Google+

Karma

Karma
Oleh : Ngakan Putu Putra

Photobucket

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti suatu ceramah yang cukup serius: tentang bagaimana menentukan seseorang itu miskin? Apa kriteria seorang disebut miskin? Kriteria ini diperlukan oleh pemerintah untuk memberi bantuan langsung tunai (BLT) terkait dengan kenaikan harga BBM. Para ahli dari berbagai bidang dikumpulkan. Berbagai teori dibahas. Akhirnya disimpulkan seorang atau satu keluarga disebut miskin bila rumahnya masih berlantai tanah.



Di Yogya ada satu desa yang sebagian besar rumah penduduknya berlantai tanah, sekalipun mereka punya sawah atau ladang, walaupun tidak luas. Mereka dapat BLT karena, rumah mereka berlantai tanah. Di desa ini ada seorang kepala keluarga yang boleh dikatakan paling miskin, karena tidak punya sawah atau ladang, tapi tidak dapat BLT, karena rumahnya yang kecil berlantai semen.
Bagaimana bisa?
Ia adalah seorang buruh bangunan. Ketika bekerja di satu proyek di kota, ia mencuri semen sedikit-sedikit dibawa pulang. Anaknya disuruh mencari pasir di sungai. Dengan cara ini ia mempunyai rumah berlantai semen. Namun karena itu, ia tidak dapat BLT yang sangat dibutuhkanya.

"Karma bekerja dengan caranya sendiri"
.

Ini terjadi di Australia. Seorang bhikhu Buddha, Ajahn Brahm, sering mengajar meditasi kepada nara pidana di penjara Perth, Australia Barat.
Suatu hari setelah sesi meditasi seorang nara pidana yang cukup dikenalnya, mendatanginya. Ia menyatakan bahwa ia telah dihukum untuk kejahatan yang tidak dilakukannya. Bhiku ini mempercayainya, dan mulai berpikir bagaimana memperbaiki ketidak-adilan ini. Tetapi nara pidana itu menyela pikirannya:

”Tetapi Brahm, ada banyak kejahatan lain yang saya perbuat, tapi saya tak ditangkap. Jadi apa yang terjadi sekarang ini memang adil.”

Biksu itu tertawa terbahak-bahak. ”Rupanya si tua bangka ini memahami hukum karma, bahkan lebih baik dari pada beberapa bhiku yang saya kenal.” (Ajahn Brahm: Membuka Pintu Hati, Karaniya, Jakarta, 2005, hal 136-137)

Dua kisah di atas dapat disebut sebagai karma dalam operasional sehari-hari. Karma berlaku terhadap siapa saja, di mana saja, terlepas orang itu percaya atau tidak.

Karma dalam keyakinan agama
Keselamatan, atau masuk surga karena iman atau keyakinan semata sering dipropagandakan oleh penganjur agama-agama Kristen atau Islam.
Hanya melalui Yesus manusia mencapai Bapa (surga).
Islam satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah.
Artinya hanya orang yang berkeyakinan Islam yang diterima masuk sorga oleh Allah.

Tetapi dogma semacam ini menimbulkan pertanyaan.
Betulkah hanya dengan keyakinan seseorang masuk surga?
Apakah perbuatan tidak menentukan?
Tidak! Karena kalau perbuatan menentukan semua orang yang berbuat baik, apakah ia Kristen atau Islam atau kafir akan masuk sorga. Ini melanggar monopoli ekseklusif atas surga yang mereka klaim telah diberikan oleh Tuhan mereka hanya kepada mereka masing-masing.
Apakah seorang Kristen atau Islam yang jadi pembunuh akan masuk surga hanya karena mereka Kristen atau Islam?
Bila dasarnya adalah iman, maka jawabannya adalah ”ya!”

Ryan (Very Idham Henyansyah) adalah seorang muslim, dan pernah jadi guru ngaji anak-anak di desanya di Jombang. Ia terbukti membunuh sekitar 10 orang, sebagian besar adalah pemeluk Islam. Setelah mati, setelah hari kiamat (Yaum al Qiyama), setelah pengadilan akhir (Yaum al Din) ia akan masuk surga, karena semata-mata ia adalah seorang muslim. Keluarga korban pasti menganggap ini tidak adil. Bahkan sekalipun para korban yang juga Islam masuk surga, tetap saja hati nurani kita menyatakan tidak adil bila seorang pembunuh masuk surga bersama korban-korban yang dibunuhnya.

Menjawab pertanyaan fundamental.
Karma berkaitan dengan pertanyaan: mengapa manusia di dunia ini sangat berbeda?
Ada yang baik tapi menderita. Ada yang kurang baik, tetapi hidupnya baik-baik saja?
Ini jelas tidak adil!!!!
Perbedaan atau ketidak adilan ini bahkan mulai sejak lahir. Ada yang lahir sehat, tampan dan pintar di rumah orang berada atau berkuasa. Ada juga yang sebaliknya. Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan mendasar ini.

Pertama. Takdir.
Tuhan telah menetapkan nasib setiap manusia sebelum mereka lahir ke dunia ini.
”Orang-orang kaya dengan istananya Orang-orang miskin di bawah jembatan Tuhan meninggikan dan merendahkan mereka Dan telah menentukan tanah bagi mereka.” (All thing bright and beautiful, lagu rakyat Inggris)

Dalam agama Islam dijelaskan ketika jabang bayi berusia 40 hari di kandungan ibunya Allah meniupkan roh, dan ketika itu juga ditentukan nasibnya. Bila Allah mengusap punggung kanan, anak itu kelak akan bahagia atau menjadi orang berkuasa dan kaya dan ketika mati, setelah hari kiamat dan pengadilan akhir akan jadi penghuni sorga. Sebaliknya bila Allah mengusap punggung kiri, anak itu kelak akan menderita atau menjadi jahat dan ketika mati, disiksa di alam kubur, setelah hari kiamat dan pengadilan akhir akan jadi penghuni neraka.

Ini sangat tidak masuk akal.
Untuk apa ada pengadilan, bila seseorang sudah ditakdirkan sebelum kelahirannya?
Dan mengapa seseorang yang ditakdirkan menjadi jahat, harus dihukum sepanjang masa, padahal ia hanya menjalani saja takdir Allah yang tidak dapat dirobahnya?
Takdir sewenang-wenang dan kejam!

Kedua. Terjadi begitu saja.
Orang-orang ateis, mengatakan manusia terlempar begitu saja ke dunia ini.
Tidak ada Tuhan yang memberi takdir. Jadi apa yang menimpa manusia, baik atau buruk, semuanya kebetulan saja. Orang-orang baik bisa saja menderita. Orang-orang jahat bisa saja berjaya. Semua itu kebetulan saja. Tidak ada yang namanya kepastian hukum atau keadilan. Tidak di dunia ini. tidak pula di dunia setelah kematian. Karena tidak ada dunia setelah kematian. Tidak ada yang tinggal setelah kematian. Semuanya habis. Lenyap begitu saja. Hidup ini absurd kata pengarang Perancis, Albert Camus. Kalau dilihat dari perspektif jangka pendek, bahwa hidup ini hanya satu kali, dan singkat, tanpa kepercayaan akan kehidupan sebelum dan sesudahnya, apa yang dikatakan Camus, pendukung filsafat eksistensialis itu memang benar.

Ketiga. Karma dan reinkarnasi.
Para filsuf ateis, menekankan tanggung jawab manusia pada dirinya sendiri.
Karl Marx mengatakan: ”manusia dipandang sebagai pencipta dirinya sendiri sekaligus pembebas dirinya sendiri. Manusia sendiri yang menentukan nasibnya, dunia.”
Nietzsche bahkan terkesan percaya dengan reinkarnasi: ”Ubermensch akan menggantikan posisi Tuhan, karena ia sendiri menentukan apa yang baik bagi dirinya, serta percaya akan kembalinya segala sesuatu secara sama.”
Jean Paul Sartre mengatakan: ”orang-orang harus menerima beban dari tindakannya, dan tidak seorang pun dapat menanggung untuk dirinya.”
Sartre menolak penebusan dosa oleh kematian orang lain. Sampai tahap tertentu doktrin humanisme ateis mereka mirip dengan hukum karma.
Namun karena mereka tidak percaya dengan kehidupan sesudah mati, teori mereka tentang tanggung jawab manusia tampak terbatas dan tidak memuaskan.

Kalau ada seorang yang berbuat jahat, tetapi karena kekuasaan politik, ekonomi maupun agama, tidak diadili di dunia ini sampai mati, lalu apa makna tanggung jawab disini?
Sedangkan hukum karma tidak terbatas hanya dalam satu kehidupan.

Setiap orang pasti akan menerima hasil dari tindakannya. Bila tidak dalam hidup ini, dalam hidup yang akan datang. Arnold Toynbee mengatakan, karma dan reinkarnasi lebih rasional dari takdir dan kebangkitan tubuh.

Dasar
Dasar dari hukum karma dalam agama Hindu dapat ditemukan dalam Sruti dan juga Smerti. Berikut salah satu saja.

”Bagaimana kehendaknya, demikianlah perbuatannya. Bagaimana perbuatannya demikianlah manusia jadinya. Ia yang berbuat baik menjadi baik; ia yang berbuat buruk menjadi buruk.” Brhadaranyaka Upanisad. 4.4.5.

”Individu dan perbuatannya bukanlah dua hal yang terpisah. Pribadi itu adalah perbuatan dan perbuatan adalah peribadi itu sendiri. Ia merupakan satu kesatuan.” Yoga Vasista.

William James, filsuf Amerika Modern juga bicara tentang karma: .
”Tanamlah satu perbuatan dan petiklah satu kebiasaan. Tanamlah satu kebiasaan dan petiklah satu karakter. Tanamlah satu karakter, maka kamu akan memetik nasibmu sendiri.”

Implikasi keyakinan atas prilaku
Kepercayaan akan karma seharusnya membawa implikasi-implikasi pada perilaku suka bekerja keras, bertanggung jawab, jujur.

Bekerja keras/rajin. Karena dengan bekerja lebih keras ia menjadi manusia yang lebih baik. Kebahagiaan terletak pada upaya, makin besar upaya, makin besar kebahagiaan. Demikian kata Mahatma Gandhi.

Bertanggung jawab: Jika terjadi suatu yang buruk, orang yang percaya pada karma, pertama akan melakukan interospeksi atau mulat sarire, apa yang salah pada dirinya. Ini tanda ia mengakui tanggung jawabnya dan ingin memperbaiki kesalahan itu. Dia tidak menyalahkan pihak lain (Tuhan, Setan, orang Amerika atau orang Yahudi). Sekalipun pihak lain mungkin merupakan salah satu faktor, tetapi ia tidak dapat memperbaiki mereka.

Jujur. Karena kalau berbuat tidak baik, hasil buruk akan menimpa si pelaku. Dalam karma tidak ada penebusan dosa melalui ibadah, misalnya puasa. Upawasa, tapa, samadi bahkan sembahyang adalah untuk kepentingan kita: untuk kejernihan, ketenangan dan kedamaian pikiran dan hati, untuk kesehatan mental kita, untuk memperdalam spritualitas. Sama seperti olah raga untuk memperkuat badan si pelaku, bukan untuk menyehatkan Tuhan. Ada yang mengajarkan bahwa ibadah itu karena dan untuk Tuhan. Ini adalah cara beragama kanak-kanak. Waktu kecil kita makan, mandi atau belajar karena takut pada orang tua. Tapi setelah dewasa, kita melakukan semua itu karena sadar akan manfaatnya bagi diri sendiri.

Faktor lain, pengadilan karma, oleh hati nurani, berjalan sepanjang waktu. Tidak ada pengadilan akhir yang tidak pasti kapan akan terjadi.

sumber: mediahindu.net/index.php/berita-dan-artikel/artikel-umum/56-karma.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar