Google+

Tat Twam Asi antara Perdamaian dan Konflik

Tat Twam Asi antara Perdamaian dan Konflik

KEBERAGAMAN itu indah. Bagaikan warna-warni bunga yang ada di taman.
Hanya, bagaimana kita menjadikan keberagaman itu harmonis perlu mendapat perhatian semua pihak. Tat Twam Asi bisa dijadikan acuan menciptakan perdamaian. Namun, bila tidak dijalankan secara benar, malah bisa memicu konflik.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar; Tatwa (filsafat), Susila (etika) dan Upacara.
Dalam Tatwa (filsafat), ada keseragaman. Ini karena yang menjadi acuannya sama, kitab suci Weda. Selain itu Bhagawadgita pun menjadi acuan yang dipakai semua umat Hindu. Baik di Bali, di Indonesia, di India maupun di seluruh dunia.

Pada tataran atau kerangka Susila (etika), mulai terjadi ketidakseragaman. Ini karena Hindu menyerap budaya-budaya setempat. Sedangkan dalam Upacara terjadi keberagaman. Keberagaman inilah yang harus diperlihara, kata I Dewa Gede Ngurah Swastha, S.H., seorang pemerhati Hindu.

Keberagaman ini berlaku dalam arti luas. Ketika disinggung tentang adanya unsur Bali yang dibawa ke Jawa, khususnya ke pura-pura yang ada di Jawa, dia menolak anggapan sebagai penyeragaman. Bali itu kiblatnya Majapahit, Majapahit itu di Jawa. Ketika terjadi kekosongan upacara di Jawa, masuklah Bali. Bagi orang Jawa mereka percaya yang dibawa adalah ajaran-ajaran Majapahit, katanya.

Namun, Dewa Ngurah Swastha memberi perkecualian. Hindu Kaharingan di Kalimantan dan Hindu di Tengger memiliki upacara sendiri. Ini merupakan keberagaman Hindu yang ada di Nusantara. Dalam Bhagawadgita ada termuat, apa pun jalan yang kau tempuh, Aku terima. Ini maksudnya walaupun jalan dan upacara kita berbeda, tetapi tujuan kita tetap satu, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Hal yang sama juga dikemukakan Drs. I Nyoman Wijaya, M.Hum. Ia juga menambahkan tentang adanya berbagai aliran atau sekte. Selama aliran atau sekte-sekte itu bisa diterima, silakan saja. Itu juga keberagaman yang harus kita terima. Jika ada sesuatu yang masuk, harus ada pembelajaran dan membutuhkan waktu. Jadi kalau ada konflik-konflik kecil wajar saja.

Dalam Hindu sebenarnya ada suatu konsep yang bisa dipakai sebagai pencegah konflik dalam menyikapi keberagaman. Konsep Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) dan Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh). Ajaran ini, menurut Swastha, merupakan dasar kesusilaan Hindu yang tinggi. Secara nilai, konsep ini Sanatana Dharma (abadi), tanpa batas dan selalu relevan.

Prof. Nengah Bawa Atmaja dalam makalah Multikultur dalam Perpsektif Filsafat Hindu menjelaskan, Tat Twam Asi adalah filsafat Hindu yang mengajarkan suatu keharusan bagi manusia untuk membangun persaudaraan universal, karena setiap ia adalah kamu. Saya adalah sama dengan kamu dan segala makhluk adalah sama, sehingga menolong orang lain berarti sama dengan menolong diri sendiri. Begitu pula kalau menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri.

Budaya Egosentris

Dalam perspektif Hindu, muncul kebudayaan egosentris yang tidak bisa dilepaskan dari ahamkara (prinsip keakuan yang melekat pada diri manusia). Karena itu, ke-kita-an dan ke-mereka-an yang bertumpu pada perbedaan kebudayaan dan keagamaan merupakan sumber konflik yang tidak bisa diabaikan dalam kehidupan manusia. Apa pun bentuk dialog yang kita lakukan, tidak mungkin terlaksana kalau kita tidak bersedia melakukan perubahan terhadap paradigma budaya yang kita anut.

Di zaman Kali, Swastha mengharap agar konsep ini lebih dikumandangkan untuk memberi penyadaran kepada umat. Bahkan kalau bisa, ia ingin konsep ini mengglobal hingga semua umat hidup dalam perdamaian. Tetapi, ini sepertinya sulit kalau kesadaran umat masih kurang.

Ia mencontohkan, sekarang ini egoisme muncul mewarnai hidup manusia. Ini karena corak hidup yang hedonis dan konsumtif. Manusia lebih mementingkan material daripada spiritual, harusnya terjadi keseimbangan antara kedua hal tersebut, katanya.

Bagaimana caranya memberi penyadaran, ia memberi beberapa saran. Di antaranya, memberikan dharma wacana, dharma tula dan membuat perpustakaan khususnya yang memuat buku-buku agama di wilayah pedesaan. Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup umat. Kalau kita sudah berkualitas dan memahami ajaran agama, kita tidak akan mendiskreditkan orang. Orang yang memiliki egoisme dan melakukan pendiskreditan adalah orang yang tidak punya pemahaman, apalagi yang berkaitan dengan pendiskreditan agama.

Hindu juga memiliki ajaran Tri Kaya Parisudha yang bisa menunjang semua itu. Kita harus selalu berpikir, berkata dan berbuat baik, agar tercipta keselarasan dan kedamaian. Para pemimpin dan pemuka umat harus memiliki itu semua. Jangan hanya memberi contoh, kalau bisa jadilah contoh. Dengan kata lain, ia mengatakan, memberi contoh itu mudah tetapi menjadi contoh itu yang sulit.

Wijaya memberi pemahaman lain, Tat Twam Asi sangat bagus dalam tataran teori. Namun, ketika diimplementasikan sangat susah. Ia mencontohkan, jika di masyarakat ada warganya yang kasepekang, Tat Twam Asi tidak berfungsi. Perlu adanya suatu lembaga yang dipercaya masyarakat dalam memberi pemahaman sebenarnya tentang konsep ini. Ia mengkhawatirkan Hindu di Bali kalau tidak memahami sungguh-sungguh makna Tat Twam Asi akan terjadi pengkotak-kotakan. Bali akan menjadi eksklusif. Untuk menyikapi hal ini, diperlukan perubahan struktur yang luar biasa. Harus ada organisasi lintas sektoral yang menangani ini.

Kalau Bali terlelap dalam eksklusivisme ini, ia khawatir umat Hindu di Bali makin hari akan makin berkurang. Kalau mau ciri khas Bali berarti biarkan masyarakat dalam pengkotak-kotakan. Akan tetapi kalau mau ciri khas Hindu, jalankan Tat Twam Asi, tegasnya.

Contoh adanya konflik antardesa atau antarbanjar menjadi bukti yata. Ketika Tat Twam Asi tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin melebar. Dampaknya akan ada kasepekang. Kalau sudah kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak boleh, apalagi mau ngaben. Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa umum dan pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang.

Dicontohkannya Pura Jagadnatha. Pura ini menjadi terobosan dalam kebebasan menyembah Tuhan. Pura ini dipergunakan semua umat Hindu, tanpa memandang apa kasta-nya. Desa kala patra juga harus selalu diingat semua umat Hindu. Jangan memaksakan kehendak. Kalau mau beda buatlah tempat sendiri, kata Wijaya.

Sumber BP, hindu-indonesia. Com
diposkan kembali di http://cakepane.blogspot.com

1 komentar: