan hamba saya yang
diantarkan oleh pemimpinnya masing-masing. Mereka sekaliannya bersukaria,
memandang keindahan alam di pantai, sambil mengawal Baginda sesuai dengan adat
istiadat kebesaran seorang raja. Tiba-tiba mendaratlah pasukan Dulang Mangap
yang besar jumlahnya dibawah pimpinan Panglima perang Ki Ularan. Pasukan itu
segera menyerbu rombongan Baginda Raja Sri Juru yang sedang berlengh-lengah di
tepi pantai. Pertempuran terjadilah denan sengitnya, masing-masing pihak
memperlihatka ketangkasan serta ketangguhannya. Selama pertempuran terjadi
tidak sedikit korban yang jatuh dari kedua belah pihak, namun akhirnya pasukan
Blangbangan dapat dihancurkan. Sementara itu Baginda raja Sri Juru menghadapi
Ki Ularan dalam perang tanding. Ternyata didalam perang tanding itu Ki
Ularanlebih mahir melakukan serangan maupun mengadakan penangkisan, sehingga
pada akhirnya batang leher Sri Juru dapat dipenggalnya. Walaupun demikian badan
Ki Ularan penuh denna darah berluuran, karena luka yang dideritanya amat
banyak. Peristiwa itu terjadi di dalam tahun 1569, maka semenjak itu Daerah
Jawa Timur yang terletak di sebelah timur Puger jatuh dibawah kekuasaan keraton
Gelgel. Melihat kemangkatan Sri Juru itu, maka pasukan Blangbangan yang masih
sedikit jumlahnya lalu melarikan diri ke ibu kota. Sementara itu Ni Bas beserta
dengan sekalian keluarganya telah terlebih dahulu mengungsi ke Pasuruan. Demi
untuk keselamatannya.
Kemenangan Ki Ularan di Blangbangan
menyebabkan kegembiraan penduduk ibu kota di Gelgel. Lebih-lebihMpu Nirartha
sendiri, karena beliau masih terkenang akan kebencian Sri Juru, ketika beliau
kawin dengan adiknya. Akan tetapi tatkala Ki Ularan memperlihatkan kepala Sri
Juru yang dibawanya itu, Baginda raja Sri ?Batur Enggong menjadi amat murka.
Dituduhnya Ki Ularan tiada sanggup menjunjung tinggi titakh Baginda didalam
menunaikan tuasnya sebagai seorang kesatrya. Karenanya lalu Baginda melarang Ki
Ularan berdiam di Gelgel untuk selama-lamanya. Baginda diberikah kekuasaan di
Denbukit, beserta dengan sawah ladang seluas 200 cutak. Sebagai kenang-kenangan
dalam pertempuran di Blangbangan itu, Baginda berkenan memberikan gelar kepada
Ki Ularan yakni : Ki Lampor.
Demikianlah ketegasan Baginda raja Sri
Batur Enggong di dalam mengambil suatu keputusan dengan berpegang teguh pada
semboyan “UNIT WESI UJAR PISAN”. Artinya : sekali sudah diamanatkan, tidak dapat
dibatalkan lagi. Maka semenjak itulah Ki Ularan yang telah digelario Ki Lampor
pindah dari kota Gelgel ke Denbukit (Bali Utara) untuk mentaati perintah
rajanya.
Beberapa tahun kemudian, terjadilah
pendaratan besar-besaran di pantai desa Kelahan (Bali Selatan), yang dilakukan
oleh angkatan perang dari kerajaan Mataram dan Pasuruhan. Mungkin
penyerangannya itu dimaksudkan sebagai pembalasan dari kerajaan Pasuruan,
disamping kerajaan Mataram yang sedang giat memperluas daerahnya. Pendaratan
pasukan dari kedua kerajaan itu disambut dengan gigih oleh tentara kerajaan
Gelgel yang dipimpin langsung oleh Baginda raja Sri Batur Enggong. Setelah
7hari lamanya pasukanitu bertempur mati-matian, akhirnya angkatan perang
Mataram dan pasuruan terpaksa meninggalkan pulau Bali untuk kembali ke Jawa.
