Pada Waktu Kerajaan Mengwi dibawah pemerintahan putra
dari yaitu I Gusti Agung Sakti, I Gusti Made Agung Alangkajeng hubungan Kerajaan
Mengwi dan Kerajaan Badung agak membaik, hal tersebut terjadi karena I Gusti
Made Agung langkajeng merelakan putrinya yaitu Ni Gusti Ayu Bongan kawin dengan
Angurah Pemecutan III/ Ida Bhatara Maharaja Sakti sehingga melahirkan putra
yang dibuatkan Anak Agung Gde OkaJero di Kaleran Kawan. Dan sebagai hadiah
perkawinan maka daerah pesisir seseh sampai bukit Uluwatu diberikan kepada
Kerajaan Badung , tetapi adanya Pura Ulunsuwi dan Pura Uluwatu harus dipelihara
oleh Kerajaan Badung.
Semenjak itu Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Badung hidup
rukun sebagai suatu keluarga besar demikian seterusnya sampai berjalan empat
keturunan. Setelah pemerintahan dipegang oleh I Gusti Agung Bhima Sakti politik
pemerintahan Kerajaan Mengwi mengalami perubahan antara lain dengan adanya
keinginan untuk mengambil bekas wilayah Mengwi yang diambil oleh kerajaan
Badung. Selain itu pada masa pemeritahan I Gusti Agung Bhima Sakti dengan
dibantu oleh 2 adipati Agung yaitu Gusti Putu Mayun dan Gusti Made Ngurah
timbul kecendrung dari pemuka-pemuka Kerajaan Mengwi untuk bertindak lebih
bebas dari kekuasaan Dewa Agung di Klungkung sehingga kerajaan Mengwi mempunyai
kedudukan yang sama dengan Kerajaan lain di Bali. Hal demikian tentunya
ditentang keras oleh Dewa Agung di Klungkung yang meghendaki agar semua
kerajaan di Bali dihimpun dibawah kekuasaan Kerajaan klungkung.
pada awal tahun 1891 mulai timbul kekacauan di Kerajaan
Mengwi karena percekcokan antara Raja dengan Adipati Agung Gusti Agung Made
Alangkajeng yang terkenal sebagai pimpinan perang yang ulung dan gagah perkasa
sehingga beliau mendapat julukan sebagai Macan Kerajaan Mengwi. Gusti Agung
Made Alangkajeng mengambil istri dari Puri Arya Tegeh Kuri di Badung dan karena
perselisihan tersebut beliau meninggalkan Kerajaan Mengwi dengan membawa
pusaka-pusaka Kerajaan dan menetap di Badung.
Selain itu punggawa Sibang juga memperlihatkan sikap
bermusuhan dengan Kerajaan Mengwi dan ingin berdiri sendiri, hal tersebut
terjadi karena punggawa tersebut dihukum akibat dituduh melakukan tindak pidana
melanggar sopan santun. Raja Mengwi minta bantuan Dewa Agung dari Klungkung
untuk menengahi persoalan tersebut, akan tetapi campur tangan Dewa Agung ternyata
malah merugiakan Kerajaan Mengwi sendiri karena Dewa Agung justru membujuk
Punggawa Sibang untuk memberontak terhadap rajanya. Alasan Dewa Agung bertindak
demikian karena tindakan raja Mengwi yang menduduki sebagian daerah Negara
seusai pemberontakan Cokorde Gde Oka Negara terhadap Dewa Manggis (VII) Raja
Gianyar.
Oleh karena itu Dewa Agung dengan didukung oleh Adipati
Agung Dewa Agung Rai dengan penasehat Agung Pedanda Ida Ketut Pidada ingin
mengail didalam air keruh dan mengadakan campur tangan dalam kekacauan politik
di Mengwi. Hubungan Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Mengwi erat karena adanya
pertalian persaudaraan, maka Dewa Agung Minta bantuan Raja karangasem Gusti Gde
Jelantik untuk pergi ke kerajaan Mengwi dengan tujuan untuk mengusahakan perdamaian
di sana. Gusti Gde Jelantik bersedia memenuhi permintaan Dewa Agung tersebut.
Dewa Agung mengharapkan misi tersebut dapat mencapai hal sebagai berikut :
- Permusuhan di Mengwi antara golongan dan ketegangan dengan Kerajaan Badung harus dihentikan.
- Menyakinkan Raja Mengwi untuk menghentikan usahanya mendapatkan kebebasan dari Klungkung dan kembali lagi pada keadaan dahulu yaitu Kerajaan Mengwi merupakan bagian dari Kerajaan Klungkung dimana Dewa Agung memegang kekuasaan tertinggi.
- Meyakinkan Raja Mengwi agar menarik pasukannya dari daerah Negara dan menghentikan pendudukan di daerah tersebut.
- Hasil kunjungan Raja Karangasem menghasilkan kesepakatan bahwa Raja Mengwi bersedia pergi ke Klungkung menghadap Dewa Agung untuk minta Maaf atas keikhlafannya, tetapi dengan syarat Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik harus turut serta. Raja Mengwi takut hal yang sama akan menimpanya seperti raja Gianyar Dewa Manggis (VII) pada tahun 1885 diasingkan di Satria ketika akan menghadap Dewa Agung.
- Hasil kunjungan Gusti Gde Jelantik telah dilaporkan kepada Dewa Agung dan kedatangan Raja Mengwi ditungu tunggu di Klungkung namun Raja Mengwi tidak muncul muncul. Penundaan keberangkatan Raja Mengwi disebabkan karena Punggawa Sibang tidak bersedia turut serta dengan rombongan Raja Mengwi, Raja Mengwi takut Punggawa Sibang akan mengadakan pemberontakan tatkala dirinya tidak ada di Puri Mengwi. Namun dibalik itu semua ternyata Dewa Agunglah yang memberi nasehat kepada Punggawa Sibang agar tidak ikut dalam rombongan Raja Mengwi ketika menghadap dirinya ke Kerajaan Klungkung.
Ketidakharmonisan hubungan Kerajaan Mengwi dan Badung
dimulai ketika Kerajaan Mengwi membendung empelan Tukad Mambal sehingga sawah
sawah yang ada di wilayah Kerajaan Badung menjadi kekeringan dan gagal panen
yang berkali kali sehingga menimbulkan kepalaran. Dekimian pula di daerah Tegal
Linggah , Kerobokan, Mergaya, Abiantimbul, berkali kali Mengwi melakukan
pelanggaran dengan memasuki wilayah Badung secara gelap sehingga menimbulkan
rasa tidak aman bagi penduduk di wilayah tersebut, untuk mengantisipasi hal
tersebut maka Puri Pemecutan mengambil langkah langkah sebagai berikut :
- Daerah Mergaya ditugaskan kepada Anak Agung Gde Banjar dari Jero Dawan Kanginan untuk membuat perkemahan di tepat tersebut bersama putra putra beliau.
- Daerah Umaduwi ditugaskan kepada Anak Agung Putu Pande untuk membuat perkemahan di Agel Abiantimbul.
- Desa Jimbaran ditugaskan Anak Agung Gde Pande dari Jero Dawan Tegal untuk membuat perkemahan di Br tegal Jimbaran.
- Daerah Kuta sampai Seminyak ditugaskan kepada Putra putra Kiyai Lanang Ukiran Jero peken Pasah yaitu Jero Seminyak, Jero legian Kaja dan Jero Temacun dipimpin oleh Kiyai Lanang Legian
Diceritakan keadaan disemua front, infiltrasi laskar
Mengwi semakin meningkat, tiap hari terjadi pertempuran kecil-kecilan, masing
masing berusaha mengintimidasi satu sama lainnya. Di daerah Sempidi mulai pecah
perang antara Pemecutan melawan Mengwi. Laskar andalan Mengwi sudah
bersiap-siap disebelah utara sedangkan laskar Pemecutan dipimpin oleh Anak Agung
Made Banjar dengan bersenjatakan keris pusaka Rereg Langse, cucu dari Kiyai
Agung Lanang Dawan dengan dibantu oleh para Wargi, Tambyak dan laskar Bugis
berada di sebelah selatan.
Kedua belah pihak sama sama mengeluarkan senjata
andalannya, dari pihak Sempidi mengeluarkan keris Penglipuran dan Ki Sekar
Gadung sedangkan laskar Padangsambian mengeluarkan tombak Sableg yang
mengeluarkan cahaya biru yang amat ditakuti oleh laskar Sempidi, sebab mereka
telah membuktikan keampuhan senjata tersebut pada waktu mereka mengikuti I
Kiter menyerang Desa Tegallinggah.
Kiyai Wayan Lemintang di Jero Peguyangan mengirim
putranya untuk membantu laskar Padangsambian, mereka menuju desa Benoh dan
membuat perkemahan di Petangan Ubung dan sampai sekarang keturunan beliau masih
bertempat tinggal di Petangan Ubung. Laskat Bugis diperintahkan maju menuju
desa Sibang, disana mereka dihadang oleh laskar Sibang yang sudah siap tempur
sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi dan menimbulkan korban yang cukup
banyak dari kedua belah pihak.
Laskar Bugis menembakkan senjata meriam sehingga tepat
mengenai pohon beringin di pasar Sibang sehingga pohon tersebut tumbang dan
membuat ketakutan laskar Sibang, Semua laskar Sibang kemudian mengundurkan diri
ke Desa Mambal dan laskar Peguyangan dan laskar Bugis terus mengepungnya.Pertemuan di wilayah Sempidi tidak kalah serunya, Laskar
Padangsambian dibantu oleh Tambiyak dan laskar Jero Petangan mendesak laskar
Sempidi sampai di bencingah Jero Sempidi.
Anak Agung Putu Kuskus, Anak Agung Putu Riyong dan Anak
Agung Putu Gde Grejeg pimpinan laskar Pemecutan sedang memburu I Gusti Agung
Rai pimpinan laskar Sempidi. I Ngetis dari laskar Pemecutan sedang terlibat
pertempuran dengan memutar mutar tombak Sableg sehingga laskar Sempidi banyak
yang menemui ajalnya sedangkan sisanya yang masih hidup lari menyelamatkan
diri. I Gusti Agung Rai karena sudah terdesak melarikan diri kedalam Jero.Tidak
berapa lama dari dalam Jero Sempidi berkibarlah bendera putih tanda menyerah,
seorang utusan keluar dari Jero Sempidi membawa bendera putih menuju markas
Pemecutan dengan membawa surat.
Dalam surat tersebut I Gusti Agung Rai menyatakan
menyerah dan menyatakan tunduk kepada Pemecutan dan siap mengabdi. Anak Agung
Made Banjar sebagai pimpinan tertinggi Laskar Pemecutan menerima permohonan
tersebut tetapi dengan syarat I Gusti Agung Rai tidak diperkenanan lagi untuk
tinggal di Jeronya semula, Jero tersebut akan dihancurkan semua sebagai
pembayaran pampasan perang. Untuk pembangunan jero yang baru I Gusti Agung Rai
diperkenankan disebelah barat pasar Sempidi. Laskar Padangsambian membongkar
semua bangunan di Jero Sempidi.
- Anak Agung putu Grejeg mengambil keris yang bernama Ki Sekar Gadung dan seperangkat bale gede saka roras meperada. Keris tersebut sampai sekarang masih tersimpan di Pemerajan Jero Dawan Tegal.
- Putra Kiyai Wayan Lumintang mengambil keris yang bernama Si Penglipuran dan sampai sekarang masih tersimpan di Pemerajan Jero Petangan Ubung.
- Anak Agung Gde Banjar mengangkut seperangkat bale gede saka roras meperada terus dibangun di Jero Dawan kanginan.
- Anak Agung Putu Reyong mengangkut bale bale yang telah dibongkarnya dan dibangun kembali di Br Buana Agung.
- bekas Jero Sempidi disita dibagi oleh 5 kemoncolan Dawan. Masing masing moncol membangun Jero ditempat tersebut.
Setelah pertahan Kerajaan Mengwi di Desa Sempidi, Dalung
dan Sibang dapat dihancurkan maka kekuatan induk pertahanan kerajaan mengwi
dipusatkan di desa Mengwitani dan diperkuat oleh pasukan andalan Mengwi yaitu
Pasukan Terua Batu Bata.
Melihat situasi demikian Anak Agung Made Banjar sebagai
pimpinan tertinggi Laskar Pemecutan berpedapat bahwa jika laskar Pemecutan
mengempur daerah tersebut tentunya akan menimbulkan korban yang sangat banyak
dari pihak Pemecutan sehingga beliau memutuskan untuk merubah siasat akan
menyelinap ke jantung pertahanan musuh didampingi oleh pasukan berani mati
laskar Pemecutan.
Anak Agung Made Banjar sendiri yang akan memimpin laskar
berani mati tersebut dibantu oleh 4 orang pilihannya dari jero Pekandelan ada
yang namanya Nang Semblong. Pada jam 3 pagi berangkatlah Anak Agung Made Banjar
bersama 4 orang pengiringnya menuju Mengwi.
Sesampainya di desa Pupuhan, beliau dicegat oleh laskar
Mengwi sehingga terjadilah pertempuran namun hal tersebut berhasil diatasninya.
Desa tersebut sekarang dinamakan desa Pupuan (Pupuh berarti dikeroyok dan
dipukuli)
Pada jam 8 pagi Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang
pengiringnya telah sampai di bencingah Puri Mengwi, beliau beristirahat sejenak
sambil melihat situasi untuk melakukan penyerangan. Anak Agung Made Banjar
bersama 4 orang benar benar berjibaku tanpa membawa senjata kecuali kain putih
yang digunakan kekudung. Selama berteduh di Bencingan Puri Mengwi sama sekali
tidak ada orang yang menaruh curiga kepada Anak Agung Made Banjar bersama 4
orang pengiringnya.
Tanpa disangka sangka keluarlah iringan Raja Mengwi I
Gusti Agung Bhima Sakti dengan dikawal oleh pasukan berani mati Taruna Batu
Bata yang bermaksud akan muspa ke Pura Taman Ayun. Beliau diusung dengan tandu
kebesaran, diapit oleh permaisuri dan para selir semuanya berpakaian serba
putih bagaikan orang yang akan maju ke medan perang.
Suasana menjadi sangat hening, rakyat menundukkan kepala
memberi penghormatan kepada Raja yang lewat.Kesempatan tersebut tidak disia
siakan oleh Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya dengan secepat
kilat melompat keatas tandu sang Raja. Hal tersebut menimbulkan kepanikan dari
Raja dan pengiringnya sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi.
I Gusti Agung Bhima Sakti menghunus keris sakti Ki
Bintang Kukus yang mengeluarkan cahaya yang gemerlapan langsung ditusukkan ke
dada Anak Agung Made Banjar, namun keris tersebut ternyata tidak mampu menembus
badan Anak Agung Made Banjar.Perang tanding kemudian dilanjutkan di bawah dan
berlangsung dengan sangat hebatnya. Masing masing berusaha secepatnya
menjatuhkan lawannya sampai akhirnya Anak Agung Made Banjar mengeluarkan
kekudung putih yang membuat Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti jatuh tak
sadarkan diri.
Pasukan Taruna Batu Bata kemudian melarikan Rajanya
menuju desa Kaba Kaba. Pertempuran kemudian berlanjut antara Anak Agung Made
Banjar bersama 4 orang pengiringnya melawan pasukan Taruna Batu Bata, karena
lawan yang tidak seimbang 4 orang pengiring Anak Agung Made Banjar tewas dalam
pertempuran tersebut. Sedangkan Anak Agung Made Banjar menderita luka yang
cukup parah terus mengamuk dengan kekudung putihnya sehingga pasukan Taruna
Batu Bata banyak yang menjadi korban, sisanya yang masih hidup lari
menyelamatkan diri.
Diceritakan kembali kedaan Raja Mengwi I Gusti Agung
Bhima Sakti didalam perjalanan menuju desa Kaba-Kaba masih dalam keadaan belum
sadarkan diri, sesampainya beliau di desa Mengwitani menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Beliau dinyatakan wafat pada tanggal 20 Juni 1891 jam 11 siang.
Dengan gugurnya Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti, seluruh masrkas
pertahanan Kerajaan Mengwi kehilangan semangat tempurnya sehingga banyak yang
sudah meninggalkan pos pos pertahanannya.
Kedua Adipati Agung Kerajaan Mengwi yaitu Gusti Putu
Mayun dan Gusti Made Ngurah dapat menyelamatkan diri ke desa Seseh dan dari
tempat tersebut menuju padang cove untuk seterusnya menuju Kerajaan Karangasem
menghadap Raja Gusti Gde Jelantik. Pada waktu kedua adipati tersebut menghadap
raja Karangasem kontrolir Belanda J.H Liefrinck sedang berada disana dan
menurut lasporannya Raja Karangasem memperlihatkan sepucuk surat dari Raja
Badung menjawab surat darinya yang mempertanyakan mengapa kerajaan Badung
menyerang daerah Sibang.
Jawabannya bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah
langsung Dewa Agung. Mengetahui hal tersebut kedua adipati sangat menyesalkan
sikap Dewa Agung tersebut yang menyarankan kepada Kerajaan Mengwi untuk
berdamai dengan kerajaan Badung sehingga Kerajaan Mengwi tidak sempat membangun
benteng-benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan tersebut. Raja
Karangasem Gusti Gede Jelantik sangat malu karena beliaulah yang menjadi utusan
Dewa Agung ke Kerajaan Mengwi untuk menyampaikan amanat dari Dewa Agung
tersebut yang ternyata semua itu adalah muslihat untuk menghancurkan Kerajaan
Mengwi.
Di Markas besar laskar Dawan Pemecutan di Sempidi setelah
mendengar wafatnya Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti, seluruh pasukan
diperintahkan maju memasuki Puri Mengwi. Didalam perjalanan menuju Puri Mengwi
tidak ada perlawanan yang berarti. Seluruh lascar Dawan Pemecutan sudah berada
di sekitar areal Puri Megwi dengan pegelaran bulan sabit, siap tempur sehingga
tak satupun warga Mengwi yang berani keluar rumah semuanya bersembunyi di rumah
masing-masing.
Sebagian laskar Dawan Pemecutan menyelamatkan pimpinan
pasukan Anak Agung Made Banjar yang menderita luka sangat parah untuk dibawa
menuju desa Pangsambian. Pada jam 4 sore sampailah rombongan tersebut di
Padangsambian dan Anak Agung Made Banjar karena menderita sangat parah akhirnya
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada jam 6 sore. Namun sebelum beliau
meninggal beliau masih sempat memberikan petuah-petuah untuk kelurganya.
Hingga saat ini masih dijumpai benda benda peninggalan
sejarah yang berkaiatan dengan perang antara Kerajaan Mengwi dan Badung tahun
1891 diantaranya di Pemerajan Jero Padangsambian masih disimpan Keris bernama
Rereg Langse dan tulup yang masih disungsung oleh keturunan Kiyayi Agung Lanang
Dawan di Padang Sambian demikian pula keris penglipuran yang dirampas dari
kerajaan Mengwi yang kalah di Sempidi dibawah pimpinan putra Kiyayi Wayahan
Lumintang masih tersimpan di Jero Peguyangan.
Kembali ke keadaan Puri Mengwi, bendera putih berkibar di
di pintu gerbang Puri sebagai pertanda Kerajaan sudah menyerah dan tunduk
kepada kekuasaan kerajaan Pemecutan. Dan tidak berapa lama 2 orang utusan
keluar dari puri dengan membawa bendera putih berjalan menuju markas laskar
Dawan Pemecutan yang sedang membuat tenda di Bencingah Puri mengwi. Utusan
tersebut bernama I Gusti Agung Kerug dan I Gusti Agung Bedu keduanya masih
kerabat Raja Mengwi dan mereka berdua datang sebagai wakil kerajaan Mengwi
untuk mengadakan perudingan dengan pimpinan Laskar Dawan Pemecutan yang
sekarang diambil oleh Anak Agung Putu Kukus.
Dalam perundingan tersebut kerajaan Mengwi menyatakan
menyerah dan mulai saat ini seluruh daerah kekuasaan Kerajaan Mengwi diserahkan
kepada Puri pemecutan dan disertai permohonan agar semua keluarga Puri masih
tetap diperkenankan diperkenankan untuk tinggal di dalam Puri. Untuk sementara
waktu pimpinan laskar Dawan Pemecutan Anak Agung Putu Kukus dapat menerima hal
tersebut tetapi dengan catatan apabila terjadi perbuatan yang dapat merugiakan
pihak Pemecutan maka Puri Mengwi akan dihancurkan seperti halnya Jero Sempidi
diratakan dengan tanah sebagai pampasan perang.
Setelah kerajaan Mengwi menyerah, maka untuk menjalankan
pemerintahan sementara diambil oleh Anak Agung Putu Kukus , dan beliau
membangun Puri disebelah utara Puri Mengwi menghadap keselatan bernama Puri
Dawan Mengwi.
Laskar Kyai Lanang Kemoning dari Jero Bantanmoning
Grenceng ikut mematahkan perlawanan Mengwi dari arah barat. Untuk
mengantisipasi terjadinya pemberontakan kembali maka laskar Lanang Kemoning
diperintahkan membangun Jero disebelah Puri Mengwi. Untuk melestarikan
persatuan seluruh laskar Pemecutan di Mengwi maka dibangun Bali banjar diberi
nama Banjar Badung.
Dengan kekalahan tersebut hancurlah Kerajaan Mengwi yang
pada masa lampau merupakan salah satu kerajaan besar dan Jaya di Bali.
Sebagaimana diketahui pada abad ke 18 Badung masih merupakan bagian dari
Kerajaan Mengwi dan baru pada awal abad ke 19 Badung dibawah pimpinan Gusti
Ngurah Made Pemecutan/ Maharja Bhatara sakti/ Anglurah pemecutan III melepaskan
diri dari Kerajaan Mengwi dan muncul sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.
Wilayah bekas kerajaan Mengwi sekarang diduduki oleh
Kerajaan Pemecutan Badung untuk wilayah selatan dan wilayah barat dikuasai oleh
Kerajaan Tabanan. Dengan dikuasainya desa kapal dan Mengwitani oleh kerajaan
Pemecutan maka kerajaan ini mempunyai gubungan langsung dengan Kerajaan Tabanan
yang senantiasa diidam-idamkan oleh dua kerajaan ini. Daerah Sibang diperintah
langsung oleh Dewa Agung dari Klungkung sedangkan desa Bongkasa, Carangsari dan
Angantaka dikuasai oleh Punggawa Ubud Cokorde Gde Sukawati.
Mengapa kerajaan Tabanan ikut serta memperoleh pembagian
wilayah dengan jatuhnya Kerajaan Mengwi, karena pada Perang antara Badung
dengan Mengwi Kerajaan Tabanan dibawah pemerintahan Raja Singasana ikut serta
membantu laskar Badung untuk menundukkan Kerajaan Mengwi. Hubungan antara
Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Tabanan dalam beberapa tahun terakhir memang
kurang baik yang disebabkan oleh beberapa hal.
Ki Gusti Ngurah Teges dari Puri Kaba-Kaba yang ikut
berperang dibawah panji Kerajaan Mengwi berhasil ditundukkan dan menyerah pada
Puri Kaleran Tabanan, sehingga rakyat dan seluruh wilyah kekuasaanya jatuh ke
tangan Kerajaan Tabanan. Melihat keadaan yang demikian Raja Karangasem Gusti
Gde Jelantik yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan mengwi
merasa mempunyai tanggung jawab untuk bertindak.
Raja Karangasem ingin pergi ke Mengwi dengan pasukan yang
lebih besar untuk memulihkan keadaan dan keamanan di wilayah Mengwi. Untuk itu
raja Karangasem minta ijin kepada Dewa Agung untuk melewati wilayahnya dalam
perjalanan menuju Mengwi. Permintaan tersebut ditolak oleh Dewa Agung dan hanya
50 orang orang yang dijinkan melalui daerahnya untuk pergi ke Mengwi, itupun
tanpa membawa senjata kecuali keris. Dewa Agung khwatir apabila hal tersebut
dibiarkan maka keadaan akan semakin kacau dan perang besar tidak akan bisa
dihindarkan antara Kerajaan Karangasem dengan Kerajaan Pemecutan Badung.
Dewa Agung kemudian memerintahkan menutup perbatasan
Klungkung dengan Karangasem dan memerintahkan dibangun kubu-kubu pertahanan
untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.. Hal tersebut menimbulkan
reaksi dari Kerajaan karangasem yang kemudian membangun pula benteng-benteng
pertahanan dan pertempuran kecil-kecilan tidak terhindarkan sehingga
menyebabkan kedua kerajaan dalam keadaan perang.
Kerajaan Lombok ingin membantu Kerajaan Karangasem dalam
peperangan melawan Klungkung, namun hal tersebut diketahui oleh Residen/Komisaris
pemerintah Hindia-Belanda di Singaraja M.C Dannenbargh yang mengkwatirkan Raja
Selaparang Lombok akan mengail di air yang keruh memanfaatkan setuasi yang
demikian. Dalam kunjungannya ke Lombok, M.C Dannenbargh berhasil meyakinkan
Raja Selaparang untuk membatalkan keinginannya tersebut sehingga terhindarlah
perang yang lebih besar terjadi di daerah Bali.
Sebagai balasan atas tindakan Dewa Agung, maka Raja
Karangasem Gusti Gde Jelantik diam-diam memberi ijin kepada punggawa-punggawa
Kerajaan Gianyar yang mengalami pengasingan di Karangasem kembali ke daerah
asalnya. Oleh karena itu punggawa Abianbase, Punggawa Blahbatuh Gusti Ngurah
Made dan Punggawa Sukawati Anak Agung Gde Agung bertolak kembali ke daerah
asalnya masing-masing sehingga memaksa punggawa-punggawa yang diangkat oleh
Dewa Agung terpaksa kembali ke Klungkung seperti Cokorde Lingsir yang bertugas
di Blahbatuh.
Ketiga Punggawa-punggawa tersebut telah kembali ke
Gianyar dan menempatkan diri dibawah kekuasaan Raja KarangasemKembali ke
keadaan di wilayah Badung Pemecutan, Setelah perang antara Badung dengan megwi
berakhir maka tiga serangkai Raja Tabanan, Raja Badung Pemecutan dan Raja
Gianyar sepakat untuk mengadakan perjanjian kerjasama di bidang pertahanan.
Perjanjian tersebut dilaksanakan di daerah Badung dan Raja Tabanan diwakili
oleh Sirarya Ngurah Made Kaleran, sedangankan Raja Gianyar I Dewa Pahang hadir
secara langsung dalam acara tersebut.
Di Badung tepatnya di Pura Nambangan Badung ketiga raja
tersebut beserta Manca dan pejabatnya masing masing mengangkat sumpah (padewa
Saksi) untuk menjalin hubungan persahabatan untuk saling membantu satu sama
lainnya. Setelah acara selesai Raja Gianyar I Dewa Pahang kembali ke Puri
Gianyar sedangkan wakil Raja Tabanan Sirarya Ngurah Made Kaleran menginap
semalam di Puri Pemecutan.
Keesokan harinya rombongan mampir ke Puri Denpasar dan
disuguhi hidangan. Ketika rombongan sedang bersantap tiba tiba Sirarya Ngurah
Made Kaleran ditikam oleh Kiyai Ngurah Rai dari Jero Beng Kawan dengan keris
yang bernama I Ratu Puri kaleran yang merupakan keris anugrah dari Dalem
Klungkung. Sirarya Ngurah Made Kaleran tewas ditempat dan seisi puri menjadi
panik dan kentongan tanda bahayapun di bunyikan sehingga pengawal Puri
berhamburan masuk ketempat kejadian. Kyai Ngurah Rai kemudian ditangkap dan
dibunuh di tempat tersebut dan mayatnya ditarik lewat sombah (lubang pembuangan
air dibawah tembok) karena saking marahnya rakyat Badung karena kejadian
tersebut.
Peristiwa tersebut menyisakan duka yang dalam bagi
Kerajaan Badung dan Tabanan dan jenazah Sirarya Ngurah Made Kaleran diusung
kembali ke Tabanan dan dimakamkan di tanah kelahirannya. Sirarya Ngurah Made
Kaleran setelah meningal diberi julukan I Ratu Karuwek Ring Badung.
Kembali kedaerah Mengwi setelah pemerintahan Anak Agung
Putu Kukus berjalan 5 tahun mulai terjadi pemberontakan kecil kecilan oleh
rakyat Mengwi yang dipimpin oleh I Gusti Agung Kerug. Namun pemberontakan
tersebut dapat dipadamkan dan I Gusti Agung Kerug dapat meloloskan diri menuju
desa Angantaka. Keadaan dapat dipulihkan kembali berkat kesigapan laskar
Pemcutan mengantisiasi hal tersebut.
Pewaris Kerajaan Mengwi Gusti Gde Agung masih mencoba
untuk mengadakan pemberontakan terhadap kekuasaan Kerajaan Badung dengan
bantuan rakyat mengwi yang yang masih setia, akan tetapi dalam pertempuran di
desa Penarungan pada tahun 1895 pasukan yag dipimpinnya dapat dihancurkan oleh
pasukan Badung dibawah panglimanya yang terkenal yaitu Gusti Alit Raka Debot.
Dengan kekalahan tersebut Gusti Gde Agung terpaksa hijrah
lagi ke Ubud dan menempatkan dirinya dibawah perlindungan Cokorda Gde Sukawati
sambil menunggu kesempatan lagi untuk merebut Mengwi kembali.
Pada tahun 1898 Gusti Gde Agung meninggalkan Ubud menuju
Desa Carangsari Tabanan dan beliau berhasil meyakinkan Manca Sarangsari untuk
membantunya. Dengan bantuan Manca tersebut beliau menerukan perjalanan ke Desa
Abiansemal dan selanjutnya menetap disana. Beliau menamakan dirinya Cokorda
Abiansemal sebagai penguasa yang berdiri sendiri tidak dibawah kekuasaan Kerajaan
Badung. Kerajaan Badung tidak bermaksud mengirimkan pasukan untuk menggempur
Cokorda Abiansemal namun lebih condong untuk mengadakan kompromi yang
menghasilkan kesepakatan bahwa kerajaan Badung tidak akan mengganggu kedudukan
Cokorda Abiansemal asalkan beliau berjanji tidak akan melebarkan pengaruhnya
keluar dari wilayah Abiansemal.
Demikianlah akhir dari peperangan antara Kerajaan Badung
dan Kerajaan Mengwi dimana Kerajaan Mengwi tidak berhasil dikembalikan lagi
dalam bentuk dan susunan yang terdahulu dan wilayahnya tetap terpecah belah
dibawah kekiuasaan beberapa penguasa dan golongan tertentu.
Sebagai masyarakat/krama Mengwi, kami ingin bertanya... Apakah warih/raja Mengwi yg ada sekarang keturun dr mana...? Aoakah asli dr warih kerajaan Mengwi yg kalah perang..? Ataukah warih dr penguasa Badung yg menang perang tsb, dimana seperti dijelaskan TS di atas sampai mendirikan puri baru di dkt istana mengwi...? Mohon penjelasannya, terimakasih.
BalasHapusPenglingsir Puri Ageng Mengwi saat ini setau saya memang asli keturunan Raja Mengwi yaitu Cokorda Abiansemal yg Purinya ada disebelah pasar Blahkiuh abiansemal (mohon koreksi jika salah)
Hapussaya mampir di blog ini, kebetulan leluhur saya ada di cerita, saya dari Jero Sempidi (banjar kangin, mengwi) dan keturunannya ada juga di Jeroan Kangin banjar sempidi abiansemal
BalasHapusSekarang kekuasaan Mengwi sudah dipulihkan namun dengan nama Kabupaten Badung yang wilayahnya hampir sama dengan wilayah Kerajaan Mengwi dulu. Seharusnya namanya Kabupaten Mengwi sedangkan Kota Denpasar menjadi Kota Badung kalau merujuk historis jaman kerajaan.
BalasHapus