Kekalahan yang diderita oleh kerajaan
Mataram dan Pasuruan itu, membangkitkan keberanian rakyat Blangbangan yang
dapat diduduki oleh tentara dari kedua kerajaan itu, sebelum melakukan
pendaratannya ke Bali. Segenap penduduk Blangbangan lalu menyatakan
kesetiaannya berlindung dibawah kekuasaankerajaan Gelgel. Dibawah seorang
pemimpinnya yang bernama Santa Guna, mereka lalu megnadakan penyerbuan ke
Penarukan yang terletak dibawah kekuasaan Pasuruan. Dalam penyerbuan itu tidaklah
terjadi banyak korban yang jatuh, karena rakyat Penarukan tidak mengadakan
perlawanan. Peristiwa itu terjadi didalam tahun 1575, dan sejak itu Santa Guna
diangkat oleh pemerintah di Gelgel untuk menajdi yang dipertuan, sebagai wakil
dari pemerintah kerajaan. Lebih lanjut seorang sarjana bangsa Belanda yang
bernama : Dr. H. de Graaf menceritakan tentang kekuasaan Baginda raja Sri Batur
Enggong dipulau Lombok dan Sumbawa, antara lain sebagai berikut :
Pada suatu ketika di dalam pertengahan abad
ke XVI, Baginda raja Sri Batur Enggong mengutus Ghuru besar Agas Siwa yakni :
Mpu Nirartha pergi ke pulau Lombok. Beliau diiringkan oleh 40 orang selaku
pengawal didalam perjalannya. Kebetulan pada waktu itu rakyat di Lombok Barat
sedang diserang oleh suatu penyakit, yang menular. Kedatangan Mpu Nirartha di
Lombok Barat sangat dihargai oleh sekalian penduduko di daerah itu, karena Mpu
Nirartha dapat menyembuhkan rakyat yang sedang ditimpa mala petaka.
Penghormatan rakyat makkin
bertambah-tambah, semenjak Mpu Nirartha dapat membangkitkan kesadaran rakyat
didalam memuliakan Agamanya semula. Karenanya terciptalah Agama “WAKTU-TELU”,
yang berpokok pada ajaran Agama Islam dengan mempergunakan adat istiadat kuna
peninggalan leluhurnya. Mpu Nirartha terkenal namanya di pulau Lombok dengan
sebutan Tuan Smeru. Dan pengikut beliau yang berjumlah 40 orang itu,
tetapmenjadi penduduk di desa itu yang bernama kampung Kareng Medain dan Sweta.
Bangkitnya Agama waktu Telu di Lombok
Barat, menyebabkan penganut-penganut Agama Islam yang disebut “WAKTULIMA”
mengalih ke daerah lombok Timur. Para pemimpin Agama itu yang disebut Tuan
Haji, kemudian meninggalkan daerah Lombok Timur dan menuju ke pulau Sumbawa.
Hingga kini sebuah pelabuhan dipantai Lombok Timur disebut Labuhan Haji,
mengengkan Tuan-tuan Haji dari tempat itu, ketika berkembangnya Agama waktu
Telu di pulau Lombok. Dalam pada itu sebuah kitab kuna yang bernama : “Brahmana
Purana” dapat menambahkan tentang perjalanan Tuan semeru kepulau Sumbawa.;
Beliau diiringkan juga oleh seorang cucunya yang bernama : Ida Buruan. Di
opulau sumbawa beliau disambut oleh orang-orang bangsawan serta mendapat
peladenan yang sangat memuaskan. Akhirnya Ida Buruan kawin dengan seorang gadis
dari salah satu golongan orang bangsawan disana yang mempergunaan gelar Raden.
Sebab itulah kemudian anaknya disebut Ida Raden Kebenangkatan, yang kini banyak
mengadakan keturunan di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar